Djongos kassie kartoe makan!’: Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Jawa

Pendahuluan
Dalam pariwisata unsur kuliner (makanan) memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya dengan unsur-unsur lain, seperti obyek, atraksi dan fasilitas. Hal ini dapat kita lihat dalam buku panduan pariwisata. Di sana kita dapat menemukan saran untuk menikmati makanan atau minuman khas setempat.  Namun, selain saran kita juga menemukan larangan-larangan untuk menikmati makanan atau minuman tertentu.

Menariknya, saran dan larangan itu ditemukan dalam buku panduan pariwisata di Indonesia sejak masa kolonial hingga kini. Hal itu jelas penting karena urusan kuliner berhubungan dengan perut dan sekaligus kesehatan.

Dalam persoalan kuliner, pemerintah atau penyelenggara pariwisata pastinya tak akan sembarangan. Tentu bukanlah promosi yang baik bagi pariwisata setempat jika turis yang datang terpaksa terbaring di rumah sakit sebelum penuh menikmati liburan yang menyenangkan dan berkesan. Meski tetap saja ada wisatawan yang mengabaikan peringatan dan larangan itu karena gairah petualangan yang besar.

Kuliner masa kolonial inilah yang akan dibahas dalam tulisan berikut. Sebagai sumber digunakan beberapa pengalaman para turis (tahun 1800-1900-an) yang menuliskan kesan dan catatan mereka mengenai urusan kuliner. Selain itu digunakan pula buku panduan pariwisata masa kolonial (tahun 1920-30-an).

Pengalaman kuliner para wisatawan
Justus van Maurik, seorang wisatawan Belanda atau tepatnya pengusaha cerutu yang menggunakan waktunya untuk berwisata mengungkapkan pengalaman kulinernya di Jawa pada 1800-an dalam Indrukken van een totok (1897). Ia menceritakan para penjual makanan di warung pinggir jalan yang menjual nasi, sayur dan gebakken vischjes (ikan goreng) dibungkus pisang-bladeren (daun pisang). Selain itu ia menceritakan juga seorang Tionghoa, penjual makanan keliling lezat dengan menggunakan pikulan. Makanan yang dijajakannya disebut kimlo atau sop tjina. Makanan itu disajikan dengan mangkok dan sendok porselen berwarna biru yang dinikmati oleh para pembeli sambil jongkok dengan uang beberapa sen saja.

Sementara itu di perkampungan orang Tionghoa dijumpai bermacam-macam warung kecil namun cukup lengkap. Mereka menjual berbagai hidangan seperti nasi, ikan goreng dan asap, dendeng, sambal, kopi, buah-buahan, kembang gula (buatan pabrik orang Tionghoa), aneka macam kue, rokok, rokok lintingan sendiri, kelapa, cabe, bermacam-macam pisang dan tentu saja minuman tuak. Yang menarik perhatian Maurik adalah bermacam-macam minuman sirup rasa buah-buahan dalam botol. Maurik berpendapat orang Tionghoa adalah peniru terbaik untuk minuman-minuman Eropa. Situasi dalam warung itu pun tak luput dari komentarnya. Ia menulis:

‘namun kita juga dapat menjumpai warung-warung yang di dalamnya terdapat kamar makan. Terdiri dari ruangan yang gelap dan berasap…’(hal.112)

Begitupula durian yang baunya menurut Maurik sangat menusuk. Sementara itu hidangan Tionghoa yang disukainya selain kimlo, Maurik menyebutkan bami, yang dinikmatinya di roemah-makan di Glodok. Bami menurut Maurik :

‘…merupakan hidangan dari sejenis makaroni tipis dengan berbagai macam bumbu,
ditambah kuah kaldu yang dicampur jamur, hati ayam, lada, irisan bawang, potongan
daging babi atau paha kodok’. (hal.114)

Maurik juga menulis bila mengingat hotel-hotel di Hindia, ia akan teringat pada kopi dan pisang yang lezat serta ‘harum’ buah nanas dan terasi.

Sebelumnya Charles Walter Kinloch (Bengal Civilian) seorang wisatawan asal Inggris yang berkunjung ke Jawa pada 1852 mengkritik hidangan dingin dan gaya makan Belanda yang menyajikankan seluruh hidangan (pembuka dan penutup) sekaligus. Menurutnya dalam Rambles in Java and The Straits in 1852 (1987), hidangan itu tidak cocok dengan perut orang Inggris. Ia juga mengkritik penggunaan sendok dan garpu serta tak dikenalnya penggunaan pisau mentega dan sendok garam, bahkan tata cara makan di perjamuan gubernur jenderal.

Sedangkan Désiré Charnay yang pergi ke Jawa mengemban misi resmi dan surat rekomendasi dari Pemerintah Hindia Belanda pada 1878, khususnya Kementrian Pendidikan, mengungkapkan pengalamannya menikmati masakan di hotel. Menurutnya sayur kari itu berisi campuran menjijikkan dari bahan-bahan seperti nasi, ditambah telur dadar di atasnya, lalu ikan asin, ayam, daging kambing, ketimun dan bistik. Di atasnya lalu disiram sambal dan dibubuhi 4 atau 5 jenis acar. Charnay pun tak mampu memakannya karena mual.  Masakan itu tak lain adalah rijsttafel yang memang dibanggakan oleh orang Belanda di Hindia.

Hidangan rijsttafel yang cukup terkenal ini mendapat perhatian dari wisatawan lain yaitu Augusta de Wit yang mengunjungi Jawa akhir 1890-an. Dalam Java :Feiten en Fantasieën (1905) , ia menyebutkan ada dua hal yang menarik perhatiannya yaitu pertama, hidangan tersebut disajikan tidak di ruang makan biasa melainkan di bagian belakang hotel. Hal lainnya adalah pakaian para pelayan pribumi yang menghidangkan rijsttafel. Dengan kaki telanjang, mereka mengenakan pakaian potongan semi Eropa yang dikombinasi dengan sarung dan ikat kepala.

‘(…) hidangan pedas itu disajikan bolak-balik dengan nyaris tak bersuara oleh para pelayan pribumi dengan kaki telanjang serta berpakaian separuh Indis, separuh Eropa.’ (hal.18)

Isi aneka hidangan rijsttafel itu sendiri juga menarik perhatian Augusta de Wit. Hidangan utamanya nasi dan ayam. Yang juga dilengkapi dengan aneka lauk pauk yang berupa daging asap, ikan dengan berbagai bumbu kari, saus, acar,  telor asin, pisang goreng, dan tak ketinggalan sambal ati ayam. Semuanya diberi bumbu cabai (hal.19).

Augusta de Wit ternyata tidak hanya menikmati hidangan di hotel, ia juga mengamati bagaimana para penduduk pribumi (di sini ia menyebutnya orang Jawa) menikmati sarapan paginya setelah mandi di kali.

‘Setelah mandi, orang-orang Jawa itu sarapan dan ini juga dilakukan
di depan umum’ (hal.113)

Ia menunjuk lokasi warung penjual makanan tersebut di daerah Tanah Abang dan Koningsplein (sekarang Jl. Medan Merdeka/Monas), daerah yang dihuni oleh penduduk pribumi. Tapi selain itu ada lagi warung-warung yang lebih kecil dan bisa dipindahkan. Mereka ada yang mangkal di pinggir kali, sepanjang kanal, di sudut-sudut jalan, di stasiun serta pangkalan sado.

‘Kita dapat menjumpai bermacam-macam warung atau yang serupa di daerah Tanah Abang dan Koningsplein serta tentu saja di daerah orang pribumi. Namun, warung yang lebih kecil atau para pedagang keliling dapat dijumpai di mana saja, di pinggir kali, di stasiun kereta, di pangkalan sado, sepanjang kanal, di pojok-pojok jalan. Tampaknya mereka itu berdagang dengan baik.’ (hal.114-115)

De Wit mengamati mereka. Pagi-pagi sekali mereka memikul dagangannya lalu aneka dagangan, piring, gelas serta botol diatur supaya menarik. Setelah menurunkan anglo untuk memasak, mulailah mereka berjualan. Ada yang menjual nasi, ikan asin dengan sambal, kue hijau yang diberi parutan kelapa berwarna putih, pelbagai macam kue yang tampaknya terasa manis berwarna-warni mencolok (oranye, merah jambu dan coklat tua) tampak kontras ketika disajikan di atas daun pisang segar berwarna hijau.

‘Semuanya telah siap di pikulan –istri penjual itu menyiapkannya di waktu subuh – dan sekarang mereka siap disajikan di atas daun pisang yang berfungsi sebagai piring dan mangkuk. Kue bulat dari tepung beras berwarna hijau dan putih  dengan parutan kelapa di atasnya, pipilan jagung berwarna oranye, selai berwarna merah muda dan kue-kue alot berwarna coklat tua.’ (hal.116)

Gambar dan cerita ‘eksotis’
Hal yang menarik adalah penggunaan kartu pos sebagai sarana promosi kuliner, khususnya makanan khas setempat. Misalnya kartu pos bergambar ruang makan Java Hotel,  ruang makan Hotel Marinus Jansen.  Ada pula kartu pos bergambar penjual nasi yang sedang dikerumuni para pembelinya, penjual soto keliling, suasana warung pinggir jalan di Jawa, bahkan ada gambar penjual roti pikulan keliling di Batavia, gambar penjual sekoteng, penjual rujak ulek , penjual buah-buahan, penjual sate.

Tidak hanya melalui gambar, tulisan Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie 1918 menggambarkan makanan-makanan yang dikonsumsi penduduk Hindia. Misalnya hidangan daging banteng, kerbau, kambing, kijang, kelinci dikonsumsi penduduk Jawa. Daging kuda yang dikonsumsi penduduk Sumba, daging orang utan dan kera dikonsumsi penduduk Borneo (Kalimantan), daging kelelawar oleh penduduk Minahasa, daging anjing oleh penduduk Batak, Papua dan Tionghoa (hal.243).

Gambar-gambar kartu pos tersebut tentu menarik perhatian para calon wisatawan asing. Tentunya keinginan untuk mencicipi makanan ‘eksotis’ itu sudah tertanam sebelum mereka menginjakkan kaki di Hindia Belanda. Gambar-gambar itu tampaknya dibuat, baik di luar maupun dalam studio sehingga kita harus mempertanyakan apakah memang disarankan kepada para wisatawan untuk mencicipi makanan khas atau hanya sekedar daya tarik gambar ‘eksotis’ semata. Dalam pandangan orientalis, menurut Alison Blunt dan Jane Willis dalam  Dissident Geographies:An Introduction to radical ideas and practice (2000) itu semua merupakan imajinasi Barat tentang Timur yang menyajikan Timur dengan hal romantis, eksotik, misterius dan berbahaya (hal.184)

Seperti di rumah sendiri
Selain makanan dan minuman khas setempat, para wisatawan juga disediakan makanan dan minuman yang sengaja diimpor dari negara asal. Misalnya dalam Gids voor Indie dicantumkan iklan DEL MONTE yang khusus untuk makanan kaleng impor seperti asparagus, ercis hingga buah-buahan.

Menurut data dari Handboek of the Netherlands East Indies 1930 jumlah makanan-makanan kaleng yang diimpor dari luar negeri memiliki nilai cukup besar. Misalnya untuk mentega, pada 1926 bernilai 7.625 gulden dan pada 1928 bernilai 8.125 gulden; ikan pada 1926 bernilai 22.040 gulden dan pada 1928 bernilai 20.046; keju pada 1926 bernilai 1.125 gulden dan pada 1928 bernilai 1.169 (hal.323)

Selain makanan kaleng ada pula iklan peternakan sapi di beberapa kota besar seperti Batavia, Bandung dan Semarang. Misalnya Melkerij “Petamboeran” yang merupakan peternakan tertua dan terbesar serta terletak di Petamboeran, Paalmerah.  Ada pula toko FROSCHER’S di Batavia-Centrum yang menyediakan roti dan kue.  Selain yang segar ada pula susu dalam kaleng seperti iklan NESTLE’S MELK CO di Batavia-Centrum yang menyediakan susu kalengan seperti yang kita nikmati sekarang.  Begitupula dengan pabrik air mineral dan limun di kota-kota besar, seperti iklan pabrik air mineral dan limun NOVA di Bandung yang menyediakan limonades Hollandsche smaak, Aer Blanda gelijk Apollinaris, Orange Crush. Air mineral ini juga menjadi salah satu fasilitas yang disediakan di pasanggrahan selain fasilitas tempat tidur dan makan.

Tidak lengkap rasanya jika tidak tersedia minuman beralkohol. Dalam Hotel Blad terdapat iklan minuman JONKER CAPERO, minuman sherry yang diimpor. Selain itu tersedia juga Heineken’s Bier. Ada pula Haantjes Bier, Pittig Hollandsch Pils, bir pahit Belanda cap ayam.  Bisnis impor minuman keras ‘modern’ dari Eropa ini cukup menggiurkan. Dalam laporan Departement van Financiën, ribuan gulden hasil dari cukai masuk ke kas pemerintah.  Ironisnya, menurut Kasijanto Sastrodinomo dalam artikelnya ‘Mabuk-mabukan dalam Sejarah’ (Kompas, 18/3/2006) Pemerintah Hindia Belanda juga membentuk Alcoholbestrijdings-commisie (Komisi Pemberantasan Alkohol) pada 1918. Tujuannya untuk menyelidiki dan memerangi penyalahgunaan alkohol di kalangan penduduk Hindia. Sasaran utamanya adalah minuman keras tradisional yang populer di kalangan masyarakat pribumi, seperti arak, badèg, dan ciu. Menurut polisi jenis-jenis minuman beralkohol itu termasuk minuman ‘gelap’ tak berizin.

Iklan makanan kaleng, susu dan minuman tersebut jelas ingin memperlihatkan bahwa para wisatawan tidak perlu khawatir dengan masalah kuliner negara asal mereka karena hampir semua tersedia. Elsbeth Locher-Scholten dalam artikelnya mengenai makanan kaleng ini menyebutkan bahwa hingga 1900-an hidangan Eropa dinilai lebih tinggi daripada hidangan Hindia. Hidangan dari makanan kaleng ini disediakan sehari-hari, kecuali hari Minggu di kalangan keluarga totok. Para wisatawan hanya tinggal menikmati suasana Hindia ditemani makanan dari tanah air. Dengan kata lain tak ada liburan senikmat seperti di rumah sendiri.

Djongos kassie kartoe makan!

Para wisatawan pun dimudahkan dalam urusan perut ini. Dalam The Garoet Express and Tourist Guide (1922-1923) dicantumkan kosa kata dan kalimat-kalimat perintah praktis berhubungan dengan kuliner dalam bahasa Inggris, Belanda dan khususnya Melayu yang dapat digunakan mereka (hal.22).

Kalimat-kalimat perintah itu antara lain:

Boy bring me a Menu, a winelist, icewater, sodawater, whiskey and soda’ (Inggris)
Jongen breng een menu, wijnlist, ijswater, sodawater whisky soda’ (Belanda)
Djongos kassi kartoe makan, kartoe minoeman, aijer ijs, aijer blanda’ (Melayu)

Hurry up fetch ice’ (Inggris)
Haas[t] je haal ijs’ (Belanda)
Lekas ambil ijs (aijer batoe)’ (Melayu)

Atau kosa kata yang berhubungan dengan aktivitas kuliner, peralatan makan dan aneka menu seperti:

To boil (Inggris); ko[o]ken (Belanda); masak (Melayu)
To drink (Inggris); drinken (Belanda); minoem (Melayu)
To eat (Inggris); eten (Belanda); makan (Melayu)
To fry (Inggris); bakken/braden (Belanda); goreng (Melayu)
To mix (Inggris); mengen (Belanda); tjampoer (Melayu)

Clean plate (Inggris); schoon bord (Belanda); piring bresi (Melayu)
A knife (Inggris); mes (Belanda); piso (Melayu)

Cold water (Inggris); koud water (Belanda); aijer dingin (Melayu)
Soft boilled eggs
(Inggris); zacht gekookte eieren (Belanda); telor stengah mateng (Melayu)
Hard boilled eggs (Inggris); harde eieren (Belanda); telor kras (Melayu)
Bacon and eggs (Inggris); spek met eieren (Belanda); mata sampi sama sepek (Melayu)

Penutup

Bila dikaji lebih jauh ternyata masih banyak hal yang dapat diungkap dan diteliti dari masalah kuliner sebagai unsur pariwisata baik pada masa lampau maupun sekarang. Antara lain  asal usul suatu jenis masakan, industri rumahan makanan dan minuman yang dipengaruhi oleh pariwisata.

Masalah kuliner pun ternyata tidak hanya dapat dijadikan sarana promosi positif, tapi juga sarana promosi negatif. Hal tersebut tak lepas dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Disajikan dalam Seminar Hasil Penelitian Departemen Sejarah FIB UI, Desember 2006 

Mimpi Chasteleyn Tentang Depok

Cornelis Chasteleyn boleh bermimpi jika tanah miliknya yang luas hanya akan digarap dan digunakan oleh para ahli warisnya. Tanahnya mencakup Depok sekarang, ditambah sedikit wilayah Jakarta Selatan plus Ratujaya, Bojong Gede, Kabupaten Bogor sekarang. Seperti yang ia tuangkan dalam (terjemahan) surat wasiatnya yang berbahasa Belanda kuno tertanggal 14 Maret 1714.: “… MAKA hoetan jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chasteleyn tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennja tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe… dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennja,…”

Gambaran Depok masa silam ini tentu pada masa kini nyaris tak berbekas. Depok pada masa itu dihiasi sungai, hutan, rimbunan rumpun bambu yang sengaja ditanam, tidak boleh diganggu. Bahkan ternyata ada pula penggilingan tebu.

Sungai Krukut yang disebut-sebut dalam surat wasiat itu kemungkinan ada hubungannya dengan wilayah Kelurahan Krukut, Kecamatan Limo, Kota Depok sekarang. Tepatnya berada di selatan Cinere. Sementara itu, bila ada penggilingan tebu, maka logisnya terdapat pula tanaman tebu. Budidaya tebu yang sesuai dengan watak agrarisnya, pastilah berada pada hamparan yang luas, berpengairan cukup serta dengan sistem pengaturan lahan yang baik.

Asal Usul Nama Depok

Ditinjau dari asal usul nama Depok ada berbagai versi yang berupaya mengungkapkan asal nama Depok tersebut. Versi pertama berhubungan dengan Cornelis Chasteleyn yang membeli tanah di Jatinegara, Kampung Melayu, Karanganyar, Pejambon, Mampang dan Depok pada akhir abad ke-17 (ada yang menyebut tanggal 18 Mei 1696, ada juga tanggal 13 Maret 1675).

Ketika Chasteleyn membeli tanah di Depok, ia membelinya dengan harga 700 ringgit, dan status tanah itu adalah tanah partikelir atau terlepas dari kekuasaan VOC. Tanah-tanah itu memiliki batas-batas yang diperkirakan, sebelah utara (Kampung Malela), sebelah selatan (Kampung Belimbing, berbatasan dengan Kelurahan Ratujaya, sekarang), sebelah timur (sungai Ciliwung), sebelah barat (rel kereta api Jakarta-Bogor).

Cornelis Chasteleyn adalah seorang Belanda, tuan tanah mantan pegawai VOC. Ia memiliki tanah mulai dari wilayah Weltevreden (Gambir), Meester Cornelis (Jatinegara), hingga Buitenzorg (Bogor). Bisa dibayangkan betapa kayanya, meneer yang satu ini. Tanah yang dibelinya di kawasan Depok itu harus diolah. Oleh karena itu, ia mendatangkan budak dari Bali, Borneo (Kalimantan), Makassar, Maluku, Ternate, Kei, Pulau Rote, Batavia. Jumlahnya sekitar 150 orang.

Atas permintaan ayahnya, Chasteleyn mengajarkan agama Kristen kepada para budaknya. Secara bertahap di sana muncul sebuah padepokan Kristiani yang disebut De Eerste Protestante Organisatie van Kristenen (Organisasi Kristen Protestan Pertama). Ada pula yang menyebut Deze Eenheid Predikt Ons Kristus (Dengan persatuan membawa kami ke Kristus). Keduanya bisa disingkat DEPOK dan konon menjadi cikal bakal nama Depok.

Versi yang lain menyebutkan, jauh sebelum Chasteleyn membeli tanah di Depok, nama Depok sudah ada. Hal tersebut dikatakan Abraham van Riebeeck, inspektur jenderal VOC ketika mengadakan ekspedisi menelusuri sungai Ciliwung pada 1703, 1704, dan 1709. Ia melalui rute: Benteng (Batavia) – Tjililitan – West Tandjong (Tanjung Barat) – Seringsing (Serengseng) – Pondok Tjina – Depok – Pondok Pucung (Terong).

Pendapat lain, menyebutkan Depok sudah ada jauh sebelum bangsa Eropa (baca: Belanda) masuk ke Jawa. MW Bakas, salah seorang keturunan asli Depok yang dikutip H. Nawawi Napih dalam Meluruskan Sejarah Depok mengatakan, ketika meletus perang antara Pajajaran dengan Banten-Cirebon (Islam) tentara Pajajaran membangun ‘padepokan’ untuk melatih para prajuritnya untuk mempertahankan kerajaan. Padepokan ini dibangun dekat Sungai Ciliwung. Terletak antara pusat kerajaan Pajajaran (Bogor) dan Sunda Kelapa (Jakarta). Sesuai dengan lidah melayu, kata ‘padepokan’ kemudian hanya disebut ‘Depok’.

Pendapat ini didukung dengan fakta bahwa di sekitar Depok terdapat nama-nama kampung yang menggunakan bahasa Sunda. Misalnya Parung Blimbing (di Depok Lama) di selatan, Parung Malela di utara dan Kampung Parung Serab di sebelah timur seberang Ciliwung berhadapan dengan Parung Belimbing. Semua kampung ini berada di tepi sungai Ciliwung. Kemungkinan kampung-kampung itu pada waktu perang dijadikan pusat pertahanan tentara Pajajaran terhadap kemungkinan serangan Cirebon dan Banten ke pusat pemerintahan di Bogor melalui Ciliwung. Kemungkinan lain sebagai basis pertahanan untuk menyerang Sunda Kelapa.

Kaitan nama Pajajaran dengan Depok pun dibantah buku Meluruskan sejarah Depok. Alasannya, nama Depok di masa Pajajaran belum ada, baik dalam naskah lama tulisan para penulis Portugis, maupun dalam cerita yang mengisahkan raja-raja Pajajaran. Padepokan baru dikenal setelah masa Islam karena tempat yang sama pada masa Hindu justru disebut Mandala bukan padepokan. Yang menarik nama ‘Depok’ juga ditemui di wilayah Sleman, Yogyakarta.

Sementara itu versi lain menyebutkan antara Perumnas Depok I dan Depok Utara ada tempat yang disebut Kramat Beji. Di sekitar tempat itu ada tujuh sumur berdiameter satu meter. Di bawah pohon beringin yang berada di antara ke-7 sumur ada sebuah bangunan kecil yang selalu terkunci. Di dalamnya masih dapat kita temukan banyak sekali senjata kuno, seperti keris, tombak dan golok. Konon, dahulu di Kramat Beji sering diadakan pertemuan antara pihak Banten dan Cirebon. Senjata-senjata tersebut diduga peninggalan tentara Banten ketika melawan VOC. Di tempat seperti ini biasanya untuk latihan bela diri dan pendidikan agama yang kerap disebut padepokan. Disimpulkan nama Depok kemungkinan besar dari kata Padepokan Beji.

Di padepokan inilah para guru agama (Islam) mengajar pada para siswa atau santrinya. Di siang hari mereka bekerja di ladang, dan sorenya mengaji agama. Para santri ditempatkan pada sebuah asrama, sedangkan gurunya disediakan tempat di kompleks itu juga. Pelajaran yang diberikan selain agama, juga seni bela diri (silat), dan kemungkinan latihan kemiliteran. Jadi pada masa Pajajaran, agama Islam telah berkembang di Depok.

Namun, yang jelas perlu diakui jika Depok pada masa Hindu merupakan jalur perniagaan penting. Letaknya yang berada di antara Pakuan dan Sunda Kelapa membuat Depok menjadi tempat persinggahan. Pelabuhan kecil di Depok adalah Cipanganteur dan sering disebut Kali Pengantar. Sekarang tempat tersebut bernama RAU yang lokasinya di Parung Malela (dekat kuburan Kristen di Depok lama), di tepi sungai Ciliwung.

Aliran sungai Ciliwung ini menjadi sarana transportasi pada masa lalu. Adalah Jembatan Panus (berasal dari nama Stevanus, salah satu keluarga ‘kaoem Depok’) yang menghubungkan Depok I (Barat) dengan Depok II (Timur). Jembatan itu dibangun sekitar tahun 1917 yang dapat disebut sebagai monumen dibukanya jalur lalu lintas darat antara kedua wilayah Depok tersebut.

President van Depok

Untungnya pemerintah Orde Baru tidak mengetahui hal ini karena memang terjadi jauh sebelum Orba. Alasannya, jangankan bercita-cita, hanya berniat untuk menjadi presiden saja pada masa Orba urusannya bisa repot. Namun, di Depok justru gemeente bestuur (pemerintahan sipil) nya diketuai oleh seorang pemimpin yang disebut Presiden. Ia dipilih berdasarkan pemungutan suara terbanyak tiap tiga tahun sekali.

Pemerintahan sipil ini dibentuk tahun 1872 oleh para ahli waris Chasteleyn. Sepeninggal Chastelein mereka merupakan pemilik sah tanah partikulir di Depok yang kemudian menata Depok dalam bentuk pemerintahan sipil. Sistem ini disebut Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden Depok dibantu oleh sekretaris, bendahara, kepala polisi, juragan (kepala administrasi pemerintahan wilayah) serta dua orang pegawai. Aturan ditetapkan untuk keperluan pemerintahan, antara lain peraturan bahwa orang-orang yang berhak atas tanah di Depok adalah orang-orang yang beragama Kristen dan bertempat tinggal di Depok.

Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah sipil ini tetap bertahan. Hal ini karena pihak Jepang kekurangan personil untuk ditempatkan di daerah ini. Depok tetap berada di bawah seorang presiden yang ketika itu dijabat oleh Jonathans. Kekuasaan pemerintahan sipil berakhir pada 8 April 1949 ketika Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan penghapusan tanah partikelir di seluruh Indonesia serta memberlakukan Undang-Undang Agraria (landreform).

Tahun 1951, para pemegang hak tanah partikelir Depok melepas hak mereka untuk memenuhi rencana pemerintah menghapus tanah partikelir. Namun, kepada keturunan ke-12 keluarga yang mendapat wasiat dari Chasteleyn masih diberi gedung, tanah yang ada hubungannya dengan pendidikan, kesehatan dan agama. Setelah dikuasai Republik Indonesia, Depok merupakan kecamatan yang berada di bawah lingkungan kewedanaan (pembantu Bupati) wilayah Parung, yang meliputi 21 desa.

Ketika Presiden Soeharto meresmikan Perumnas tahun 1976, penduduk Depok tak lebih dari 100 ribu jiwa. Sarana transportasi pun hanya mengandalkan jalur kereta api yang dibangun tahun 1880-an serta jalur jalan raya ke Pasar Minggu yang ketika itu hanya satu jalur. Kini penduduk Depok yang menjadi kotamadya sejak 1999, melonjak lebih dari 10 kali lipat (1.333.734 jiwa).

Depok terus berkembang pesat dan padat. Suasana sejuk dan tenang pada pagi hari berganti bising kendaraan penduduknya yang berbondong-bondong menuju Jakarta untuk beraktivitas. Pemandangan ini akan terulang pada sore hingga malam hari. Ribuan rumah juga dibangun hingga tak tersisa lagi lahan kosong dan perkebunan. Bahkan jumlah situ yang berfungsi sebagai resapan air hujan semakin sedikit, tergusur dan menghilang. Entah apakah keadaan seperti ini yang diimpikan Chasteleyn di masa lalu?