Bayangkan, Anda duduk di kelas bisnis di sebuah penerbangan internasional.Berharap dapat mengendus aroma parfum seperti Bvlgari, Davidoff atau Eitenne Aigner. Harapan itu musnah ketika justru Anda membaui aroma aduhai yang biasanya kita endus di bis malam antar kota antar provinsi. Aroma tersebut adalah aroma minyak gosok alias minyak angin. Bukan karena diskriminasi, mereka yang menggunakan minyak gosok tidak boleh menumpang pesawat. Namun, silakan dibayangkan sendiri jika Anda mengalaminya. Yang jelas, jika Anda mabok, kepala keliyengan tentunya bukan aroma parfum tersebut di atas yang kita butuhkan.
Dalam sebuah penerbangan yang harus transit di Surabaya saya pernah mengalaminya. Ketika sedang asyik menikmati pemandangan langit di luar jendela, tiba-tiba tercium bau minyak gosok yang begitu santer. Saya pun langsung mencari-cari kambing hitam di antara para penumpang. Tentunya saya tak berdiri lalu memelototi penumpang satu-persatu.
Saya hanya menduga penumpang yang memenuhi kriteria sebagai tersangka pencetus bau minyak gosok. Ciri-cirinya harus bertampang mas-mas plus kampungan, membawa kardus dan pernak-pernak lainnya. Saya akhirnya mendapat target yang memenuhi kriteria tersebut sambil mendongkol dalam hati. Ketika pesawat mendarat mulus di Jakarta dan pesawat sudah terparkir rapi, saya mengangkat ransel di tempat barang di atas kursi, terciumlah bau minyak kayu putih dari dalam tas ransel saya. Rupanya tersangka dan pencetus bau minyak gosok itu adalah saya sendiri. Tutup botol minyak kayu putih yang saya bawa sedikit terbuka dan menyebarkan aroma minyak gosok ke kabin pesawat. Rupanya mas-mas kampungan (tapi saya tak membawa kardus) adalah saya sendiri.
Pengalaman dengan minyak angin ini juga pernah dituturkan oleh Almarhum Umar Kayam dalam kolomnya “Taksi AC Jakarta” di majalah Matra (1989). Ketika itu beliau menumpang taksi kuning di Jakarta yang di kacanya terpampang AC. Taksi yang menggunakan AC tersebut ternyata beraroma full minyak angin lantaran sang pengemudi sedang masuk angin dan mengusap minyak gosok secara merata dan metodis di seluruh badan, tulis Umar Khayam. Ditambah lagi dengan suara Hak-Heek sendawa sang pengemudi.
Namanya minyak angin tentunya berfungsi mengusir angin. Demikian pula minyak gosok, tentunya dipakai untuk menggosok. Saya jadi teringat dengan beragam minyak angin yang ada, antara lain minyak gosok cap P.P.O (Pak Pung Oil), cap Kapak, cap Lang. Minyak angin dan gosok ini adalah salah satu ornamen wajib ketika bepergian. Nah, selain minyak gosok yang disebutkan ini, ada pula minyak gosok cap Beruang, dan minyak gosok cap Tawon dari Makassar.
Nama-nama minyak gosok seperti yang disebutkan di atas cukup unik. Misalnya minyak Tawon. Saya awalnya membayangkan minyak ini terbuat dari ribuan tawon yang diendapkan dalam minyak kelapa. ‘Sengatan’ rendaman tawon itulah yang membuat minyak ini menjadi hangat. Seperti halnya minyak cap Beruang, mengapa cap Beruang. Mungkin hangatnya seperti ketika kita dipeluk oleh beruang (bukan teddy bear) besar. Ada juga yang lebih modern, dalam kemasan botol seperti minyak wangi yaitu minyak angin aromatherapy Fresh Care yang diiklankan oleh Agnes Monica. Silakan bayangkan sendiri apa kaitannya. Lalu bagaimana pula dengan minyak cap Kapak?
Bau minyak gosok cap Tawon memang sangat khas dan hangatnya luar biasa. Biasanya almarhum Bapak beliau selalu melumuri kakinya dengan minyak ini jika kakinya pegal. Tak lama, menurut beliau pegalnya hilang. Tidak hanya itu, salah seorang kawan pernah merasakan khasiatnya. Kakinya bengkak lantaran salah ambil posisi ketika turun dari bis. Namun, setelah beberapa kali dioleskan dengan minyak ini kakinya berangsur pulih.
Kapan kita mulai mengenal minyak gosok alias minyak angin ini memang belum dipastikan persisnya. Tapi, saya menduga kebiasaan ini sudah sangat lama. Mungkin saja kita mengadopsi dari budaya Cina yang masuk ke Nusantara.
Minyak Tawon ternyata berasal dari Makassar. Harganya memang relatif mahal tetapi khasiatnya jangan ditanya. Ada perbedaan antara minyak tawon dengan tutup putih dan tutup merah. Minyak tawon dengan tutup putih lebih mahal daripada minyak tawon bertutup merah. Perbedaan harganya lebih dari separuh (botol dengan tutup putih berukuran 330 ml harganya lebih dari 300 ribu). Namun, di sini berlaku, ada harga ada rupa. Minyak tawon bertutup putih lebih berkhaisat dan sensasi panasnya lebih ‘menyengat’ dibandingkan yang bertutup merah.
Bahan dasar minyak gosok ini sebenarnya adalah minyak kelapa yang dimasak dengan berbagai rempah. Lalu diambil sarinya. Ekstrak dari minyak itu dicampur dengan minyak atsiri, lalu disaring. Barulah hasil saringannya dikemas dalam botol.
Menurut Yerri Wirawan dalam Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar Dari Abad ke-17 hingga ke-20 (2013), perusahaan minyak gosok yang memproduksi minyak Tawon didirikan pada 6 Desember tahun 1912 oleh Lie A Liat di Makassar. Lie A Liat adalah seorang ahli obat suku Hakka, berasal dari daerah Huizho, Guangdong. Dia datang ke Makassar dan membuka toko obat yang diberi nama Boo Loeng. Toko ini berada di Tempelstraat No. 31.
Sebelum tahun 1925, Lie A Liat mulai membuat semacam obat gosok yang diproduksi secara lokal. Minyak gosok itu disebut Makassar-olie (Minyak Makassar). Pemilik resep obat ini rajin mengiklankan khasiat obat gosok ini. Tahun 1930-an, dia mencetak sendiri sebuah brosur berukuran dua halaman koran biasa dengan huruf Tionghoa, Melayu, Bugis/Makassar. Menurut brosur tersebut, sejak tahun 1925 obat gosok ini telah mendapat izin dari pemerintah Hindia-Belanda setelah meneliti komposisi bahan-bahan pembuatnya. Pada periode yang kurang lebih sama, pada tahun 1910-an diproduksi ‘Tiger Balm’ di Rangoon oleh Aw Boen Haw. Obat gosok ini sangat populer di Tiongkok, Amerika Serikat dan Eropa. Cara promosi Lie A Liat adalah dengan ikut serta dalam pasar malam.
Begitulah kisah aneka minyak gosok dan urut yang sekarang menjadi salah satu perlengkapan ‘tempur’ yang disiapkan istri saya tercinta jika saya bepergian baik di dalam maupun di luar negeri.
foto 1: onokuno-kuno.blogspot.com
foto 2: sanggarantik.blogspot.com