Suwe Ora Jamu, Jamu Sore-Sore bagian 1

JpegJumat sore itu saya siap menjemput macet. Saya pun bergegas, berpacu sebelum terkenal aturan nomor mobil ganjil-genap pada ruas-ruas jalan tertentu. Sudah terbayangkan suasana perjalanan dari pusat kota Jakarta menuju Depok.

Perjalanan saya menembus belantara Jakarta ditemani sebotol minimalis beras kencur. Minuman ‘kuno’ yang menjadi kekinian karena dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi tampak nggaya. Etiket di botolnya menarik “Suwe Ora Jamu”.

Ya, Suwe Ora Jamu. Sudah lama saya tidak menikmati jamu, minuman tradisional yang saya akrabi sejak kecil. Aroma beras kencur membawa ingatan saya pada masa kecil. Ingatan yang berkelindan dengan trauma masa kecil kembali muncul.

Semasa balita saya tampaknya tidak memiliki nafsu makan yang besar. Saya pun bukan termasuk balita sehat dengan tubuh gemuk gembil sehingga mengundang orang untuk menggemasi.  Singkat kata karena nafsu makan saya kurang sehingga membuat ibu saya khawatir saya kekurangan nutrisi sehingga terpaksalah saya diterapi dengan jamu pahitan.

Jangan bayangkan saya duduk manis lalu disuguhi jamu dalam gelas dan mau meneguknya hingga tandas. Untuk menerapi saya diperlukan tenaga tambahan. Setidaknya dua orang dewasa harus melakukannya. Satu orang memegangi saya dan satunya lagi mencekoki saya dengan saputangan yang telah direndam ramuan jamu yang rasanya pahit membuat kapok.

Urutan prosesi terapi ‘cekokan’ jamu itu masih saya ingat betul. Saya yang sedang bermain, biasanya dipanggil. Lalu duduk dipangku, lalu tangan saya dipegang erat dan mulut dipaksa dibuka. Tetesan jamu pahit pengundang nafsu makan dicekokkan ke dalam mulut saya yang meronta-ronta sambil menangis. Namun, dari beberapa tetesan jamu yang masuk ke dalam mulut saya, sepertinya patut dipertanyakan apakah memang manjur mengundang nafsu makan saya karena tubuh saya tetap kurus. Sepertinya, nafsu makan saya datang menjelang usia remaja sebagai bahan bakar berbagai aktivitas. Persis, putera saya yang masa balitanya sulit makan. Namun, sekarang rasanya segala macam hendak disantap.

Sambil meneguk beras kencur dalam botol mini itu ingatan saya kembali ke masa silam. Almarhum nenek saya dan juga ibu saya adalah pembuat jamu. Suara alu menumbuk ramuan dan aroma ramuan jamu yang meruap di dapur seolah kembali saya dengar dan hirup. Setelah dimasak, ramuan jamu dimasukkan ke dalam botol. Botol-botol itu juga tidak dilabeli etiket hanya tulisan keterangan isi botol yang ditempel selotip. Meskipun bukan skala besar, setidaknya beberapa belas atau puluhan botol beras kencur, kunyit asam, temulawak, cabe puyang terjual habis.

Bagi masyarakat Jawa, jamu merupakan obat tradisional. Kata jamu menurut pakar bahasa Jawa kuno berasal dari singkatan dua kata yaitu ‘djampi’ dan ‘oesodo’. Djampi berarti penyembuhan dengan menggunakan ramuan obat-obatan, doa-doa serta ajian sedangkan oesodo berarti kesehatan.

Dari relief Candi Borobudur terlihat kebiasaan berupa aktivitas meracik dan mengkonsumsi jamu. Bukti material lain adalah penemuan prasasti Madhawapura peninggalan Majapahit yang menyebut adanya profesi Acaraki yaitu peracik jamu. Hal ini membuktikan bahwa kebiasaan meracik dan mengkonsumsi jamu di Indonesia sudah dikenal sejak lama.

Dalam beberapa situasi, saya memang lebih suka mengkonsumsi minuman tradisional. Misalnya dalam kondisi badan tidak keruan alias panas-dingin, maka meneguk wedang jahe hangat menjadi pilihan atau jika perut sedang tidak mau berkompromi, jamu kunyit asem dengan madu saya konsumsi. Beberapa tahun silam, saya terkena typhus dan diharuskan rawat jalan. Saya diberi berbagai obat dari rumah sakit. Salah satu obat tersebut rupanya mengandung kunyit.  (bersambung)