Beberapa waktu lalu muncul foto dua orang kulit putih alias bule sedang mengemis di Singapura. Persoalannya adalah mereka mengemis dan mengamen. Tujuannya bukan untuk makan, melainkan untuk liburan. Sebagai contoh dalam salah satu foto tampak seorang bule di Hongkong memegang papan bertuliskan huruf kapital: I AM TRAVELING AROUND ASIA WITHOUT MONEY. PLEASE SUPPORT MY TRIP. Kemungkinan yang muncul di benak kita adalah: “lho, mau jalan-jalan kok nggak bermodal?”
Para begpacker tersebut (plesetan dari backpacker) ternyata ditemukan juga di Thailand, Malaysia, bahkan Indonesia. Fenomena ini sebenarnya menarik untuk dilihat dari berbagai sudut pandang. Apakah sudah sedemikian miskinnya dunia Barat sehingga untuk berlibur saja mereka tidak mampu.
Saya teringat dengan kata turis yang berasal dari kata tourist. Istilah ini lahir dari Adam Smith (1723-90), ekonom Inggris penulis the Wealth of Nations (1776). Ia menambahkan akhiran –ist pada kata tour yang telah masuk ke perbendaharaan kata dalam bahasa Inggris sejak lama. Ini mengacu pada kegiatan Grand Tour yang dikenal di daratan Eropa dan Inggris Raya pada 1740-an. Grand Tour adalah kegiatan melakukan perjalanan para anak-anak muda keluarga kaya dan bangsawan Eropa yang mengandung unsur pendidikan. Menurut Jeremy Black dalam The British and the Grand Tour (1985) para anak-anak bangsawan disertai dengan mentor bepergian ke kawasan-kawasan tertentu di Eropa untuk mendapatkan pengalaman pribadi. Wilayah-wilayah yang menjadi tujuan Grand Tour adalah Prancis, Italia, Swiss, Belanda, Belgia, Jerman, Austria. Mereka melihat kota-kota, situs klasik, istana, bangunan kuno, terutama peninggalan bangsa Romawi.
Pada masa berikutnya, kegiatan Grand Tour semakin melenceng dari semangat pada masa awal. Banyak orang yang mengikuti kegiatan Grand Tour kehilangan karakter. Mereka hanya mengikuti rute perjalanan yang sudah ada. Smith merasa prihatin dengan hal itu. Maka ia menambahkan kata ist di belakang kata tour. Kata tourist ini menjadi bermakna peyoratif.
Hingga abad ke-20, makna peyoratif ini terus menempel pada kata turis. Dean MacCannel (1999), peletak dasar sosiologi turisme, memberikan ilustrasi yang kian mempertebal makna peyoratif kata turis. Ia menceritakan pengalamannya bersama sang pacar pada akhir tahun 50-an, ketika berusia 18 tahun. MacCannel yang pulang dari berlibur mulai menyalakan mesin mobilnya ketika kapal feri yang mereka tumpangi akan merapat di dermaga, sang pacar menahan tangannya sambil berkata: ‘Don’t do that. Only tourist start their cars before we dock! Peringatan sang pacar mengacu pada sifat terburu-buru para turis yang berupaya melihat segala macam objek dalam waktu yang singkat.
Yang jelas, istilah tourist (turis) lahir karena keprihatinan Adam Smith terhadap para pelaku Grand Tour yang sudah melenceng dari niat semula. Benang merah yang muncul adalah unsur perjalanan. Ada perdebatan apakah para traveler dapat dikatakan sebagai turis dan apakah mereka, para traveler lebih baik daripada para turis. Daniel J. Borstin dalam The Image: A Guide to Pseudo-Events in America (1992) menjelaskan perbedaan antara traveler dengan para turis. Para traveler adalah mereka yang melakukan sesuatu perjalanan dan bersifat aktif. Borstin mengacu pada perjalanan yang hingga akhir abad ke-19 dikaitkan dengan ketidaknyamanan, sulit, dan mahal. Mereka yang melakukan perjalanan tidak jarang berhadapan dengan petualangan yang tidak mereka duga. Dalam hal ini, backpacker masuk dalam kategori traveler. Sedangkan turis adalah pencari kesenangan dan bersifat pasif. Alasannya adalah mereka dalam perjalanannya mengharapkan sesuatu yang menarik dan unik tetapi semuanya dibungkus dengan kenyamanan.
Kembali pada fenomena begpacker, apakah unsur petualangan yang dialami para backpacker dirasa kurang menantang sehingga mereka tanpa modal berupaya nekad melakukan perjalanan? Pengalaman psikologis apa yang dicari oleh para begpackers tersebut? Hal ini menarik untuk diteliti.
foto: http://blog.reservasi.com/fenomena-backpacker-asing-mengemis-di-negara-berkembang/