Beberapa waktu lalu harian Kompas membuat investigasi mengenai perjokian artikel ilmiah yang akan dimuat di jurnal ber-Scopus. Hal itu terkait dengan salah satu syarat untuk menjadi guru besar di negeri ini. Jurnal ber-Scopus memang sudah sejak beberapa tahun lalu menjadi semacam tujuan ‘mulia’ dan ‘segala-galanya’ untuk dapat menaikkan status. Tidak hanya itu, dimuatnya artikel ilmiah di jurnal ber-Scopus juga menjadi ‘tuntutan’ salah satu pra syarat dalam menyelesaikan jenjang pendidikan magister dan doktoral.
Demikian pula dengan berbagai ‘hibah’ baik dari pemerintah maupun universitas memiliki target luaran artikel yang dimuat di jurnal ber-Scopus Q1 hingga Q4. Bagi yang belum akrab dengan jenjang jurnal ber-Scopus, perlu diketahui bahwa semakin kecil angka yang menyertai Q, maka jurnal itu semakin bergengsi. Ada juga yang berkategori Q0. Untuk kategori yang terakhir biasanya berbentuk prosiding yang ber-Scopus. Hal menarik adalah proses penelitian tidak menjadi bahasan beberapa monitoring evaluasi, melainkan produk akhir (artikel di jurnal ber-Scopus).
Intinya, terserah mau dengan cara apa pun yang penting hasilnya artikel jurnal ber-Scopus (sesuai tagihan hibah).
Maka, lemahnya budaya riset yang dikaitkan dengan jalan pintas menjadi guru besar menurut opini salah seorang pengajar dalam artikel di salah satu surat kabar nasional dapat diperdebatkan. Budaya riset yang mana? Bukankah budaya riset melalui proses: persiapan, penelitian, baru setelah itu hasil/produk. Dalam proses penulisan artikel pun tidak serta-merta dimuat. Itu melalui proses review artikel yang panjang. Bolak-balik. Lepas dari satu reviewer, masuk ke reviewer lain. Namun, itulah proses dan dari proses kita belajar.
Jika tagihan hibah penelitian selama ini lebih mengedepankan produk tanpa menilai prosesnya, maka budaya riset yang melalui proses hanya tinggal nama. Selama ini proses yang merupakan hal penting dikalahkan dengan keinginan menghasilkan artikel yang dimuat di jurnal ber-Scopus sebanyak-banyaknya. Maka, tidak mengherankan jika bermunculan para makelar artikel dan jasa membantu menerbitkan artikel. Dengan target utama diterbitkan di jurnal ber-Scopus.
Proses menjadi guru besar sejatinya proses mematangkan profesionalisme secara alamiah, bukan mematangkan dengan karbit. Guru besar adalah profesor, seorang yang profesional di bidang yang ditekuninya. Seorang guru besar, tidak hanya diakui oleh rekan sejawat tetapi juga masyarakat. Ilmu yang ditekuninya pun bermanfaat. Berapa banyak guru besar di Indonesia yang kita kenal menghasilkan karya fenomenal dan diakui tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri? Saya pun bingung jika ditanya siapa guru besar di bidang ilmu yang saya tekuni. Guru besar yang benar-benar mumpuni keilmuannya, disegani, baik di dalam maupun di luar negeri karena karya-karyanya. Tidak hanya jago kandang. Pernah memang pada masanya, ada guru besar yang memenuhi kriteria itu. Namun, sekarang jangan-jangan jawabannya bisa: ‘Once upon the time’.
Seringkali yang terjadi setelah menjadi guru besar, bukan justru menjadi ‘besar’ dan matang ilmunya tetapi semakin surut dan nyaris tak terdengar dalam catatan sejarah. Lantaran tergiur dengan tunjangan yang besar, segala macam cara ditempuh dengan tujuan utama, yang penting menjadi guru besar. Selama sistem tidak diubah, maka hal itu akan terus terjadi. Kalau begitu lebih baik jadi ‘guru kecil’ dengan gaji besar.