‘Nil novi sub sole’, ‘Tak ada yang baru di bawah mata hari’. Demikian lah adagium tua yang kerap kita dengar apabila terkait dengan orisinalitas. Hal ini tampaknya berlaku hampir untuk semua hal. Tak terkecuali untuk satu sektor yang kerap tidak ditangani secara serius. Sektor yang dimaksud ini adalah sektor turisme.
Di Indonesia, sektor ini sebenarnya sudah ada sejak satu abad silam. Jika kita memasukkan dan menempatkan masa Hindia-Belanda sebagai bagian dari sejarah kegiatan turisme di Indonesia, sudah selayaknya sektor ini digarap dengan serius. Sektor yang menurut perkiraan Kementerian Pariwisata Indonesia pada 2015 menyumbang devisa sebesar Rp.163 triliun (Kompas 31/12/2015).
Pada 1908 pemerintah Hindia-Belanda meresmikan sebuah perhimpunan turisme yang dikenal dengan nama Vereeniging Toeristenverkeer (VTV) di Batavia. Perhimpunan ini beranggotakan para pengusaha pelayaran, kereta api, perhotelan, perbankan, asuransi serta pemerintah (baik pusat maupun daerah). Tujuan dari perhimpunan ini adalah untuk mengembangkan dan mempromosikan turisme di Jawa serta pulau-pulau lain di Hindia-Belanda (Sunjayadi 2007).
Mungkin di antara kita ada yang bertanya apakah pada masa itu sudah ada turis? Jawaban tersebut dapat kita peroleh dari jaarverslag (laporan tahunan) VTV setiap tahun (sejak 1909) serta berita surat kabar sezaman yang membuktikan bahwa turis pada masa itu sudah ada. Pertanyaan berikutnya adalah dari mana para turis tersebut berasal. Kembali Jaarverslag VTV dan berita surat kabar membeberkan informasi tersebut. Para turis yang datang berasal dari Amerika Serikat, Inggris Raya, Jerman, Jepang, Prancis, dan Belanda.
Minat para turis mengunjungi Hindia-Belanda pada masa itu tak lepas dari upaya promosi yang secara gencar dilakukan oleh VTV. Berbagai sarana sebagai media promosi dikerahkan. Media yang digunakan antara lain penerbitan buku-buku panduan berbahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan Belanda. Buku panduan tersebut disebarkan di seluruh dunia. VTV juga membuat poster, brosur dan menyebarkannya bekerjasama dengan para konsulat di luar negeri. Secara khusus VTV menyeleksi sekitar 12.000 lembar foto untuk ilustrasi buku panduan dan iklan. Selain itu mereka juga memasang iklan di majalah dan surat kabar. Secara rutin VTV mengikuti pameran internasional yang diselenggarakan di mancanegara. Pada perkembangan berikutnya pada tahun 1920-an VTV mendukung pembuatan film dokumenter untuk promosi yang disponsori oleh perusahaan pelayaran.
Pada awalnya objek yang dipromosikan adalah pulau Jawa, Sumatra. Lalu pada akhir tahun 1920-an promosi mulai bergeser ke pulau Bali setelah melihat Jawa sudah ‘tidak murni’ lagi. Sebenarnya pada 1924 kawasan di bagian timur Hindia-Belanda sudah mulai dilirik. Hal tersebut ditandai dengan kunjungan kapal ten noort di kepulauan Maluku. Demikian pula dengan pulau Komodo. Sebuah buku panduan terbitan tahun 1925 berjudul Toeristenreis Naar de Molukken per KPM menjadi salah satu bukti keseriusan pemerintah. Buku panduan yang disponsori oleh perusahaan pelayaran KPM jelas memperlihatkan kepentingan KPM yang bertujuan supaya banyak yang menggunakan jasa mereka.
Perhatian ke wilayah timur Hindia, sebenarnya sudah ada sejak tahun-tahun sebelumnya. Sebuah buku panduan Bali en Lombok. Reisgids voor toeristen karya A.H.Pareau terbitan tahun 1913 menjadi salah satu buktinya. Buku yang disusun lantaran ketidakpuasan terhadap minimnya informasi mengenai Bali dalam buku panduan yang diterbitkan akhir abad ke-19.
Promosi mengenai bagian timur kepulauan Hindia juga digelar dalam kegiatan internasional. Dalam Pasific Science Congres IV yang diselenggarakan di Batavia dan Bandung pada 12-20 Mei 1929 digelar pameran kerajinan dari seluruh penduduk di Hindia-Belanda atas inisiatif Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di aula museum. Hal menarik adalah sampul booklet acara tersebut bergambar seorang pria mengenakan pakaian dari Papua. Terlepas dari tujuan memperlihatkan unsur keeksotisan dari negeri koloni, hal tersebut menunjukkan salah satu upaya pemerintah kolonial mempromosikan salah satu wilayah timur kepulauan Hindia.
Memang, unsur keamanan dan fasilitas menjadi kendala bagi kegiatan turisme di wilayah timur Hindia. Misalnya pihak asuransi tidak menanggung jika ada turis yang berkeinginan mengunjungi wilayah timur dan belum tersedianya sarana akomodasi serta infra struktur. Namun, setidaknya sudah ada jejak dan akar upaya pemerintah Hindia-Belanda terkait promosi turisme di wilayah tersebut.
Dalam perjalanannya kegiatan turisme di Hindia-Belanda tidak luput dari kritikan. Namun, hal tersebut dijadikan bagian dari evaluasi. Hal tersebut dapat dijadikan pelajaran untuk lebih baik. Hanya saja situasi di Eropa awal tahun 1940-an dan kedatangan Jepang pada 1942 ke Hindia-Belanda meluluh-lantakkan kegiatan turisme yang mulai dibangun sejak 1908. Situasi kegiatan turisme pada periode tersebut dapat dikatakan tidak menentu.
Oleh karena itu upaya pemerintah Indonesia mempromosikan dan mengangkat turisme di wilayah timur Indonesia patut dihargai dan didukung. Kata kunci yang perlu tetap dipegang adalah serius serta konsisten. Serius dalam menangani sektor ini dan konsisten menjalaninya. Dengan kata lain, siapa pun pemimpin negara ini, sektor ini harus tetap diperhatikan. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menjaga supaya semangat serta apa yang sudah dibuat tidak menjadi sia-sia. Hal lain yang tidak kalah pentingnya, tidak hanya menjadikan penduduk di wilayah tersebut sebagai objek tetapi juga subjek yang terlibat dan bertanggung jawab dalam kegiatan turisme.
sumber foto:
– koleksi KITLV no. 17109
– www.komodo.travel
thank’s a lot…
Terima kasih banyak atas informasinya, Pak. Saya izin bertanya, bagaimana cara mengakses Jaaverslag/laporan tahunan dari VTV di ANRI yaa, Pak? Terima kasih.