Sebuah undangan simposium saya terima. Acaranya tanggal 28 Januari 2017 di Balairung Susilo Sudarman, Gedung Sapta Pesona, Kemenpar RI. Awalnya ada beberapa hal yang membuat saya enggan untuk menghadirinya. Pertama, acara itu berlangsung pada hari Sabtu kedua bertepatan dengan hari libur Imlek, dan ketiga guyuran hujan dari pagi hingga sore membuat saya enggan untuk keluar rumah. Namun, judul simposium itu membuat saya penasaran dan bersemangat untuk menghadirinya. Apalagi saya sempat berfikir tema tersebut berhubungan dengan penelitian disertasi saya.
Acara tersebut adalah Simposium Seabad Pariwisata Budaya di Bali yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Indonesia (LKI) FIB Universitas Indonesia dan Deputi Bidang Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan Kemenpar RI. Satu kata dalam rangkaian acara tersebut yang membuat saya bersemangat yaitu kata ‘Seabad’. Sebagai seorang yang berkecimpung dalam ilmu kesejarahan, kata seabad merupakan kata kunci. Seabad mengacu pada temporal dari suatu peristiwa yang diharapkan mampu menjelaskan suatu hal dan kita upayakan untuk memberikan makna.
Dilingkupi dengan berbagai pertanyaan – seperti yang dipesankan oleh Prof. Peter Carey dalam setiap diskusi yang kami lakukan untuk selalu bertanya (keep asking) dalam suatu penelitian sejarah – saya berangkat menghadiri acara tersebut. Di perjalanan saya teringat pertanyaan Prof. Susanto Zuhdi di kampus FIB. Pertanyaan beliau adalah kapan pariwisata di Bali dimulai. Saya memberikan beberapa jawaban berdasarkan argumen yang saya ketahui. Beliau menganjurkan untuk menggunakan metodologi yang tepat.
Dengan berbekal pertanyaan, saya mengikuti acara simposium. Acara diawali oleh Ketua LKI Lily Tjahjaandar, Ph.D. Dalam sambutannya disebutkan awal kegiatan pariwisata di Bali dengan mengacu pada didirikannya VTV (Vereeniging Toeristenverkeer), perhimpunan pariwisata pada 1908. Meskipun pada awalnya gerak perhimpunan tersebut terbatas di Jawa, pada 1914 mulai diarahkan ke Bali. Sepertinya beliau mengacu pada karya Adrian Vickers, Bali A Paradise Created (1989) dan Michel Picard, Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (2006). Kedua karya ini saya kutip juga dalam penelitian untuk tesis master saya.
Vickers (1989) mengacu pada brosur untuk para turis yang diterbitkan oleh KPM (Koninklijke Pakketvaart Maatschappij), perusahan pelayaran kerajaan Belanda pada 1914. Brosur tersebut menggambarkan citra Bali.
Bali
You leave this
island with a
sight of regret
and as long
as you live
you can never
forget this
Garden of Eden
Brosur yang dikeluarkan oleh KPM tersebut dapat saja dianggap sebagai awal pariwisata di Bali karena brosur tersebut merupakan salah satu media promosi. Tujuannya tentu untuk menarik minat turis mengunjungi Bali dengan mengunakan kapal milik KPM. Namun, di sini belum ada kegiatan pariwisata karena belum ada turis atau wisatawan yang datang ke Bali.
Bila menilik ke belakang, pada 1896 KPM menerbitkan buku panduan yang mirip dengan buku panduan karya Murray dan Baedeker yaitu Reisgids voor Nederlandsch-Indië karya Johan Frans van Bemmelen (1859-1956) dan G.B.Hooyer (1848-1934). Buku tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh pendeta B.J.Berrington pada 1897 dengan judul Guide to the Dutch East Indies (London: Luzac & Co). Dalam buku ini, Bali masih belum ditawarkan untuk dikunjungi. Uraian mengenai Bali hanya terdapat dalam kata penutup yang menyebutkan bahwa Bali merupakan tempat untuk melihat pura dan mempelajari lembaga-lembaga masyarakat.
Di sini ada rentang waktu antara 1896-1914. Apakah dalam rentang waktu ini Bali sudah kedatangan turis sehingga di sana ada kegiatan pariwisata? Hal ini tentu perlu diteliti lebih lanjut.
Pada 1871 menurut Adrian Vickers dalam Bali Tempo Doeloe (2012) ada seorang santri dari Yogyakarta yaitu Raden Sasrawijaya yang mengunjungi Bali. Dia lalu menuangkan pengalaman perjalanannya dalam buku Serat Poerwotjarito Bali (Batavia: Landsdrukkerij, 1875). Perjalanan yang dilakukan oleh Raden Sasrawijaya dapat saja dikategorikan kegiatan pariwisata. Namun, pariwisata yang dimaksud adalah pariwisata pra modern karena keterbatasan fasilitas serta tidak terpenuhinya syarat kenyamanan.
Mulai ditawarkannya Bali sebagai salah satu wilayah yang layak dikunjungi oleh para turis semakin tampak dengan terbitnya Illustrated tourist guide to East Java, Bali and Lombok (1914) yang diterbitkan oleh VTV. Berarti selain brosur yang dikeluarkan oleh KPM pada 1914, buku panduan terbitan VTV juga mempromosikan Bali. Lagi-lagi di sini perlu diperhatikan apakah pada tahun 1914 memang sudah ada turis? Satu hal penting adalah tahun 1914, setelah Bali ditaklukkan dan dianggap cukup aman, pemerintah Hindia-Belanda menarik pasukannya di sana dan menggantikan peran tentara dengan kepolisian.
Hal lain yang menarik dari tema simposium adalah ungkapan ‘pariwisata budaya’. Istilah ini sepertinya mengacu pada karya Michel Picard (2006). ‘Budaya’ menjadi kata kunci sehingga pariwisata budaya maksudnya adalah pariwisata yang menitikberatkan pada budaya. Di sini, kebudayaan Bali sebagai daya tarik utama pulau di mata wisatawan. Berarti yang perlu kita telusuri adalah kapan tepatnya kebudayaan Bali sebagai atraksi dan menjadi daya tarik wisata dimulai.
Sebuah catatan perjalanan dimuat di surat kabar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indië edisi 3 Juli 1919. Salah satunya mengulas pengalaman penulisnya ketika mengunjungi Bali. Sang penulis menyebutkan beberapa hal yang dia lihat, antara lain pemandangan alam, terutama sawah yang berteras-teras. Bentuk sawah berteras-teras merupakan hasil olah pikir manusia sehingga dapat dimasukkan dalam budaya.
Kita perlu memperhatikan fakta-fakta berikut. Pada 1924 KPM mulai melayani secara teratur jalur ke Bali dari Batavia, Surabaya, dan Makassar melalui pelabuhan Buleleng (Singaraja). Tak lama, agen KPM di Buleleng diangkat menjadi perwakilan VTV di Bali (Picard, 1990). Lalu, pada 1925 pembangunan Bali Hotel oleh KPM yang dibuka pada 1928. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa periode tahun 1920-an merupakan periode datangnya para turis ke Bali.
Bila kita melihat kajian Aline Demay (2014) tentang awal pariwisata di Indo China, Demay mengacu pada dekrit 16 April 1898 ketika Paul Doumer, Gubernur Jenderal Indo China (1897-1902) membuka kredit 30.000 piaster untuk membangun jalan dari Dalat ke Pantai Annamite yang diikuti pembangunan daerah peristirahatan di pegunungan. Pembangunan infrastruktur tampaknya menjadi acuan Demay untuk menentukan awal pariwisata di Indo China. Apakah hal ini dapat kita terapkan di Bali? Tampaknya pencarian belum berakhir.