Menelusuri Jalan Daendels di Jawa

Judul   :  Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis  :  Pramoedya Ananta Toer
Penerbit :  Lentera Dipantara, Jakarta, 2005
Tebal  :  148 halaman

Setiap tahun, menjelang dan setelah lebaran kita selalu disibukkan dengan ramainya jalur mudik. Media cetak dan elektronik pun terus melaporkan situasi yang dikenal, misalnya dengan istilah H-7 atau H+7. Bukan sesuatu yang mengherankan bila arus mudik dan arus balik itu dimeriahi dengan kemacetan baik di Jalur Utara maupun Selatan.
 Tapi tahukah para pemudik tersebut cerita atau mungkin asal-usul jalur jalan yang mereka lalui setiap tahun tersebut. Jalur jalan yang tidak hanya dibangun dengan tetesan keringat, tetapi juga tetesan air mata dan darah para pekerja paksa?  Buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karya Pramoedya Ananta Toer ini memberikan jawabannya serta menguak sisi kelam pembangunan jalan itu.
 Adalah Herman Willem Daendels (1762-1818), Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada waktu itu, yang memerintahkan pembangunan – ada pula yang berupa pelebaran – de Grote Postweg (Jalan Raya Pos) atau Jalan Daendels. Jalan yang membentang 1000 kilometer, sepanjang utara Pulau Jawa. Dari Anyer hingga Panarukan.
 Kualitas jalan ini pada masanya dapat disejajarkan dengan jalan yang membentang dari Amsterdam ke Paris. Namun, dibalik ambisi Daendels yang oleh penduduk Jawa Barat dikenal dengan Mas Galak ini mengisahkan tragedi kemanusiaan.
Adapun disebut Jalan Raya Pos karena jalur itu sebenarnya adalah jalur pos dan penumpang. Pada 1810 dua ratus ekor kuda dibeli dan secara khusus digunakan untuk mengangkut kiriman pos dan penumpang.
Daendels diangkat menjadi gubernur jenderal pada 1807 oleh Louis Bonaparte, raja Belanda yang merupakan sepupu Napoleon Bonaparte. Sejak 1795, Belanda berada di bawah kekuasaan Prancis hingga 1800-an. Pengangkatan Daendels yang mantan komandan Légion Etrangère (Legiun Asing) Prancis pun dianggap tidak lazim karena ia tidak pernah mengenal atau memiliki pengalaman di Hindia. Lagipula biasanya pejabat-pejabat di Batavia sajalah yang akan diangkat menjadi gubernur jenderal. 
Ide Daendels akan pertahanan bagi pulau Jawa dari serangan Inggris membuatnya berpikir untuk membangun jalan sehingga dapat mengirim pasukan dari Batavia ke Surabaya dengan cepat. Daendels tahu bila ia membicarakan ‘pembangunan’ jalan baru dengan para pembesar di Belanda yang selalu ‘hemat’, mereka akan merasa alergi. Maka, ia hanya menulis surat tentang perbaikan sistem jalan di Jawa bukan pembangunan. Akibatnya ia memerintahkan para penguasa pribumi lokal yang dilewati proyek jalan itu untuk memobilisasi rakyatnya. Tiap penguasa lokal diberi target sekian kilometer. Bila gagal, ia akan dibunuh termasuk para pekerjanya. Kepala mereka digantung di pepohonan di sepanjang jalan. Dalam setahun dengan kebijakan tangan besinya, jalan itu selesai. Satu rekor pada waktu itu. Di balik kesuksesan itu, korban-korban sebagai tumbal berjatuhan. Para pekerja paksa itu tewas lantaran kelelahan dan serangan nyamuk malaria yang ganas. Sumber Inggris menyebutkan korban tewas akibat pembangunan Jalan Raya Pos sebanyak 12.000 orang. Ini yang resmi tercatat karena diyakini jumlah korban lebih dari angka tersebut.
Sementara itu kekejaman dan kekurangajaran Daendels sendiri ditampilkan dalam cerita rakyat dan hikayat. Seperti Hikayat Mareskalek karya penulis dari Arab, Syekh Abdullah bin Muhammad Abu Bakar pada 1813-1815. Daendels ditampilkan sebagai orang yang licik, memiliki pengetahuan, gagah berani, sekaligus otoriter dan sangat kurang ajar. Dalam hikayat itu dituliskan ia melontarkan kata-kata yang sangat kasar kepada seorang pangeran Cirebon yang berusaha menentangnya: “lu ini terlalu bodoh, gua mau ajar sama lu…Lu orang Cirebon makan udang trasi, mengapa mengajar gua orang yang makan daging dan minyak sapi?”
Ada 39 kota yang dilewati Jalan Daendels diceritakan Pramoedya satu persatu, baik kota besar maupun kota kecil seperti Juwana, Porong, dan Bangil. Berawal dari Anyer, Cilegon, Serang, Tangerang, Batavia, Depok, Bogor, Cianjur, Cimahi, Bandung, Sumedang, Cirebon, Brebes, Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Rembang, Tuban, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo dan berakhir di Panarukan.
Pram juga menyisipkan kisah-kisah menarik di beberapa kota yang diceritakan.
Cerita tentang Tangerang, produsen kecap sejak jaman kompeni hingga sekarang. Kecap yang dikenal dengan nama kecap Benteng itu selalu dipromosikan sebagai kecap kelas satu. Kenomorsatuannya membuat Bung Karno menciptakan ungkapan ngecap yang berarti mempromosikan diri sebagai yang nomor wahid. Kemudian pabrik topi anyaman bambu di Tangerang yang pada 1887 telah mengekspor 145 juta topi ke Prancis (hal.41).
Kisah lucu ketika ia masih berdinas di ketentaraan di daerah Cirebon diceritakan Pram. Setelah kekenyangan disuguhi singkong rebus, Pram kebelet ingin buang air besar. Dalam kegelapan malam ia menuju sebuah kamar gelap yang ditunjukkan piket. Tak sengaja ia buang hajat di sebuah tungku berisi singkong untuk ransum para laskar yang dikiranya kakus. Kontan, Pram dan kopralnya kabur karena takut dianggap provokator (hal.79). Atau kisah tentang perkenalannya dengan istilah garong di Padalarang tahun 1945. Para garong merupakan kelompok-kelompok bersenjata yang tak tergabung dalam laskar atau tentara  merajalela, merampok di sekitar Padalarang. Ternyata garong menurut salah seorang prajurit merupakan akronim dari gabungan romusha ngamuk (hal.64). 
Kisah ‘misteri’ 10 November 1945 di Surabaya yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai Hari Pahlawan juga disentilnya. Pram mempertanyakan bagaimana bisa secara massal pemuda Surabaya serentak menghadang Inggris? Beberapa bulan menjelang ulang tahun proklamasi RI ke-50, muncul jawaban yang masih desas-desus. Dikatakan bahwa seorang perwira Angkatan Laut Jepang, Iwabata telah menyerahkan 60.000 pucuk senjata dan amunisi kepada para pemuda Surabaya (hal.115). Lalu Pram mengisahkan sebuah berita surat kabar tentang tindakan kanibal di Bangil yang dibacanya ketika masih SD. Berita seorang anak penjaja  panganan sarapan yang di suatu pagi dipanggil masuk ke sebuah perguruan keagamaan. Di situ ia dibantai, dimasak, dan dimakan beramai-ramai oleh guru dan murid-muridnya (hal.119)
Hanya saja buku ini tidak dilengkapi peta rute Jalan Pos dan indeks sehingga para pembaca tidak dapat mengikuti dengan mudah dan memilih obyek yang disukainya. Buku ini hanya menyajikan peta kuno dari Rijksmuseum Amsterdam yang tak begitu jelas dan huruf yang tak terlihat (hal.129). Sebaiknya untuk lebih menikmati buku ini, kita dapat menggunakan peta jalur mudik gratis yang tersedia. Di samping itu ada sedikit kekurangan dalam ejaan kata Indie (Gouverneur Generaal van Indie ) yang seharusnya dibubuhkan umlaut (tanda baca berupa dua titik di atas huruf vokal / ë / menjadi Indië (hal.15 dan 16). Selebihnya buku yang dilengkapi dengan tulisan Koesalah Soebagyo Toer ‘Dan Siapa Daendels’  dan daftar pustaka ini cukup informatif dan menghibur sambil ‘menikmati’ kemacetan di jalur mudik Pantai Utara Jawa. Buku ini memberikan pelajaran satir bahwa bangsa kita kaya tapi lemah, bangsa yang kawasannya luas tapi selalu kalah sehingga menjadi bangsa bermental suka diperintah bangsa lain dan lembek. Selain itu ditunjukkan pula bahwa untuk kemuliaan seorang penguasa (bukan pemimpin) tak jarang menuntut pengorbanan rakyat. Oleh karena itu seharusnya para penguasa jangan melupakan rakyat yang telah berkorban bagi mereka!

7 thoughts on “Menelusuri Jalan Daendels di Jawa”

  1. Saya tertarik tema sejarah, khususnya yang berkaitan dengan kolonisasi, transmigrasi, romusha, koeli kontrak, ataupun repatrian Suriname. Kebetulan saya sebagai salah satu pengurus PATRI (Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia).

    PATRI didirikan di Jakarta, 16 Februari 2007. Saat ini telah terbentuk di 17 provinsi (luar Jawa). Jumlah anggota saat ini 29 juta jiwa. Dalam rangka RAKERNAS di Kalimantan Barat, kami sedang mengumpulkan berbagai informasi tentang para nenek moyang kami, transmigran masa dulu.

    Saya tinggal di Cipayung Jaya, Kota Depok. Kalau ada kesempatan, saya ingin bisa diskusi dengan Pak atau Mas Achmad Sunjayadi.

    Demikian, terimakasih.

  2. hallo Pak Achmad nama saya Dimas Herlambang, sama seperti Anda, saya adalah maniak sejarah…yah boleh dikatakan seperti itu. Oleh karena itu saya bermaksud memohon bantuan kepada Bapak agar dapat memberikan informasi tentang repatrian Suriname, karena saya merupakan seorang anak dari repatrian asal Suriname..mohon bantuannya ya Pak. Terima kasih

  3. Dalam rangka menjalin silaturahim dengan Pengurus PATRI di Sumatera Barat, tanggal 8-10 September saya sempat berkunjung ke Jorong (Desa) Tongar, Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat. Ditemani oleh Ketua DPD PATRI Sumbar, saya bertemu langsung dengan teman-teman dan anak keturunan eks Repatrian Suriname yang ditempatkan tanggal 15 Februari 1953. Diantara yang hadir, beberapa sudah usia 70 – 80an tahun. Saya berdiskusi dengan Pak (Mbah) Legiman, yang saat berangkat dari Paramaribo dulu berusia 26 tahun (sekarang sudah 80an tahun).

    Walaupun usianya sudah tua, tetapi daya ingat dan fisiknya masih sehat. Secara rinci beliau menceritakan perjalanan panjang KM Langkoeas yang mengangkut lebih 1000 repatrian melalui Yayasan Ke Tanah Air yang dipimpin Bapak Salikin Mardi Harjo. Malamnya, saya sempat juga menghadiri latihan karawitan dirumah eks Kepala Jorong (Lurah) pertama di Dusun Lima. Ternyata, dari anak keturunan eks repatrian dan transmigran (yang datang kemudian tahun 1954 dan 1968) telah mampu merintis pemekaran kabupaten baru (Pasaman Barat). Wakil Bupatinya (Risnawanto, SE) juga seorang anak transmigran. Kunjungan saya ini juga sebagai “janji” saya kepada teman di Paramaribo yang meminta saya datang ke Tongar, pada saat tanggal 4-8 Desember 2004 saya datang ke Suriname, bertemu dengan Saudara-saudara pengurus SIFA (Suriname – Indonesia Friendship Association).

    Dengan demikian, saya telah mencatat ada minimal 8 orang anak keturunan transmigran (anggota PATRI) yang telah menjadi Walikota, Bupati, wakil Bupati. Terakhir adalah Mas Sukardhi, anggota PATRI dari eks kolonisasi Tamban, Barito Kuala (tahun penempatan 1942) yang terpilih menjadi wakil bupati Barito Kuala (hasil Pilkadasung tanggal 6 September 2007).

    Kami sangat senang jika kita dapat saling merekam dan mengkaji peristiwa sejarah, dan sekaligus bertukar informasi sebagai upaya penyadaran mengidupkan kembali rasa kebanggaan kebangsaan yang kini mulai pudar.

    Salam PATRI,
    Hasprabu

  4. Hi Mas Achmad… saya kepingin sekali baca sejarah repatrian Suriname. Saya anak repatrian suriname yg tinggal di Duri – Riau, Sedangkan ortu masih tinggal di Tongar – Pasaman Barat sejak datang ke Indonesia dari Suriname thn 1954. Ditunggu mas ya….
    Salam dari Ahmad “Mamun” Paimun, Duri-Riau

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *