Mengenang dan Membayangkan Jakarta Tahun 50-an

Jakarta adalah kota yang penuh kisah. Banyak orang yang memiliki dan menyimpan berbagai kenangan serta cerita. Almarhum ayah saya kerap menceritakan pengalamannya sewaktu anak-anak di Jakarta. Misalnya berkelahi satu lawan satu di Taman Suropati setiap pulang sekolah, Menteng atau cerita transportasi trem di Jakarta yang kini tak ada bekasnya.

Sayangnya, kisah dan pengalaman ayah saya itu tak dicatat bahkan sampai dibukukan. Jadi, ketika beliau tak ada, maka lenyaplah pula kenangan dan cerita tersebut.
Beruntung, Firman Lubis, yang jika dilihat dari usianya termasuk ABG (Angkatan Babe Gue), menyempatkan diri menuliskan kenangannya.

Maka beruntunglah generasi seusia saya atau bahkan jauh di bawah saya, dengan membaca buku ini dapat mengetahui dan membayangkan gambaran masa lalu Jakarta, khususnya Jakarta tahun 50-an. Tahun 50-an merupakan masa peralihan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda ke pemerintah Indonesia yang ketika itu masih balita. Tentu banyak cerita menarik seputar tahun 50-an yang tak kalah dengan gegap gempitanya masa revolusi. Oleh karena itu kita berharap banyak munculnya cerita unik dan menarik dalam buku ini. Apalagi jika melalui kaca mata seorang remaja yang penuh gejolak dan semangat petualangan.

Berbagai cerita disajikan dalam buku ini. Misalnya cerita “becak komplit”, transportasi umum murah untuk rakyat yang juga berfungsi sebagai tempat bermesraan (hlm.127), bermain layang-layang di atas atap rumah tanpa khawatir terkena setrum listrik (hlm.243), mode celana pendek ketat yang ujungnya hanya sedikit di bawah pangkal paha (hlm.251), razia celana ketat dan blue jeans yang ketika itu disebut celana jengki (dari kata yankee) oleh polisi dan tentara. Cara menentukan celana itu sempit atau tidak adalah dengan menggunakan botol. Celana dianggap ketat jika botol tidak dapat yang dimasukkan ke dalam kaki celana. Jika dianggap ketat maka celana akan digunting. Sedangkan celana blue jeans tanpa ampun langsung digunting (hlm.252).

Lalu cerita tentang gaya rambut ala Tony Curtis, gaya rambut tanpa belahan dengan jambul tinggi di tengah yang ditarik ke depan. Bagian kiri dan kanan rambut disisir ke belakang. Supaya tatanan rambut tidak cepat rusak karena angin dan tahan lama maka harus digunakan minyak rambut. Minyak rambut yang dipakai berbahan dasar vaseline pekat diberi minyak wangi menyengat. Salah satu merek terkenal adalah Lavender yang bisa dibeli di kaki lima (hlm.253)

Kenangan yang tak kalah menariknya adalah cerita tentang buku dan majalah porno yang ternyata sudah beredar pada masa itu. Menurut Lubis, buku-buku berbau porno itu berukuran saku dan kualitas cetakannya kurang bagus. Harganya pun lumayan mahal untuk kantong remaja. Biasanya buku porno itu tidak selalu berisi gambar yang merangsang tetapi dalam bentuk cerita. Misalnya buku serial Serikat 128 yang menceritakan sebuah organisasi rahasia yang membongkar dan melawan kejahatan. Cerita kriminal itu sering diselingi dengan cerita adegan porno yang merangsang birahi remaja (hlm.274)

Pengalaman kuliner pun tak luput dari pengamatan Firman. Ia menceritakan jajanan masa itu seperti nasi uduk, kue ketan yang hingga kini masih ada tetapi mungkin sudah jarang (hlm.202)

Begitupula dengan kisah si Ja’im, tukang catut (calo) karcis bioskop Metropole atau Menteng. Anak kampung Pedurenan ini marah jika dipanggil si Ja’im. Pria besar yang juga jagoan ini hanya mau dipanggil Eddy (hlm.262)

Ibu saya yang bersekolah di SD Perguruan Cikini pernah menceritakan suatu peristiwa tragis yaitu penyerangan dengan granat terhadap Presiden Soekarno. Para korban berjatuhan, terutama anak-anak. Peristiwa itu juga nyaris merenggut nyawa ibu jika ia tidak berpindah tempat. Banyak teman-temannya yang tewas. Peristiwa tragis ini juga diceritakan oleh Firman yang ketika itu berada di sana (hlm. 196)

Namun, cerita-cerita menarik itu tidak langsung dapat kita baca. Pada bab-bab awal kita disuguhi dengan biografi penulisnya serta cerita-cerita yang mengacu pada peristiwa-peristiwa penting menjelang 1950-an seperti pendudukan Jepang, Proklamasi Kemerdekaan serta perang revolusi. Firman Lubis menjelaskan alasan ia menceritakan peristiwa-peristiwa penting yang tentunya ditujukan bagi orang awam bukan sejarawan di bagian penutup. Bagi yang ingin langsung mengetahui cerita-cerita unik khas remaja tahun 1950-an tentu cerita peristiwa-peristiwa penting itu agak membosankan.

Ditulisnya kenangan tahun 1950-an pada masa yang berbeda (tahun 2000-an) tentu memiliki konsekuensi. Seperti yang terjadi pada buku ini. Pandangan penulis pada masa kini yang telah memiliki pengalaman tentu berbeda jika kenangan itu dituliskan, misalnya pada 1960-an. Pandangan polos remaja tentu berbeda dengan pandangan arif dewasa yang telah banyak makan asam garam. Misalnya kritik penulis terhadap dunia pendidikan (hlm.228-229), lingkungan (Bab VI), status sosial (hlm.113).

Firman Lubis, si anak Menteng bukanlah seorang sejarawan. Ia adalah seorang guru besar FKUI bidang kedokteran komunitas dan pencegahan yang memiliki hobi pada sejarah. Hal itu terlihat dalam bacaannya yang luas tentang sejarah yang ia jadikan referensi untuk beberapa peristiwa penting. Sehingga bagi mereka yang ingin lebih mendalami peristiwa atau pokok masalah tertentu dapat membaca buku-buku yang disarankan olehnya.

Buku yang dilengkapi dengan ilustrasi foto – meski cukup membingungkan mana yang koleksi pribadi dan mana yang bukan – serta tanpa disertai indeks cukup menarik untuk dibaca. Setidaknya bagi mereka yang seusia dengan Firman Lubis dapat mengenang masa itu sedangkan bagi generasi sesudahnya dapat mengetahui dan membayangkannya.

Bagi sejarawan, buku ini juga layak dijadikan “sumber” data sejarah sosial Jakarta masa 50-an. Namun tentu harus didukung dengan data lain serta penelitian lebih lanjut. Mengingat kalimat-kalimat meragukan yang digunakan penulisnya seperti “kalau tidak salah…”, “seingat saya…”, “dari yang pernah saya dengar…”.

Satu hal yang bisa dijadikan pelajaran dari buku ini adalah setiap orang dapat menuliskan sejarahnya (baca: kenangannya) yang mungkin saja kelak dapat berguna untuk orang lain. Tidak perlu menunggu masa depan seperti yang khayalan Firman Lubis jika dapat hidup kembali ke masa 1950-an hal pertama yang ia lakukan adalah memotret berbagai keadaan dan kehidupan di Jakarta pada masa itu.

2 thoughts on “Mengenang dan Membayangkan Jakarta Tahun 50-an”

  1. teman saya ada yang ber”cita-cita” hidup di tahun 50-60an
    sepertinya tahun2 segitu masih sejuk bgt yah *ngebandingin sama jakarta sekarang, sigh..*

  2. assalamu’alaikum

    kmrn saya liihat buku Jakarta tahun 50-an di MP Book Point. Tapi karena fontnya kecil2 dan terlalu rapat jaraknya antar baris, mana tebel lagi bukunya jadi malas belinya…btw makasih reviewnya ya 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *