Menulis, melawan lupa

Menulis adalah kegiatan manusia sejak mereka pertama kali menemukan tulisan. Sebuah cerita dari 23 abad yang lalu. Di samping tembok Athena, di bawah rindangnya pohon di tepi sungai, Socrates bercerita pada seorang anak muda, Phaedrus. Alkisah, Dewa Thoth dari Mesir mengunjungi Raja Mesir. Thoth menawarkan Raja Mesir beberapa penemuan untuk diberikan pada rakyat Mesir. Temuan itu adalah angka, dadu, geometri, astronomi, dan tulisan.

Sang Raja dan Thoth menimbang keuntungan dan kerugian temuan-temuan tersebut , demikian tulis Alberto Manguel dalam A History of Reading (1996 ). Pada saat sampai pada penemuan yang berupa tulisan, Thoth berkata, ‘Ini adalah cabang pengetahuan yang akan meningkatkan daya ingat rakyatmu. Selain itu akan pula meningkatkan kebijaksanaan.’ Sayangnya, Sang Raja tak tertarik. Menurutnya jika rakyat belajar tulisan, itu akan menumbuhkan daya lupa pada jiwa mereka. Mereka akan berhenti belajar mengingat-ingat karena akan bergantung pada apa yang tertulis.

Socrates pun enggan mempercayakan buah pikirannya pada kulit sapi yang mati (sarana menulis pada saat itu), bukan pada manusia yang memiliki hati dan perasaan. Memang, Socrates hidup di masa tulisan belum berkembang. Di masa pengetahuan masih disimpan dalam ingatan dan kemampuan itu sangat dihargai. Penyampaian ingatan pun turun-menurun dilakukan secara lisan.

Alfabet Latin sendiri yang berjumlah 26 alfabet, sejak ditemukan oleh orang Phoenecia sekitar 1050 SM , memerlukan waktu ribuan tahun sebelum digunakan secara luas di seluruh dunia. Dari 10.000 bahasa di dunia, sebagian besar tak memiliki aksara sendiri dan kini menggunakan alfabet Latin, tulis Joel Swerelow dalam artikelnya The Power of Writing (1999). Ia menambahkan, selain merekam dan menyebarluaskan pengetahuan, manusia juga memanfaatkan temuan ini untuk meluapkan emosi. Seperti pendapat Aristoteles, tulisan adalah satu cara untuk mengekspresikan ‘kasih sayang jiwa’.

Taufik Abdullah dalam sebuah makalahnya “Dari Tradisi Lisan ke Leserevolution dan Kembali ?”- menyebutkan adanya orality atau lisan, bukan kata yang tertulis. Ingatan kolektif, pengetahuan, informasi ditransmisikan secara lisan baik antar generasi maupun antarsektor-sektor (Kompas 4 Mei 2001). Hingga bentuknya dapat bermacam-macam, seperti pantun, syair, seloka, cerita, dan lain-lain. Yang kemudian dibuat dalam bentuk tertulis.

Dalam masyarakat kita, di samping tradisi lisan, tradisi tulisan pun mulai kita kenal sebagai salah unsur budaya. Masuknya pengaruh asing ke Nusantara memberi andil yang cukup besar dalam perkembangan budaya tulis. Walaupun sebelumnya, bangsa kita telah mengenal tradisi ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya naskah karya sastra terpanjang di dunia, kitab La Galigo (Kern, 1939 :1). Panjang manuskrip naskah ini lebih dari 300.000 baris. Sementara Epos Mahabarata dan Ramayana hanya 160.000-200.000 baris (Koolhof, La Galigo, 1995 : 1). Karya terbesar di dunia itu, tidak hanya bernilai sastra melainkan juga mengandung nilai sejarah karena berisi silsilah raja-raja Luwu yang merupakan cikal bakal berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan.

Yang menjadi persoalan adalah adanya lompatan dari tahap-tahap yang seharusnya kita lakukan. Misalnya dalam masyarakat kita yang seharusnya melewati tahapan seperti mendengar (tradisi lisan), menulis dan membaca seolah tak melewati proses tersebut karena ada tahapan yang dilompati. Hal tersebut disebabkan perkembangan teknologi yang tidak diimbangi kedewasaan pikiran dalam menerima teknologi baru. Misalnya tradisi lisan/tutur yang pernah digantikan oleh radio, televisi sekarang digantikan oleh DVD, internet (multimedia). Demikian juga dengan tradisi tulis dan baca. Semuanya bergerak cepat mengikuti perkembangan zaman.

Menulis menandakan kita pernah ada. Menulis juga dapat mengobati keresahan jiwa. Selain itu menulis merupakan sarana mengekspresikan diri sehingga tak ada salahnya kita memulainya dari hal sederhana.

1 thought on “Menulis, melawan lupa”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *