Masih berpuasa di tengah pandemik. Di hari ke-6 bulan Ramadhan. Pagi cukup cerah. Matahari tidak bersinar malu-malu. Saya mengajak si sulung berjalan kaki. Berjemur dan mencari keringat. Masuk ke kampus, ke luar kampus, melewati kelurahan. Memang, sudah naluri kita melakukan pergerakan. Mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain.
Saya teringat ketika dalam proses menyelesaikan disertasi beberapa tahun silam, keinginan untuk melakukan perjalanan menjadi kebutuhan. Tidak perlu bepergian jauh, keliling kampung dengan bersepeda atau berjalan kaki sudah cukup. Jika beruntung dan cuaca cerah, pemandangan gunung dari kejauhan di jalan yang saya lalui sudah sangat menghibur. Secara psikologis hal itu sangat membantu. Menghilangkan kejenuhan, menghibur pikiran. Secuil hal baru yang berbeda dari rutinitas sangat menyegarkan pikiran.
Saya masih memikirkan tulisan dari Yuswohadi di blognya mengenai ‘The Future of Traveling’. Dia menulis: “Bahkan ketika ancaman virus terus mengintai, kita tetap akan berlibur tapi dalam situasi dan kondisi yang bisa dikontrol dan tak terpapar virus. Travellers kian sadar melakukan self social distancing.” Mungkin itu situasi ketika pandemi mulai mereda atau lenyap. Namun, pertanyaannya adalah dalam kondisi pembatasan seperti sekarang, apakah kita masih dapat bergerak. Saya mengira tidak akan jauh-jauh. Yah, cukup sekitar kampung atau kampung tetangga (jika tidak mau dicurigai dan diharuskan mengikuti prosedur, disemprot desinfektan).
Kondisi sekarang, jelas seperti kondisi pada masa lampau. Lampau sekali ketika manusia masih mengandalkan fisik alias kakinya untuk melakukan perjalanan. Sejauh dan sekuat kaki melangkah itulah tujuannya. Ketika perjalanan masih mahal dan hanya orang tertentu yang mampu melakukannya. Ketika wabah penyakit menjadi ancaman suatu wilayah. Ketika belum dikenal istilah mass tourism. Ketika orang melakukan perjalanan lebih karena faktor petualangan, mencari pengalaman hingga aktualisasi diri.
Terkait dengan kondisi pasca pandemik, Yuswohadi melanjutkan: “Karena itu staycation dan wellness tour akan menjadi pilihan. Travelling kian menjadi aktivitas individual bukan lagi grup. Niche tourism lebih berkembang daripada mass tourism. Dan virtual tourism dengan teknologi VR (virtual reality) akan berkembang pesat.” Pun saya teringat pengalaman beberapa tahun terakhir. Perjalanan jauh yang kami lakukan sekeluarga adalah Bandung. Lalu kami lebih banyak staycation. Itu juga bukan karena berniat liburan, melainkan istri saya ada kegiatan yang harus dilakukan di luar kota tempat kami tinggal. Anak-anak senang, saya juga dapat sambil menyelesaikan pekerjaan. Staycation pada saat akhir pekan terakhir kami pada bulan Februari lalu di pusat kota. Ketika itu kami memilih di dekat Museum Nasional, Jakarta karena si sulung ada kegiatan di sana sejak hari Jumat.
Pendapat Yuswohadi sejalan dengan pendapat saya ketika pandemi mulai merebak. Saya berkomentar santai pada istri saya bahwa Mass tourism akan berkurang, bahkan dapat saja menghilang, digantikan dengan individual tourism dan turisme sesuai minat. Bahkan, seperti yang saya bahas dalam disertasi mengenai turisme pada masa kolonial (saya mengakhiri periode tahun 1942) bahwa ketika itu turisme sempat berhenti tetapi bukan berarti tidak ada. Kegiatan turisme masih ada tetapi dengan pelaku dan suasana yang berbeda.
Kembali pada perjalanan di masa mendatang setelah pandemi. Orang bepergian tidak lagi menuju tempat yang jauh. Tempat yang dekat jika memenuhi syarat sudah cukup. Saya juga sempat berseloroh kepada istri saya bahwa pemanfaatan virtual reality dapat diterapkan. Namun, saya berpendapat lebih jauh yaitu mengkondisikan sisi psikologis. Maksudnya adalah dalam situasi normal, pengalaman kita melakukan perjalanan atau bepergian ke suatu tempat merupakan salah satu faktor penting. Sisi psikologis kita disiapkan untuk melakukan perjalanan. Misalnya, persiapan berbagai perlengkapan sebelum berangat, Kegugupan kita ketika menanti pesawat dan perasaan mendapat pengalaman baru di tempat-tempat yang belum pernah kita kunjungi.
Dalam pemanfaatan VR, perasaan kita tentu masih mengatakan bahwa kita tidak kemana-mana sehingga ada penolakan dalam memperoleh pengalaman baru. Maka sisi psikologis ini yang perlu dikulik. Alam bawah sadar perlu diyakinkan bahwa kita melakukan perjalanan. Saya mencoba mengkaitkan dengan film Inception garapan Christoper Nolan yang menggunakan mimpi, alam bawah sadar sebagai sarana untuk mencapai sesuatu, terutama memperoleh informasi. Apakah perlu sampai demikian?
Perjalanan dan turisme di masa depan akan berubah. Bahkan setelah pandemi, sarana transportasi, akomodasi, dan objek turisme harus mengikuti prosedur dan standar tertentu. Kebersihan, kesehatan dan kekhawatiran terhadap suatu penyakit menjadi perhatian semua pihak. Situasi yang berbeda ketika sebelum pandemi.
Sumber foto: https://www.chron.com/local/article/Here-s-what-air-travel-might-look-like-after-the-15221359.php