Plesiran Tempo Doeloe ke-100 (2)

Berikut adalah lanjutan Plesiran Tempo Doeloe ke-100 Sahabat Museum. Para peserta masuk ke bis masing-masing yang akan membawa ke tempat tujuan.

Saya ditempatkan di bus nomor 2 bersama Galuh dan Pak Irvan. Dari e-mail yang saya terima, saya mulai ‘beraksi’ di Stasiun Tanjung Priok dan Passar Baroe.

Obyek pertama Stasiun Tanjung Priok. Terus terang saya belum pernah ke tempat ini. Mendengar Tanjung Priok, saya sudah membayangkan hal-hal yang mengacu pada Bronx di New York (padahal belum pernah ke sana ed.)

Pelabuhan Tanjung Priok merupakan ‘pintu gerbang’ para turis yang datang di Hindia-Belanda. Dan nama Stasion Tanjung Priok  disebut dalam buku panduan yang diterbitkan Koninklijke Paketvaart Maatschappij awal abad ke-20.

Arrival at Tandjong Priok. – Porters (coolies) f.0.10 for every article to the Custom-house and station

Custom-house dalam lidah pribumi disebut Kantor priksa dan station menjadi stasjon kareta api

Bentuk bangunan dan arsitektur Stasiun Tanjung Priok mengingatkan saya pada stasiun-stasiun di Eropa (Belanda dan Belgia). Penggunaan rangka baja melengkung, yang sepertinya pada masa itu menjadi trend, membuat stasiun tua itu sekarang masih tampak gagah.

Stasiun ini dibangun pada 1914, pada masa Gubernur Jenderal A.F.W.Idenburg (1909-1916). Sekitar 1700 tenaga kerja dikerahkan untuk membangun stasiun ini. Stasiun ini memiliki 8 spoor (jalur),hampir sebesar Stasiun Batavia Centrum (Stasiun Kota). Bangunan stasiun ini dirancang oleh Ir. C W Koch seorang insinyur dari  Staats-Spoorwagen (SS), perusahaan kereta api negara Hindia Belanda.

Sekilas bagian dalam stasiun ini mengingatkan saya pada stasiun-stasiun di Eropa, khususnya Amsterdam Centraal Station yang dibangun pada akhir abad ke-19 (1881-1889). Perbedaannya di Amsterdam Centraal Station memiliki 18 spoor (jalur).

Di Stasiun Tanjung Priok ini saya menjelaskan kaitan Stasiun Tanjung Priuk dalam turisme awal abad ke-20 di Hindia-Belanda. Sebenarnya saya juga mencari-cari tempat menginap para calon penumpang karena menurut sebuah tulisan, stasiun ini juga menjadi tempat menginap para penumpang yang menunggu jadwal keberangkatan kapal mereka. Yang jelas jika benar demikian tentu fasilitas bagi para penumpang itu juga harus ada.

Dari Stasiun Tanjung Priok, perjalanan dilanjutkan menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Di perjalanan antara Stasion Tanjung Priok menuju Pelabuhan Sunda Kelapa saya bercerita mengenai situasi turisme awal abad ke-20 di Hindia-Belanda. Khususnya tempat-tempat yang dikunjungi oleh para turis pada masa itu. Beberapa pertanyaan dilontarkan oleh peserta. Tidak terasa kami tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa. Gerimis menyambut kami yang disusul hujan agak lebat. Kami terpaksa kembali masuk bis dan melanjutkan perjalanan ke Stasiun Jakarta Kota.

Di Stasiun Jakarta Kota kami masuk ke bagian yang saat ini tidak dapat dimasuki dengan bebas oleh pengunjung biasa. Dahulunya bagian itu adalah pintu masuk stasiun.

Di Stasiun Jakarta Kota giliran mas Soni, pak Lilie dan Pak Andy yang ‘presentasi’. Para peserta ada yang menyimak, berfoto. Di luar stasiun masih hujan.  Saya berkeliling ke lantai atas dan mengamati situasi dalam stasiun.

Usai makan siang, perjalanan dilanjutkan ke arah Passar Baroe. Kami melewati Jl. Gajah Mada (Molenvliet ), Jl. Juanda (Noordwijk). Tujuannya adalah toko Tio Tek Hong, sekarang menjadi toko Ijs Tropic. Rombongan Plesiran Tempo Doeloe ini sempat menjadi perhatian orang-orang yang melintas di Pasar Baru. Kami berhenti di depan toko es krim tersebut dan masing-masing mendapat es krim beraneka rasa.

Obyek terakhir adalah Gedung Departemen Keuangan di kawasan Weltevreden. Gedung itu punya banyak nama: Daendels Paleis (Istana Daendels, meskipun Daendels tak sempat menempatinya), Witte Huis (Gedung putih). Groote Huis (Rumah besar) Namun, nama resminya adalah Paleis te Weltevreden (Istana Weltevreden).

Di sini Bu Nadia Purwestri dari PDA menjelaskan hal ikhwal gedung ini. Lalu kami masuk ke dalam bangunan. Ada beberapa bagian lantai bangunan yang sudah sangat lapuk sehingga kami diminta berhati-hati.

Gedung ini dibangun 1809 pada masa Gubernur Jenderal H.W.Daendels (1808-1811) untuk dijadikan sebagai istana. Bahan bangunan diambil dari Kasteel Batavia yang dirubuhkan tahun 1809. Daendels tidak sempat menyelesaikan bangunan tersebut karena dipanggil oleh Louis Napoleon pada 1811.  Pengganti Daendels, Janssen memasang atap rumbia pada bagian gedung yang belum selesai.

Pada 1826-1828 bangunan tersebut diselesaikan oleh Ir. Tromp atas perintah Gubernur Jenderal Du Bus de Ghisignies.

Bangunan bergaya Empire, Neo Renaissance ini memang megah. Laburan cat putih semakin memperlihatkan sisa-sisa kegagahannya di masa lalu.

Bagian-bagian bangunan istana ini dirancang dengan berbagai fungsi. Bangunan induk untuk kediaman Gubernur Jenderal, sayap kiri-kanan untuk perkantoran, tamu-tamu Negara, kuda-kuda serta kereta-kereta. Ketika selesai gedung tersebut bagian bawahnya dipakai Kantor Pos dan Percetakan Negara, bangunan lainnya untuk Pengadilan Tinggi (Hoogeregtshof, Hoogerechter, Algemene Secretarie).

Ketika berada dalam bangunan itu saya membayangkan suasana berabad-abad silam ketika bangunan tersebut masih digunakan. Saya teringat selorohan salah seorang peserta plesiran ketika kami tiba di Stasiun Jakarta Kota bahwa plesiran akan semakin seru jika mengajak orang yang bisa ‘berkomunikasi’ atau ‘melihat’ situasi pada masa silam. Saya langsung teringat sewaktu menghadiri salah satu panel di Konferensi Nasional Sejarah tahun lalu. Ada ‘metodologi’ baru dalam ilmu sejarah yang diperkenalkan yaitu metodologi ‘terawang’ alias menghadirkan masa lalu pada masa kini dengan metodologi ‘menerawang’. Entah apakah metodologi mampu diterima di kalangan sejarawan.

Hari semakin sore, para peserta tampak puas. Apalagi setelah  hadiah utama doorprize diundi. Pemenangnya mendapatkan hadiah satu buku Greetings from Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950 yang langsung diberikan oleh penulisnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *