Saujana Pusaka Indonesia dalam Ingatan

Saujana. Satu kata yang saya dengar kali pertama pada akhir tahun 1990-an, dari sebuah lagu karya kelompok musik KLA Project. Saujana, samudra membentang sambut layarku/ Saujana, hidup di seberang gerlap mimpiku/ Mungkinkah merapat ke sana? Demikian bunyi liriknya yang ditulis oleh Katon Bagaskara, salah seorang personil KLA Project yang memilih kata-kata indah tak lazim namun puitis. Sebagai lulusan Fakultas Sastra, saya memang begitu memuja kata-kata indah yang terjalin, terangkai membentuk makna.

Jujur ketika saya mendengar pertama kali, saya belum paham makna kata saujana. Sambil menikmati irama musiknya, terbayangkan suatu gambaran keindahan alam negeri tercinta. Indonesia. Meskipun lagu tersebut bukan mengenai keindahan alam Indonesia namun gambaran keindahan alamnya tetap melekat. Saujana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna sejauh mata memandang. Sepemandangan mata jauhnya. Kata saujana kemudian dalam Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia pada 2003 disepakati untuk digunakan sebagai terjemahan dari cultural landscape. Saujana adalah refleksi hubungan antara manusia dengan budaya dan lingkungan alamnya dalam kesatuan ruang dan waktu yang luas. Alam dapat berupa gunung, pegunungan, hutan, gurun, dan sungai. Sedangkan budaya merupakan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya manusia seperti tradisi, kepercayaan, dan cara hidup. Alam merupakan mitra manusia. Antara alam dan manusia berada dalam kondisi dinamis yang membentuk saujana.

Bicara alam, saya pun teringat lirik lagu ‘Ibu Pertiwi’ karya Ismail Marzuki yang mengawalinya dengan lirik begitu sedih: Kulihat ibu pertiwi/ Sedang bersusah hati/ Air matanya berlinang/ Mas intannya terkenang. Hutan gunung sawah lautan/ Simpanan kekayaan/Kini Ibu sedang lara/Merintih dan berdoa. Lagu yang kemudian menjadi musik latar film Bumi Manusia (2019) ini sempat dianggap menjiplak kidung Katolik ‘What a Friend We Have in Jesus’ karya Joseph M. Scriven pada pertengahan abad ke-19. Terlepas dari persoalan tersebut, lirik lagu ‘Ibu Pertiwi’ begitu melekat erat dalam ingatan.

‘Hutan, gunung, sawah, lautan’ merupakan simpanan kekayaan alam bangsa Indonesia yang ada di wilayah Indonesia selama berabad-abad. Tidak mengherankan ‘Ibu pertiwi bersusah hati dan menangis mengenang mas intannya.’ Di beberapa wilayah Indonesia, hutan-hutan dan sawah-sawahnya telah semakin menipis, habis dan berubah bentuk menjadi lahan permukiman, perkebunan, pertanian hingga pusat perbelanjaan. Hutan dan sawah terpaksa harus mengalah kepada modernisasi dan keserakahan manusia. Hingga akhirnya ketika terjadi bencana, seperti asap akibat kebakaran hutan atau banjir, kita hanya mampu mengutuk tanpa berupaya memahami dan mencari penyebabnya.

Saujana bermakna sejauh mata memandang, sebagai bentukan hasil interaksi manusia terhadap alam lingkungannya sebagai tempat kehidupan yang dipengaruhi oleh budaya setempat secara terus-menerus dalam rentang waktu yang lama. Sementara saujana pusaka Indonesia adalah saujana yang memiliki nilai-nilai keunggulan sejarah, lanskap, serta tata kehidupan masyarakatnya.

Sejauh mata memandang, kita melihat hutan, gunung, sawah, lautan. Suatu rangkaian pemandangan alam yang keindahannya mampu memanjakan mata. Dalam konteks turisme di Indonesia pada masa kolonial, pemandangan kerap dikaitkan sebagai salah satu objek yang ditampilkan dan ditawarkan untuk dinikmati oleh para turis. Hal tersebut dapat diketahui dari buku-buku panduan turisme, reklame wisata yang memuat eksotisme objek alam tersebut.

Dalam artikel ‘International tourism in Java, 1900-1930’ sejarawan Robert Cribb (1995: 198) mengungkapkan itinerario (rencana perjalanan) dari lembaga turisme Vereeniging Toeristenverkeer (VTV) awal abad ke-20 yang menunjukkan tempat-tempat berpemandangan alam indah. Berbagai gambaran serta pendapat para pelancong dari berbagai latar dan bangsa yang mengunjungi Hindia, baik sebelum dan sesudah VTV didirikan, juga memperkuat bahwa pemandangan alam merupakan salah satu obyek yang dapat dinikmati. Sebut saja Charles Walter Kinloch dari Inggris dalam Rambles in Java and the Straits in 1852 (1853), Ida Pfeiffer perempuan petualang Austria dalam A Lady second journey round the world (1856), arkeolog dan fotografer Prancis Claude-Joseph Désiré Charnay pada 1878-79, Eliza Scidmore, perempuan jurnalis Amerika dalam Java the Garden of the East (1897) dan Louis Couperus, penulis dan jurnalis Belanda dalam Oostwaarts (1924). Semua penulis ini menggambarkan pemandangan alam yang mereka lihat di Hindia.

Demikian pula dalam itinerario buku panduan resmi pemerintah kolonial Java: the land of eternal summer (1909) menganjurkan kepada para pelancong untuk mengunjungi tempat-tempat yang berhubungan dengan pemandangan alam. Itinerario tersebut ditujukan bagi mereka yang memiliki waktu lebih dari lima belas hari, menyarankan menikmati Batavia pada hari pertama, mengunjungi Kebon Raya Bogor pada hari kedua, lalu pada hari ketiga ke Puncak Pass dan Sindanglaya, hari keempat naik ke Gunung Pangrango, hari kelima menikmati Cibodas dan air terjunnya, hari keenam dan ketujuh sekitar Sukabumi, hari kedelapan menuju Garut, hari kesembilan ada tiga pilihan, antara lain ke Gunung Papandayan atau Kawah Manuk atau Telaga Bodas. Hari kesepuluh ke Maos, hari kesebelas ke Yogyakarta, hari keduabelas mengunjungi Borobudur dan Mendut, hari ketigabelas menuju Surabaya, hari keempatbelas menikmati Surabaya, hari kelimabelas menuju Tosari, hari keenambelas ke Gunung Bromo, hari ketujuhbelas Pananjaan pass dan hari kedelapanbelas kembali ke Surabaya.

Ingatan terhadap saujana kembali muncul ketika mengenang masa kecil saya. Ketika itu saya merasa beruntung karena pengalaman masa liburan lebih banyak diisi dengan mengenal negeri sendiri khususnya di Jawa dan Bali dengan kekayaan hutan, gunung, sawah, dan lautannya. Meskipun, besar di Jakarta, kenangan akan hutan, gunung, sawah, dan lautan begitu melekat terpatri dalam ingatan. Saya beruntung memiliki kesempatan yang menjadi kenangan tersebut pada masa belum ditemukannya telepon genggam yang saat ini lebih banyak digunakan sebagai kamera. Kesempatan berharga pada masa itu menjadi kenangan, tanpa harus terekam kamera berswa foto dan disebarkan dengan gaya genit kepada semua orang seperti saat ini.

Ketika saya harus bertugas di beberapa wilayah di Indonesia beberapa tahun silam, pengalaman tersebut semakin memperkokoh ingatan saujana saya. Bumi Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara pernah saya pijak, saya berupaya mengenali budayanya sambil mengagumi kekayaan alam di wilayah itu. Ketika menunggu pesawat lepas landas dan setelah mendarat, instrumental lagu-lagu daerah kota yang akan dikunjungi diiringi dengan orkestra Addie M.S. diperdengarkan oleh sebuah maskapai pemerintah. Pengalaman itu semakin membuat saya berimajinasi tentang kota-kota yang saya kunjungi.

Bentangan masa demi masa terus berlalu tak dapat dihentikan dan kita terus-menerus menguras simpanan kekayaan alam ibu pertiwi tanpa menyadari akibatnya. Mungkin saja, ibu pertiwi tidak lagi berlinangan air matanya tetapi merasa malu hingga pingsan menyaksikan kelakuan putra dan putrinya mengeruk kekayaan tanpa berniat menjaga dan mewariskan untuk generasi masa depan. Perlu daya dan upaya untuk tetap menjaga kekayaan alam ibu pertiwi sehingga saujana pusaka Indonesia tak hanya ada dalam ingatan.

2 thoughts on “Saujana Pusaka Indonesia dalam Ingatan”

Leave a Reply to Ari Candra Rahmanaga Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *