Sejarah Naratif

Eksplanasi naratif merupakan cabang dari metodologi hermeneutika yang berkembang pada abad 20. Narativisme atau eksplanasi naratif dikembangkan oleh Ankersmit  yang mengikuti pendapat Johann Gustav Droysen (1808-1886) bahwa kisah memiliki kemampuan merangkaikan peristiwa-peristiwa dalam suatu bentuk utuh atau holistik (Leirissa 2002:16).

Dilihat dari sejarahnya narativisme merupakan bentuk awal dari sejarah kritis yang dirintis pada akhir abad ke-19. Salah satu tokoh narativisme yang terkenal adalah Leopold Von Ranke. Ranke menganjurkan supaya sejarawan menulis apa yang sebenarnya terjadi, wie est eigentlich gewesen (Kuntowijoyo 2001:58) Oleh karena itu narativisme menitikberatkan pada peristiwa, khususnya peristiwa politik.

Melalui pendekatan ini sejarawan diharapkan dapat menggambarkan keadaan yang mendekati kebenaran dari peristiwa masa lalu dengan cara menjelaskan fakta-fakta yang terdapat dalam sumber sejarah.

Kisah atau naratif bertitik tolak dari gagasan yang dipilih oleh sejarawan bersangkutan yang dijadikan acuan untuk membuat seleksi atas fakta-fakta dalam sumber sejarah. Dengan kata lain bukanlah masa lampau tersebut yang menjadi patokan melainkan gagasan dari sejarawan, misalnya mengenai peristiwa-peristiwa seperti perang, renaissance (Leirissa 2002:16)

Namun, ada beberapa kelemahan eksplanasi naratif ini. Pertama berhubungan dengan interpretasi sejarawan terhadap fakta sejarah.  Dalam bekerja, sejarawan dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain seperti personal bias, perbedaan ideologi, latar belakang budaya. Tarik menarik interpretasi ini, seperti yang diungkapkan Chris Lorenz (1990) bukannya menambah pengetahuan  tetapi justru membingungkan (Leirissa 2002:17).

Kelemahan dari eksplanasi naratif berikutnya adalah metodologi ini hanya membahas mengenai tokoh-tokoh besar (elit). Padahal sejarah tidak hanya terbatas membahas tokoh-tokoh besar.  Kelemahan lainnya adalah kemungkinan munculnya kesalahan ketika menyajikan kisah karena penggunaan bahasa yang emosional akibat pengaruh personal bias sejarawan terhadap suatu peristiwa sejarah yang ditelitinya (Kuntowijoyo 2001: 180). Kelemahan berikut adalah dalam pendekatan ini hanya bertumpu pada sumber tertulis.  Narativisme hanya menjelaskan sejarah atas dasar fakta yang ada pada dokumen. Padahal, selain sumber tertulis kita bisa menggunakan sumber lisan untuk melengkapi sumber tertulis.

Dalam artikel Andrew P. Norman ‘Telling It  Like It was: Historical Narratives On Their Own Terms’ (1998) diungkapkan perdebatan mengenai sejarah naratif. Namun, terlepas adanya perdebatan tersebut Norman menegaskan bahwa sejarah naratif harus diambil dari istilah mereka sendiri dan epistemis/pengetahuan mereka yang cukup serta dinilai berdasarkan kasus per kasus.

Ada beberapa pendapat sehubungan dengan eksplanasi naratif ini. Pertanyaan yang muncul adalah apakah ‘struktur naratif’ telah ‘imposed (ditetapkan)’  oleh sejarawan pada pra naratif masa lalu. Norman menyebut impositionalism sebagai gagasan yang diangkat dalam tingkatan filosofis. Dalam menceritakan sebuah cerita mengenai masa lalu memerlukan keterlibatan bentuk interpretatif tertentu. Tokoh teoritis yang mendorong impositionalis ke garis yang paling keras adalah Hayden White. White melihat sejarah naratif sebagai penetapan struktur naratif yang memalsukan masa lalu dan menyimpulkan bahwa naratif tidak mungkin benar.

Dalam pandangan sejarawan Heather Sutherland, sejarah menurut White adalah narasi yang dikuasai oleh konvensi-konvensi estetika dan lebih dekat ke bidang sastra daripada bidang ilmu pengetahuan. Narasi sejarah adalah rekonstruksi yang tidak sempurna dari masa lalu yang disusun dari kepingan-kepingan bukti (Sutherland 2008:48)

Selanjutnya Norman mengungkapkan ‘historical realism’ (realisme sejarah) yang merupakan gagasan bahwa keberadaan sejarah sebagai cerita yang ditentukan dan tidak diceritakan sampai ditemukan dan diceritakan oleh sejarawan. Hal ini berkaitan dengan konstruksi narasi sejarah apakah dengan menentukan susunan narasi masa lalu atau membacakan yang sudah ada.

Ada sejumlah filsuf yang mendukung narativisme. Mereka memberikan tawaran argumen inovatif untuk validitas kognitifnya. Ada dua pendekatan yang cukup jelas yang dapat dilihat dalam literatur. Hal yang pertama tumbuh dari pemahaman fenomenologis dunia yang ‘sudah’ terstruktur dengan beberapa cara tertentu yang sudah pasti. Sementara pendekatan kedua memiliki akar dari teori speech-act (tindak bahasa) yang mencoba menempatkan dan membatasi pencarian kebenaran wacana yang lebih luas dan lebih beragam dari language-games (permainan bahasa)

Pendekatan yang pertama, membela representasional naratif ini dengan sejumlah  realisme moderat. Sementara itu pendekatan kedua menantang representasional yang sangat ideal dan dengan diam-diam mengakui kekurangan representasional naratif tersebut sehingga tampak seperti semacam impositionalisme radikal.  Dalam karya-karya Alasdair MacIntyre, David Carr dan Frederick Olafson terdapat saran untuk membela sejarah naratif dari tuntutan para impositionalis.

Para impositionalis menyatakan bahwa menceritakan masa lalu dalam bentuk kisah pasti dibebani oleh struktur naratif yang palsu

Catatan MacIntyre mengenai ‘struktur naratif kehidupan manusia’ tidak banyak tetapi itu merupakan bagian penting. Naratif, menurutnya bukanlah pekerjaan penyair, dramawan dan novelis yang merenungi peristiwa-peristiwa yang tidak memiliki susunan naratif sebelumnya dan yang digunakan oleh penyanyi atau penulis. Bentuk naratif tersebut bukanlah sekedar samaran atau hiasan. Kisah-kisah sudah ada hidup sebelum mereka diceritakan (kecuali dalam fiksi). Sejarah menurut MacIntyre adalah sebuah narasi dramatis dengan para karakter yang diperankan oleh para penulisnya.

Gagasan mengenai struktur naratif dari pengalaman manusia (di sini MacIntyre menggunakan istilah ‘kehidupan’, sementara Carr menggunakan istilah ‘pengalaman) mengizinkan kita untuk mengkoreksi pandangan bahwa struktur secara umum dan struktur naratif secara khusus yang diterapkan pada pengalaman manusia secara intrinsik, sehingga struktur seperti itu bukan merupakan kecerdasan, sesuatu yang tidak alamiah melainkan dipaksakan, sesuatu yang mengganggu atau melakukan ‘kekerasan’ pada sifat sejati dari realitas manusia.

Pandangan tersebut memiliki beberapa kebaikan. Pertama memiliki cara terhadap ‘atomistic prejudice’ (prasangka atomistik) tertentu yang telah lama menjadi bagian dari pendekatan analisis filsafat sejarah. Argumen yang diberikan ini bertentangan dengan analisa pendekatan dari asumsi banyak filsuf (khususnya impositionalis) yaitu masa lalu itu tidak berawal atau secara khusus diberikan kepada kita dalam bentuk kejadian yang terpisah atau terisolasi yang lalu diberikan dalam bentuk koherensi naratif palsu oleh seorang sejarawan.

Kebaikan kedua dari catatan Plot-reifier (alur konsep/gagasan abstrak yang dijadikan nyata) sepertinya untuk menjelaskan bagaimana sejarah naratif dapat menjadi benar. Kisah mengenai masa lalu adalah benar, untuk catatan seperti itu ketika secara tepat memetakan struktur naratif dari kehidupan masa lalu.

Dalam karya awalnya, MacIntyre menjelaskan perhatian dalam pembelaan atas tuntutan kebenaran naratif. Menurutnya untuk mengajukan pertanyaan tentang kebenaran tidak membutuhkan penolakan kisah atau cerita yang sesuai dan mungkin hanya bentuk yang sesuai dengan kebenaran yang diceritakan. Kesimpulan yang diperoleh oleh MacIntyre dalam After Virtue kelihatannya dipaksa oleh kebutuhan untuk menjelaskan bagaimana ini dapat seperti itu.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah masa lalu memiliki plot/alur cerita? Gagasan bahwa masa lalu sudah memiliki alur, menurut Norman bukanlah gagasan yang dapat dipahami. Hal ini akan berkaitan dengan siapa yang menulisnya, bagaimana, kapan dan untuk siapa. Sehubungan dengan pertanyaan mengenai penulis dan pembaca, kita dapat mengajukan pertanyaan bagaimana dan kapan masa lalu tersebut dibuat alur ceritanya?

Tentunya akan ada keberatan yang tergantung pada penolakan langsung terhadap pernyataan MacIntyre dan Carr mengenai ‘kisah-kisah sudah ada sebelum mereka diceritakan’.

Pendekatan kedua yang membela naratif sebagai alat diskursif (tidak  berkesinambungan) tidak memperdulikan gambaran yang terbukti benar. Hal ini memunculkan pertanyaan radikal yang mengasumsikan bahwa narasi sejarah dimaksudkan sebagai kebenaran dan banyaknya permintaan bahwa kita melihat narasi sejarah seperti mencari sesuatu yang lain dari legitimasi referensial.

Sejarah harus dilihat bukan sebagai gambaran sederhana yang pernah terjadi tetapi sebagai upaya yang berorientasi praktis untuk membentuk kembali pemahaman efektif kolektif kita terhadap masa lalu.

Norman memberikan contoh J.F Lyotard dan Roland Barthes sebagai tokoh utama yang mengacu pada pandangan ini yaitu pandangan anti-referentialism. Pandangan tersebut merupakan distilasi(penyaringan) dari upaya sugestif untuk membebaskan narasi sejarah dari ‘ kriteria kebenaran’. Setelah mendiskusikan argumen yang diajukan oleh Lyotard dan Barthes, Norman menganggap mereka gagal dengan argumen yang diajukan tersebut.

Lyotard berargumen bahwa pengetahuan naratif dan pengetahuan ilmiah merupakan bagian dari permainan bahasa yang berbeda. ‘Pengetahuan ilmiah mengharuskan bahwa permainan bahasa, tanda penunjuk (denotasi), dipertahankan dan semuanya dikecualikan. Sebuah pernyataan yang mengandung nilai kebenaran menentukan kriteria penerimaannya.’

Pengetahuan denotasi membutuhkan fakta, argumen dan bukti tetapi pengetahuan naratif tidak memberikan prioritas untuk pertanyaan atas legitimasinya sendiri. Pengetahuan denotasi sepertinya menyatakan dirinya dalam penyebaran pragmatik sendiri tanpa harus menggunakan jalan lain untuk berargumentasi dan mencapai kebenaran. Sehingga adalah hal mustahil untuk menilai keberadaan atau keabsahan pengetahuan naratif berdasarkan pengetahuan ilmiah dan sebaliknya karena kriteria yang relevan berbeda.

Lyotard mengira bahwa pernyataan denotasi dapat ‘dengan mudah dimasukkan’ dalam naratif tetapi menegaskan bahwa naratif merupakan jenis pengetahuan yang  harus terisolasi dari kriteria kebenaran.

Sementara itu Barthes dengan kritis mencatat bahwa ‘narasi dari peristiwa masa lalu’ dalam budaya kita merupakan ‘subyek yang telah dikenakan sanksi ilmu sejarah’ dan secara historis terikat pada standar yang mendasari kenyataan. Ia menyayangkan hal tersebut dan ia menyimpulkan bahwa ‘klaim mengenai “realisme” naratif oleh karena itu diabaikan. Fungsi dari naratif bukan untuk “mewakili”, tetapi untuk membentuk satu pertunjukan utuh. Naratif tidak memperlihatkan dan tidak meniru. Apa yang terjadi dalam sebuah narasi adalah dari sudut pandang referensial secara harfiah tidak terjadi apa-apa. Justru yang terjadi adalah dalam bahasa itu sendiri.

Maka dalam anti-referentialisme dapat dilihat sebagai bagian gerakan yang berasal dari Wittgenstein melalui Austin menuju teori Speech-act (tidak bahasa) untuk mengkoreksi kelalaian dan kesalahan persepsi yang muncul dari pandangan bahasa sebagai media representasional yang murni. Hal itu bertujuan untuk menyingkap hal yang sering dikaburkan.secara normatif, performatif dan dimensi praktis dari penggunaan naratif bahasa.

Untuk  membuat naratif diperhitungkan sebagai sejarah dan bukan fiksi, naratif harus memperhatikan fakta-fakta tetapi pada umumnya upaya penyusunan kembali ini merupakan masalah yang dikesampingkan.

Kenyataannya adalah narasi sejarah merupakan bagian besar yang dimaksudkan untuk menceritakan kepada kita seperti apakah masa lalu tersebut (what the past was like). Mereka terdiri dari pernyataan mengenai masa lalu dan mereka berupaya untuk menceritakan kepada kita apa yang sebenarnya terjadi. Ini berarti bahwa secara tepat narasi sejarah dimaksudkan untuk mengacu kebenaran yang mereka klaim.

Secara rinci pembelaan dari plot-reifier dan anti-referensialis mengembalikan kita kepada pertanyaan mengenai legitimasi epistemis dari kisah. Bagaimana  tuntutan impositionalis dijawab dengan singkat oleh struktur plot-reifier atau menarik narasi dari permainan kebenaran sepenuhnya?

Hal pertama yang dapat dicatat adalah argumen yang telah diajukan sebelumnya dapat digunakan lagi di sini untuk melawan tuntutan impositionalis. Sebuah narasi tentu dapat menggunakan hubungan palsu atau secara mudah mendapatkan masa lalu yang keliru tapi itu tak dibutuhkan.

Argumen kedua yang melawan impositionalis, dapat disebutkan dengan singkat bahwa tidak cukup menggambarkan proses penulisan sejarah. Tak dapat dipungkiri bahwa sejarawan harus memilih, mengumpulkan, menafsirkan, menyusun, dan sebagainya. Namun, untuk mengatakan bahwa ini merupakan pemaksaan pada masa lalu menyiratkan sebuah kekerasan yang ‘merindukan karakter dialektika yang tepat’ dalam penelitian sejarah.

Seorang sejarawan yang baik akan berinteraksi secara dialogis dengan catatan sejarah, mengenali batas-batas itu dan menempatkan penjelasan yang mungkin dari masa lalu.

Norman berpendapat bahwa ada sesuatu yang dipaksakan dan merupakan hal yang dibuat pada setiap tiga posisi utama dalam filsafat sejarah. Beberapa ahli teori bersikeras meskipun terdapat sejumlah silang pendapat, bahwa narasi sejarah tidak mungkin menjadi kebenaran. Sebaliknya, ada yang didorong untuk membuat klaim ontologisme yang aneh demi membela kehormatan epistemis narasi. Akhirnya, ada kelompok ahli teori yang lain membuat kesimpulan bahwa sejarah naratif tidak mengklaim kebenaran.

Secara garis besar uraian Norman mengenai naratif dapat dibagi dalam masing-masing kelompok yaitu:

  1. Kelompok Impositionalis menerima bahwa sejarah naratif dimaksudkan sebagai rujukan. Mereka juga meyakini bahwa menceritakan sebuah kisah mau tidak mau membebankan struktur narasi yang memalsukan masa lalu dan sampai pada kesimpulan skeptis yang membuat tidak senang yaitu narasi tidak mungkin benar.
  2. Kelompok Anti-referensialis memilih keluar dari masalah dengan menyangkal bahwa sejarah naratif mengklaim kebenaran. Posisi ini sebagian besar dimotivasi oleh keinginan untuk berada di depan, di mana fungsi non-referensial sebagai wacana naratif.
  3. Kelompok Plot-reifier setuju dengan kelompok impositionalis bahwa sejarah bertujuan untuk mencapai kebenaran tetapi berbeda dengan impositionalis dalam pemikiran bahwa sejarah naratif terkadang berhasil. Secara singkat dapat dikatakan bahwa mereka membuat konsep alur dalam sejarah menjadi nyata untuk menjadi sesuatu di dunia di mana struktur naratif dapat sesuai dalam mencapai kebenaran.

Argumen lain dari Norman adalah hal  yang penting untuk melestarikan pemahaman tentang sejarah sebagai  upaya mengklaim dan terkadang untuk mencapai kebenaran. Hal tersebut adalah mulai perlu dibiasakannya gagasan bahwa dalam membangun sebuah narasi sejarah tidak perlu memalsukan masa lalu. Norman ingin menunjukkan bahwa beberapa narasi sejarah merupakan konstruksi yang benar (construction does not entail falsification) dan ia berargumen bahwa jika kita mengambil fakta tersebut dengan serius dan berusaha untuk mengatasinya, maka itu akan bermakna bagi teori naratif.

Sejarah naratif mungkin hanya sekedar figural (perlambang) dalam arti menghasilkan bentuk diskursif (ketidaksinambungan) baru dan pada saat bersamaan memiliki makna literal dalam hal untuk dipertanyakan dan (layak) dipahami secara harfiah dan tidak ada yang bertentangan di dalamnya (there is nothing contradictory in this)

Jadi menurut Norman upaya ilmiah adalah upaya untuk menggambarkan (describe) sesuatu yang abadi, serta upaya etis untuk menentukan (prescribe) masa depan yang lebih baik, dan upaya-upaya historis untuk menuliskan kembali (reinscribe) masa lalu. Masing-masing dapat menjadi kenyataan dengan cara mereka sendiri. Bagi mereka yang memiliki keinginan besar untuk menggeneralisasi, mungkin kita dapat mengatakan bahwa yang pertama mungkin dapat menjadi benar dengan menceritakannya seperti apa adanya (telling it like it is). Lalu yang kedua dengan menceritakan seperti yang seharusnya (telling it like it ought to be) serta yang ketiga menceritakan seperti yang telah terjadi (telling it like it was). Jumlah ini dalam kasus tertentu tentu saja akan sangat bervariasi. Namun, kita jangan berharap gambaran yang lebih tepat pada tingkat generalisasi dari subyek materi yang memungkinkan.

Secara fakta dapat dikatakan bahwa narasi adalah produk dari sebuah proses kreatif, suatu konstruksi yang kembali mengartikulasikan masa lalu sehingga dengan sendirinya bukan suatu kompromi atas kebenaran.

Daftar Bacaan

Kuntowijoyo. 2001. Pengantar llmu Sejarah. Yogya: Bentang

Leirissa, R.Z. 2002. Diktat Metodologi Sejarah. Depok: FIB UI

Norman, Andrew. P. 1998. ““Telling It Like It Was: Historical Narratives on Their Own

Terms” dalam Brian Fay (eds). History and Theory. Contemporary Readings. Oxford: Blackwell

Sutherland, Heather. 2008. “Meneliti sejarah penulisan sejarah” dalam Henk Schulte

Nordholt (eds). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: YOI

foto:

1.www.bibliovault.org

2. www.latitudes.nu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *