Singkong dan Keju

Mungkin belum banyak orang yang tahu jika singkong atau cassava adalah tanaman impor di Indonesia.  Tanaman ini adalah pohon tahunan tropika dan subtropika. Kita mengkonsumsi umbinya yang menghasilkan karbohidrat. Daunnya pun kerap kita konsumsi, baik sebagai lalap atau dijadikan sayur. Tanaman ini sebenarnya berasal dari benua Amerika. Tepatnya di Amerika Selatan yang kemudian dikembangkan di Brazil dan Paraguay pada masa pra-sejarah.

Tanaman singkong diperkenalkan di Nusantara oleh orang Portugis pada abad ke-16 dan mulai ditanam oleh masyarakat luas di Hindia-Belanda (Indonesia) sekitar tahun 1810. Sejak saat itu singkong menjadi salah satu sumber karbohidrat di samping tanaman-tanaman lainnya. Seperti jagung dan padi. Namun, dibandingkan padi yang dijadikan beras, singkong kalah pamor. Reputasi singkong pernah sangat menyedihkan dan tidak bergengsi, dijadikan makanan pokok masyarakat miskin dan kelas bawah. Ketika itu, jika ada orang yang hanya mengkonsumsi singkong, maka dapat dipastikan tingkat perekonomiannya jauh di bawah sejahtera alias miskin.

Padahal jika kita telusuri lebih jauh, singkong ini dapat dibuat berbagai penganan. Pengolahannya tidak sekedar direbus, digoreng saja. Berbagai jenis penganan tradisional menggunakan singkong sebagai bahan bakunya, seperti comro, misro, tape, getuk, tiwul. Bahkan dengan bahan singkong dapat dibuat jadi tepung (tapioka) dikenal dengan nama ‘gaplek’, krupuk (opak) atau keripik singkong yang renyah. Tak jarang, singkong olahan ini diekspor ke mancanegara.

Dalam Handbook of the Netherlands East-Indies tahun 1930 dituliskan bahwa tepung tapioka adalah salah satu komoditas Hindia-Belanda yang banyak diproduksi di Jawa. Namun, para pemilik penggilingan tepung, biasanya orang Eropa dan Tionghoa lalu hasil olahannya diekspor ke luar negeri. Pada tahun 1928 tercatat 21,9 % dikirim ke Amerika Serikat, 16,7 % ke Inggris, 8,4 % ke Jepang, lalu 7 % dikirim ke Belanda, Jerman, Belgia, Denmark dan Norwegia. Biasanya singkong olahan tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku lem dan permen karet. Bahkan singkong olahan tersebut juga digunakan untuk industri tekstil dan furniture.

Pada tahun 50-an pun, Bung Karno menganjurkan pada rakyat Indonesia untuk menanam singkong di pekarangan demi ketahanan pangan.

Menariknya, singkong ini disandingkan atau dapat dikatakan diadu dengan jenis makanan lain yang sebenarnya juga makanan impor yaitu keju. Pada tahun 80-an, di Indonesia ada sebuah lagu populer yang berjudul “Singkong dan Keju”. Lagu ini menggambarkan pertentangan antara tradisional yang diwakili oleh singkong dan modern yang diwakili keju.

Sekali lagi, mungkin belum banyak orang yang tahu, kata keju ini berasal dari bahasa Portugis ,queijo.  Kemungkinan besar, masuknya singkong dan keju bersamaan karena dibawa oleh orang-orang Portugis di Nusantara.  Keju merupakan makanan padat yang dibuat dari air susu hewan, biasanya sapi. Makanan ini dikenal di seluruh dunia. Namun diduga pertama kali dikenal di daerah sekitar Laut Tengah.

Jika singkong banyak mengandung karbohidrat, maka keju yang biasanya tahan lama (merupakan salah satu bentuk pengawetan susu), memiliki kandungan lemak, protein, kalsium dan fosfor yang tinggi.

Di Indonesia, keju dikenal berasal dari Belanda. Ketika itu di Indonesia belum ada pabrik pengolahan keju. Keju-keju tersebut didatangkan dari Belanda untuk dikonsumsi orang Belanda yang tinggal di Indonesia. Dengan kata lain, keju dinikmati hanya terbatas untuk kalangan Eropa. Penduduk pribumi hanya cukup makan singkong. Maka dalam salah satu dialog film-film Indonesia berlatar-belakang perang (yang sebenarnya tidak begitu jelas perang yang mana) para serdadu Belanda membujuk rakyat untuk memberitahu tempat persembunyian para pejuang dengan keju. Dialog tersebut kira-kira seperti ini:  “Hey, kamuorang, coba jij kasih tunjuk di mana itu ekstrimis-ekstrimis bersembunyi. Nanti ik kasih roti en keju!”

Dalam turisme kolonial, berbagai toko yang khusus mengimpor makanan-makanan kaleng dari Belanda, menawarkan keju yang diimpor dari Belanda. Sebenarnya sasaran konsumennya adalah orang Belanda yang menetap di Hindia-Belanda. Namun, toko-toko tersebut juga menyasar para turis dari Eropa supaya mereka ketika mengunjungi Hindia merasa seperti di negerinya sendiri, baik suasana maupun makanannya. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya iklan toko-toko tersebut dalam buku panduan turisme resmi pemerintah, Gids voor Indië terbitan tahun 1938. Misalnya iklan Toko Li Liong Hin di Pasar Senen, Batavia-Centrum.

Keju cukup lama menjadi makanan kaum elite dan lambang modernitas. Di samping harganya mahal, barangnya pun langka. Dalam salah satu catatannya, K.H Agus Salim menceritakan pengalamannya ketika masih bersekolah di Europeese Lagere School (ELS) di Riau sekitar tahun 1890-an. Seorang kepala sekolah Belanda melihat bakat pada Salim kecil. Orang Belanda itu berpendapat bahwa Agus kecil memiliki tanda-tanda menjadi orang pandai. Oleh karena itu harus diberi lingkungan serta makanan yang tepat. Maka dimintalah Agus untuk tinggal dengan keluarga Belanda tersebut. Ayah Agus Salim, Sutan Salim berkeberatan anaknya dididik sepenuhnya oleh Belanda. Namun, dia menghargai maksud baik kepala sekolah tersebut. Jalan tengah pun disepakati. Agus akan berada di rumah kepala sekolah di waktu makan pagi, siang dan malam lalu sejenak sesudahnya. Di rumah kepala sekolah Belanda itu beliau diminta makan makanan bergizi, bisa jadi termasuk roti dan keju yang banyak supaya lancar berbahasa Belanda.

Urusan keju tak berhenti pada masa kecil Agus Salim saja. Pada tahun 1930 Agus Salim pergi ke Jenewa, menghadiri konferensi Buruh Internasional sebagai penasihat buruh Belanda. Perserikatan Buruh Belanda itu berafiliasi dengan partai SDAP (Sociaal Demokratische Arbeiders Partij). Agus Salim singgah di Belanda dan pada suatu pertemuan dengan para pimpinan SDAP beliau diminta pandapatnya tentang SDAP. Spontan Agus Salim menjawab “Seperti Keju Edammer! (Keju dari Edam)”. Maksudnya.adalah merah di luar tapi isinya oranye.

Keju atau Kaas dalam bahasa Belanda juga dijadikan ‘ejekan’ bagi orang Belanda. Mereka kerap diolok-olok dengan panggilan “Kaaskop” (kepala keju). Entah, apa maksudnya. Mungkin karena di Belanda banyak dihasilkan keju.

Pun saya teringat dari pesan orang rumah ketika saya berkesempatan mengunjungi Belanda untuk urusan dinas: “Jangan lupa bawakan keju untuk oleh-oleh!” Pilihan saya jatuh pada keju Gouda dan Edam. Keduanya diberi nama sesuai nama tempat. Biasanya saya membeli keju tua (oude kaas) dan keju muda (jonge kaas) di pasar. Maka ketika pulang ke tanah air, di sela-sela tumpukan buku dalam koper terseliplah keju-keju bulat atau gepeng berlapis “kulit” warna merah atau kuning tersebut. Lucunya, sebelum berangkat ke Belanda salah seorang teman yang menikah dengan orang Belanda dan tinggal di sana cukup lama berpesan: “Bawakan saya opak, ya. Anak-anakku suka sekali!”

Saat ini keju dan singkong sepertinya sudah tak terpisahkan lagi. Singkong dan keju sudah tidak lagi jadi makanan bagi kelompok masyarakat tertentu. Coba lihat saja, di pelosok Jakarta, kita akan menemukan jenis makanan baru yang menarik: Singkong Keju! Perpaduan yang unik dan menarik dari dua jenis makanan yang dahulu memisahkan status sosial.

1 thought on “Singkong dan Keju”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *