Turisme di Depok Masa Hindia-Belanda bag 2

336ff6b2-a3f5-4c4b-afcf-b8c328f4dd57

 Kereta Batavia-Buitenzorg via Depok 

Transportasi menuju Depok dari Batavia pada masa kolonial, selain jalan yang bila ditempuh dengan delman ditempuh selama 6-7 jam, juga mengandalkan kereta api. Jalur jalan mengambil rute Batavia-Meester Cornelis (Jatinegara)-Buitenzorg yang kemudian berbelok di sekitar Cimanggis menuju Pancoran Mas. Jalur kedua adalah Batavia-Pasar Minggu-Lenteng Agung-Pondok Cina-Pancoran Mas yang hampir sejajar dengan jalur kereta.

Continue reading “Turisme di Depok Masa Hindia-Belanda bag 2”

Turisme Depok Masa Hindia-Belanda bagian 1

depok_stationBila kita mengingat Depok puluhan tahun silam, yang muncul di ingatan kita adalah sebuah kota yang tak terlalu ramai. Jalan menuju Depok dari Pasar Minggu serta jalan Margonda yang kita kenal pun sekarang masih belum seramai sekarang. Di kanan-kiri jalan masih terlihat pepohonan yang rimbun. Kemacetan yang ada pun hanya disebabkan pintu kereta, perlintasan rel. Memang sarana transportasi darat lain selain jalan raya adalah kereta listrik Jabodetabek yang sekarang disebut Commuterline. Sarana ini menjadi andalan bagi warga Depok yang bekerja, sekolah di Jakarta atau warga Jakarta yang hendak berkunjung ke Depok. Jalur lain adalah melalui jalan tol lewat jalan Juanda.

Continue reading “Turisme Depok Masa Hindia-Belanda bagian 1”

Depok retroversi

Jika dihitung secara formal (dibuktikan dengan kartu identitas), sudah lebih dari lima tahun saya tinggal di kota Depok ini. Kalau dihitung secara tidak formal, lima tahun ditambah tujuh tahun (masa studi dan masa magang) maka menjadi dua belas tahun. Cukup lama bukan?

Depok sekarang berbeda dengan Depok delapan belas tahun silam. Ketika saya mulai menginjakkan kaki di sini untuk mengangsu ilmu. Dulu udaranya sepertinya lebih segar. Pukul 6.30 ketika itu di sela-sela pepohonan karet masih tampak kabut dan tampak tetesan embun.

Soal macet jangan ditanya. Oleh karena itu jika tidak terlalu penting atau memerlukan pertemuan fisik, saya enggan meluncur ke Jakarta. Durasi perjalanan pergi dan pulang membuat jiwa tertekan. Maka untuk ‘urusan bisnis’ saya lebih senang menggunakan teknologi (jika memungkinkan).

Saya pernah mengalami sendiri pengalaman, berangkat ketika matahari belum menampakkan dirinya dan kembali ketika mulai terbenam. Berangkat dan pulang disambut antrian kendaraan alias macet. Menyebalkan dan menjemukan tapi itu lah kenyataannya sekarang.

Jangankan delapan belas tahun silam, lima tahun lalu saja situasi dan kualitas udaranya jauh berbeda. Ketika itu saya masih bisa menghirup udara bersih di pagi hari dengan leluasa. Genangan air jika hujan tak terlalu banyak. Namun, melihat situasi sekarang sepertinya harus dipikirkan lagi bagaimana situasi lima tahun yang akan datang.

Biar begitu saya sudah telanjur sayang dan cinta dengan kota ini. Kota yang dulu tidak pernah saya bayangkan akan saya tinggali dan menjadi kota kelahiran dua buah hati saya.

Mungkin saja kelak kota ini hanya menjadi persinggahan atau sekedar tempat saya membagi ilmu karena kami telah menemukan ‘sarang’ lain yang masih ‘perawan’ dan mungkin lebih manusiawi.