Turisme Depok Masa Hindia-Belanda bagian 1

depok_stationBila kita mengingat Depok puluhan tahun silam, yang muncul di ingatan kita adalah sebuah kota yang tak terlalu ramai. Jalan menuju Depok dari Pasar Minggu serta jalan Margonda yang kita kenal pun sekarang masih belum seramai sekarang. Di kanan-kiri jalan masih terlihat pepohonan yang rimbun. Kemacetan yang ada pun hanya disebabkan pintu kereta, perlintasan rel. Memang sarana transportasi darat lain selain jalan raya adalah kereta listrik Jabodetabek yang sekarang disebut Commuterline. Sarana ini menjadi andalan bagi warga Depok yang bekerja, sekolah di Jakarta atau warga Jakarta yang hendak berkunjung ke Depok. Jalur lain adalah melalui jalan tol lewat jalan Juanda.

Seiring berjalannya waktu, Depok berkembang menjadi sebuah kota yang ramai dan besar. Apalagi setelah berubah menjadi kotamadya penduduknya kian bertambah. Di kanan-kiri jalan sudah tak banyak pepohonan, berganti bangunan. Pada jam-jam sibuk, kemacetan pun tak terelakkan. Sekarang bukan karena pintu kereta tapi jumlah kendaraan bermotor yang semakin bertambah.

Beberapa kajian tentang Depok yang pernah dilakukan antara lain oleh Marzali (1975), de Vries (1976), Suryana (2004) yang masing-masing membahas tentang identitas orang Depok serta sejarah, struktur sosial , situasi kebahasaan orang Depok serta transformasi sosial ekonomi dari wilayah pedesaan ke wilayah urban. Namun, sejauh ini belum ada yang membahas tentang turisme Depok, khususnya pada masa kolonial. Kajian dari Amri Marzali dan J.W. de Vries tersebut menjadi dasar dari tulisan ini.

Apabila kita ditanya obyek turisme apa saja yang ditawarkan oleh Depok, kita tentu segera teringat daerah Depok Lama, peninggalan Chasteleyn atau kawasan hijau dalam kampus UI (yang kian terkikis) plus danaunya. Dari sisi kuliner, Depok juga memiliki sajian dodol khas Depok. Jangan lupa musik tradisional Tanjidor yang terkenal sejak daerah sekitar Batavia disebut Ommelanden. Tapi apakah Depok memang memiliki obyek turisme ?  Lalu bagaimana turisme Depok masa Hindia-Belanda?

Dalam artikel ini akan dibahas situasi Depok masa Hindia Belanda atau kolonial, khususnya dalam hal turisme. Dengan menggunakan berbagai sumber, baik sumber primer maupun sekunder, dalam artikel ini diuraikan dan direkonstruksikan situasi Depok pada masa Hindia Belanda. Khususnya obyek turisme yang ditawarkan pada masa itu (bila ada). Namun, sebelumnya akan sedikit diulas situasi turisme masa Hindia-Belanda secara umum.

TURISME PRAMODERN DAN TURISME MODERN DI HINDIA-BELANDA

Pemakaian istilah ‘turisme’ di dunia Barat baru populer sejak awal abad ke-19. Istilah tersebut dipahami dalam dua ciri yaitu, perjalanan meninggalkan rumah dalam waktu yang relatif singkat; dan uang yang dibelanjakan di tempat tujuan turisme tersebut dihasilkan dari rumah sendiri, bukan di tempat kunjungan tersebut (Spillane 1994:8).

Sementara itu berdasarkan penggunaan buku panduan turisme dan adanya kelompok-kelompok turis yang telah diatur untuk mengunjungi suatu tempat, membentuk pengertian ‘turisme modern’. Di samping telah tersedianya obyek/atraksi yang dapat dilihat, tersedianya sarana akomodasi, transportasi, keramahan serta jaminan keamanan menjadi bagian yang penting dalam turisme modern (Mill 1990:22).

Atraksi/obyek dapat dilihat berdasarkan sumber-sumber alam, budaya, etnisitas dan hiburan. Objek berdasarkan sumber alam mengandalkan keindahan alam, kekhasan panorama alam suatu kawasan, Sedangkan objek yang berdasarkan budaya mengandalkan daya tarik budaya, peninggalan-peninggalan kuno, tempat bersejarah, agama, tradisi, dan cara hidup masyarakat tersebut. Objek yang berdasarkan etnisitas, misalnya tujuan kedatangan mereka karena hubungan kerabat dan teman. Sementara itu obyek yang berdasarkan hiburan karena ketertarikan para turis terhadap atraksi hiburan yang disediakan di tempat itu, misalnya kebun binatang (Mill 1990:23-24; ENI 1990:189).

Istilah turisme modern ini digunakan untuk membedakan dengan turisme di Jawa sebelum abad ke-20 yang bentuknya berbeda. Turisme sebelum abad ke-20 ini dapat kita sebut sebagai ‘turisme pramodern’ (turisme kolonial). Pada masa itu biasanya mereka yang melakukan perjalanan adalah para pegawai, pendeta, atau pedagang yang sebenarnya tidak bertujuan untuk wisata, seperti Rijklof van Goens, Tavernier, Valentijn dan Junghuhn. Mereka justru mengunjungi tempat-tempat yang dianggap belum pernah tersentuh atau dikunjungi manusia. Sementara itu munculnya kelompok turis yang diatur dimulai pada pertengahan abad ke-19.

Sebagai awal turisme modern di Hindia Belanda kita dapat mengacu pada didirikannya Vereeniging Toeristenverkeer (Perhimpunan Turisme) di Batavia pada 1908. Perhimpunan yang didirikan pada 1908 ini menandai turisme modern di Hindia Belanda yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Sebelum dibentuknya Vereeniging Toeristenverkeer (VTV), para turis yang datang kebanyakan individu (sendiri-sendiri). Mereka pun pada awalnya datang tidak untuk tujuan wisata melainkan karena mendapatkan tugas dari pemerintah.

Sementara itu VTV bertujuan untuk mengembangkan turisme di Hindia Belanda yang dalam prakteknya diawali dengan membentuk suatu biro/kantor di Weltevreden. Kantor tersebut bertugas mengawasi, mempromosikan, memberikan informasi dan membuat reklame turisme yang kemudian disebarkan di dalam maupun di luar negeri.  Dengan kata lain semua faktor yang mendukung adanya turisme modern di Hindia Belanda pada masa itu telah terpenuhi. Mulai dari obyek/atraksi, fasilitas akomodasi, transportasi, hingga keamanan.

WARISAN CHASTELEIJN

Dari uraian di atas jika kita membahas pariwisata di Depok masa Hindia Belanda, maka akan mencakup turisme pramodern dan modern pula. Hal ini berkaitan dengan masa berkuasanya pemerintah Hindia Belanda. Sebelum membahas situasi pariwisata Depok masa kolonial akan diulas secara singkat peran Cornelis Chasteleijn karena Depok tak bisa dilepaskan dengan sosok Cornelis Chasteleijn, seorang Belanda yang semasa hidupnya menjadi tuan tanah dan pernah bertugas sebagai pegawai VOC serta anggota Raad van Indië (Dewan Hindia).

Seorang pelukis Belanda, Cornelis de Bruijn yang melakukan perjalanan keliling dunia pada 1700-an sempat singgah ke vila dan menjadi tamu Chasteleijn di daerah Depok. de Bruijn menggambarkan vila Chasteleijn terdiri dari dua tingkat, terbuat dari kayu dan berada di tengah-tengah perkebunan tebu dan tanaman cabai. Ia juga memperhatikan bahwa di sana ada banyak budak, di antaranya berasal dari Bali (Taylor 1988: 79; Goor 2000:179).

Sebelumnya pada 1696, Chasteleijn membeli lagi lima persil tanah (1.244 ha) di sekitar Depok yang meliputi desa Pitara, Kampung Sengon, Kampung Parung Blimbing dari seorang tuan tanah Tionghoa, Tio Tiong Ko (Marzali 1975:63). Pada 13 Maret 1714 Chasteleijn menulis surat wasiat dalam bahasa Belanda kuno. Berdasarkan surat wasiat Chasteleijn dapat diketahui bahwa ia mewariskan daerah itu kepada para pekerjanya yang telah menganut agama Kristen (ada 12 keluarga). Mereka mewarisi antara lain 300 kerbau, dua perangkat gamelan berhiaskan emas, uang untuk masing-masing keluarga sebesar 16 rijksdaalder (1 rijksdaalder  senilai 2, 5 gulden), serta 60 tombak berlapis perak (Vries 1976:232).

hervormde-kerk-depok4Komunitas kecil Kristen itu pada awalnya terdiri atas sekitar 200 orang asal Bali, Sulawesi dan Timor. Komunitas ini merupakan komunitas Kristen pertama yang terbentuk di luar komunitas perkotaan Belanda, di Batavia (Lombard 2000:100; Vries 1976: 228-248).  Lalu pada tahun 1879, di sana didirikan sebuah seminari. Dibandingkan dengan komunitas Kristen Kampung Sawah, Pondok Gede, komunitas Kristen Depok menurut Lombard, seperti halnya dengan komunitas Kristen Tugu lebih tertutup. Maksudnya kontak dengan penduduk sekitar meskipun ada tidak begitu terbuka dan terbatas. Walau kenyataannya tidak tertutup kemungkinan adanya kontak tersebut, khususnya dengan penduduk asli di sekitar lahan warisan Chasteleijn, seperti yang diungkapkan Amri Mazali.

Dengan adanya komunitas ini seolah-olah nama Depok baru muncul dan masyarakatnya bersifat homogen. Padahal, jauh sebelum Chasteleijn membeli tanah di Depok, nama Depok sudah ada. Hal ini dikatakan Abraham van Riebeeck, inspektur jenderal VOC ketika mengadakan ekspedisi menelusuri sungai Ciliwung pada 1703, 1704, dan 1709. Ia melalui rute: Benteng (Batavia) – Tjililitan – West Tandjong (Tanjung Barat) – Seringsing (Serengseng) – Pondok Tjina – Depok – Pondok Pucung (Terong).

Istilah yang tepat untuk lahan Chasteleijn ini adalah landgoed (tanah milik yang luas dengan rumah besar dan mewah di luar kota) Depok. Sedangkan rumah yang dibangun di atas lahan tersebut disebut landhuis. Seperti lazimnya pada masa itu, para pembesar VOC mendapatkan sebidang tanah yang masih berupa hutan di luar kota. Mereka mendapatkan hak eigendom (hak milik) dari Hoge Regering (Pemerintah tertinggi ) Hindia Belanda. Di atas tanah itu mereka membangun rumah pasanggrahan, semacam vila sekarang. Demikian pula Chasteleijn yang membangun rumah serta gerejanya tersebut (Soekiman 2000:99).

Upaya Chasteleijn tersebut menurut sejarawan De Jong merupakan bagian dari perluasan wilayah westerse particuliere ondernemingen (perusahaan swasta Barat/Belanda) yang sejak akhir abad ke-17, awal abad ke-18 mulai meluas ke wilayah di  sekitar Batavia. Kebanyakan lahan tersebut dimiliki oleh orang Eropa dan Tionghoa. Salah satu contohnya adalah lahan milik Chasteleijn di Seringsing (Srengseng) dan Depok (Jong 1998:187).

Di sini tampak salah satu bagian dari pariwisata yaitu akomodasi berupa pasanggrahan milik Chasteleijn yang bisa dikunjungi dan disinggahi, Namun, rupanya terbatas di kalangan kerabat atau kenalan (turisme pramodern).

Bersambung…..

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *