Meletusnya Gunung Agung di Bali akhir November 2017 silam membuat dunia kepariwisataan di wilayah tersebut mengalami gangguan. Banyak turis yang membatalkan liburan ke pulau tersebut. Namun, ada juga para turis yang nekad bertahan tinggal di Bali. Mereka malah mengabadikan momen langka yang mungkin hanya sekali seumur hidup. Fenomena para turis ‘menantang maut’ dengan menikmati objek wisata yang dalam kondisi tidak normal ini bukan lah fenomena baru. Bila kita menelusuri catatan masa silam, kita menemukan fenomena yang sama.
Pada tahun 1883 Gunung Krakatau meletus. Nederlandsch Indische Stoomvaart Maatschappij, perusahaan pelayaran yang secara legal adalah perusahaan Belanda tapi dimiliki, didanai, dan dijalankan oleh British India Steam Navigation Company, melihat potensi ‘fenomena alam’ tersebut. Mereka justru berupaya mendatangkan para turis dengan memanfaatkan daya tarik letusan Gunung Krakatau.
Simon Winchester dalam Krakatoa , the Day the World Exploded: August 27 1883 (2003) mencatat bahwa Netherlands Indies Steamship Company adalah pihak pertama yang dengan sigap menawarkan kapal wisata Gouverneur Generaal Loudon dengan bobot mati 1.239 ton untuk membawa para turis. Pada 26 Mei 1883 perwakilan perusahaan memasang pengumuman di klub Harmonie dan Concordia. Dalam pengumuman tercantum ‘tur menyenangkan’ dengan harga tiket 25 gulden pergi pulang untuk kelas 1, 15 gulden untuk kelas 2, dan untuk inlander (bumiputra) seharga 5 gulden termasuk makan.
Pengumuman ‘wisata petualangan’ itu juga dimuat dalam Bataviaasch Handelsblad dan Java Bode edisi 24 Mei 1883. Seperti pengumuman yang dipasang di klub Harmonie dan Concordia disebutkan kapal akan berangkat pada pukul 5 sore menuju Pulau Krakatau di Selat Sunda. ‘…ten einde het publiek in de gelegenheid te stellen de eventueele uitbarsting of de gevolgen daarvan te bezichtigen’ (untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melihat letusan atau akibat dari letusan tersebut), tulis iklan tersebut.
Hari Sabtu pagi daftar peserta (para turis) yang mendaftar sudah penuh. Sabtu sore rombongan turis berangkat dengan peserta lebih dari seratus orang. Setelah berlayar pada malam hari menuju ‘percikan api’ hasil letusan Krakatau yang terlihat di tengah Selat Sunda, para penumpang memasang mata mereka menikmati ‘kembang api’ hingga fajar menjelang. Surat kabar Java Bode edisi 26 Mei 1883 melaporkan nama-nama para ‘turis’ yang menikmati perjalanan tersebut.
Di antara para turis tersebut terdapat Mr. Schuurman sebagai wakil dari pemerintah. Schuurman mencatat pengalamannya: ‘Pemandangan pulau itu fantastis; pulau itu telanjang dan kering, hutan tropisnya yang kaya telah lenyap, dan asap naik dari pulau seperti asap yang keluar dari oven,…’ Kapten kapal Loudon, T.H. Lindemann membuang sauh tak jauh dari pulau dan ia meminjamkan sebuah perahu untuk Schuurman beserta rombongannya.
Rombongan tersebut tinggal di pulau hampir seharian. Pukul enam sore, senja mulai meremang. Kapten kapal membunyikan klakson uap kapal Loudon sebagai tanda panggilan untuk rombongan segera meninggalkan dari pulau tersebut. Salah seorang anggota rombongan, Mr. Hamburg tinggal sampai beberapa saat lebih lama untuk mengambil foto. ‘Kami mulai berangkat kembali ke Batavia pukul 8 malam,’ tulis Schuurman. ‘…terima kasih banyak atas keindahan dan atas pemandangan yang begitu mengesankan bagi semua orang, dan pemandangan yang tak akan terlupakan bagi sebagian besar orang,’ Schuurman mengakhiri laporannya.
sumber foto:
http://bali.tribunnews.com/2017/12/03/heboh-selfie-wisatawan-dengan-latar-erupsi-gunung-agung-tuai-kecaman-media-asing
http://www.vansandick.com/familie/archief/In_het_Rijk_van_Vulcaan/10.php