Jejak Peradaban

Pada 27- 29 Agustus 2006 lalu berlangsung forum dialog antar kementrian pariwisata negara Kamboja, Myanmar, Laos, Thailand, Vietnam, dan tuan rumah Indonesia di Yogyakarta. Forum dialog tersebut mengangkat tema baru: Trail of Civilitation (Jejak-jejak Peradaban) yang diharapkan menjadi payung solidaritas enam dari sepuluh negara anggota ASEAN.

 

Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, forum tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan keutuhan persahabatan di masa yang akan datang agar menebarkan manfaat bagi perdamaian dan kesejahteraan masyarakat masing-masing karena kesamaan jejak peradaban dan asal muasal leluhur. Ia lalu menambahkan bahwa gagasan pertemuan tersebut sebenarnya sudah dirintis oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung ke Myanmar dan Kamboja beberapa waktu lalu.

Gagasan Presiden SBY mengenai persamaan peradaban tersebut bisa dirangkai menjadi obyek budaya yang cukup baik. Di samping itu kesamaan jejak tersebut bisa dipahami lebih jauh oleh generasi dari enam negara ASEAN, dan bangsa-bangsa di dunia. Kesamaan jejak peradaban yang diangkat kali ini adalah fakta bahwa keenam negara tersebut memiliki warisan budaya masa keemasan agama Buddha. Yaitu melalui peninggalan sejarah berupa candi, seperti Candi Angkor Wat (Kamboja), Candi Bagan (Myanmar), Candi Luang Prabang (Laos), Candi Ayuthaya (Thailand), Candi Oc’oe (Vietnam), dan Candi Borobudur (Indonesia).


Forum tersebut pun melahirkan “Deklarasi Borobudur” di Magelang. Isinya berupa komitmen bersama untuk mengembangkan pariwisata melalui pengelolaan dan promosi warisan peradaban bersama dalam wujud kerja sama wisata ziarah dan kebudayaan.
Hal menarik adalah upaya untuk ‘mempromosikan’ warisan budaya masa keemasan agama Budha sebenarnya bukan hal baru.

Pada masa kolonial, di awal dibukanya Hindia khususnya Jawa untuk turisme internasional, warisan budaya masa Budha sudah menjadi ujung tombak promosi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dari buku panduan turisme serta itinerario (jadwal acara) terbitan VTV (Vereeniging Toeristenverkeer = Perhimpunan Turisme) yang mengatur turisme di Hindia Belanda pada masa itu, tercatat sejak tahun 1910-an hingga 1940-an, peninggalan candi-candi baik Budha maupun Hindu menjadi obyek yang ‘wajib’ dikunjungi oleh para turis asing. Jaringan VTV itu pun tidak tanggung-tanggung. Mereka memiliki wakil di kota-kota besar Asia (Tokyo, Singapura, Shanghai, Manila, Hongkong), Amerika (San Fransisco, New York), Eropa (Amsterdam, Den Haag, London, Paris), Australia (Sydney) bahkan Afrika (Cape Town, Johannesburg). Pada masa itu VTV juga memiliki hubungan dengan negara-negara yang ketika itu masih di bawah jajahan Prancis yang dikenal dengan nama Prancis-Indo China. Lantas, apa bedanya dengan sekarang?

Perbedaannya mungkin dahulu kita masih berada di bawah penguasaan pemerintah kolonial (baca: penjajah) dan sekarang kita sudah “merdeka”. Perbedaan lain adalah kalau dulu sasaran turis hanya orang kulit putih dan mereka yang dianggap sejajar, seperti bangsa Jepang, sekarang adalah semua turis yang memiliki potensi besar. Atau kalau dulu kita hanya menjadi penonton atau sekedar pesuruh (dahulu djongos) sekarang menjadi pelaku meskipun tidak semuanya terlibat. Berdasarkan penelusuran jejak bolehlah dikatakan adanya kesamaan jejak peradaban dan kesamaan asal leluhur. Namun, di sini kita tidak boleh melupakan bahwa di samping adanya kesamaan itu ada pula perbedaan yang sejatinya memang selalu ada. Justru dalam perbedaan itu kita menemukan ciri khas yang bisa dijadikan obyek menarik untuk diketahui oleh masing-masing pihak.


Sementara itu negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan Filipina tidak diundang. Sudah jelas alasannya karena di negara-negara tersebut tidak memiliki candi sebagai peninggalan sejarah agama Budha. Ironisnya, dilihat dari sudut pandang potensi turis, negara-negara inilah (Malaysia, Singapura) memiliki potensi yang lebih besar dibanding negara-negara yang memiliki candi tersebut. Bukankah akan lebih efektif bila mereka juga turut diundang.
Sudah jelas bila kita berbicara promosi pariwisata hal itu akan bersinggungan dengan masalah ekonomi. Namun, pertanyaannya apakah pemerintah memang sudah dengan serius menangani bidang ini dengan mengangkat warisan budaya sebagai bagian dari promosi pariwisata.

Menurut pakar manajemen, Rhenald Kasali, Indonesia memang pernah sangat serius menekuni bidang pariwisata ini sebagai industri. Namun, pasca krisis tahun 1997 hingga sekarang pariwisata Indonesia seperti kehilangan ‘ruh’nya. Bahkan, tak satu pun dari para presiden Indonesia yang menyebutkan betapa pentingnya ‘industri’ pariwisata ini. Yang kita dengar hanyalah keluhan yaitu matinya usaha pariwisata dengan berbagai akibat. Mulai dari terorisme, ancaman bom, larangan berkunjung (travel banned), peringatan berkunjung (travel warning), hingga flu burung.

Hal-hal negatif tersebut di atas mengingatkan kita pada masa awal mulai berkembangnya turisme di Hindia Belanda (abad ke-18/19). Sebelum turisme diatur oleh pemerintah kolonial. Ancaman wabah penyakit (pes/kolera), bencana alam (gunung meletus), guna-guna, amok, perang antar suku menghiasi buku-buku catatan perjalanan para pengelana yang telah dibumbui. Justru hal tersebut menarik perhatian para petualang hingga mereka membuktikan kebenaran ‘cerita’ tersebut.

Namun, pemerintah Hindia Belanda berupaya membatasi para pengunjung yang berniat berkunjung. Mereka mengeluarkan semacam peraturan dalam bentuk toelatingskaart (kartu izin masuk) yang super ketat. Tetap saja antusiasme para pengunjung tak terbendung. Hingga akhirnya pemerintah ‘membuka’ pintu bagi para pengunjung asing meskipun aturan toelatingskaart itu tetap diberlakukan.

Sehubungan dengan mengangkat warisan budaya sebagai bagian dari promosi pariwisata ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Antara lain tidak menempatkan budaya sebagai obyek belaka. Dalam hal ini termasuk masyarakatnya, sebagai pemilik dan ‘pewaris’ budaya tersebut. Bisa jadi masyarakat yang idealnya dijadikan subyek, dengan kata lain sebagai bagian dari pariwisata tersebut hanya menjadi tontonan atau penonton belaka. Sehingga masyarakat yang seharusnya diharapkan mampu menaikkan taraf hidupnya malah semakin miskin karena sedikitnya ‘kue’ yang seharusnya mereka terima. Misalnya kasus yang menimpa masyarakat di sekitar Candi Borobudur.

Hal lainnya adalah tidak menjadikan budaya sebagai komoditas belaka. Misalnya merekayasa budaya dan dibuat sedemikian rupa untuk konsumsi para turis sehingga menghilangkan nilai-nilai penting budaya tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa salah satu penggerak pariwisata internasional adalah keinginan yang besar untuk mengalami kebudayaan yang masih murni dan eksotis. Kebudayaan murni dan eksotis tersebut dimiliki kelompok-kelompok etnis di negara-negara Dunia Ketiga. Keinginan untuk mengalami kebudayaan yang masih murni dan eksotis, menurut Stuart Hall adalah fantasi Barat tentang otherness, sebagai ‘fantasi kolonial’ tentang dunia pinggiran yang dipelihara oleh Barat.

Sehubungan dengan masalah ekonomi, dua ahli ekonomi mikro, Joseph Pine II dan James H. Gilmore berpendapat bahwa negara-negara industri telah mereposisi ekonominya dari brand based economy (ekonomi manufaktur berbasiskan produk-produk bermerek) menjadi experience economy (ekonomi berbasiskan experience atau kesan). Experience merupakan kegiatan ekonomi produktif yang menimbulkan efek keterlibatan. Hampir semua kegiatan yang berhubungan dengan turisme yang berakhiran ing, misalnya diving, skiing, snorkeling, sightseeing masuk kategori ini. Semua kegiatan ini merupakan kemasan pariwisata modern yang menimbulkan pengaruh terhadap kenaikan lapangan kerja dan otomatis mengurangi pengangguran. Tentunya kenaikan lapangan kerja ini sangat diharapkan oleh Presiden SBY sehingga data berupa menurunnya angka-angka pengangguran yang sempat diperdebatkan benar-benar menjadi kenyataan.

Idealnya, pemerintah berupaya memanfaatkan sumber dan peluang lain, selain mempromosikan kembali warisan budaya. Terutama yang berkaitan dengan kemasan pariwisata modern. Sehingga akan tampak adanya kreativitas, variasi dan tidak sekedar mengulangi apa yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Padahal Indonesia memiliki semua itu dan tidak hanya di Jawa (baca: Borobudur). Misalnya kekayaan alam yang belum digali sepenuhnya di tempat-tempat lain. Terlepas dari masalah-masalah yang mungkin saja dapat menjadi penghambat upaya pemerintah yang memperhatikan sektor pariwisata ini, upaya pemerintah ini patut mendapat dukungan. Khususnya dari kita semua. Tentu dukungan masyarakat ini harus diimbangi oleh keseriusan pemerintah yang berkesinambungan. Sehingga tidak menimbulkan kesan, ganti pemerintahan ganti kebijakan. Yang ujung-ujungnya hanya merugikan masyarakat. Di samping itu diperlukan pula strategi yang matang dalam hal pemasaran. Di sinilah kunci keberhasilan upaya pemerintah tersebut.

Melirik Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa

Judul : Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa

Penulis : Ong Hok Ham

Pengantar : David Reeve

Penerbit : Komunitas Bambu, Depok, 2005

Tebal : xlii + 244 halaman

Dalam pidato menyambut 70 tahun Ong Hok Ham tiga tahun lalu Professor A.B. Lapian mengusulkan untuk menerbitkan kembali kumpulan karangan Pak Ong di majalah Star Weekly. Usulan A.B. Lapian itu sepertinya diwujudkan dalam penerbitan buku Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa ini. Ada 15 artikel yang disuguhkan dalam buku ini dari 40 artikel yang menurut editornya pernah ditulis Ong Hok Ham untuk Star Weekly periode 1958 – 1960. Periode ketika Ong masih belia, belum genap 25 tahun, saat artikel pertamanya ‘Perkawinan Indonesia-Tionghoa sebelum abad ke-19 di Jawa’ (hal. 1) terbit. Tepatnya 15 Februari 1958. Artikel ini menceritakan kedatangan perempuan Tionghoa totok pertama di Batavia pada abad ke-17 yang begitu menggemparkan dan menurut Ong dapat disamakan dengan kedatangan orang Mars ke bumi. Diceritakan pula perempuan Tionghoa totok pertama yang datang ke Jawa (Semarang) pada 1815. Ia menjadi tontonan bagi nyonya-nyonya peranakan di Semarang karena perempuan Tionghoa totok itu berpakaian aneh dengan kaki kecil yang diikat. Sesudah menonton, para nyonya Semarang itu memberi persen bagi perempuan Tionghoa totok itu (hal.4). Selain itu diceritakan pula seorang janda, seorang perempuan Bali yang diangkat menjadi kapitein oleh Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker pada 1666 (hal.5), serta kapitein Tionghoa muslim terakhir, Kapitein Mohammad Japar yang meninggal pada 1827 (hal.7). Continue reading “Melirik Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa”

Menjual Imajinasi Kenangan Masa Lalu

Judul   :  Indonesia: 500 Early Postcards
Penulis  :  Leo Haks dan Steven Wachlin
Penerbit :  Archipelago Press, Singapura , 2004
Tebal  :  288 halaman

Bagi para pelancong mengunjungi suatu tempat baru merupakan hal yang menyenangkan. Pelancong yang suka fotografi tentu tak akan melewatkan kesempatan berplesir itu dan mengabadikannya dengan kamera sebagai kenang-kenangan yang kelak dapat mereka nikmati. Lantas, bagaimana yang tidak suka fotografi atau tak memiliki kamera tapi ingin memiliki kenang-kenangan? Mudah saja, di tempat-tempat wisata biasanya tersedia beragam kartupos yang tentunya memiliki kualitas gambar bagus.
Fotografi dan pariwisata memang merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Sebagai sarana promosi, foto-foto yang indah menjadi daya tarik tersendiri dan juga diharapkan mampu menarik para wisatawan untuk datang dan menikmati obyek yang telah dipersiapkan. Sehingga foto-foto yang ‘direkayasa’ itu mutlak diperlukan.
Dalam kurun waktu hampir dua abad, sejarah fotografi dan pariwisata di Indonesia menjadi suatu hal yang menarik untuk didiskusikan. Alasannya, secara estetika dan diskursus foto-foto promosi pariwisata mengenai Indonesia selama satu abad itu hampir tidak ada perubahan. Nyaris sama atau bahkan sama dengan di masa-masa awal fotografi digunakan sebagai bagian dari promosi pariwisata di awal abad ke-20 dan sarana ‘menemukan’, ‘mengenal’ Indonesia.
Hal yang menarik lagi, foto-foto itu dimuat pula dalam brosur, kartu pos, buku-buku panduan wisata seperti Come to Java yang disebarkan ke seluruh negara yang dianggap memiliki potensi mendatangkan para turis dalam jumlah yang cukup banyak.  Penggunaan kartu pos, buku panduan wisata dan brosur sebagai bahan promosi pariwisata merupakan awal dari suatu cara pandang populer pada masa itu. Bahan-bahan promosi itu sebagian besar diterbitkan oleh sebuah badan resmi pemerintah yang mengurusi promosi turisme di Hindia Belanda, Officieel Vereeniging Toeristenverkeer Bureau (sering disingkat VTV).
Bahan promosi dalam bentuk kartu pos itulah yang ditampilkan dalam buku Indonesia: 500 Early Postcards karya Leo Haks dan Steven Wachlin. Nama Leo Haks tentu tak asing lagi bagi para kolektor barang antik. Ia adalah kolektor buku, lukisan, foto-foto, barang cetakan dan tentu saja kartu pos tentang Indonesia (Hindia Belanda)  yang dilakoninya sejak 1984. Bahkan koleksinya muncul di sekitar 100 buku, majalah, termasuk dalam Batik:Design, Style & History (2004) karya Fiona Kerlogue.
Kali ini Leo menggandeng Steven Wachlin, sejarawan dari Universiteit van Amsterdam penulis Woodbury & Page, Photographers Java (1994) dan co-penulis Toekang Potret:100 Years of Photography in the Dutch Indies 1839-1939 (1989) serta Diana Darling, penerjemah buku Michel Picard Bali:Cultural Tourism and Touristic Culture (1996).
Lima ratus kartu pos yang disajikan dalam buku ini dibagi dalam tujuh wilayah geografis. Mulai dari wilayah Barat hingga ke Timur. Dari Sumatra, Jawa, Bali dan Sunda Kecil, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), sampai ke Irian Jaya dan Kepulauan Maluku. Ada satu bagian khusus yaitu Batavia (Jakarta) yang memang paling banyak menghasilkan kartu pos serta menghasilkan kartu pos yang paling indah.
Tujuh bagian itu dibagi lagi dalam kategori; pemandangan kota, pemandangan alam (lanskap), arsitektur, kegiatan sehari-hari dan tentu saja potret.
Buku ini pun tidak sekedar memajang koleksi kartu pos-kartu pos selama kurun waktu 1893 -1930-an saja. Namun buku ini dilengkapi pula dengan artikel di setiap wilayah geografis yang semakin memperjelas keterangan mengenai koleksi kartu-kartu pos tersebut.
Sejarah kartu pos di Hindia Belanda dimulai sekitar 110 tahun yang lalu ketika kartu pos bergambar pertama kali muncul.  Sebuah artikel berjudul ‘De Triumf der Briefkaarten’ (Kemenangan kartu pos) di Bataviaasch Nieuwsblad edisi 6 Januari 1905 menceritakan sejarah singkat perkembangan kartu pos yang merupakan  ide Dr. Heinrich von Stephan di Jerman pada 1865. Meskipun akhirnya Dr. Emmanuel Hermann dari Akademi Militer Wiener-Neustadt yang diakui sebagai pencetusnya. Belanda sendiri ‘mengadopsi’ briefkaart (kartu pos) pada tahun 1871 yang segera disusul negeri jajahannya, Hindia Belanda (hal.15)
Awalnya, pemerintah secara resmi tidak mengizinkan pihak swasta mencetak kartu pos bergambar, seperti untuk iklan bisnis atau dagang. Namun, akhirnya larangan itu dicabut secara resmi dan pihak swasta diizinkan mencetak kartu pos bergambar.
Ada hal menarik sehubungan dengan kartu pos bergambar ini. Pada 1898 firma H.Bunning mengeluarkan seri kartu pos Yogyakarta, Prambanan dan Borobudur. Salah satu kartu pos bergambar patung Buddha di Borobudur. Kartu itu lalu dikirim ke Belanda sebagai kartu ucapan tahun baru. Ketika tiba di sana, petugas pos Rotterdam menganggap gambar Buddha yang telanjang ‘kurang sopan’ untuk disampaikan pada si penerima. Maka sang Buddha diberikan ‘pakaian’ dahulu, kartu pos itu dimasukkan dalam amplop. Si penerima terpaksa harus membayar biaya ekstra 7,5 sen (hal.20).
Kebanyakan gambar-gambar kartu pos merupakan hasil reproduksi foto. Foto-foto itu merupakan hasil kerja fotografer yang sudah dikenal, seperti dari firma Woodbury & Page di Batavia, Chephas di Yogyakarta. Terkadang foto-foto yang dipergunakan untuk kartu pos merupakan gambar yang diambil sepuluh tahun lalu (abad ke-19). Biasanya gambar yang diambil adalah situasi sehari-hari kemordernan Eropa di tempat nun jauh di sana. Serta keberhasilan yang telah mereka capai di negeri koloni, seperti gambar pabrik, pelabuhan, gedung kesenian yang disandingkan dengan ‘keeksotisan’ alam Hindia Belanda, seperti gambar gunung berapi (hal.23-24).
Selain kartu pos lepas terdapat pula rangkaian seri kartupos bergambar, seperti yang dikeluarkan oleh firma Masman & Stroink di Semarang 1905. Misalnya pada seri kelima yang dikenal dengan Mooi Insulinde (Hindia yang indah) memuat gambar Gunung Bromo dengan lautan padang pasirnya, pemandangan kota, dan ‘rampokpartij’ (hal.24)

Awal abad ke-20 firma Tio Tek Hong di Pasar Baru, Weltevreden menjadi percetakan kartu pos terkemuka. Kartu-kartu pos bergambar Batavia dan Buitenzorg dijual dengan harga bervariasi mulai 5 sen hingga 75 sen (hal.27). Pada waktu yang sama muncul gejolak kartu pos mania yang ‘menyapu’ dunia. Bataviaasch Nieuwsblad edisi 14 Januari 1901 menuliskan berdasarkan survey 9 hingga 16 Agustus 1900 tercatat 10.128.569 kartu pos bergambar diposkan hanya di Jerman. Surat kabar yang sama pada 7 November 1903 menulis bahwa pada 1902 kira-kira 900 juta helai kartu pos digunakan di seluruh dunia, tidak termasuk Asia dan Afrika (hal.27)
Dalam kaitannya antara promosi pariwisata dan kontrol pemerintah di Hindia Belanda, pada tahun 30-an, pemerintah Hindia Belanda telah menyeleksi sekitar 12.000 lembar foto yang disajikan dalam buku panduan wisata serta kartu pos yang dikirimkan ke 30 pusat turisme di seluruh dunia.
Foto-foto yang ditampilkan seperti bangunan-bangunan, jalan raya, jembatan, jalur kereta, bendungan, kabel telegraf memperlihatkan Hindia Belanda yang sudah dimodernisasi. Foto-foto yang menampilkan modernisasi itu berdampingan dengan foto-foto pemandangan alam (aneka tanaman, sungai, lembah, pegunungan, pantai), binatang (kerbau, gajah, buaya), reruntuhan candi atau candi-candi di Jawa, rumah adat. Para penduduk pribumi yang ditampilkan dalam foto-foto itu kebanyakan ditampilkan dengan pakaian khas mulai dari golongan bangsawan hingga pembantu, penghibur/seniman (penari, pemusik), penjual keliling, pengrajin atau sedang melakukan suatu upacara adat, berjudi, pecandu opium.
Foto-foto tersebut menurut Stuart Hall dalam “The Question of Cultural Identity” berupaya memuaskan sebuah ‘fantasi kolonial’ yang merupakan fantasi Barat tentang otherness, tentang dunia pinggiran yang dipelihara oleh Barat. Serta  sebuah pandangan bahwa semua itu adalah tempat-tempat ‘tertutup’ – murni secara etnis, tradisional secara budaya , tak terusik oleh modernitas.
Sebagian besar kartu pos dalam buku ini merupakan koleksi Leo Haks. Selain itu ada pula koleksi dari Didier Millet, Ian Stewart, Lim Han Kian, dan Scott Merrillees.
Buku ini dilengkapi juga dengan daftar nama percetakan dan kota yang mengeluarkan kartu-kartu pos tersebut (hal.284-285).
Menarik bila kita melihat imajinasi kenangan masa lalu yang ditampilkan dalam buku koleksi kartu pos ini. Imajinasi yang awalnya digunakan oleh bangsa Barat untuk mengenal kita. Dan kini kita gunakan untuk mengenal apa dan siapa itu ‘Indonesia’.
Seperti yang dikatakan Leo Haks di awal bukunya, meskipun buku ini memperlihatkan perkembangan penggunaan kartu pos yang merupakan bagian dari sejarah Indonesia (Indonesian history) tetapi ini bukan sejarah tentang Indonesia (history of Indonesia) karena tidak menampilkan secara keseluruhan gambaran serta postulat perubahan dinamis yang terjadi di masa lalu.
 

Jakarta Tempo Doeloe dalam Kenangan Seorang Pria Tionghoa Passer Baroe

Batavia (Jakarta) merupakan sumber yang tak ada habis-habisnya untuk ditulis dan dikaji. Banyak kisah tercecer di Batavia yang belum diungkapkan. Terutama dalam kurun waktu tertentu. Kisah atau pengalaman yang menarik dan dapat dinikmati oleh khalayak
Banyak sudah orang yang menulis tentang Batavia (Jakarta).  Bisa jadi telah banyak ahli yang mengambil tema kota ‘buatan’ Belanda ini. Sayangnya, kebanyakan penulisnya adalah orang luar negeri. Sehingga memunculkan pertanyaan: mana penulis Indonesianya?
Batavia (Jakarta) memang menarik untuk diteliti. Kota di muara sungai Ciliwung yang awalnya adalah benteng VOC ini  memiliki sejarah panjang dan berbagai permasalahan pelik yang masih dirasakan hingga kini.
Kalau saja pada masa VOC, mereka tidak memerlukan tempat yang strategis untuk dijadikan benteng alternatif di Jawa selain di Ambon tentu lain ceritanya. Bahkan kalau saja de Heeren XVII di Belanda sana mengizinkan Jan Pieterszoon Coen menggunakan nama Nieuw Hoorn, kampung kelahirannya dan bukan Batavia lain juga ceritanya. Tapi dalam sejarah tidak mengenal ‘if history’ , ‘sejarah kalau’, jadi yang terjadi terjadilah.
Batavia (Jakarta) pun juga menjadi obyek catatan atau sumber kenangan bagi mereka yang telah merasakan ‘kehangatan’ de Koningin van den Oost (Ratu dari Timur) ini. Berbagai catatan para pengunjung dan penduduk ‘asli’nya sudah terdokumentasikan. Meskipun demikian masih perlu penelusuran dan penelitian lebih lanjut jika ingin mengetahui kesan-kesan mereka.
Contoh catatan pengunjung asing, seperti pedagang-petualang kelahiran Paris, Jean Baptiste Tavernier (1648), pendeta F. Valentijn (1726), nakhoda kapal Bounty Kapten William Blight (1800-an), Eliza R. Scidmore (1897), Justus van Maurik (1897), H.C.C Brousson (1900-an), Augusta de Wit (1905).  Tentu cara pandang mereka berbeda dengan penduduk ‘asli’nya yang memiliki sudut pandang lain dalam ‘melihat’ negeri mereka sendiri. Seperti misalnya kisah perjalanan priyayi Surakarta R. Aryo Sastrodarmo (1865) tertuang dalam Kawontenan Ing Nagari Betawi yang melukiskan suasana lebaran di Batavia.
Begitupula buku yang didiskusikan ini, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959 karya Tio Tek Hong.. Sebenarnya buku tersebutkan pernah diterbitkan pada 1959 dengan judul Kenang-kenangan: Riwajat-hidup saja dan keadaan di Djakarta dari tahun 1882 sampai sekarang. Selain itu cuplikan buku ini pernah juga dimuat dalam Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (1988) terbitan Intisari. Mengacu judul di atas …sampai sekarang (tahun buku itu dicetak) maksudnya tahun 50-an ketika si penulis menjelang 83 tahun. Dalam kurun waktu hampir setengah abad buku ini dicetak kembali dan menghadirkan suasana Jakarta Tempo Doeloe.
Tio Tek Hong adalah seorang pria Tionghoa kelahiran Passer Baroe (Pasar Baru), Batavia pada 7 Januari 1877, daerah yang hingga kini dikenal sebagai daerah pertokoan. Ia juga pendiri sebuah toko pada 1902 yaitu N.V (Naamloze Vennotschap = sejenis Perseroan Terbatas) Tio Tek Hong yang didirikan bersama saudaranya. Toko mereka itu menjual berbagai macam barang dan yang pertama kali menjual barang dengan harga pas yang dicantumkan. Mereka pula yang merintis kebiasaan menutup toko setiap hari Minggu dan hari raya.
Toko Tio Tek Hong juga menjual gramofon impor serta piringan hitam. Menurutnya toko ini terkenal dari Sabang sampai Merauke karena mengedarkan piringan hitam lagu-lagu Melayu, keroncong dan Stambul.
Buku ini diawali dengan pengalaman penulisnya ketika anak-anak yang berlatar belakang meletusnya gunung Krakatau pada 1883 hingga masa uzur pada tahun 50-an. Serpihan pengalaman dan kenangan bergulir diceritakan Tio Tek Hong, meminjam istilah Iskandar P. Nugraha penulis kata pengantar buku ini, buku ini tak sekedar menyajikan gambar indah secara cepat dengan cara ‘methode sliding’ seperti presentasi powerpoints, namun tergesa-gesa tanpa menyisakan terbentuknya isi emosional pemilik pengalaman tersebut.
Secara spasial pengalaman penulis memang tidak hanya di Jakarta saja. Lihat misalnya pengalamannya ketika melihat Komet Halley di Bogor pada 1911 atau ketika melakukan perjalanan keliling Jawa pada 1905. Seperti yang diceritakan oleh Eliza R. Scidmore dalam Java the Garden of the East (1897) ketika hendak mengunjungi Yogyakarta, Tio Tek Hong yang dianggap Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) pun memerlukan surat jalan untuk ke Yogya dan Solo. Tio Tek Hong terpaksa membayar denda 5 gulden karena surat jalan yang diberikan cuma surat jalan ke Surabaya.
Dari sudut pandang kajian turisme, pengalaman Tio Tek Hong ini saya masukkan dalam bagian turisme modern. Turisme pra-modern adalah istilah yang digunakan untuk membedakan dengan turisme modern. Turisme pra modern merupakan turisme sebelum abad ke-20 di Jawa. Pada masa itu yang biasa melakukan perjalanan adalah para pegawai, pendeta atau pedagang yang sebenarnya tidak bertujuan untuk wisata, seperti Rijklof van Goens utusan VOC yang mengunjungi Mataram pada 1648-1654, Tavernier pada 1648, Valentijn pada abad ke-18, Junghuhn ahli botani yang ditugaskan pada abad ke-19. Sedangkan istilah turisme modern dikaitkan dengan penggunaan buku panduan turisme, adanya kelompok-kelompok turis yang diatur untuk mengunjungi suatu tempat. Selain obyek/atraksi dalam turisme modern juga disediakan sarana akomodasi, transportasi dan jaminan keamanan.
Dalam buku ini, pengalaman Tio Tek Hong ketika melakukan perjalanan keliling Jawa dapat dijadikan contoh menarik untuk turisme modern tersebut. Kewajiban memiliki surat jalan, memanfaatkan trem Nederlandsch Indie Tramway Maatschappij, pengalaman terhadap hotel (Hotel Andreas di Cilacap hanya untuk orang Belanda dan Hotel Slamat untuk orang Indonesia atau lainnya). Atau penginapan-penginapan yang hanya untuk orang kulit putih. Demikian halnya kunjungan ke Candi Borobudur dan Gunung Merapi. Semua ini mengingatkan kita pada itenerario buatan pemerintah Hindia Belanda yang diperuntukkan bagi para turis.
Demikian pula dengan kenangan sajian tempat-tempat di Jakarta. Misalnya tempat ‘plesir’ di Pejongkoran (Petit Trouville) Tanjung Priok; Gereja Portugis tempat berdirinya dinding peringatan dengan hiasan tengkorak Pieter Erbervelt, seorang Indo yang dihukum lantaran dianggap memberontak pada kompeni; jembatan gantung tua di dekat Stadhuis (balaikota, sekarang Museum Jakarta); museum Oud Batavia (sekarang Museum Wayang); meriam keramat si Jagur; Pasar Gambir.
Buku ini mungkin dapat pula dijadikan ‘sumber’ sejarah, khususnya dalam upaya mendapatkan cara pandang ‘baru’ melihat Jakarta. Namun, yang harus diingat adalah sumber tersebut perlu dikritisi. Di sini suatu karya, misalnya kenang-kenangan ini sangat besar dipengaruhi oleh latar belakang seperti siapa penulisnya (umur, jabatan, gender, etnik, dan lain-lain).  Selanjutnya apa motivasi mereka menuliskan itu. Serta kedekatan mereka dengan obyek yang ditulis (di sini:Jakarta/Batavia). Dengan demikian sejarawan diharapkan melatih dirinya untuk dapat membaca apa yang dipikirkan oleh penulisnya. Tidak sekedar membaca produk yang dihasilkan (baca:kisah kenang-kenangan) melalui rangkaian naratifnya. Untuk itu diperlukan metode bantu untuk memahami karya –karya tersebut sebagai bentuk representasi.
Membaca buku ini seperti mendengar cerita kakek kita yang penuh kenangan dan nostalgia. Pengalaman yang mungkin tak pernah sempat dirasakan oleh generasi sekarang, seperti mandi di kali, bermain gundu, berburu di hutan (ada hutan di Jakarta sekarang?), menikmati transportasi tramway (sekarang busway?), bola lampu pertama, pabrik es pertama merupakan pengalaman yang hanya bisa diceritakan. Kecuali misalnya pengalaman penulis mengisap candu dan menyesap arak yang oleh anak-anak sekarang ini mungkin lebih canggih lagi (baca: narkoba). Hal yang menarik adalah nasehat rahasia umur panjang dari Tio Tek Hong yang dalam usia lanjut masih tegak, rambut tebal dan berpikiran jernih. Rahasianya mudah yaitu bangun pagi, minum air putih, tidak merokok, berolahraga rutin serta banyak makan sayur dan buah-buahan. Nasehat emas yang berharga bagi kita sambil menikmati buku ini.
 

Sejarah “Belanda Hitam” di Indonesia

Judul   :  Zwarte Hollanders: Afrikaanse Soldaten in Nederlands-Indië
Penulis  :  Ineke van Kessel
Pengantar : Arthur Japin
Penerbit :  KIT Publisher, 2005
Tebal  :  303 halaman
Beberapa tahun silam dan mungkin hingga kini di Jakarta, khususnya wilayah Tanah Abang marak dengan orang Afrika yang berdatangan untuk berdagang. Kebanyakan berdagang pakaian tetapi ada pula yang berdagang barang haram alias ilegal, seperti narkoba atau menjadi penipu dengan menjual uang dolar palsu. Namun, ada pula yang mengadu nasib menjadi legiun asing di kesebelasan-kesebelasan profesional Indonesia.
Menurut catatan sejarah ternyata orang Afrika itu sudah lama datang dan menetap di Nusantara. Dibandingkan dengan sekarang, yang berbeda mungkin hanya “niat” kedatangan mereka. Sejarah mengenai orang Afrika di Indonesia itulah yang dibahas dalam buku Zwarte Hollanders: Afrikaanse Soldaten in Nederlands-Indië (Belanda Hitam: Prajurit Afrika di Hindia Belanda) karya Ineke van Kessel seorang sejarawan dan wartawan serta peneliti Afrika-Studiecentrum di Universitas Leiden, Belanda.
Buku ini diawali dengan sejarah orang Afrika sebagai prajurit yang ditelusuri oleh van Kessel kebelakang hingga ke masa Romawi (hal.18). Lalu keberadaan orang Afrika di pasukan Islam (kerajaan di Timur-Tengah, Asia, Afrika Utara dan Eropa Selatan) hingga keberadaan orang Afrika dalam pasukan Eropa (hal.20). Lalu Secara khusus penulis membahas tentang keberadaan ‘Neger-corpsen’ di Hindia Belanda (hal.27).
Antara tahun 1831-1872 Kerajaan Belanda mendatangkan 3085 pria dari Afrika Barat untuk dijadikan prajurit militer di Hindia Belanda. Mereka sebagian besar berasal dari wilayah yang sekarang bernama Ghana dan Burkina Faso. Setelah mengikuti pendidikan militer di Jawa, para prajurit Afrika itu dikirim untuk ekspedisi di Sumatra, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Bali, Timor, dan perang Aceh. Perang Aceh ini merupakan perang terlama dalam sejarah KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger/Tentara Hindia Belanda).
Prajurit Afrika pertama diterjunkan pada 1832 dalam pertempuran di barat daya Sumatra dan detasemen terakhir pasukan Afrika diturunkan dalam Perang Aceh (1873-1893). Dalam kurun waktu tersebut, mereka juga ikut dalam ekspedisi memadamkan “pemberontakan” di Kalimantan, Sulawesi, Bali, kepulauan Maluku dan Timor (hal.139). Menurut Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, hingga 1892 tercatat ada 54 prajurit Afrika dalam pasukan KNIL.
Desersi pun terjadi di kalangan prajurit Afrika ini. Desersi pertama terjadi pada 4 April 1838. Ketika itu sembilan prajurit Afrika dari batalyon infanteri I desersi dari garnisun di Batavia. Lalu pada bulan Juli sepuluh prajurit Afrika desersi dari batalyon infanteri X di Surabaya (hal.93-94).
Sebenarnya akar permasalahan desersi adalah masalah komunikasi karena di kalangan prajurit Afrika itu sendiri terdiri dari berbagai suku yang memiliki bahasa berbeda satu sama lain. Sementara dalam pasukan KNIL, bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda atau Melayu Pasar. Akibatnya, penilaian terhadap prajurit Afrika ini menjadi negatif, seperti jorok, sakit-sakitan, lamban dalam mempelajari senjata, malas, brutal, cepat naik darah, sulit diperintah, cenderung memberontak (hal.94). Padahal para prajurit ini tidak suka mabuk, tak kenal lelah serta berani.
Rupanya, para prajurit Afrika ini memperoleh status sama dengan prajurit Eropa. Oleh karena itu mereka harus memakai sepatu selama bertugas. Begitu bangganya mereka, hingga lepas tugas pun sepatu masih tetap dipakai. Tetapi tetap saja karena mereka tak terbiasa bersepatu, masih ada yang lebih suka telanjang kaki berselimutkan lumpur (hal.95).
Di antara para orang Afrika itu terdapat pangeran Ashanti, Pangeran Kwasi Boakye. Kisah pangeran Ashanti ini sempat dijadikan inspirasi roman De zwarte met het witte Hart (1997) oleh Arthur Japin yang juga menulis kata pengantar untuk buku ini. Lagi-lagi dalam roman sejarah ini, sang pangeran yang meskipun lulusan Delft dan meraih gelar ingenieur (insinyur) serta merasa sudah menjadi “Belanda”, tetap mendapatkan perlakuan diskriminatif rasial dari pemerintah Belanda. Dalam salah satu bab roman itu diceritakan pengalaman sang Pangeran ketika bertemu maestro dari Jawa, Syarif Bustaman alias Raden Saleh di Jerman untuk dilukis. Komentar Raden Saleh: “Kulit Anda terlalu gelap untuk dilukis. Tak bagus pencahayaannya!” 
Buku ini juga membahas para prajurit Afrika dalam karya sastra Hindia Belanda. Para prajurit Afrika ini rupanya sekedar menjadi figuran, sebagai bagian dekorasi alam tropis yang eksotis. Hanya satu karya sastra (untuk remaja) yang menggunakan prajurit Afrika, Kopral Jan den Prins alias Wamba Ouli Bouli Bourni sebagai tokoh utama. Roman itu adalah De Zwarte Jager (Pemburu Hitam) karya seorang penulis yang menggunakan nama samaran Cheribon dan terbit pada akhir abad ke-19 (hal.201). 
Penulis dan wartawan, W. Walraven juga menyebut ‘Afrikaan met vele kinderen’ (Orang Afrika dengan banyak anak) dalam salah satu cerpennya. Demikian halnya E.du Perron dalam Het Land van Herkomst menceritakan percakapan tokoh aku dan kawan sekolahnya, Arthur Hille mengenai ‘Belanda Hitam’ di Perang Aceh (hal.208). Rupanya, tidak hanya itu, jejak para prajurit Afrika ini juga terekam pada wayang golek koleksi Tropenmuseum di Amsterdam. Wayang golek berwarna hitam/gelap dan berseragam KNIL itu tentunya menggambarkan prajurit KNIL asal Afrika.
Seperti halnya para prajurit KNIL lainnya baik pribumi maupun Eropa, para prajurit Afrika ini tinggal bersama nyai di tangsi. Kelak, anak-anak mereka yang laki-laki akan menjadi serdadu KNIL sedangkan yang perempuan akan menjadi ibu rumah tangga. Mereka menikah dengan sesama Indo-Afrika serta juga tinggal di tangsi (hal.213).
Jaminan bahwa anak laki-laki mereka akan menjadi serdadu KNIL dibuktikan Pemerintah Hindia Belanda dengan mendirikan sekolah militer anak-anak pertama di Weltevreden, Batavia pada 1828. Awalnya, sekolah itu khusus ditujukan untuk anak-anak Eropa dan Indo Eropa. Namun, kelak anak-anak pribumi serta Afrika diperbolehkan sekolah di sana. Dalam Staatsblad 1899 tercatat ada 62 anak Afrika dan Ambon serta 356 anak pribumi yang menjadi murid. Selain di Batavia, pada 1844 didirikan sekolah militer anak-anak di Kedong Kebo (Purworejo) yang pada 1855 pindah ke Gombong (hal.217)
Pada 20 Juni 1939, seorang pensiunan letnan KNIL, Doris Land menorehkan tanda tangannya di bawah kalimat terakhir dari tulisannya “Het onstaan van de Afrikaanse kampong te Poerworedjo” (Munculnya Kampung Afrika di Purworejo). Ia lalu mencoret kata ong di belakang kata kampong sehingga menjadi kamp. Mungkin kata kampong dianggapnya terlalu “kampungan” dibandingkan kamp. Dokumen ini ditemukan setelah ia meninggal di Belanda pada 1986 yang sangat berguna untuk mengungkap akar orang Indo-Afrika di Indonesia (hal.221).
Dalam manuskripnya diceritakan para serdadu veteran Afrika itu pada awalnya tinggal satu kampung dengan orang Jawa. Namun, ketika jumlah mereka semakin banyak, Residen daerah Bagelen memutuskan memberikan wilayah khusus bagi para veteran Afrika tersebut. Tujuannya, menghindari “salah paham” di antara orang Jawa dan Afrika itu karena orang Afrika memiliki sifat, bahasa yang jauh berbeda dengan orang Jawa. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda akan mudah memanggil mereka, jika diperlukan untuk kembali berdinas.
Pemerintah Hindia Belanda membeli tanah di desa Pangenjurutengah berdasarkan Gouvernementbesluit 20 Agustus 1859 No.25 khusus untuk serdadu Afrika. Masing-masing mendapat persil seluas 1150 m². Di atas tanah itu mereka boleh membangun dan bercocok tanam.
Menurut Endri Kusruri dalam skripsinya “Orang-orang Afrika di Purworejo: Suatu Analisa Historis Sosiologis Atas Latar Belakang dan Peranan Mereka”, pilihan daerah Purworejo (disebut juga Kedong Kebo) bukanlah suatu kebetulan belaka. Distrik Bagelen merupakan sumber pemberontakan dalam Perang Jawa (1825-1830). Sebuah “koloni” para veteran Afrika di sana merupakan cara ampuh dan strategi jitu untuk menjinakkan pemberontakan yang dikhawatirkan terjadi lagi. Usai Perang Jawa 1830 memang di Purworejo dibangun sebuah tangsi besar. Di sana ditempatkan tiga kompanyi pasukan Afrika yang ironisnya pada 1840 membuat panik Pemerintah Hindia Belanda lantaran pemberontakan bersenjata mereka (hal.222)
Jenderal Oerip Soemohardjo pun mempunyai kesan terhadap para anak Afrika dari Kampung Afrika pada 1910. Ia menuturkan anak-anak Afrika itu berbicara bahasa Belanda dengan baik, tanpa aksen oleh karena itu mereka menghina Oerip yang dianggap berbahasa antah berantah. Maka Oerip dan teman-temannya pada suatu malam “menyerbu” Kampung Afrika itu dan mengejek mereka: “Londo ireng tunteng, irunge mentol, suarane bindeng!””(Belanda Hitam, hidungnya besar karena itu suaranya bindeng). Keruan saja ayah Oerip dipanggil kepala desa. Di sana sudah hadir beberapa orang Afrika yang merasa dihina. Ayah Oerip berjanji akan memberi pelajaran pada anaknya dengan syarat anak-anak Afrika itu juga tak menghina Oerip (hal.224)
Buku ini sangat menarik untuk kajian sejarah, antropologi dan sosiologi serta dapat melengkapi kepingan mozaik sejarah Indonesia, khususnya sejarah orang Indo-Afrika di Indonesia. Serta sekaligus juga menegaskan adanya keragaman asal-usul dalam masyarakat kita. Keragaman yang seharusnya tidak dijadikan alat untuk saling mempertentangkan dan membenci tapi justru untuk bangkit dari “tidur” menghadapi masa depan.
 

Pengalaman ‘Saudara Tua’ di Jawa

Judul  :  Journeys to Java
Penulis  :  Marquis Yoshichika Tokugawa
Penerjemah :  Masatoshi Iguchi
Penerbit :  ITB Press, Bandung, 2004
Tebal  :  lxi + 286 halaman

Ada banyak sumber sejarah berupa catatan perjalanan orang asing di Jawa pada abad ke-20. Dalam catatan mereka diceritakan pengalaman dan kesan selama mengunjungi Jawa. Mulai dari kesan baik yang menyenangkan hingga pengalaman buruk yang terus membekas. Kebanyakan sumber-sumber itu ditulis oleh orang Eropa. Namun, sumber-sumber catatan yang berasal dari ‘saudara tua’ kita alias dari Jepang sangat minim. Padahal sebagai salah satu sumber, catatan-catatan perjalanan mereka sangat penting untuk mengetahui kesan-kesan dari sudut pandang yang berbeda. Penyebabnya adalah kebanyakan kesan-kesan itu ditulis dalam bahasa Jepang yang tidak dikuasai oleh para peneliti. Oleh karena itu buku  Journeys to Java karya Marquis Yoshichika Tokugawa sepertinya memberikan angin segar untuk mengetahui kesan-kesan ‘saudara tua’ kita.
Buku yang disajikan ini sudah diterjemahkan dari bahasa aslinya oleh Masatoshi Iguchi ke dalam bahasa Inggris. Awalnya, buku yang diberi judul Travels around Java in 1920s’ diterbitkan sebagai suvenir untuk peserta International Workshop on Green Polymers pada bulan November 1996 di Bandung dan Bogor. Dalam versi terjemahan Inggris ini terdiri dari dua catatan perjalanan yaitu ‘A Journey to Djakatra’ dan ‘A Journey to Java’. Catatan perjalanan pertama ditulis tahun 1929 ketika Yoshichika Tokugawa berkunjung ke Jawa untuk menghadiri The Fourth Pasific Science Congress- Java 1929 di Bandung dan Bogor. Sementara itu catatan perjalanan kedua diambil dari buku On hunting in the Jungle of Malaya yang diterbitkan pertama kali tahun 1925. Catatan ini berisi pengalaman Yoshichika Tokugawa di Asia Tenggara tahun 1921.
Buku ini diawali dengan pengantar dari penerjemah yang mengungkapkan latar belakang penulis dan sejarah kronologis Hindia Belanda dari tahun 1513 hingga 1942. Yoshichika Tokugawa yang dilahirkan 5 Oktober 1886 merupakan anak kelima dari Lord Yoshinaga Matsudiara dari Echizen. Salah seorang keluarga pendiri shogunat Tokugawa. Berbeda dengan kebanyakan para putra bangsawan pada masa itu yang berkarir di bidang politik atau militer, Yoshichika memilih karir sebagai seorang ilmuwan yang mempelajari sejarah dan biologi di Tokyo Imperial University. Di samping itu ia memiliki hobi berburu. Bukan sekedar berburu ayam hutan atau rubah tetapi beruang, harimau dan gajah (hal xvii).
Setelah menempuh perjalanan dengan menggunakan kapal laut, seperti halnya catatan perjalanan yang ditulis oleh orang Eropa lainnya, Yoshichika menuliskan pengalaman turistiknya tentang kesibukan di pelabuhan Tanjung Priok. Namun, Tanjung Priok menurutnya tidak seramai pelabuhan Singapura. Ia mencatat pakaian orang-orang di sana, seperti orang Jawa yang mengenakan kain kepala dari batik serta orang Jepang dan Belanda yang mengenakan setelan berwarna putih (hal 87).
Yoshichika dan para peserta kongres lainnya juga disuguhi parade dan tarian dari berbagai suku di Hindia Belanda mulai dari Sumatra hingga Papua. Sajian itu ditampilkan di kebun binatang Cikini, sekarang Taman Ismail Marzuki. Ia terkesan dengan beragamnya suku di Hindia. Mulai dari yang berpakaian lengkap hingga nyaris telanjang sambil membawa senjata tajam (hal 95-96). Rombongan peserta kongres kemudian dibawa ke Bogor dan Bandung dengan kereta yang dicarter secara khusus. Udara panas seperti direbus dan rasa lelah ternyata sangat mengganggu para peserta. Ketika ditanya oleh salah seorang panitia tempat mana saja yang menarik usai mengunjungi kebun raya Bogor, semua peserta menjawab dengan penuh semangat: “Semua tempat!” (hal 110).
Di Bandung, di sela-sela kongres, para peserta dihibur dengan sora-tobi-no-karakuri (pesawat terbang) oleh Koninklijk Nederlands Indie Luchtvaart Maatschappij (Maskapai penerbangan Hindia Belanda) untuk menyaksikan kawah Tangkubanperahu dari udara. Namun, tidak banyak peserta yang ikut. Mungkin mereka takut terebus di atas kawah, tulis Yoshichika (hal 112). Bahkan ketika usai menikmati plesir dari udara itu, sambil berkelakar Yoshichika berkata pada kelompok berikutnya: ‘Jangan khawatir, Anda tak akan dilempar ke dalam kawah!.’ (hal 113)
Masalah komunikasi merupakan masalah yang kerap dihadapi oleh para pendatang asing. Misalnya pengalaman para peserta kongres di tengah perjalanan dari Surabaya ke Bandung. Mereka hendak membeli beberapa buah jeruk dan menganggap harga lima belas sen untuk sebuah jeruk terlalu mahal. Mereka lalu menawar sepuluh sen. Wanita tua penjual jeruk itu menolak dalam bahasa Jawa, sementara kereta hendak berangkat. Para peserta kongres mulai kesal dan masing-masing memberikan sepuluh sen serta mengambil sebuah jeruk. Kereta pun berangkat. Wanita itu tampaknya juga kesal dan hanya bisa menatap dari balik asap yang ditinggalkan kereta. Ketika mereka hendak menikmati jeruk itu salah seorang pria kulit putih yang menyaksikan tingkah laku mereka sejak awal berkata sambil tersenyum bahwa harga sebuah jeruk adalah lima sen. Itulah yang sebenarnya ingin dikatakan wanita tua penjual jeruk itu (hal 139). Demikian halnya dengan masalah sakit perut yang dialami hampir semua peserta kongres. Ternyata itu disebabkan oleh makanan di kapal K.P.M ketika mengunjungi Bali. Sakit perut dan hujan terus menerus membuat kunjungan ke Bali menjadi tidak berkesan (hal 150).
Yoshichika juga membandingkan budaya di Jawa, Bali dengan Jepang. Seperti ketika menyaksikan tarian Bali yang disebabkan kerasukan arwah ia  membandingkannya dengan ibaraki, tarian Jepang di masa Meiji (hal 96). Lalu wayang wong Solo yang menurutnya hampir serupa dengan nohgaku, tarian yang ditampilkan di istana Jepang pada abad ke-13 (hal 164). Perbandingan dua budaya ini kelak dilanjutkan oleh kartunis Ono Saseo pada 1942 dalam Unabara shinbun yang menyandingkan kehidupan masyarakat di Jepang dan Bali.
Seperti halnya orang Eropa, Yoshichika terkesan dengan Dutch Wife alias bantal guling yang ternyata ‘menyelamatkannya’ dari udara dingin di pagi hari dan menemaninya tidur siang menghindari udara panas (hal 192). Ia juga menuliskan kesan mengenai kereta api, khususnya kereta ekspres di Jawa. Kereta ekspres biasanya berangkat pukul enam pagi tetapi tidak ada yang beroperasi pada malam hari. Yoshichika menduga hal itu disebabkan banyak orang yang pergi pagi-pagi sekali lalu mereka tidur siang di sore hari dan bersantai di malam hari. Dugaannya tidak meleset. Alasan kedua adalah karena perusahaan kereta api menggaji para pekerja pribumi (terutama orang Jawa) dengan gaji yang rendah tapi mereka tidak mempercayai pekerja pribumi untuk menjalankan kereta di malam hari (hal 193). Sentilan humornya muncul ketika melihat patung tengkorak Pieter Eberveld yang dihukum mati di Batavia karena dituduh memberontak. Menurutnya adalah hal yang menakutkan membayangkan bila seseorang mengkhianati Belanda, maka nasibnya akan sama seperti tengkorak yang membatu tersebut (hal 229).
Catatan perjalanan dan tulisan sejenis merupakan bagian dari bentuk akumulasi pengalaman seseorang atas budaya massa pada suatu masa. Berbeda dengan catatan perjalanan para penulis atau seniman yang direkrut oleh pemerintah militer Jepang untuk propaganda, catatan perjalanan seorang ilmuwan bangsawan ini tampak lebih manusiawi lepas dari unsur propaganda. Misalnya buku Nangokuki (Perjalanan di negara-negara selatan) karya Yosaburo Takekoshi (1917) dan Nanyo Suki (Perjalanan di daerah selatan) karya Yusuke Tsurumi (1917). Kedua buku ini, tanpa disadari penulisnya, menjadi buku yang berpengaruh dalam penerapan Nanshinron yaitu teori ke arah selatan oleh pihak militer Jepang.
Namun, menurut Iskandar P. Nugraha pengajar di University of New South Wales Australia, untuk menggunakan catatan perjalanan sebagai sumber sejarah kita harus mengetahui latar belakang penulisnya (umur, jabatan, gender, kepercayaan dan lain-lain). Dengan kata lain para peneliti ditantang untuk melatih dirinya membaca apa yang ada di benak penulisnya dan bukan sekedar membaca produk dalam bentuk rangkaian naratif tersebut. Tentunya di sini diperlukan pisau analisis lain. Dilengkapi dengan foto-foto (koleksi pribadi maupun koleksi lainnya),  peta, dan indeks membuat buku ini cukup menarik dan informatif. Hanya saja angka-angka Romawi di halaman lampiran untuk foto dan indeks sedikit menganggu.

Pakaian , Politik dan Identitas Bangsa

Judul : Outward Appereances:Trend, Identitas, Kepentingan
Judul Asli : Outward Appereances: Dressing State and Society in Indonesia
Penulis : Henk Schulte Nordholt (ed.)
Penerjemah : M.Imam Azis
Penerbit : LkiS Yogyakarta, 2005
Tebal : xiv + 549 halaman
Jangan nilai orang dari pakaiannya. Inilah nasehat yang sering kita dengar. Maksudnya, penampilan bukanlah hal penting karena masih ada unsur lain yang jauh lebih penting. Bukti dari nasehat ini adalah penampilan para pencopet profesional yang beroperasi di bis-bis ibukota. Dengan penampilan perlente mirip para pekerja kantoran mereka beroperasi mencari mangsa. Sehingga kita yang lengah tak sadar dompet atau telefon genggam sudah berpindah tempat. Penampilan perlente para copet ini pun sebenarnya sudah sejak dahulu. Tepatnya tahun 40-an sebelum Jepang masuk. Menurut sejarawan J.J.Rizal dalam majalah Moesson (2004), para copet itu tidak hanya perlente dan klimis, mereka juga kerapkali mengeluarkan kata-kata manis, enak dijadikan teman mengobrol. Namun, pada saat kita lengah ‘tangan terampil’ mereka bekerja.
Sebaliknya, ide bahwa penampilan merupakan hal yang penting inilah yang justru ditampilkan dalam buku Outward Appereances ini. Cara berpakaian dianggap dapat membantu memahami perkembangan suatu masyarakat serta identitas masyarakat tersebut. Seperti halnya tema utama buku ini yang merupakan kumpulan makalah dalam seminar di Universiteit Leiden, Belanda tahun 1993 dan dibukukan tahun 1997.
Pakaian memang merupakan memiliki arti penting seperti yang diungkapkan oleh Henk Schulte Nordholdt dengan mengutip cerita tentang kemeja dari dua mantan presiden Indonesia. Pertama, pengalaman memalukan mantan presiden Soeharto tentang kemeja. Kemeja yang dibuat oleh nenek buyutnya ternyata tidak diberikan pada dirinya melainkan pada sepupunya. Sehingga Soeharto merasa dipermalukan dan merasa kasihan pada dirinya sendiri. Lain lagi dengan anekdot Soekarno tentang kemeja yang diceritakan almarhum Romo Mangun ketika menerima penghargaan profesor A.Teeuw tahun 1996. Ketika Hatta, Syahrir dan Soekarno dipenjarakan selama revolusi, mereka diperbolehkan meminta beberapa benda tertentu. Hatta meminta buku-buku, Syahrir meminta koran berbahasa Belanda sedangkan Soekarno meminta sebuah kemeja Arrow yang baru (hal.30-31).
Sebelas tulisan dengan berbagai sudut pandang mengenai penampilan luar ditampilkan dalam buku ini yaitu tulisan Kees van Dijk, Jean Gelman Taylor, Rudolf Mrázek, Elsbeth Locher-Scholten, Henk Maier, William H Frederick, James Danandjaja, Klaus H.Schreiner, Jacques Leclerc, Teruo Sekimoto, Lizzy van Leeuwen.
Diawali dengan tulisan Kees van Dijk yang menyuguhkan tinjauan historis, berawal dari kontak pertama penduduk setempat dengan bangsa Eropa pada abad ke-17 hingga perkembangan terbaru. Dalam tulisannya van Dijk menjelaskan bagaimana pakaian dijadikan bagian dari alat kontrol VOC. Misalnya VOC melalui ordonansi tahun 1658 meminta orang Jawa di Batavia memakai kostum mereka sendiri dan melarang mereka berbaur dengan ‘bangsa’ lain (hal.67). van Dijk juga mengungkapkan setelan safari hingga kemeja batik longgar yang diperkenalkan Ali Sadikin pada tahun 70-an sebagai alternatif pengganti setelan Barat yang kurang nyaman bagi iklim Jakarta yang panas dan lembab (hal.108).
Sementara itu Jean Gelman Taylor mengungkapkan perspektif gender dalam mengeksplorasi bagaimana negara kolonial telah mendorong perbedaan penampilan antara pria dan perempuan. Misalnya dalam hal kostum nasional yang dikembangkan oleh Soekarno dan Soeharto. Kostum itu terdiri dari setelan Barat bagi para pria dan kain kebaya bagi para perempuan. Kain kebaya yang dililitkan dengan kencang seakan mencegah gerakan yang cepat dan nyaman bagi para perempuan. Kain kebaya juga dianggap mencirikan bangsa yang non Barat serta dianggap mewakili esensi bangsa (hal.162). Di samping itu Taylor memperlihatkan bahwa proses pembentukan negara kolonial disertai oleh suatu sejarah sosial mengenai perubahan aturan-aturan berpakaian yang kelak warisannya dapat ditemukan dalam penampilan publik para pemegang kekuasaan di Indonesia saat ini.
Lain halnya dengan Rudolf Mrázek yang membahas perubahan-perubahan yang terjadi sejak permulaan awal abad ke-20 ketika elite baru masyarakat Indonesia lahir hingga tahun 40-an. Mrázek menghubungkan antara nasionalisme dan lahirnya kenecisan pribumi. Ia menggambarkan bagaimana orang ‘pribumi’ mengenakan pakaian Belanda untuk menempatkan dirinya ke dalam sebuah masyarakat kolonial yang ‘modern’ (hal.190). Hal menarik yang juga diungkap adalah gaya berpakaian Sjahrir sewaktu kembali dari Belanda. Padahal sewaktu tinggal di Belanda ia terkenal cukup ‘gaul’ dengan golongan radikal. Ketika kembali dari Belanda pada akhir 1931, ia berpakaian cukup memprihatinkan. Seperti yang digambarkan oleh Soewarsih Djojopuspito bagaimana Sjahrir hanya mengenakan selop besar yang tampaknya pinjaman, selembar sarung bernoda, dan tutup kepala. Ditambah dengan lengan jas yang terlalu panjang dan tak jelas lagi warna aslinya (hal.206)
Gaya berpakaian pemuda di Jawa Timur pada masa revolusi merupakan tema tulisan William H. Frederick. Dengan rambut panjang menjuntai, pakaian militer, sepucuk pistol merupakan ciri khas gaya para pejuang di masa revolusi. Terkadang ditambah dengan kumis dan jenggot (hal.347). Penampilan seperti itu, bila mengikuti standarisasi Benedict Anderson berhubungan dengan ‘tradisi jago’. Namun ada juga para pemuda pejuang berpenampilan klimis karena menganggap kumis dan brewok dikaitkan dengan kriminil yang akan menjadi sasaran pasukan Belanda serta tidak disenangi penduduk yang khawatir kalau-kalau mereka gerombolan perampok (hal.349)
Hal menarik lainnya adalah pemakaian alas kaki yang dikaitkan dengan ideologi tertentu seperti yang diuraikan oleh James Danandjaja. Adalah sandalet, sejenis alas kaki kulit dengan dua ban yang disebut sandal (dari bahasa Belanda sandaal) yang diperkenalkan di masa pendudukan Jepang. James Danandjaja menduga sandalet diperkenalkan karena langkanya bahan kulit dan kaus kaki (hal.372).
Sandalet ini bertahan cukup lama hingga keberadaannya terhenti tiba-tiba presis seperti saat permulaan pemakaiannya. Pada masa Soekarno, sandalet terkenal dan populer di kalangan guru dan dosen karena nyaman, murah dan sangat cocok untuk iklim tropis. Akan tetapi, setelah 30 September 1965, tidak seorang pun berani mengenakannya. Sandalet ‘dilarang’ karena diidentikkan dengan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat ) atau HIS (Himpunan Sarjana Indonesia) yang dianggap bersimpati pada PKI (Partai Komunis Indonesia). Bahkan James menuturkan pengalamannya sewaktu menjadi dosen paruh waktu di Universitas Kristen Indonesia. Ada poster yang bertuliskan: ‘Siapa yang pakai sandalet adalah PKI’. Karuan saja sebagai pemakai sandalet James terpaksa berhenti memakainya dan hingga kini terpaksa memakai sepatu dan kaus kaki yang tidak nyaman (hal.373).
Penampilan luar atau pakaian dan politik merupakan hal yang tak dapat dipisahkan. Kita tentu masih ingat sewaktu pemilu setelah reformasi 1998, mereka yang mengenakan kaos partai Golkar dengan warna kuningnya yang khas justru menjadi sasaran amukan para pendukung partai lainnya. Suatu hal yang berbanding terbalik dengan masa sebelumnya ketika semua diwarnai kuning.
Di saat-saat menjelang lengsernya Gus Dur sebagai presiden, kita disuguhi penampilan yang cukup menarik dari sang presiden. Dengan mengenakan celana santai beliau melambaikan tangan pada para pendukungnya di depan Istana. Penampilan yang langka dari seorang presiden.
Tuntutan para anggota dewan kita yang terhormat untuk biaya pakaian pun beberapa waktu lalu juga menjadi suatu hal yang menarik untuk disimak. Mungkin saja sebelum diangkat sumpahnya menjadi anggota dewan, mereka hanya terbiasa mengenakan kaos dan sandal tetapi berhubung sudah berubah status dan harus menahan udara dingin dalam gedung MPR/DPR tidak ada salahnya jas menjadi pilihan daripada masuk angin.
Buku ini meskipun memiliki sedikit kekurangan, seperti tidak adanya nama penulis Lizzy van Leeuwen di daftar isi , cukup menarik untuk disimak dan masih aktual. Alasannya karena mengupas sesuatu yang kasat mata dari apa yang dikenakan oleh negara dan masyarakat Indonesia. Hal itu merupakan perwujudan dari pencarian identitas Indonesia. Identitas Indonesia yang masih berproses. Seperti halnya jawaban yang harus kita berikan bila kita ditanya yang manakah pakaian asli Indonesia itu?

Menapaki Jejak Hubungan Indonesia-Prancis

Judul   :  Orang Indonesia dan Orang Prancis Dari Abad XVI sampai dengan
   Abad XX
Penulis  :  Bernard Dorléans
Penerjemah :  Tim penerjemah UI, Parakitri Simbolon
Judul Asli :  Les Français et I’Indonésie du XVIé au XXé siécle
Penerbit :  Kepustakaan Populer Gramedia, 2006
Tebal  :  XLII + 644 halaman
Kalau kita ditanya apa yang menandai hubungan Indonesia dan Prancis, jawaban yang mungkin muncul adalah toko besar di perempatan jalan alias Carrefour. Atau berdirinya CCF, pusat kebudayaan Prancis serta bersliwerannya mobil-mobil Citroen atau Peugeot di jalan-jalan Indonesia. Selebihnya mungkin kita belum tahu bagaimana sebenarnya hubungan Indonesia dan Prancis ini.
Namun, bila kita membaca buku Orang Indonesia dan Orang Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX , terjemahan dari Les Français et I’Indonésie du XVIé au XXé siécle (seharusnya Orang Prancis dan Indonesia Dari Abad XVI sampai XX) ini, maka akan terkuak bahwa hubungan Indonesia dan Prancis tersebut memiliki ikatan historis yang cukup kuat. Pun hubungan tersebut ternyata sudah terjalin kurang lebih 450 tahun lalu.
Buku yang lumayan tebal ini memberikan suatu gambaran tentang masa lampau Indonesia dengan menggunakan sudut pandang Prancis dalam kurun empat abad. Pandangan ini tentu cukup menyegarkan dalam penulisan sejarah resmi Indonesia. Mengingat selama ini kita hanya mendapatkan informasi resmi dari pemerintah kolonial Belanda mengenai masa lampau Indonesia.
Patut dicatat, seperti yang diungkapkan penulis dalam Pendahuluan, buku ini tidak bermaksud memberikan suatu sejarah resmi mengenai hubungan Indonesia dan Prancis selama masa tersebut. Alasannya adalah karena sesungguhnya tidak ada hubungan resmi sampai adanya pengakuan politik oleh Belanda atas kemerdekaan Republik Indonesia pada 1949 (hal.xxv). Buku ini hanya merupakan suatu kumpulan dan penyajian sejumlah teks lama atau hasil penelitian baru dari para peneliti Prancis yang tentunya memberikan penjelasan dari sudut pandang Prancis.
Kumpulan teks yang digunakan sebagai sumber buku ini terdiri dari berbagai bentuk yaitu laporan perjalanan petualangan atau laporan ekspedisi ilmiah, catatan pengunjung sebagai turis dan wartawan, hasil analisa ilmiah sumber-sumber primer dari arsip-arsip pemerintah atau perorangan yang kemudian diterbitkan dalam majalah ilmiah Archipel. Itu semua adalah hasil penelitian para peneliti Prancis seperti Denys Lombard, Louis Malleret, Pierre Labrousse, Anne Lombard-Jourdan, Jean Verinaud, Claude Guillet, Jacques Dumarcay, Christian Perlas, Yves Giraut, dan Henri Chambert-Loir. Dorléans, doktor sejarah dan geografi dari Universitas Sorbonne dan sejak 1968 tinggal di Indonesia ini lalu menyusun lima puluh teks tersebut secara kronologis mulai 1526 hingga 1961 yang juga dibentuknya menjadi lima puluh bab.
Buku ini diawali dengan perjalanan pertama orang Prancis ke Hindia Timur (Bab 1). Hal yang menarik adalah dibandingkan dengan Portugal, Spanyol dan Inggris, ternyata Prancis lebih lamban dalam mengembangkan perdagangan maritimnya. Raja-raja dan para bangsawan Prancis tidak pernah benar-benar tertarik dengan pekerjaan dan wilayah yang letaknya jauh. Hal tersebut disebabkan sistem politik dan administrasi yang cukup rumit dalam kerajaan Prancis.
Tidak mengherankan bila kekuasaan serta wewenang dalam perdagangan maritim diserahkan pada orang-orang asing. Misalnya Giovanni dan Gioralamo Verrazano yang berasal dari Florencia yang menetap di Lyon dan mendapat nama Prancis, Verrazane. Mereka berangkat dari pelabuhan Honfleur, Normandi menuju kepulauan rempah-rempah yang termasyhur.
Simak pula pengalaman Parmentier bersaudara yang mengunjungi Sumatra (1529-1530). Mereka diundang makan malam, makan sirih, serta mabuk-mabukkan dengan ganja (hal.7). Sementar itu menurut Crignon, para wanita Sumatra tampaknya lebih bertanggung jawab atas berbagai macam pekerjaan, termasuk bercocok tanam. Sedangkan sebagian besar kaum lelakinya hanya bertaruh dalam sabung ayam (hal.9).
Siapa tak mengenal Daendels yang dalam historiografi Indonesia dikenal sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda kejam. Daendels dikirim oleh Napoleon untuk berkuasa di Jawa (Bab 22). Meskipun relatif singkat pemerintahan Daendels ini meletakkan dasar-dasar sebuah negara sentralistik yang sampai sekarang masih dirasakan. Tidak hanya itu, jalur jalan Pantai Utara dan Selatan di Jawa yang pada saat lebaran selalu padat merupakan salah satu hasil ‘ide’ Daendels.
Kebudayaan Prancis juga sempat menjadi ‘kiblat’ masyarakat Eropa pada suatu masa. Segala sesuatu yang berasal dari Paris dianggap unggul dan hebat. Pun di Batavia ada ‘daerah Prancis’ sekitar Rijswijkstraat (sekarang jalan Majapahit). Tidak mengherankan bila toko-toko Prancis yang berpusat di sana menjadikan jalan Rijwijkstraat ini populer di kalangan elit Batavia (Bab 37). Menariknya di daerah itu yang dulu pernah berdiri Hotel des Indes (dari bahasa Prancis yang berarti Hindia) sekarang berdiri Carrefour. Mungkin ini suatu kebetulan yang memperlihatkan bahwa aura French Connection kembali hadir di kawasan itu.
Dalam beberapa bab lainnya terdapat karangan yang tak kalah menarik yaitu mengenai pengalaman pengunjung Nusantara di Prancis. Misalnya tentang pengembaraan dua pangeran Makassar antara 1687 dan 1736 (Bab 9). Kita tentu tak pernah tahu bahwa angkatan laut Raja Louis XIV pernah memunyai dua perwira dari Makassar. Salah satu pangeran itu ikut kapal Jason pada 1707 pimpinan Laksamana Duquesne tujuannya adalah  menghalau korsario Belanda dari Vlissingen yang kerap menganggu perairan Prancis.
Pengalaman lainnya adalah kisah sedih pangeran dari Pulau Timor dan Solor di Prancis pada abad ke-18 (Bab 12). Putra Timor ini bernama Balthazar-Pascal Celse, putra raja di Lifao. Balthazar-Pascal rupanya dititipkan oleh ayahnya pada seorang biarawan Dominikan Portugis, Padri Ignatius untuk dididik di Eropa. Anak itu dibekali banyak batu permata dan pengiring tiga puluh budak. Karena malu diikuti oleh suatu rombongan besar bak sirkus, semua budak dijualnya. Ignatius lalu memilih berlayar dengan kapal Prancis supaya tidak bertemu orang yang dikenalnya. Mereka tiba di Lorient, Prancis pada 1750. Di sini Ignatius raib dengan semua harta dan membiarkan anak raja sendirian tanpa apa-apa. Balthazar mencoba selama puluhan tahun untuk kembali ke negerinya tetapi gagal. Ia pun meninggal dalam keadaan miskin.
Sementara itu cara hidup Hindia Timur rupanya masuk juga dalam kesustraan Prancis (Bab 30). Di sini diungkapkan perjalanan imajiner Honoré de Balzac ke Jawa. Kelak imaji publik Paris terhadap citra penduduk pribumi Jawa yang eksotis pun terpuasi setelah disuguhi para penari Jawa dan le village javanais (Kampung Jawa) di Pekan Raya Prancis (Bab 40). Suatu pameran kolonial pada 1889 yang memang khusus menyajikan dunia ‘Timur’.
Seperti yang diuraikan oleh A.B. Lapian dalam pengantarnya, ketika kita membaca bab demi bab dalam buku ini hendaknya dipahami masing-masing tulisan tersebut dalam konteks-konteks yang berbeda. Di samping itu penggunaan istilah ‘Indonesia’ dan ‘Prancis’ hendaknya diterima sebagai pemakaian umum saja.
Gambaran dari teks-teks dalam buku ini memang memberikan gambaran yang lain mengenai masa lampau Indonesia. Serta dapat memperkaya historiografi Indonesia. Khususnya dari sumber berbahasa Prancis. Namun, bukan berarti kita telah mendapat gambaran yang lengkap dan sempurna. Para pengunjung yang menulis teks tersebut tentu hanya mencatat hal-hal yang mereka anggap penting dan menarik perhatian. Bisa saja hal tersebut keliru karena ketidaktahuan mereka tentang keadaan dan kebiasaan setempat. Belum lagi unsur tambahan berupa prasangka, misalnya stereotip penduduk Melayu yang berubah-ubah, penjilat, pengolok-olok, licik, pembohong, judes, sombong, loba (hal.9)
Secara keseluruhan buku ini menarik untuk dibaca. Dilengkapi dengan ilustrasi (berwarna) yang indah, indeks serta bibliografi, buku ini memberikan pengetahuan. Setidaknya untuk menambah pengetahuan kita bahwa sesungguhnya hubungan Indonesia-Prancis tidak sebatas Carrefour, CCF, Citroen, Peugeot atau Mariana Renata, bintang film Indonesia yang bersekolah di Paris.

Menguak Sisi Artistik Bung Karno

Judul   :  Bung Karno Sang Arsitek:Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang
   Kota, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965
Penulis  :  Yuke Ardhiati
Penerbit :  Komunitas Bambu,Depok, 2005
Tebal  :  xvii + 368 halaman

Ada banyak sisi dari bung ‘besar’ Soekarno yang telah diteliti dan dituangkan dalam bentuk buku. Terutama tentang kiprahnya dalam politik. Namun, belum ada buku yang memfokuskan pada pengungkapan alam pikiran artistik Soekarno. Bagaimana Soekarno menuangkan gagasan-gagasan awalnya ketika merintis karir sebagai seorang ingenieur lulusan Technische Hogeschool-Bandoeng (ITB) tahun 1926, hingga mencapai puncak kematangan seorang maestro di tahun 60-an dengan proyek-proyek rancangan yang sempat dianggap ambisius? Buku Bung Karno Sang Arsitek:Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965 ini memberikan jawabannya.
Diangkat dari disertasi Yuke Ardhiati di Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia tahun 2004, buku yang terbagi dalam enam bab mengulas sisi artistik Soekarno. Diawali dengan pembahasan teori-teori pendukung (Bab 1),  dialektika budaya multikultur Soekarno yang mengedepankan mentalite multikultur dalam struktur budaya Jawa (Bab 2), unsur-unsur pembentuk proses artistik Soekarno sebagai bagian mentalite seorang perancang (Bab 3), pembabakan karya Soekarno (Bab 4), analisis semiotika karya Soekarno (Bab 5), kajian karya-karya Soekarno secara etik dan estetik dari sudut pandang kekinian (Bab 6).
Ada tiga kota besar yang dinilai memiliki interaksi langsung dengan Soekarno dalam wacana kearsitekturan di Jawa yang mewakili nuansa arsitektural awal abad ke-20. Kota-kota itu adalah Surabaya, kota kelahiran serta tempat belajar Soekarno di HBS (Hogere Burgerschool), Bandung tempat ia kuliah dan Batavia (Jakarta) sebagai kota ‘perjuangan’ setelah  Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sebenarnya Soekarno adalah sarjana lulusan teknik sipil. Kemampuan merancang diperolehnya secara otodidak. Ia mendapat bimbingan dari Profesor CP Wolff Schoemaker dalam mata kuliah Menggambar Arsitektur. Ia juga sempat magang sebagai juru gambar di biro arsitek milik sang profesor. Pada masa magang inilah, Soekarno diberikan kesempatan mengembangkan desain paviliun Hotel Preanger yang sedang direnovasi.
Para mahasiswa yang berminat menekuni bidang arsitektur ketika itu harus meneruskan kuliah ke di Delft, Belanda karena Technische Hogeschool-Bandoeng belum memiliki Jurusan Arsitektur.  Bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan ke Belanda, bekerja magang di biro arsitek merupakan cara terbaik menjadi arsitek perancang. Pada periode 1926-1945 ini, selain paviliun Grand Hotel Preanger, karya arsitektur Soekarno dijumpai pada beberapa rumah di sekitar Jl. Gatot Subroto, Jl Palasari, dan Jl. Dewi Sartika, Bandung (hal 147).
Dalam seni kriya, Soekarno berusaha menggali potensi seni kriya rakyat dan ingin mengangkatnya sebagai benda seni yang dapat ditampilkan sebagai kebanggaan nasional. Karyanya seperti rana (penyekat ruangan) yang berdaun tiga. Di bagian tengah terdapat hiasan kulit binatang yang ditatah dan disungging tokoh-tokoh wayang, seperti Betara Kresna, Betara Wisnu dan Arjuna.
Sementara itu kekaguman pada ibundanya yang rajin membatik ketika ia masih kanak-kanak mendorong Soekarno menciptakan rancangan modifikasi motif kain batik lereng, kombinasi warna sogan coklat dengan warna merah (hal 135). Kreativitas Soekarno juga meluas. Seperti ketika berada di Bengkulu, Soekarno membuat desain mebel. Ia berkongsi dengan seorang Tionghoa Muslim bernama Oei Tjeng Hien, membuka perusahaan mebel Sukamerindoe (hal 156)
Sedangkan salah satu rancangan tata ruang kota karya Soekarno pada periode 1945-1950 adalah rancangan skema Kota Palangkaraya yang digagas tahun 1957. Pada periode ini ditemukan juga tugu monumental sebagai bagian tata ruang kota seperti Tugu Proklamasi Jakarta, Tugu Muda Semarang, Tugu Alun-Alun Bunder Malang, Tugu Pahlawan Surabaya serta gagasan Tugu Monumen Nasional Jakarta. Khusus rancangan Tugu Monas yang berbentuk phallus atau obelisk merupakan eksplorasi dari budaya Hindu yang di Candi Sukuh berupa bentuk lingga-yoni yaitu lambang alat reproduksi laki-laki dan perempuan (hal 169-170)
Soekarno pun tidak melewatkan perhatiannya pada kondisi Masjid Al-Haram di Mekkah yang selalu penuh dengan umat Islam setiap musim haji. Tahun 1955 ia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan sebagai seorang arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi agar membuat bangunan untuk melakukan sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjid Al-Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf (hal 172-173).
Hal menarik lainnya dari buku ini adalah uraian mode busana Soekarno sejak masa remaja. Setelah lulus dari HBS, ia menetapkan gaya busananya yaitu gaya ‘busana modern’.Ia berkemeja, pantalon dan berdasi. Untuk urusan dasi ini, ia sempat bersitegang dengan kadi (penghulu) yang hendak menikahkannya dengan Oetari, puteri H.O.S Tjokroaminoto pada 1920. Kadi itu menolak menikahkan Soekarno karena dasi yang dikenakannya. Menurut sang kadi, dasi adalah pakaian orang Kristen. Soekarno pun tak mau kalah dan mengatakan bahwa berpakaian rapi merupakan kegemarannya:
‘Dalam hal ini biar Nabi sendiri sekalipun, takkan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi’ (hal 260).
Pilihan warna putih untuk pantalon dan kemeja menjadi pilihan Soekarno pada kurun 1926-1945. Oleh Rudolf Mrázek gaya berpakaian tersebut dimasukkan dalam bagian  Indonesian Dandy (kenecisan Indonesia). Suatu pilihan mode busana pria yang memerlukan ‘keberanian’ untuk mengenakannya pada masa itu. Belum lagi perawatannya.
Setelah mengambil sumpah sebagai presiden tahun 1945, Soekarno mulai mengenakan uniform (seragam). Mode busana berkantong ala militer ini di kalangan masyarakat dikenal dengan ‘Jas model bung Karno’ yang juga menjadi kegemaran masyarakat di periode 1945-1959. Bahkan menurut cerita Soekarno, pakaian ini menjadi pakaian nasional dan dapat dibuat dari kain seprei.
Periode 1959-1965, Soekarno tampil dengan ‘seragam militer’ dilengkapi tanda bintang dan penghargaan. Ketika ditanya apakah Soekarno sewaktu muda dulu bercita-cita menjadi militer sehubungan dengan seragam yang dikenakannya itu. Jawabannya singkat: Tidak!. Menjelang akhir kejayaannya sekitar tahun 1965, Soekarno memerlukan ‘tanda’ pelengkap selain tongkat komando, yaitu kaca mata hitam yang dipakainya baik di luar maupun dalam ruangan (hal  275)
Di masa kepresidenannya, tak ada seorang pun yang tidak melewatkan pidato Soekarno. Semua kalangan berbondong-bondong memenuhi tempat ia berpidato atau paling tidak berada di depan radio menyimak baik-baik kata demi kata yang dilontarkannya. Selain teks-teks pidato bernuansa politik, ditemukan pula ‘terminologi arsitektural’ yang terkandung dalam teks tersebut. Seperti dalam teks pidato pada Sidang Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Jakarta, 11 Juni 1945:’Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran jang sedalam-dalamnya, djiwa, hasrat jang sedalam-dalamnja untuk di atasnja di dirikan Gedung Indonesia Merdeka jang kekal dan abadi’ (hal 283).
Visi ‘merancang’ Soekarno tidak hanya untuk bangunan fisik. Dalam karir politiknya, misalnya Soekarno juga ‘merancang’ konsep Bhinneka Tunggal Ika pada 1953 yang diambil dari kalimat Mpu Tantular, konsep nation building sebagai tingkatan kedua revolusi Indonesia setelah melepaskan belenggu penjajahan hingga konsep tata dunia baru, New Emerging Forces yang melambangkan Indonesia sebagai Banteng bersama Liong Barongsai dari China, Gajah Putih dari Thailand, Karibu dari Filipina, Burung Merak dari Birma, Lembu Nandi dari India dan Ular Hydra dari Vietnam berjuang menghancurkan imperalisme (hal 305).
Dalam kehidupan sosialnya Soekarno juga ‘merancang’ konsep seorang wanita ideal dalam perjuangan Republik Indonesia yang harus mampu berperan sebagai ibu, kekasih dan kawan seperjuangan. Konsep ini dituangkannya dalam buku Sarinah dan otobiografinya (hal 306)
Dilengkapi dengan foto-foto dan gambar-gambar, buku ini cukup menarik untuk kajian sejarah arsitektur dan kriya Indonesia . Di samping itu buku ini juga telah memberikan jejak awal yang semoga bukan jejak di atas pasir yang dapat lenyap tersapu ombak. Namun, sebuah jejak di atas pahatan batu yang dapat terbaca sepanjang zaman.

Sejarah Masyarakat Tionghoa di Surabaya (1910-1946)

Judul   :  Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946)
Penulis  :  Andjarwati Noordjanah
Penerbit :  Messias, Semarang, 2004
Tebal  :  xviii + 140 halaman

Komunitas Tionghoa yang tersebar di Indonesia merupakan komunitas yang masing-masing memiliki ciri khas dan tentunya memiliki sejarah tersendiri. Bahkan, sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya , Jaringan Asia menuliskan satu bab khusus ‘Warisan Cina’mengenai masuknya komunitas ini ke Jawa.
Komunitas Tionghoa tersebut dapat ditemui di hampir seluruh kota besar di Indonesia dengan variasi jumlah yang berbeda. Namun, tetap saja perlakuan terhadap mereka, sampai sekarang masih terasa diskriminatif dan dalam benak penduduk pribumi masih tersimpan stereotip yang memang sengaja dibuat sejak berabad-abad silam. Pun sejarah mencatat, peristiwa-peristiwa politis yang terjadi di Nusantara, mulai di masa VOC 1740 hingga reformasi 1998 selalu menyeret kelompok komunitas ini sebagai korban.
Salah satu kota besar tempat bermukim masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah Surabaya, Jawa Timur. Surabaya merupakan salah satu kota penting di Jawa dan salah satu kota tertua di Indonesia. Di masa kolonial, kota ini berkembang dan menjadi salah satu kota modern. Tidaklah mengherankan jika dalam satu buku panduan wisata dari awal abad ke-20 menyebutkan Surabaya sebagai pintu masuk di Jawa bagi para pelancong, di samping Batavia (Jakarta).
Awal abad ke-20, Surabaya berkembang menjadi kota dagang yang besar dan ramai. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya masyarakat yang tinggal di kota tersebut. Dalam autobiografinya Soekarno menyebutkan Surabaya adalah kota pelabuhan yang sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New York. Pelabuhannya baik dan menjadi pusat perdagangan yang aktif. Surabaya juga menjadi kota tempat perlombaan dagang yang kuat dari orang-orang Tionghoa yang cerdas, ditambah arus yang besar dari para pelaut dan pedagang yang membawa berita-berita dari segala penjuru dunia.
Sebagai salah satu kelompok masyarakat yang datang dan menetap di Surabaya, jumlah orang Tionghoa semakin meningkat. Bila dibandingkan dengan kelompok imigran lain, Arab dan India, masyarakat Tionghoa menempati jumlah terbesar. Hal ini dapat dilihat dari data pada tahun 1920, penduduk Tionghoa di Surabaya berjumlah 18.020 orang, Arab 2.539 orang, dan etnik Timur Asing lainnya 165 orang.
Diangkat dari skripsi di jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, buku Komunitas Tionghoa Surabaya (1910-1946) membahas masyarakat Tionghoa di Surabaya di masa kolonial yang dikaitkan dengan adanya gejolak sosial pada golongan Tionghoa. Penulis mencoba mengaitkan gejolak sosial masyarakat Tionghoa dengan kebijakan politik penguasa selama tiga masa.
Mulai dari pemerintah kolonial yang mengeluarkan peraturan yang membatasi gerak orang-orang Tionghoa seperti wijkenstelsel, passenstelsel (pas jalan), politierol (hal.69-79),  peraturan masa pada pendudukan Jepang yang memerintahkan pada warga Tionghoa untuk menyediakan perempuan penghibur dari kalangan Tionghoa (hal.89) hingga berpuncak pada pemogokan selama 4 hari berturut-turut oleh pedagang dan pengusaha Tionghoa di Surabaya pada masa awal kemerdekaan 10 –13 Januari 1946. Pemogokan ini merupakan protes atas tingkah laku sewenang-wenang dan kambing hitam yang didasarkan pada diskriminasi rasial dalam penyediaan barang keperluan sehari-hari tentara dan personil pemerintahan pendudukan Sekutu. Pembahasan mengenai pemogokan ini secara lugas dapat dilihat pada bab 5 (hal.103-118) yang menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya peristiwa pemogokan tersebut. Hanya saja dalam buku ini ada kesalahan cetak, tahun 1949 seharusnya dicetak 1946 (hal.103).
Secara khusus masyarakat Tionghoa di Surabaya dalam buku ini dibahas pada Bab 3 yang memuat keragaman asal usul yang terdiri dari berbagai suku bangsa, seperti Hokkian, Hakka, Teo-Chiu (hal.37-41), perbedaan antara orang Tionghoa totok (singkeh) dan peranakan (hal.41-45), ragam stratifikasi sosial (hal.45-48), agama dan kepercayaan (hal.48-50), organisasi-organisasi masyarakat Tionghoa (hal.50-54), jenis-jenis pekerjaan (hal.55-59), dan para pemimpin komunitas Tionghoa (hal.60-62).
Peraturan diskriminatif pada warga Tionghoa sebenarnya dapat ditelusuri ke belakang dengan melihat peraturan-peraturan yang dibuat berabad-abad lalu. Dalam Regeringsreglement tahun 1854, masyarakat Hindia Belanda dibagi dalam tiga golongan besar yaitu Europeanen (golongan orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlander (pribumi). Pada pembagian secara rasial ini, orang Tionghoa dimasukkan dalam kelompok Timur Asing bersama orang India, Arab, dan Melayu. Pemisahan ini dimaksudkan untuk alasan keamanan. Mereka diharuskan mengenakan pakaian khas, ciri khas fisik kelompoknya masing-masing, seperti penggunaan thaucang (kuncir) bagi para pria Tionghoa. Khusus untuk istilah golongan Vreemde Oosterlingen merupakan pergeseran nama dari Vreemdelingen yang berlaku pada abad ke-17 dan ke-18.
Peraturan berikutnya adalah wijkenstelsel, pemusatan pemukiman orang Tionghoa, yang dikeluarkan pada tahun 1866 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië No 57. Peraturan ini menyebutkan bahwa para pejabat setempat menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. Lagi-lagi, peraturan ini untuk keamanan. Maksudnya, supaya orang-orang tersebut mudah diawasi. Bagi mereka yang melanggar dengan tetap tinggal di luar dari wilayah yang telah ditentukan, akan dikenakan sanksi penjara atau denda sebesar 25-100 gulden dengan diberi batas waktu tinggal. Di Surabaya, tempat yang ditunjuk sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa adalah di sebelah timur Jembatan Merah, daerah di sepanjang aliran Sungai Mas seperti Kapasa, Kembang Jepun, Panggoeng, Songoyudan, Bibis, dan Bongkaran. Wilayah Pecinan ini tepat berada di depan kantor residen Surabaya.
Disamping wijkenstelsel ada pula peraturan lain yaitu passenstelsel yang berlaku sejak 1816. Orang Tionghoa harus membawa kartu pas jalan jika hendak mengadakan perjalanan keluar daerah. Bagi mereka yang tidak mendaftarkan diri dan ketahuan tidak membawa kartu tersebut dalam perjalanan akan dikenai sanksi hukuman atau denda sebesar 10 gulden. Peraturan ini sangat merepotkan orang Tionghoa, terutama dalam hal mengembangkan perdagangan mereka. Hal itu karena prosedur yang sulit dan waktu pembuatan yang cukup lama.
Dalam hal peradilan, sejak 1848 bagi masyarakat Tionghoa berlaku peradilan politierol. Maksudnya suatu peradilan polisi dimana kepala polisi berhak bertindak sebagai hakim. Ia berhak memberi keputusan hukuman tanpa harus mendengarkan keterangan saksi terlebih dahulu. Jelas, dalam sistem ini unsur pemerasan dan ketidakadilan seringkali terjadi.
Perlakuan pemerintah Hindia Belanda tersebut menimbulkan semangat dan keinginan untuk menggalang persatuan di antara orang-orang Tionghoa perantauan, Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang dibentuk pada 1900, Siang Hwee (Kamar dagang Tionghoa) yang dibentuk pada 1907, serta Chung Hua Hui. THHK dan Siang Hwee di Surabaya merupakan cabang dari Batavia. Mereka memiliki paham bahwa orang Tionghoa perantauan memiliki musuh bersama yaitu orang Belanda dan Eropa yang harus dihadapi dengan menguatkan perasaan nasionalisme. Pemerintah Hindia Belanda menganggap hal tersebut cukup berbahaya sehingga mereka mulai melonggarkan aturan yang membatasi orang Tionghoa dengan imbalan gerakan nasionalisme di kalangan Tionghoa harus dibatasi dan dikekang.
Hasil ketelitian dan kecermatan penulis dalam menggali sumber tertulis maupun lisan menghasilkan satu kajian lokal peranan masyarakat Tionghoa pada awal abad ke-20 di salah satu kota besar di Indonesia. Suatu hal yang patut dihargai untuk lebih dapat memahami peranan sejarah hubungan komunitas Tionghoa dengan komunitas lainnya di Nusantara, seperti halnya penerbitan ulang buku Indonesia dalam Api dan Bara, karya Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing) yang menggambarkan situasi kota Malang tahun 1939 hingga 1947.
Terlepas dari uniknya sejarah masing-masing komunitas Tionghoa di Indonesia tampaknya mereka masih mendapat perlakuan diskriminatif, misalnya dalam Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Penghapusan diskriminasi setelah Keppres No 56 tahun 1996 dan Inpres No 4 tahun 1999 sepertinya tidak efektif. Hal tersebut mungkin karena tidak jelasnya siapa (baca: lembaga mana) yang harus melakukannya. Apakah hanya tugas Departemen Kehakiman dan HAM semata?
Akhirnya kita semua pun harus dapat belajar dari sejarah untuk tidak mengulangi prasangka rasis gila yang menurut seorang prajurit Belanda di awal abad ke-20 dalam Gedenkschrift van een oud koloniaal sebagai hal yang menggelikan dan ide tolol.