Judul : Jakarta Batavia: Esai Sosio-Kultural
Judul asli : Jakarta Batavia: Socio-cultural essays
Penyunting : Kees Grijns dan Peter J.M Nas
Penerjemah : Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis
Penerbit : KITLV-Jakarta dan Banana, Maret 2007
Tebal : 378 halaman
F. de Haan pernah sesumbar bahwa ia telah meneliti Batavia sampai ke akar-akarnya. “Si Jago”, demikian julukan arsiparis-peneliti ini, mengatakan Batavia telah ditelitinya seperti ia memeras sebuah jeruk segar hingga kering. Tak tersisa setetes pun.
Sesumbar de Haan ada benarnya karena bila kita membaca buku ini, hampir sebagian besar para penulis artikel menggunakan de Haan sebagai sumber. Namun, de Haan melupakan satu hal, membicarakan Batavia atau Jakarta sekarang, tak akan ada habisnya. Buktinya, hampir setiap tahun persoalan yang dihadapi kota yang dahulu bergelar “Ratu dari Timur”, beraneka ragam.
Menariknya, segala macam persoalan itu berakar dari berbagai masalah yang nyaris sama di masa lalu. Sebut saja aspek demografi, morfologi perkotaan, lingkungan hidup, lalu lintas hingga banjir. Dalam konteks itulah, buku Jakarta Batavia: Esai Sosio-Kultural layak dibaca. Khususnya bagi bakal Gubernur , penduduk serta pendatang DKI Jakarta.
Buku yang membahas Jakarta ini merupakan kumpulan artikel yang ditulis oleh para ahli berbagai latar belakang disiplin ilmu dari luar maupun dalam negeri. Mulai dari sejarah, sosiologi, antropologi, geografi, linguistik, arsitektur bahkan sastra. Suatu pendekatan yang semestinya juga dilakukan oleh para pengelola serta aparatur ibu kota negara ini yang memiliki beragam masalah.
Titik tolak yang digunakan buku ini bukan berdasarkan tematis tapi kronologis. Yang merentang dari masa VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), abad kesembilan belas, periode akhir masa kolonial hingga periode modern pascakemerdekaan.
Simak saja uraian Blussé membahas ritual diplomatik internasional pada periode awal Batavia. Ia menuturkan bagaimana para pejabat VOC harus mempelajari etiket dan protokol diplomatik. Berbagai upacara penyambutan, seperti tur dengan kereta kuda, defile pasukan bertombak, tembakan salvo hingga diisapnya sebatang pipa cangklong harus diketahui oleh pejabat VOC.
Lalu ia membandingkan dengan penyambutan tamu negara masa kini. Melesat dengan kecepatan penuh dari bandara ke penginapan mereka, didahului dan diikuti rombongan polisi militer dengan raungan sirine dan lampu menyala-nyala. Tanpa memberi kesempatan pada penduduk Jakarta untuk bertatapan dengan tamu pembesar asing itu (hal.36).
Masalah kesehatan serta nyamuk yang hingga sekarang juga menjadi masalah serius Jakarta ternyata juga merupakan persoalan pada masa lalu. Ironisnya, hal itu seolah menjadi persoalan yang tak kunjung padam. Masalah kesehatan pada masa VOC inilah yang dibahas lugas oleh Van der Brug.
Rumah sakit kompeni yang seharusnya membuat pasien menjadi sehat justru semakin membuat pasien sakit bahkan meninggal. Sehingga para pegawai senior VOC kalau masih menyayangi nyawa disarankan untuk dirawat di rumah saja daripada dirawat di rumah sakit yang jorok, kotor, penuh sesak (hal.51). Bagaimana pula dengan pelayanan rumah sakit pada masa kini?
Menurut penduduk, penyakit mereka berasal dari “uap jahat” yang ditengarai karena pendangkalan pantai yang dipenuhi sampah, bangkai ikan busuk. Tidak hanya itu, kanal yang tercemar, kuburan di halaman gereja, kualitas air, penebangan hutan, penggalian saluran air di sekitar kota hingga pencemaran Sungai Ciliwung karena adanya pabrik gula dituding sebagai biang kerok penyakit ganas di Batavia (hal.52).
Nyamuk pun jadi sasaran kambing hitam. Bila masa kini yang ditakuti nyamuk demam berdarah (Aedes aegypti), maka pada masa VOC nyamuk malaria (Anopheles sundaicus) jadi momok menakutkan. Begitu berbahayanya hingga pada masa VOC orang mengenakan “pakaian anti nyamuk” khusus dan dalam berbagai pesta makan malam adalah hal biasa setiap tamu mempunyai seorang pelayan pribadi yang bertugas mengusir nyamuk dengan kipas besar (hal.64).
Ketidaksehatan Batavia ini sangat terkenal hingga seluruh Eropa. Ketika Raffles yang menjabat letnan gubernur Jawa kembali ke Inggris pada 1816, ia ditugaskan ke St. Helena menemui Napoleon. Pertanyaan pertama Napoleon adalah apakah Batavia masih tidak sehat. Ketika itu memang Raffles sedang menderita malaria-cachexie dan tampak kurus (hal.73).
Masalah keamanan wilayah Ommelanden (di sekitar) Batavia menjadi perhatian Remco Raben. Persoalannya adalah konflik antar komunitas. Pada 1686 ketika sebuah gardu jaga di kota diserang bandit-bandit Bali, VOC memutuskan mengeluarkan peraturan terperinci mencakup semua komunitas di Ommelanden. Diangkatlah para kepala kampung dengan pangkat kapten. Mereka diberi imbalan tanah untuk diri mereka serta para pengikutnya. Dengan cara ini diharapkan berbagai komunitas dijauhkan dari dalam kota (hal.104). Salah satu contohnya adalah Kapten Jonker yang memiliki tanah di dekat Sungai Marunda.
Bicara ‘kepala kampung’, Mona Lohanda dalam artikelnya menyebutkan, kepala kampung pertama yang diangkat pada 1620 adalah kepala kampung Cina, Kapitan Cina. Berbeda dengan pengangkatan kapten Cina pertama yang tercatat dalam Resolutien van ‘t Casteel Batavia tanggal 11 Oktober 1620, VOC justru tidak memberi perhatian pada pengangkatan Inlandsche Kommandanten yang berasal dari berbagai ‘suku’ ini. Antara lain adalah Kommandant der Boegineezen en Makassaren (Bugis dan Makkasar), der Amboneezen en Boetonders (Ambon dan Buton).
Apakah kaum bangsawan dikenal dalam masyarakat Betawi? Pertanyaan inilah yang mendasari Yasmine Shahab dalam membahas pembentukan elite Betawi yang berpangkal pada sejarah prakolonial. Dalam artikelnya Yasmin menampilkan sebuah perhimpunan bernama Al Fatawi Mangkudat yang menyatakan diri sebagai representasi aristokrasi lama Jayakarta pra-Batavia sehingga memberi para anggotanya hak untuk dianggap sebagai B.A alias orang Betawi Asli (hal.213).
Karya sastra ternyata dapat juga dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi masa lalu. Seperti artikel Gerard Termorshuizen yang menggunakan novel-novel P.A Daum dalam mengungkapkan kehidupan kolonial di Batavia. Mulai dari gambaran kedudukan sosial, hobi pamer, kehidupan religius, hiburan dan kebudayaan, kaum Indo rendahan dan nyai hingga kaum pribumi miskin yang tertindas. Di sini tampak bahwa karya sastra itu terkadang bisa memunculkan gambaran lebih jelas tentang sebuah masyarakat ketimbang sebuah rak sarat naskah sejarah yang formil dan kaku.
Sementara itu Huub de Jonge memusatkan perhatian pada orang Arab di Batavia. Kelompok etnis yang relatif kurang mendapat perhatian. Padahal komunitas Arab di Batavia adalah komunitas Arab terbesar kedua setelah komunitas Arab di Surabaya. Ia membahas sejarah komunitas Arab di Batavia, ketegangan dan konflik dalam komunitas tersebut.
Susan Blackburn dalam artikelnya menyoroti persoalan hak pilih perempuan dan posisi perempuan di Batavia yang tampaknya merupakan persoalan rumit. Ia mengungkapkan sulitnya kerjasama antara kaum perempuan pribumi, Tionghoa, Belanda dan Indo. Hal yang khusus dibahas adalah cabang Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (Perhimpunan Pemilih Perempuan) di Batavia yang belum pernah dikaji sebelumnya.
Nama-nama tempat di JA[DE]BOTABEK merupakan hasil penelitian memikat Kees Grijns yang menandai memori kolektif dan historis komunitas urban. Ia mengungkapkan berbagai nama jalan di Jakarta yang masih menunjukkan karakter asli pedesaan tempat itu, misalnya Kebon Sirih, Kebon Jeruk atau Kebon Kopi. Begitupula nama jalan dengan nama haji tertentu yang menunjukkan kentalnya ikatan emosional orang Batavia dengan Islam tradisional. Namun, tahukah kita ada gang yang diberi nama ‘Gang TSS’? Ternyata merupakan singkatan ‘Tolong Sakit Sengsara’ dan penghormatan terhadap seorang dokter Jawa yang membantu penduduk selama penjajahan Jepang (hal.230).
Topik pelestarian alam di kawasan metropolitan Jakarta digarap Luc Nagtegaal dan Peter J.M. Nas. Mereka memaparkan kondisi kawasan hijau dari tipe-tipe yang berbeda, seperti taman, tanah kosong, taman milik pribadi, lapangan terbang, tanah makam, padang golf, lahan pertanian serta daerah resapan air. Mereka merumuskan pula sebuah teori tentang distribusi spasial kawasan hijau kota.
Artikel menarik lainnya adalah pandangan dari ‘atas’ yaitu kebijakan para pemimpin Jakarta dari masa ke masa karya Peter J.M. Nas dan Manasse Malo. Mereka menelaah kebijakan tersebut dengan menganalisis riwayat para walikota dan gubernur pascaperang. Mulai dari Walikota Suwirjo hingga Gubernur Wiyogo (1945-1992). Dengan kata lain gubernur, petinggi dan penduduk DKI Jakarta boleh saja silih berganti tapi persoalan yang dihadapi nyaris sama, berulang dan bahkan kian beragam.
Kekurangan buku ini (mungkin) kekurangjelian penyunting terjemahan pada halaman 1. Di sana tertulis tahun terbitan buku Oud Batavia karya si Jago, F. de Haan 1992 seharusnya adalah 1922. Seperti yang tercantum pada buku aslinya.
Secara umum buku yang dilengkapi peta, tabel, ilustrasi ini cukup menarik dan memberikan inspirasi bagi pakar sejarah, antropologi, sosiologi, tata kota, khususnya jajaran petinggi DKI Jakarta. Begitupula para pembaca awam yang ingin mengetahui lebih banyak tentang gambaran persoalan ibu kota Negara Indonesia yang tak ada habisnya, kurang lebih bisa terpuaskan.
Dimuat di Kompas, 14 Mei 2007