Inspirasi Kaleidoskopis Jakarta

Judul   :  Jakarta Batavia: Esai Sosio-Kultural
Judul asli : Jakarta Batavia: Socio-cultural essays
Penyunting :  Kees Grijns dan Peter J.M Nas
Penerjemah : Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis
Penerbit :  KITLV-Jakarta dan Banana, Maret 2007
Tebal  :  378 halaman

F. de Haan pernah sesumbar bahwa ia telah meneliti Batavia sampai ke akar-akarnya. “Si Jago”, demikian julukan arsiparis-peneliti ini, mengatakan Batavia telah ditelitinya seperti ia memeras sebuah jeruk segar hingga kering. Tak tersisa setetes pun. 

Sesumbar de Haan ada benarnya karena bila kita membaca buku ini, hampir sebagian besar para penulis artikel menggunakan de Haan sebagai sumber. Namun, de Haan melupakan satu hal, membicarakan Batavia atau Jakarta sekarang, tak akan ada habisnya. Buktinya, hampir setiap tahun persoalan yang dihadapi kota yang dahulu bergelar “Ratu dari Timur”, beraneka ragam.

Menariknya, segala macam persoalan itu berakar dari berbagai masalah yang nyaris sama di masa lalu. Sebut saja aspek demografi, morfologi perkotaan, lingkungan hidup, lalu lintas hingga banjir. Dalam konteks itulah, buku Jakarta Batavia: Esai Sosio-Kultural layak dibaca. Khususnya bagi bakal Gubernur , penduduk serta pendatang DKI Jakarta.

Buku yang membahas Jakarta ini merupakan kumpulan artikel yang ditulis oleh para ahli berbagai latar belakang disiplin ilmu dari luar maupun dalam negeri. Mulai dari sejarah, sosiologi, antropologi, geografi, linguistik, arsitektur bahkan sastra. Suatu pendekatan yang semestinya juga dilakukan oleh para pengelola serta aparatur ibu kota negara ini yang memiliki beragam masalah.

Titik tolak yang digunakan buku ini bukan berdasarkan tematis tapi kronologis. Yang merentang dari masa VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), abad kesembilan belas, periode akhir masa kolonial hingga periode modern pascakemerdekaan.

Simak saja uraian Blussé membahas ritual diplomatik internasional pada periode awal Batavia. Ia menuturkan bagaimana para pejabat VOC harus mempelajari etiket dan protokol diplomatik. Berbagai upacara penyambutan, seperti tur dengan kereta kuda, defile pasukan bertombak, tembakan salvo hingga diisapnya sebatang pipa cangklong  harus diketahui oleh pejabat VOC. 

Lalu ia membandingkan dengan penyambutan tamu negara masa kini. Melesat dengan kecepatan penuh dari bandara ke penginapan mereka, didahului dan diikuti rombongan polisi militer dengan raungan sirine dan lampu menyala-nyala. Tanpa memberi kesempatan pada penduduk Jakarta untuk bertatapan dengan tamu pembesar asing itu (hal.36).

Masalah kesehatan serta nyamuk yang hingga  sekarang juga menjadi masalah serius Jakarta ternyata juga merupakan persoalan pada masa lalu. Ironisnya, hal itu seolah menjadi persoalan yang tak kunjung padam. Masalah kesehatan pada masa VOC inilah yang dibahas lugas oleh Van der Brug.

Rumah sakit kompeni yang seharusnya membuat pasien menjadi sehat justru semakin membuat pasien sakit bahkan meninggal. Sehingga para pegawai senior VOC kalau masih menyayangi nyawa disarankan untuk dirawat di rumah saja daripada dirawat di rumah sakit yang jorok, kotor, penuh sesak (hal.51). Bagaimana pula dengan pelayanan rumah sakit pada masa kini?

Menurut penduduk, penyakit mereka berasal dari “uap jahat” yang ditengarai karena pendangkalan pantai yang dipenuhi sampah, bangkai ikan busuk. Tidak hanya itu, kanal yang tercemar, kuburan di halaman gereja, kualitas air, penebangan hutan, penggalian saluran air di sekitar kota hingga pencemaran Sungai Ciliwung karena adanya pabrik gula dituding sebagai biang kerok penyakit ganas di Batavia (hal.52).

Nyamuk pun jadi sasaran kambing hitam. Bila masa kini yang ditakuti nyamuk demam berdarah (Aedes aegypti), maka pada masa VOC nyamuk malaria (Anopheles sundaicus) jadi momok menakutkan. Begitu berbahayanya hingga pada masa VOC orang mengenakan “pakaian anti nyamuk” khusus dan dalam berbagai pesta makan malam adalah hal biasa setiap tamu mempunyai seorang pelayan pribadi yang bertugas mengusir nyamuk dengan kipas besar (hal.64).

Ketidaksehatan Batavia ini sangat terkenal hingga seluruh Eropa. Ketika Raffles yang menjabat letnan gubernur Jawa kembali ke Inggris pada 1816, ia ditugaskan ke St. Helena menemui Napoleon. Pertanyaan pertama Napoleon adalah apakah Batavia masih tidak sehat. Ketika itu memang Raffles sedang menderita malaria-cachexie dan tampak kurus (hal.73).

Masalah keamanan wilayah Ommelanden (di sekitar) Batavia menjadi perhatian Remco Raben. Persoalannya adalah konflik antar komunitas. Pada 1686 ketika sebuah gardu jaga di kota diserang bandit-bandit Bali, VOC memutuskan mengeluarkan peraturan terperinci mencakup semua komunitas di Ommelanden. Diangkatlah para kepala kampung dengan pangkat kapten. Mereka diberi imbalan tanah untuk diri mereka serta para pengikutnya. Dengan cara ini diharapkan berbagai komunitas dijauhkan dari dalam kota (hal.104). Salah satu contohnya adalah Kapten Jonker yang memiliki tanah di dekat Sungai Marunda.

Bicara ‘kepala kampung’, Mona Lohanda dalam artikelnya menyebutkan, kepala kampung pertama yang diangkat pada 1620 adalah kepala kampung Cina, Kapitan Cina. Berbeda dengan pengangkatan kapten Cina pertama yang tercatat dalam Resolutien van ‘t Casteel Batavia tanggal 11 Oktober 1620, VOC justru tidak memberi perhatian pada pengangkatan Inlandsche Kommandanten yang berasal dari berbagai ‘suku’ ini. Antara lain adalah Kommandant der Boegineezen en Makassaren (Bugis dan Makkasar), der Amboneezen en Boetonders (Ambon dan Buton).

Apakah kaum bangsawan dikenal dalam masyarakat Betawi? Pertanyaan inilah yang mendasari Yasmine Shahab dalam membahas pembentukan elite Betawi yang berpangkal pada sejarah prakolonial. Dalam artikelnya Yasmin menampilkan sebuah perhimpunan bernama Al Fatawi Mangkudat yang menyatakan diri sebagai representasi aristokrasi lama Jayakarta pra-Batavia sehingga memberi para anggotanya hak untuk dianggap sebagai B.A alias orang Betawi Asli (hal.213).

Karya sastra ternyata dapat juga dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi masa lalu. Seperti artikel Gerard Termorshuizen yang menggunakan novel-novel P.A Daum dalam mengungkapkan kehidupan kolonial di Batavia. Mulai dari gambaran kedudukan sosial, hobi pamer, kehidupan religius, hiburan dan kebudayaan, kaum Indo rendahan dan nyai hingga kaum pribumi miskin yang tertindas. Di sini tampak bahwa karya sastra itu terkadang bisa memunculkan gambaran lebih jelas tentang sebuah masyarakat ketimbang sebuah rak sarat naskah sejarah yang formil dan kaku.

Sementara itu Huub de Jonge memusatkan perhatian pada orang Arab di Batavia. Kelompok etnis yang relatif kurang mendapat perhatian. Padahal komunitas Arab di Batavia adalah komunitas Arab terbesar kedua setelah komunitas Arab di Surabaya. Ia membahas sejarah komunitas Arab di Batavia, ketegangan dan konflik dalam komunitas tersebut.

Susan Blackburn dalam artikelnya menyoroti persoalan hak pilih perempuan dan posisi perempuan di Batavia yang tampaknya merupakan persoalan rumit.  Ia mengungkapkan sulitnya kerjasama antara kaum perempuan pribumi, Tionghoa, Belanda dan Indo. Hal yang khusus dibahas adalah cabang Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (Perhimpunan Pemilih Perempuan) di Batavia yang belum pernah dikaji sebelumnya.

Nama-nama tempat di JA[DE]BOTABEK merupakan hasil penelitian memikat Kees Grijns yang menandai memori kolektif dan historis komunitas urban. Ia mengungkapkan berbagai nama jalan di Jakarta yang masih menunjukkan karakter asli pedesaan tempat itu, misalnya Kebon Sirih, Kebon Jeruk atau Kebon Kopi. Begitupula nama jalan dengan nama haji tertentu yang menunjukkan kentalnya ikatan emosional orang Batavia dengan Islam tradisional. Namun, tahukah kita ada gang yang diberi nama ‘Gang TSS’?  Ternyata merupakan singkatan ‘Tolong Sakit Sengsara’ dan penghormatan terhadap seorang dokter Jawa yang membantu penduduk selama penjajahan Jepang (hal.230).

Topik pelestarian alam di kawasan metropolitan Jakarta digarap Luc Nagtegaal dan Peter J.M. Nas. Mereka memaparkan kondisi kawasan hijau dari tipe-tipe yang berbeda, seperti taman, tanah kosong, taman milik pribadi, lapangan terbang, tanah makam, padang golf, lahan pertanian serta daerah resapan air. Mereka merumuskan pula sebuah teori tentang distribusi spasial kawasan hijau kota.

Artikel menarik lainnya adalah pandangan dari ‘atas’ yaitu kebijakan para pemimpin Jakarta dari masa ke masa karya Peter J.M. Nas dan Manasse Malo. Mereka menelaah kebijakan tersebut dengan menganalisis riwayat para walikota dan gubernur pascaperang. Mulai dari Walikota Suwirjo hingga Gubernur Wiyogo (1945-1992). Dengan kata lain gubernur, petinggi dan penduduk DKI Jakarta boleh saja silih berganti tapi persoalan yang dihadapi nyaris sama, berulang dan bahkan kian beragam.

Kekurangan buku ini (mungkin) kekurangjelian penyunting terjemahan pada halaman 1. Di sana tertulis tahun terbitan buku Oud Batavia karya si Jago, F. de Haan 1992 seharusnya adalah 1922. Seperti yang tercantum pada buku aslinya.

Secara umum buku yang dilengkapi peta, tabel, ilustrasi ini cukup menarik dan memberikan inspirasi bagi pakar sejarah, antropologi, sosiologi, tata kota, khususnya jajaran petinggi DKI Jakarta. Begitupula para pembaca awam yang ingin mengetahui lebih banyak tentang gambaran persoalan ibu kota Negara Indonesia yang tak ada habisnya, kurang lebih bisa terpuaskan.

Dimuat di Kompas, 14 Mei 2007

Balada Nyamuk

Sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang. Dari jaman kuda gigit besi hingga jaman 3G nyamuk tetap menjadi masalah di DKI Jakarta. Tidak main-main, pemerintah provinsi DKI masih belum mencabut status KLB (Kejadian Luar Biasa) untuk urusan nyamuk ini. Selama April 2007 saja jumlah penderita demam berdarah di Jakarta sebanyak 3.693 orang. Lima diantaranya meninggal dunia. Jumlah terbanyak terdapat di Jakarta Timur dengan 1.173 pasien. Total penderita sejak awal tahun ini sebanyak 14.109 orang dengan 46 meninggal.

Bila pada masa lalu, masyarakat Batavia diresahkan karena si belang kecil nyamuk Anopeles sundaicus, penyebab malaria. Sekarang masyarakat Jakarta dan sekitarnya dihantui nyamuk Aedes aegypti si penyebar teror demam berdarah. Ironisnya nyamuk ini tak pandang bulu. Kaya-miskin, tua-muda, besar-kecil semua sama rata sama menderita.
Batavia yang dibangun pada 1619 sebagai sebuah benteng dan pos dagang di sebuah kota pelabuhan Kalapa. Pelabuhan ini jatuh ke tangan orang Banten yang kemudian bernama Jayakarta. Lalu orang Belanda menghancurkan pemukiman kaum pribumi dan di atas reruntuhan puing-puing tersebut dibuatlah tiruan kota seperti kampung halaman mereka di Eropa sana. Lengkap dengan kanal, jembatan angkat, jalan dilapisi batu bulat plus rumah-rumahnya.

Adalah Jan Pieterszoon Coen yang mendirikan Batavia yang mungkin memerintahkan kota itu ditata menurut peta buatan Simon Stevin, perancang di kota Belanda. Hal ini disimpulkan berdasarkan surat dari Heeren XVII, dewan direksi VOC yang meminta Stevin merancang sebuah benteng dan kota bagi mereka.
Batavia pun memiliki sebuah sistem kanal segi empat dan sangat mirip dengan tata kota Amsterdam pada masa itu. Sekarang, sistem ini menyisakan serta mewariskan masalah serius bagi Jakarta. Karena pekerjaan kanal banjir yang tak kunjung selesai, maka banjirlah yang dituai.

Kanal-kanal atau grachten itu yang sempat mendapat pujian dari Valentijn karena keindahannya hingga mendapat julukan Koningin van het oosten (Ratu dari Timur) ternyata menyimpan sesuatu yang mengerikan. Kanal-kanal yang dipagari pepohonan rindang menjadi sarang ideal bagi berkembang biaknya nyamuk Anopeles sundaicus. Ditambah lagi aliran air kanal hampir tak mengalir. Lumpur dari sungai-sungai mengendap di dasar kanal. Sekaligus menjadi sarang penyakit.

Leonard Blussé berpendapat berkembangnya nyamuk itu bukan karena tata letak kota yang meniru kota di Belanda atau bencana alam. Dalam hal ini, para pejabat VOC mengkambinghitamkan tata arsitektur kota dan Gunung Salak yang meletus pada 1699 hingga membuat kanal-kanal penuh lumpur. Blussé justru melihat polusi sistem drainase yang dicemari limbah gula dalam kota sebagai biang keroknya. Jika dirunut lagi, keserakahan para pejabat VOC dalam bisnis ‘manis’ gulalah sebagai sumber masalahnya.

Ironisnya, rumah sakit kompeni yang seharusnya membuat pasien menjadi sehat justru semakin membuat pasien sakit bahkan meninggal. Sehingga para pegawai senior VOC , seperti yang diungkapkan Peter H. Van den Burg, kalau masih menyayangi nyawa disarankan untuk dirawat di rumah saja daripada dirawat di rumah sakit yang jorok, kotor, penuh sesak. Rumah sakit buruk atau yang lebih tepat disebut rumah mati itu, terletak di dalam kota dan yang satunya lagi berada di luar kota, kira-kira sekitar Glodok.
Setelah tahun 1730 satu dari empat pegawai VOC yang bertugas di Hindia meninggal di rumah sakit. Jika sebelumnya Batavia mendapat julukan ‘Ratu dari Timur’ maka gelar ‘Kuburan dari Timur’ lah yang disandang.

Begitu berbahayanya nyamuk si belang itu pada masa VOC membuat orang mengenakan “pakaian anti nyamuk” khusus dan menurut De Haan dalam berbagai pesta makan malam adalah hal biasa setiap tamu mempunyai seorang pelayan pribadi yang bertugas mengusir nyamuk dengan kipas besar.

Menjelang akhir abad ke-18 ketidaksehatan Batavia ini sangat terkenal hingga seluruh Eropa. Ketika Raffles yang menjabat letnan gubernur Jawa kembali ke Inggris pada 1816, ia ditugaskan ke St. Helena menemui Napoleon. Pertanyaan pertama Napoleon adalah apakah Batavia masih tidak sehat. Ketika itu memang Raffles sedang menderita malaria-cachexie. Setibanya di Falmouth dia dan pengiringnya terlihat begitu kurus. Mereka pun diinterogasi cukup lama dan baru diperbolehkan melanjutkan perjalanan setelah bersumpah bahwa mereka sehat.

Pada masa kolonial pun persoalan nyamuk belum selesai. Meskipun kantor-kantor penting telah dipindahkan ke daerah yang dianggap lebih sehat di Weltevreden (sekitar Monas, Gambir) pada masa Gubernur Jenderal Overstraten (1797) seiring bubarnya VOC serta penghancuran benteng di sekeliling kota dan penimbunan mookervaart pada masa Daendels, nyamuk tetap menyerang.

Pada masa Mohammad Husni Thamrin sebagai anggota Gemeenteraad (dewan kotapraja) Batavia pada bulan Februari 1922, kita pun dapat mengetahui: “Batavia masih tetap seperti lukisan dengan figura indah, dihiasi dengan vila luas serta jalan yang lebar. Sementara kampung-kampung terwakili pada kanvas tak berharga. Ratusan ribu penduduk sehari-harinya hidup dalam bahaya di kampung-kampung yang penuh lubang jamban berbau busuk, tempat berbiaknya nyamuk malaria.”

Mohammad Husni Thamrin akhirnya berhasil mendesak Dewan dan Pemerintah kotapraja Batavia untuk memerhatikan kampongvraagstuk (masalah kampung). Berbagai program perbaikan kampung dijalankan supaya tak menjadi sarang penyakit, apalagi nyamuk. Ironisnya, Thamrin tak kuasa menahan teror si belang Anopeles sundaicus. Pada awal 1941 demam tinggi menyerangnya. Ia pun meninggal pada hari Jumat 10 Januari 1941 karena malaria.

Hal yang menarik adalah apakah memang kita telah serius menghadapi masalah yang telah merenggut banyak nyawa ini. Pemerintah DKI memang telah mengupayakan dan mensosialisasikan kepada masyarakat untuk memusnahkan nyamuk beserta sarangnya.
Namun, upaya pengasapan atau fogging ke rumah-rumah warga harus diperhatikan betul. Jangan sampai justru warga yang ‘teler’ menghisap ramuan anti nyamuk demam berdarah atau nyamuknya justru bertambah ganas. Nyamuk Aedes aegypti ini memang termasuk nyamuk elit yang tidak mau hidup di got atau air yang kotor. Bahkan beberapa rumah di daerah elit di Jakarta ternyata menjadi sarang nyamuk demam berdarah dan lucunya rumah itu kebanyakan kosong.

Masalah nyamuk di Jakarta memang gampang-gampang susah karena tak sekedar diasapi atau disemprot tapi justru perubahan perilaku hidup sehatlah yang dibutuhkan. Baik perilaku sehat pemerintah maupun warganya. Yang jelas ini merupakan salah satu pekerjaan rumah siapa pun gubernur DKI yang akan datang. Jangan sampai, seperti meminjam satu iklan obat anti nyamuk: “Nyamuk sini tidak takut siapa-siapa!”

Dimuat di harian Seputar Indonesia edisi sore, 9 Mei 200

Menjinakkan Kesatria Pemberontak

Judul buku : Strategi Menjinakkan Diponegoro, Stelsel Benteng 1827-1830
Penulis : Saleh As’ad Djamhari
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta 2004
Tebal : xix + 342 halaman

Mengapa dalam historiografi kolonial Belanda pemberontakan Diponegoro tidak disebut sebagai pemberontakan, tetapi Java Oorlog? Begitu pula dalam historigrafi Indonesia, pemberontakan itu disebut Perang Diponegoro.

Menurut aliran sejarah militer baru, dengan John Keegan sebagai salah satu pelopornya, perang yang terjadi dalam satu wilayah negara disebut perang kecil (small war). Bentuk aksi politiknya adalah pemberontakan, revolusi, atau perang saudara. Mengacu pada pendapat ini, maka pemberontakan yang dipimpin Diponegoro sebagai upaya politik yang dilakukan orang Jawa untuk merebut kembali kedaulatannya dapat dikategorikan sebagai perang. Serta dipenuhinya tiga indikasi yang menjadi tolak ukur. Pertama, memiliki ideologi, yaitu untuk berjihad, kedua memiliki organisasi dan dukungan lingkungan serta ketiga menguasai medan.

Di samping itu, Java Oorlog (Perang Jawa), seperti halnya Atjeh Oorlog (Perang Aceh), berlangsung lama (1825-1830), menelan korban yang besar, hampir membakar sebagian besar daerah di Pulau Jawa serta memaksa Pemerintah Hindia Belanda mengocek kantong hingga 25 juta gulden. Bukan jumlah yang sedikit untuk ukuran masa itu. Keletihan luar biasa dan rasa frustrasi akibat kegagalan strategi dalam perang tersebut membuat para petinggi militer Belanda memeras otak mencari strategi baru.

Diangkat dari disertasi Saleh As’ad Djamhari di Pascasarjana UI tahun 2002, buku ini menguraikan teknis strategi baru yang dikenal dengan Stelsel Benteng secara gamblang. Dalam memoar Kolonel Stuers, anak menantu Jenderal De Kock, diungkapkan, Java Oorlog tersebut merupakan awal diterapkannya strategi militer baru, suatu strategi yang unik, baik dari sisi pemikiran maupun pelaksanaan yang berhubungan dengan aspek politik, sosial, dan kultural (hal 5-6). Strategi ini lahir berdasarkan pada kesalahan strategi mobilitas pasukan di lapangan dalam upaya mengejar pasukan Diponegoro selama dua tahun. Perkiraan De Kock yang membiarkan lawan berperang dengan cara berperangnya sendiri sampai kehabisan logistik ternyata keliru. Pasukan Diponegoro ternyata mampu bertahan hanya dengan makan nasi kering dan garam (hal 79).

Strategi Stelsel Benteng bertujuan melindungi pasukan dari serangan mendadak dengan mendirikan semacam kubu perlindungan (battlefield fortification) sederhana dari bahan baku yang tersedia di Pulau Jawa. Model perlindungan sederhana ini kemudian ditiru oleh beberapa komandan pasukan lainnya yang secara populer disebut “benteng” dan dapat menampung 25-30 orang (hal 85). Tercatat dalam buku ini ada 258 benteng berukuran kecil dan sedang, termasuk 16 benteng berukuran besar dibangun.

Meskipun buku ini dipenuhi istilah-istilah kemiliteran, tetapi kita seakan-akan dibawa ke medan pertempuran oleh seorang guide militer dan seolah-olah ikut menyaksikan pertempuran secara langsung. Hal ini tentu tak lepas dari latar belakang penulis di kemiliteran. Di samping itu, penulis Memoar Jend (Pur) Soemitro dan staf pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ini begitu rajin menyusun data renik berdasarkan sumber-sumber primer seperti memoar Kolonel de Stuers Memoires sur la guerre de ile de java de 1825-1830, dokumen Verzameling van officiele Rapporten serta memoar Diponegoro Babad Diponegoro in Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Babad ini sering disebut Babad Diponegoro versi Manado yang ditulis dengan gaya bahasa sederhana dan lebih lugas dari Babad Diponegoro versi Keraton Surakarta yang pernah diteliti oleh Peter Carey. Namun, penulis tidak hanya membahas kronologis jalannya perang, data-data kehidupan sehari-hari para prajurit masa itu juga dihimpunnya sehingga buku ini tidak semata-mata berisi uraian teknis strategi militer (hal 217).

Saleh pun tak terjebak dengan polemik yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa mengenai apakah Pangeran Diponegoro itu seorang “pahlawan” atau “pengkhianat”. Di sini ia mencoba menjelaskan alasan-alasan Pangeran Diponegoro memberontak apakah berkaitan dengan isu balad Islam/negara Islam (hal 36), diterapkannya konsep mesianistik dalam perangnya serta strategi yang diterapkannya menghadapi pasukan kolonial (hal 44). Saleh juga membahas apakah strategi perang yang dilancarkan Diponegoro itu ada kaitannya dengan taktik pasukan elite Kerajaan Turki Usmani.

Hal yang tidak kalah menarik lainnya dari buku ini adalah pada bagian ketika Diponegoro dipaksa menyerah dengan cara mengeksploitasi nilai-nilai budaya karakter kesatria bangsawan Jawa yang ada pada pribadi Diponegoro. Di mana salah satu nilai kesatria yang dianggap luhur itu adalah “seorang kesatria pantang ingkar terhadap janji” (hal 219). Meskipun menyadari telah tertipu, ia menyatakan dirinya bertanggung jawab dan bersalah atas pecahnya peperangan. Namun, ia tetap menolak untuk menyerah dan menyatakan lebih baik mati. Akhirnya, Diponegoro yang sempat emosi dan berniat membunuh Jenderal De Kock mengurungkan niatnya. Ia sadar dan pasrah pada takdir lalu memutuskan untuk meninggalkan tanah Jawa karena tak ada yang dimilikinya lagi di tanah Jawa (hal 223-224). Drama penangkapan ini tampak sesuai dengan pilihan gambar sampul buku yang merupakan repro lukisan karya Raden Saleh “Historiches Tableau; die Gefangennachmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro”

Pemicu memberontaknya Diponegoro dapat dilihat dari beberapa faktor. Bermula dari konflik internal Keraton Yogyakarta pada tahun 1792 antara Sultan Hamengkubuwono II dan putra mahkota, Pangeran Adipati Amangkunagoro, yang akhirnya melibatkan Diponegoro. Hingga keputusan politis Residen Baron de Salis pada tahun 1822 dengan mengangkat RM Menol yang masih berusia dua tahun sebagai Sultan Hamengkubuwono V untuk menggantikan Sultan Hamengkubuwono IV yang meninggal tiba-tiba. Diponegoro pun merasa terhina ketika harus menyembah seorang bocah ingusan karena menurut tata krama keraton, setiap pangeran diwajibkan menyembah sultan dalam audensi resmi. Ini sesuai dengan pandangan Jawa di mana sultan adalah penguasa tertinggi yang ditakdirkan Tuhan karena mendapat wahyu kerajaan.

Faktor berikutnya adalah masalah penyewaan tanah milik Keraton Yogyakarta dan Surakarta oleh Pemerintah Hindia Belanda serta faktor kultur. Pada masa pemerintahan adiknya-Hamengkubuwono IV-banyak bangsawan yang tiba-tiba menjadi kaya dari hasil penyewaan tanah, suka bermewah-mewahan, dan meniru gaya hidup orang Belanda. Mereka mulai meninggalkan nilai dan norma-norma kehidupan Jawa dan Islam yang disakralkan. Ditambah lagi perilaku para pejabat Belanda yang seenaknya memasuki keraton dan berhubungan gelap dengan beberapa putri keraton. Hal ini membuat prihatin Diponegoro yang berlatar belakang Islam taat. Berkuasanya orang asing terhadap tanah milik kerajaan (melalui penyewaan tanah) merupakan pertanda jatuhnya tanah Jawa ke tangan orang asing sehingga Jawa harus direbut kembali dengan perang sabil.

Konflik politik puncaknya pada penutupan jalan ke Tegalrejo dengan pemasangan pancang secara sengaja di tanah milik Diponegoro di Tegalrejo sebagai tanda pembuatan jalan baru. Residen Smissaert-pengganti Residen Baron de Salis-yang mendapat laporan bahwa pancang-pancang itu dicabut oleh para pengikut Diponegoro segera memerintahkan untuk memasang kembali pancang-pancang itu dan menggantinya dengan tombak-tombak mereka. “Insiden pancang” dan penutupan jalan menjadi konflik terbuka antara Diponegoro dan residen yang melibatkan senjata. Insiden ini justru membangkitkan simpati masyarakat dan mengundang para demang beserta anak buahnya berdatangan ke Tegalrejo untuk membela Diponegoro pada pertengahan tahun 1825. Peristiwa ini merupakan awal mobilisasi kekuatan Diponegoro.

Buku ini dilengkapi pula dengan peta lokasi benteng-benteng tahun 1825- 1829, peta operasi, tabel-tabel, serta sajak penutup “Diponegoro” karya Sitor Situmorang yang menggambarkan percakapan Diponegoro dengan kudanya Kiai Gentaju seakan menjadi “gong” simpulan buku ini. Semua itu memudahkan kita-dengan meminjam ungkapan AB Lapian dalam kata pengantarnya-seperti juga John Keegan dalam The Battle for History Re-Fighting World War II untuk ikut “mengulangi pertempuran”, to refight, sebuah perang penting dalam sejarah Indonesia. Perang yang cukup lama membingungkan dan menggoyahkan kedudukan pemerintah kolonial di Pulau Jawa pada dekade ketiga abad ke-19. Tidaklah berlebihan jika buku ini patut dikoleksi para penikmat sejarah, khususnya sejarah militer, yang dapat menambah wawasan dan bahan diskusi lebih lanjut.

Dimuat di Kompas, 21 Maret 2004

This is my first review on Kompas.

Kue Bugis Kanre Jawa

Urusan perut, merupakan urusan yang tidak bisa ditawar lagi. Ada orang yang menjadi beringas lantaran urusan perut. Yang jelas, urusan perut erat kaitannya dengan makanan. Di Makassar, bagi yang belum terbiasa dengan kuliner daerah ini dibutuhkan waktu beberapa saat untuk menyesuaikan diri. Meskipun terasa cocok dengan lidah, belum tentu perut mau menerima. Kalau tidak cocok, perut akan berdemonstrasi, berontak. Lantas, bisa celakalah kita.

Bagaimanapun, wisata kuliner de Macassart tak akan pernah terlupakan. Ada hal yang menarik berkaitan dengan kuliner Makassar ini. Aneka macam makanan dengan beraneka rasa dan warna dapat kita jumpai dan cicipi. Budayawan nasional, Umar Kayam yang pernah bertugas di Makassar berseloroh bahwa orang Bugis-Makassar merupakan masyarakat yang rendah hati. Alasannya meskipun pembuat kue-kue adalah orang Makassar, Bugis, Mandar atau Toraja, kue-kue itu tetap disebut Kanre Jawa. Suatu penghormatan bagi orang Jawa. Sebaliknya di Jawa, kita mengenal Kue Bugis. Sejenis kue yang terbuat dari tepung ketan yang berisi gula merah dan kelapa lalu dibungkus daun pisang muda. Suatu hal yang menarik.

Tidak hanya makanan kecil seperti jalangkote, aneka macam penganan dari pisang pun dapat kita nikmati, seperti: barongko berupa pisang yang dilumatkan hingga seperti bubur , dicampur adonan telur lalu dibungkus dengan daun pisang. Biasanya disajikan dalam keadaan dingin. Pisang Epe yaitu pisang yang dipanggang tapi sebelumnya dipres hingga gepeng lalu diberi saus gula merah, terkadang diberi aroma durian. Pisang Ijo yaitu pisang yang dibungkus adonan terigu dan daun pandan hingga berwarna hijau lalu diberi saus putih dari kelapa.

Selain itu ada pula umba-umba yang di Jawa dikenal dengan nama klepon. Di Makassar ada pula yang menyebutnya onde-onde yaitu kue dari tepung beras dengan gula merah di dalamnya dan dilumuri parutan kelapa. Biasanya kue ini khusus disajikan pada saat menempati rumah baru atau dalam upacara pembuatan perahu. Penganan lain adalah sengkolo, sejenis ketan urap dengan bahan ketan putih atau ketan hitam. Seringkali kita jumpai warung yang menjual songkolo begadang. Disebut demikian karena dijual pada malam hingga pagi hari. Biasanya dinikmati hangat-hangat dengan telur asin dan sambal. Lucu juga bila kita menawari turis asing: “Would you like to try an overnight songkolo, Sir?”

 

Mencari Asal Usul Keluarga Indo Prancis di Jawa

Judul buku: Manhafte heren en rijke erfdochters: Het voorgeslacht van E.du Perron op Java

Penulis : Kees Snoek

Penerbit : KITLV Uitgeverij Leiden, 2003
Sejarah keluarga merupakan salah satu tema penelitian dalam penulisan sejarah yang cukup menarik. Menarik karena seringkali ditemukan unsur-unsur kejutan yang tidak hanya berkaitan dengan keluarga yang diteliti. Terkadang, ditemukan pula hal-hal yang berkaitan dengan sejarah yang lebih luas. Demikian halnya dengan buku Manhafte heren en rijke erfdochters: Het voorgeslacht van E.du Perron op Java (Para tuan yang gagah berani dan para cucu perempuan yang kaya: Nenek moyang E.du Perron di Jawa ) karya Kees Snoek yang bekerja sama dengan Tim Timmers.

Buku ini merupakan bagian dari biografi Charles Edgard du Perron (Eddy) yang disusun Kees Snoek. Dengan menceritakan asal usul keluarga du Perron di Jawa, penulis berusaha menelusuri nenek moyang du Perron hingga ke masa VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di abad ke-17. Adalah Jean Roch du Perron (1756-1808) yang dianggap kakek moyang keluarga du Perron. Jean Roch memiliki dua anak angkat, Nicolaas du Perron (1787-1809) dan Louis du Perron (1793-1855). Hal ini cukup mengejutkan E.du Perron karena berarti ada kemungkinan, Louis, buyutnya berdarah campuran dan bukan murni berdarah Perancis (hal.10)
E. du Perron (1899-1940) adalah seorang sastrawan dan penulis esai Belanda yang lahir di Meester Cornelis (Jatinegara) dari keluarga Indo Perancis. Karyanya yang terkenal adalah roman Het land van herkomst (1935 – tanah asal usul) yang juga merupakan autobiografinya. Anak Mester ini juga menulis buku tentang Multatuli, De man van Lebak (1937) dan Multatuli, tweede pleidooi (1938), serta bunga rampai kehidupan sastra pada masa VOC, De muze van Jan Companie (1939) dan Van Kraspoekol tot Saidjah.

Melalui majalah Kritiek en Opbouw, ia ‘berjumpa’ dengan tokoh-tokoh intelektual Belanda dan Indonesia yang sama-sama tertekan dengan pemerintah Belanda pada tahun 30-an. Majalah ini digunakannya juga untuk ‘menyerang’ Zentgraff, pemimpin redaksi koran Java Bode, salah seorang penentang aspirasi pergerakan nasionalis. du Perron juga merupakan teman baik Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), penulis Buiten het gareel (Manusia Bebas).
Sikap E. du Perron yang akrab dengan tokoh-tokoh intelektual Indonesia menurut Rob Nieuwenhuys lebih dari seorang sahabat sejati. Salah seorang kenalannya yaitu Sutan Syahrir menulis: “Ia [E.du Perron] tidak mendekati orang-orang Indonesia sebagai sebuah obyek studi yang membangkitkan perhatiannya, bukan pula suatu pendekatan dari luar seperti sering dilakukan oleh kaum etisi, tetapi ia menjumpai kami sebagai manusia dengan manusia, berdasar kemanusiaan yang sama”.
Pada 12 Agustus 1939 E.du Perron dan keluarganya meninggalkan Indonesia kembali ke Belanda, tempat yang menurutnya dirasakan selalu asing, seperti dalam surat yang ia tulis untuk Sjahrir. Hal itu menurutnya logis karena orang tuanya yang bijna volbloed Fransen (hampir berdarah Perancis) dan berbeda dengan para kaum borjuis Belanda. Pada 10 Mei 1940 ketika Jerman menyerbu Belanda, E.du Perron meninggal akibat serangan jantung.
Buku ini diawali dengan cerita Gedong Menu yang merupakan tempat kelahiran E.du Perron di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur. Nama Menu mengambil nama salah satu kakek moyangnya, Kolonel Petrus Henricus Menu (1790-1875) yang menikah dengan Agrapina Augustina Michiels (1792-1875), anak perempuan Augustijn Michiels (1769-1833). Augustijn Michiels adalah cicit seorang Mardijker yang kaya raya. Ia terkenal dengan nama Majoor Jantje dan memiliki tanah luas di Klapanoenggal yang terdapat sarang burung walet serta landhuis Citrap (bab 2). Majoor Jantje ini juga berjasa besar terhadap salah satu musik rakyat tradisional Betawi yaitu tanjidor. Kematian Majoor Jantje, menurut Mona Lohanda dalam makalahnya “Majoor Jantje and the Indisch element in Betawi folkmusic” ternyata menandai berakhirnya perlindungan kehidupan musik tradisional dalam rumah tangga-rumah tangga Indo-Belanda.
Petrus Henricus Menu (1790-1875) merupakan putera dari Johannes Menu dan Johanna Maria Smolders. Karirnya di militer di Grande Armee cukup cerah, apalagi ketika ditugaskan di Hindia. Setelah ia menikah untuk yang kedua kalinya dengan puteri Majoor Jantje pada tahun 1844, sang kolonel pun pensiun. Ia menjadi tuan tanah di Citrap dan Nanggewer sambil mengumpulkan naskah-naskah Jawa kuno. Sayang, pernikahannya dengan puteri Majoor Jantje itu tidak dikaruniai anak. Tetapi dari pernikahan sebelumnya dengan Wendelina van Kempen, ia mendapat tiga anak perempuan. Menu juga bersahabat erat dengan pelukis Raden Saleh (1811-1880) dan istrinya mevrouw Winckelhagen. Mereka saling mengunjungi dan menginap, baik di rumah Menu di Citrap atau rumah Raden Saleh di Cikini. Bahkan secara khusus Raden Saleh melukis potret Menu lengkap dengan medali penghargaan di dada (hal.27).
Puteri pertama Menu dari pernikahan sebelumnya, Margaretha Catharina Menu (1829-1896) menikah dengan mr. Hendrik du Perron (1820-1900). Hendrik merupakan anak laki-laki dari Louis du Perron (1793-1855) dan Johanna Lucretia de Quartel (1798-1875). Louis du Perron juga berkarir di militer. Setelah menjadi komandan ekspedisi ke Bangka sekitar tahun 1820-an, ia ditempatkan di Magelang sebagai komandan garnisun. Ia termasuk salah satu perwira yang turut menumpas ‘pemberontakan’ Pangeran Diponegoro dengan kemampuannya memimpin dalam strategi stelsel benteng Jenderal De Kock. Bahkan Louis ikut hadir sewaktu Pangeran Diponegoro ditangkap pada 28 Maret 1830 (hal.38-42).
Salah satu buah dari pernikahan mr. Hendrik du Perron dan Margaretha Catharina adalah Charles Emile du Perron (1861-1926) yang merupakan ayah dari E.du Perron. Sewaktu muda, Charles mendapat julukan kwaaie Duup (Duup yang sulit diatur). Berbeda dengan saudara laki-lakinya, Louis Henry yang mendapat julukan goeie Duup (Duup yang baik). Hal itu dapat dilihat dari minatnya yang rendah untuk kuliah karena ia lebih suka pacuan kuda dan berdansa. Namun, akhirnya ia dapat lulus dari Instituut National Agronomique di Paris pada 1881 (hal.51).
Ketika kembali ke Hindia, Charles membawa serta seorang maîtresse (pacar). Ia tidak mengambil ‘istri’ seperti kebiasaan para pria Eropa yang berlaku masa itu yaitu mengambil para nyai pribumi atau nyai Indo. Namun, ia membawa seorang nyai totok dari Eropa. Dari koleksi foto-foto yang tersimpan terlihat pose ‘pacar’nya itu dengan rambut dipotong pendek, pandangan mata nakal serta mulut yang merajuk. Beberapa foto memperlihatkan perempuan itu mulai dengan kostum berkuda hingga tanpa busana yang dengan antusias sempat ditemukan oleh anaknya, si kecil Eddy (hal.52). Itu kehidupan liar Charles sebelum bertemu dengan istrinya, Marie Mina Madeline Bédier de Praire (1864-1933), seorang pemilik perkebunan kaya di sekitar Cibadak, ibu dari E.du Perron.
Silsilah dari sisi ibu E.du Perron pun cukup menarik untuk diketahui. Neneknya, Madeline Mina Chaulan (1838-1867) merupakan puteri dari Etienne Chaulan (1807-1875). Etienne berasal dari Aubagne, Perancis Selatan yang datang bersama kakaknya Surléon Antoine mengadu nasib ke Batavia dan Ommelanden (daerah sekitar Batavia). Berbeda dengan ayahnya yang seorang cuisiner (juru masak), Etienne adalah seorang ahli bangunan dan ahli mesin.

Dua bersaudara Chaulan ini terkenal sebagai pemilik hotel di Batavia. Pada tahun 1830, Surléon Antoine membuka Hôtel de Provence , hotel bergaya Perancis di Batavia. Hotel tersebut terletak di Weltevreden di ujung Molenvliet, dekat sociëteit De Harmonie (sekarang Carrefour di jalan Gajahmada). Hotel itu kelak berubah namanya menjadi Hôtel Rotterdam. Pada bulan Mei 1856, atas saran Eduard Douwes Dekker (Multatuli), hotel itu menjadi Hôtel des Indes, tempat penginapan yang terkenal di Hindia Belanda (hal.69-70).
Etienne Chaulan sepertinya mengambil alih kepemilikan hotel tersebut dari tangan kakaknya. Sebelumnya, ia adalah pemilik hotel di Bidara Cina yang dikenal dengan sebutan logement de plaisance. Tampaknya, sang kakak Surleon Antoine ingin mengajarkan adiknya manajemen hotel sebelum menyerahkan des Indes.
Etienne ternyata juga pernah berkongsi dengan Insinyur Charles Theodore Deeleman, perancang berbagai sarana transportasi (salah satunya delman). Peninggalan keluarga Chaulan ini masih sempat ditemukan hingga Perang Dunia II dengan diabadikannya nama Chaulan untuk sebuah gang, gang Chaulan (jalan Hasyim Ashari, Jakarta Pusat).
Dengan dilengkapi ilustrasi foto-foto, lukisan-lukisan, potongan iklan surat kabar, arsip, serta surat-surat pribadi, buku yang terdiri dari tujuh bab ini menjadi cukup menarik. Apalagi kita pun dipermudah dengan adanya silsilah keluarga du Perron tersebut di awal buku (hal.6-7) dan (hal.66). Kees Snoek yang pernah menjadi dosen di berbagai universitas seperti di Amerika Serikat, Indonesia, Selandia Baru dan Perancis, tidak hanya berhasil mengungkapkan asal usul sebuah keluarga Indo Perancis di Jawa. Dengan ketelitian dan kejeliannya, ia juga mengungkapkan peranan keluarga tersebut dalam sejarah sosial di Hindia Belanda, khususnya di Jawa. Suatu upaya yang dapat dijadikan pelajaran bagi para penulis dan calon penulis biografi di Indonesia. Supaya tidak terjebak pada hagiografi (bersifat pujian) belaka, tetapi mengupas habis semua aspek, termasuk yang memalukan.

Batavia Awal Abad XX

Cerita Awalnya….

Berawal dari upaya pencarian seorang sobat tentang berita Boeaja Ketjil Batavia di Perpustakaan Nasional RI Jakarta. Kami pun menemukan tumpukan koran-koran tua berdebu. Bandera Wolanda. Ada satu cerita kenang-kenangan (gedenkschriften) seorang prajurit tua di Batavia. Surat cerita demikian si prajurit menyebutnya tampak menarik bila diterjemahkan supaya bisa dibaca khalayak. Berlembar-lembar surat cerita yang bersambung itu difotokopi dan saya bawa ke Makassar tempat saya bertugas. Cerita itu saya terjemahkan di sela-sela kesibukan dan teriknya Makassar dengan syarat sang sobat yang akan mengeditnya. Akhirnya jadilah surat cerita itu seperti ini…

cover-betawi-copy.jpg

Dan sekilas komentar pembaca serta media…

Iskandar.P. Nugraha

H Tanzil

Gatra

Dari Ambtenar ke PNS

Kisruhnya proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)  dan maraknya protes para CPNS tersebut karena dianulirnya kelulusan mereka menyisakan pertanyaan besar. Sebegitu besarkah minat untuk menjadi PNS?  Hal ini seolah-olah memperlihatkan bahwa menjadi pegawai negeri adalah satu-satunya jalan keluar dari sulitnya mencari pekerjaan saat ini. Bahkan sempat beredar kabar adanya aksi main hakim sendiri dari seorang pejabat pemerintah sewaktu pengumuman CPNS lantaran saudaranya tidak lulus.

Namun, faktanya peminat untuk menjadi PNS tetap besar. Tahun lalu saja tercatat jutaan peserta calon pegawai negeri sipil mengikuti ujian serentak. Dari jumlah itu hanya ratusan ribu calon pegawai yang akan diterima. Para calon pegawai itu kelak akan menggantikan PNS yang pensiun. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi menyatakan tidak ada proyek percaloan dalam proses penerimaan CPNS.

Banyaknya peserta ujian menunjukkan hasrat dan antusiasme masyarakat yang besar untuk menjadi pegawai negeri. Bahkan, seorang teman pernah mengatakan bahwa menjadi pegawai negeri merupakan keharusan, apalagi bagi para lulusan perguruan tinggi alias sarjana. Menurutnya kalau sudah meraih gelar sarjana, tingkat berikutnya yang harus dicapai adalah menjadi pegawai negeri.

Bila ternyata menjadi PNS memang masih merupakan pilihan yang paling diminati oleh para pencari kerja, alasannya tentu sudah dapat diduga, selain gaji tetap tiap bulan, fasilitas serta tunjangan yang akan diterima, masih ada lagi jaminan uang pensiun. Belum lagi fasilitas aneka kredit yang ditawarkan. Siapa yang tidak tergiur dengan itu semua apalagi dalam kondisi sekarang yang serba tidak pasti.

Walaupun dari jutaan peserta ujian yang akan diterima hanya sekitar ratusan ribu saja, tidaklah menyurutkan minat menjadi abdi negara. Begitupula dengan praktek percaloan yang disinyalir masih ada. Bahkan ada calo yang berani menuntut bayaran hingga puluhan juta untuk memastikan korbannya lulus ujian PNS. Kalau sudah berani bermain dengan begitu banyak rupiah jauh sebelum jadi PNS, mudah diduga jika kelak diterima uang yang telah dikeluarkan harus segera kembali alias balik modal. Tidak mustahil segala cara akan digunakan untuk mendapatkan uang. Dapat ditebak, di sinilah praktek-praktek korupsi bersemi.

Sepertinya situasi masa kini tidak jauh dengan masa kolonial. Dulu menjadi ambtenaar atau pegawai pemerintah merupakan impian para bumiputera. Baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat biasa. Semua itu demi status dan perbaikan nasib. Bahkan dalam salah satu tetralogi novel Pramoedya A.Toer dikisahkan seorang bapak rela menyerahkan puterinya hanya untuk jabatan juru bayar alias kasir.

Pada masa kolonial banyak orang ingin menjadi pegawai negeri yang sering disebut juga priyayi karena tergiur fasilitas, gaji, hak-hak istimewa serta penghormatan. Salah satu hak penghormatan itu adalah penggunaan payung kebesaran (song-song) yang diatur dalam Bijblad No.337, pasal 2- 4. Pada masa itu memang hanya golongan bangsawan saja yang berhak menjadi pegawai negeri, sebelum pendidikan membuka kesempatan  bagi golongan non-bangsawan untuk menjadi pegawai negeri. Kelak, golongan non-bangsawan ini dikenal dengan istilah neo priyayi.

Oleh karena itu ada golongan bangsawan yang tidak menyukai pegawai negeri dari golongan non bangsawan karena dianggap dapat membahayakan kedudukan mereka. Ini tertuang dari tulisan seorang patih Tulungagung pada 27 Desember 1809:
‘Anak2 prijaji sadja soeda terlaloe banjak, tambah bebrapa-brapa anaknja orang ketjil, di mana-mana kantoor penoeh magang-magang jang tentoe harep boeat djadi prijaji.’  Demikian pula seorang Bupati Demak, Raden Mas Adipati Hadiningrat dalam sebuah tulisannya “De achteruitgang van het prestige der Inlandsche Hoofden en de middelen om daarin verbetering te brengen” yang dimuat dalam Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 1899 sangat tidak setuju orang-orang bukan bangsawan menduduki tempat tinggi dalam pemerintahan. Alasannya karena dianggap bertentangan dengan adat.

Peminat untuk menjadi ambtenar itu terus bertambah hingga pada akhir tahun 1928, menurut Indisch Verslag 1932 tercatat ada 89.163 orang ambtenar. Namun, jumlah ini pada 1940 menurun menjadi 64.369 orang (Statistical Pocketbook 1941). Berkurangnya pegawai sebanyak 24.794 orang ini berhubungan dengan adanya bezuinigingen (penghematan) dan overcompleet (pengurangan pegawai). Pada tahun 30-an kedua istilah ini sempat menjadi momok menakutkan bagi para pegawai.

Menjadi ambtenar pada masa lalu juga merupakan impian para orang tua yang memiliki anak-anak gadis yang sudah cukup untuk dinikahkan. Mereka mencari menantu ambtenar yang sudah pasti dan mantap masa depannya. Sekarang pun masih sama. Coba saja kita lihat rubrik kontak jodoh di surat kabar. Hampir semua, para gadis lajang yang hendak mencari pasangan hidup mendambakan pasangan yang menjadi PNS atau paling tidak memiliki pekerjaan tetap.

Sebenarnya tidak semua calon pegawai tersebut memiliki sifat dan niat “busuk” yang membuat nama PNS menjadi rusak. Apalagi mereka yang memiliki ketrampilan serta kemampuan intelegensi baik. Mereka ini justru baru menjadi PNS yang “busuk” dan “rusak” lantaran sistem. Sementara itu bisa jadi ada yang niat awalnya hanya sekedar menjadi PNS dan mendapat nomor pegawai, selanjutnya masalah pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan menjadi urusan nanti. Toh, mereka tidak akan dipecat bila mangkir atau sekedar melakukan kesalahan sepele. Apalagi kalau lebih sering berada di luar kantor pada jam-jam kerja. Ini yang merusak. Seperti percakapan para CPNS di sebuah musholla kantor milik pemerintah di Jakarta yang sempat saya dengar. Salah seorang dari mereka menegur rekannya yang asyik tidur-tiduran, “Hey! nanti kalau sudah jadi PNS, baru boleh bermalas-malasan!”

Demikian halnya peranan PNS dalam politik. Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda menggunakan penguasa lokal dalam menjalankan pemerintahannya. Sistem ini oleh J.S Furnival disebut indirect rule (sistem pemerintahan kolonial tidak langsung). Para penguasa lokal tersebut diangkat sebagai pegawai Hindia Belanda. Namun, segala sesuatunya diawasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Hingga para sarjana Prancis dan Inggris berkomentar bahwa bila pejabat kolonial Belanda dapat mengatur cara orang Hindia harus bernapas, mereka akan melakukannya.

Sementara itu pada masa pemerintahan Soeharto, para pegawai negeri dibuat “takluk” dan “bungkam” di bawah Korps Pegawai Negeri (Korpri). Jumlah mereka yang cukup besar dimanfaatkan dalam pemilihan umum untuk mendukung Golkar, partai resmi pemerintah. Pengaruh Golkar pun sangat terasa mulai dari sistem pemerintahan paling atas hingga bawah. Bahkan merasuk ke lembaga-lembaga pendidikan. Para pegawai negeri yang dianggap terlalu vokal dan berbahaya diancam akan dipecat, tak peduli meski mereka memiliki kecakapan dan kemampuan. Lengsernya Soeharto pada 1998 dan tuntutan reformasi mendudukkan pegawai negeri dalam posisi netral.

Namun, Wapres Jusuf Kalla baru-baru ini mengusulkan ingin melibatkan PNS dalam politik praktis. Dengan alasan pentingnya keterlibatan PNS dalam politik praktis untuk mengisi kekurangan tenaga yang kompeten dalam institusi negara seperti DPR. Namun, gagasan Wapres itu akan mengganggu posisi PNS yang selama ini sudah sangat pas dengan kenetralannya dan tentunya juga mengganggu keprofesionalan para PNS tersebut. Bisa jadi tugas-tugas utama mereka akan terbengkalai karena harus menjalankan tugas tersebut. Hal yang mengkhawatirkan adalah kembali “terbungkam”nya PNS karena harus tunduk pada pihak yang berkuasa.

Kalau dulu, para ambtenar itu mengabdi pada Ratu Belanda , maka sekarang mereka (seharusnya) mengabdi pada negara [Indonesia]. Atau dalam hal ini mereka (seharusnya) melayani rakyat yang merupakan pemilik sah negara ini. Namun, dalam prakteknya justru rakyat yang harus melayani mereka. Masalah mental inilah yang harus dibereskan sehingga mereka yang akan menjadi PNS benar-benar orang berkualitas dan terpilih.

Dimuat Seputar Indonesia, 30 Maret 2006

Kebaya dan tubuh perempuan

Tiap kelahiran Kartini pada 21 April, berbagai macam cara dilakukan untuk memperingatinya. Mulai dari lomba masak khusus bapak-bapak hingga peragaan busana (khususnya kebaya). Dari tahun ke tahun yang tidak pernah absen adalah anak-anak kecil hingga ibu-ibu yang mengenakan kebaya ala Kartini. Seolah-olah ingin menyampaikan kesan bahwa hari Kartini identik dengan kebaya. Coba bayangkan jika Kartini mengenakan gaun panjang ala Barat yang sedang trend di masa itu, apakah gaun ala Barat itu lah yang sekarang dikenakan?

Kebaya sendiri di masa Kartini dan sebelumnya juga dikenakan oleh perempuan Belanda yang dipadukan dengan kain batik hasil kreasi perancang-perancang peranakan Tionghoa dan Indo. Dalam salah satu koleksi Nieuwenhuys Met vreemde ogen: Tempo doeloe – een verzonken wereld (1988) terdapat foto seorang nyai dari tuan besar Belanda di abad ke-19 yang mengenakan kebaya sutera hitam dengan disemat tiga bros.
Namun, kain kebaya yang dikenakan pada abad ke-19 berbeda dengan kebaya yang dikenakan di masa VOC, terutama dalam hal jenis bahan dan potongannya. Kain batik yang dipadukan dengan kebaya ini pun coraknya beragam. Sekitar tahun 1830-an yaitu setelah kekalahan keluarga kerajaan dalam Perang Diponegoro (Perang Jawa dalam historiografi Belanda), batik sebagai bahan pakaian ekslusif bagi keluarga kerajaan dan kaum bangsawan diambil oleh Belanda dan dijadikan sebagai bahan pakaian pilihan. Bila sebelumnya para perempuan ningrat yang menjadi perancang pola batik, kini perancang batik diambil alih oleh perempuan Indo. Kain batik itu kemudian dijual kepada perempuan Indo lainnya.

Para perempuan Jawa keturunan bangsawan tetap mengenakan kain batik tulis dengan pola serta warna khusus. Kebaya mereka terbuat dari sutera, beludru dan brokat. Sementara itu para kebaya pagi perempuan Indo terbuat dari kain katun putih yang dihiasi renda buatan Eropa dan kebaya malam terbuat dari sutera hitam.
Kain dan kebaya, campuran adaptasi antara kebudayaan Jawa dan mestizo (baca: Indo) yang muncul kemudian, misalnya yang dikenakan oleh para nyai, terancam di masa pemerintahan Raffles. Ketika itu gaun terusan Eropa mulai diperkenalkan. Perlahan-lahan kain dan kebaya berpindah ke dunia yang lebih privat dan terbatas hanya dikenakan oleh kaum pribumi sebelum kelak kembali menjadi pakaian ‘wajib’ perempuan yang akan tinggal di Hindia menemani para suami mereka.

Kebaya menurut Jean Gelman Taylor merupakan kostum bagi semua kelas sosial pada abad ke-19, baik bagi perempuan Jawa maupun Indo. Bahkan ketika para perempuan Belanda mulai berdatangan ke Hindia sesudah tahun 1870, kebaya menjadi pakaian wajib mereka yang dikenakan pada pagi hari.

Pada akhir abad ke-19 para perempuan Belanda yang akan berangkat ke Hindia membeli pakaian tropis, sarung dan kebaya (seperti saran dalam buku panduan) di toko-toko yang khusus menjual pakaian tropis, seperti Gerzon’s dan de Bijenkorf. Meskipun sebenarnya untuk sarung dan kebaya disarankan untuk membelinya di Hindia. Hasilnya, seperti kritikan nyonya Catenius-van der Meijden, penulis buku Naar Indië en terug: Gids voor het gezin, speciaal een vraagbaak voor dames (tanpa tahun), panduan bagi perempuan Belanda yang hendak ke Hindia: ‘kebaya yang dibeli dengan harga mahal di Belanda terlihat konyol ketika dikenakan di Hindia’. Nyonya Catenius juga mengingatkan untuk tidak membawa pakaian terlalu banyak karena di Hindia: ‘semuanya, sangat murah, dibandingkan di Belanda.’

Kebaya dikenal pula sebagai kostum yang mewah dan anggun. Kebaya seakan-akan menyimbolkan ‘waktu yang hilang’ serta diasosiasikan dengan ketentraman, ketenangan dan keteraturan sosial yang menghubungkan orang Indo, Belanda, dan Jawa.
Sehubungan dengan identitas Indonesia adalah hubungan kekuasaan politik dengan kaum pria. Kostum nasional yang menurut Jean G. Taylor dikembangkan oleh Soekarno dan Soeharto terdiri atas setelan Barat (jas) bagi para pria dan kain kebaya bagi para perempuan. Kain dililitkan dengan kencang seakan mencegah gerakan yang cepat dan nyaman. Sementara kaum pria dapat bergerak dengan cepat dibalut setelan-setelan Barat.

Di masa Soekarno, kain dan kebaya kembali muncul di kalangan elit di wilayah publik dan mendapatkan status sebagai pakaian nasional. Menurut Saskia Wieringa dalam disertasinya “The Politization of gender relations in Indonesia:The Indonesian women’s movement and Gerwani until the New Order state”, sikap Soekarno terhadap perempuan tersebut lebih cenderung didorong oleh kekaguman dan hasrat dibandingkan keinginan tulus untuk memasyarakatkan persamaan hak.

Soekarno memang dikenal sebagai ‘pengagum’ perempuan berkebaya. Ia memiliki koleksi kebaya yang lumayan banyak. Kesan mengenai kebaya ini dituturkan oleh salah seorang menteri perempuan di masanya. Ketika itu sang menteri diminta menghadap Soekarno. Rupanya Soekarno ‘memarahi’ sang menteri karena ada suatu hal yang membuatnya tidak berkenan. Usai ‘memarahi’ sang menteri, Soekarno memanggil ajudannya. Tak berapa lama kemudian Soekarno datang membawa setumpuk kebaya dan memberikan pada sang menteri yang masih bingung.

Sementara itu dalam kesempatan yang lain, K’tut Tantri, seorang penulis perempuan Amerika yang sukses membuat naskah pidato bahasa Inggris untuk Presiden Soekarno diundang ke istana. Ia menghadap presiden dengan bersarung kebaya,. Ia terkejut karena melihat Presiden Soekarno berbusana santai. Sarung dengan jas pendek dan kopiah. Padahal gambaran sebelumnya yang ada di kepala Tantri adalah sosok gagah Soekarno yang bersetelan putih-putih atau seragam khaki. Alasan Bung Karno yang sebelumnya sudah berseragam lalu mengganti pakaiannya adalah: “Anda sudah repot-repot berdandan dengan busana nasional. Jadi kurasa sepatutnya Anda kuterima dengan pakaian nasional pula.” Dan seperti yang sudah kita duga, Bung Karno pun memuji kepantasan K’tut Tanri berkebaya

Kain sebagai pelengkap kebaya yang dililitkan kencang di tubuh perempuan memang seolah mencegah gerakan cepat dan nyaman, tetapi para perempuan modern Indonesia tidak kehabisan akal. Suatu jenis kain kebaya yang sering dikenakan pada acara-acara resmi adalah kain yang dijahit seperti sarung sempit lalu dilengkapi risleting. Sehingga mudah dikenakan dan dilepaskan.

Di atas-atas panggung publik tubuh perempuan yang mengenakan pakaian kebaya menunjukkan ciri khas bangsa ini sebagai non-Barat. Tubuh-tubuh para perempuan mewakili esensi bangsa, tradisi yang hidup dan terpelihara pada akhir abad ke-20. Tubuh perempuan sebagai pemakai kebaya yang dianggap ‘kostum nasional’ memberikan kesan seolah-olah perempuan adalah penjaga esensi nasional yang luput dari jamahan penjajahan. Ditambah lagi di masa sekarang tubuh perempuan tampaknya menjadi obyek semata yang perlu diundang-undangkan. Jauh dari keinginan dan cita-cita Kartini.