Sejarah Pendidikan Tionghoa Masa Kolonial

Judul : Dutch Colonial Education: The Chinese Experience in Indonesia 1900-1942
Judul asli : Hollands onderwijs in een koloniale samenleving: Dhe Chinese ervaring in Indonesie 1900-1942
Pengantar : Wang Gungwu
Penulis: Ming Govars

Penerbit: Chinese Heritage Centre, Singapore 2005

Tebal: xxiii + 37o halaman

Sejarah bila ditulis dari dalam akan terasa sekali perbedaannya. Apalagi jika si pelaku itu sendiri yang menuliskannya. Namun, tetap ada faktor penting yang harus diperhatikan. Supaya tak terjebak dengan emosi pribadi yang terkadang mengalahkan obyektifitas. Demikian pula dengan buku yang merupakan terjemahan disertasi Ming Govars dalam bahasa Belanda di Universiteit Leiden pada 1999.

Dikatakan dilihat dari dalam karena sang penulis Ming Govars lahir dan besar di Hindia. Tepatnya di Padang pada 1922 dengan nama Ming Tien Nio Tjia. Ia menyelesaikan ELS di Padang. Lalu setahun di HBS serta sekolah perdagangan di Batavia. Tahun 1958 ia pindah ke Belanda dengan suaminya, Willem Bramwell Govars. Dalam usia yang boleh dikatakan tidak muda lagi Ming Govars menyelesaikan penelitian mengenai pendidikan Tionghoa masa kolonial ini.

Tema pendidikan cukup menarik mengingat buku-buku mengenai sejarah masyarakat Tionghoa kebanyakan melihat dari sudut pandang politik, sosiologis, antropologis. Secara garis besar buku ini membahas sejarah perkembangan pendidikan Tionghoa masa kolonial dalam kurun waktu 1900-1942. Yang mencakup pengaturan, tujuan, perubahan yang terjadi serta konsekuensi dari perubahan tersebut. Dikaitkan pula pengaruh Chineese Beweging (Gerakan orang Tionghoa) dan yang penulis sebut Neo-Chineese Beweging (Neo Gerakan orang Tionghoa) terhadap pendidikan.

Dalam tempo yang cukup panjang (1900-1942), Ming Govars juga menelusuri ke belakang, melihat sejarah orang Tionghoa di Hindia (Indonesia) pada abad ke-17 (masa Verenigde Oost Indische Compagnie) serta kedudukan mereka dalam masyarakat ketika itu. Yang khusus ia bahasa dalam bab 2 Education 1600-1900 (hal.30).

Adalah Regeringsreglement (Peraturan Pemerintah) tahun 1818 yang menunjukkan pandangan baru dalam pendidikan kolonial. Sekolah-sekolah yang dahulunya sebagai institusi khusus (baca: berhubungan dengan agama) , mulai mendapat perhatian pemerintah kolonial. Pemerintah pun menawarkan anak-anak pribumi untuk bersekolah di sekolah-sekolah Belanda.

Namun, dalam aturan tersebut tidak disebutkan anak-anak kalangan Tionghoa. Tapi toh mereka pun akhirnya bisa bersekolah di sekolah-sekolah Belanda itu. Seperti isi laporan Algemeen Verslag van het Onderwijs (laporan umum pengajaran) 1849 yang menyebutkan adanya hak privilege bagi anak-anak Tionghoa untuk bersekolah di sekolah-sekolah Belanda. Ironisnya, anak-anak Tionghoa ini lalu sama sekali tidak diperkenankan belajar di sekolah-sekolah pemerintah (sekolah Eropa). Khususnya, setelah Komisi Pengajaran yang disetujui oleh pemerintah pada 1849 menyatakan bahwa anak-anak Tionghoa (termasuk anak-anak Jawa) bisa “merusak” perkembangan moral anak-anak Eropa (hal.44).

Tahun 1845 pemerintah kembali membuka sedikit pintu dengan memperbolehkan anak-anak Tionghoa belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan syarat tertentu. Terutama, mereka harus memiliki izin dari Komisi Pengajaran. Peraturan baru pun terus digulirkan. Hasilnya pada akhir 1869, anak-anak Tionghoa termasuk dari 193 anak non-Eropa yang belajar di sekolah-sekolah Belanda di Jawa. Menurut J.M. Rosskopf dalam Het Europeesch onderwijs in Indië (1895), pada 1893 dari 13.537 murid sekolah di seluruh Nusantara terdapat 153 anak Tionghoa. Jumlah ini tentu membuat miris, mengingat dari lebih setengah juta penduduk Tionghoa (berdasarkan sensus 1905) hanya sedikit saja yang bisa mengecap pendidikan. Ditambah lagi bila mengingat “sumbangan” penduduk Tionghoa terhadap pemerintah Hindia Belanda selama tiga abad.

Bila kita melihat sejarah perkembangan pendidikan untuk orang Tionghoa pada masa kolonial di Hindia Belanda, kita dapat melihat peranan penting baik dari sekolah swasta Tionghoa serta sekolah pemerintah Hindia Belanda. Membuat sistem sekolah yang baik merupakan tujuan dari Tiong Hoa Hwe Koan ketika organisasi ini didirikan pertama kali pada 1900 di Batavia. Dibentuknya sekolah Belanda-Tionghoa pada 1908 jelas merupakan reaksi langsung atas keberhasilan sekolah Tiong Hoa Hwe Koan.

Ironisnya, pemerintah Hindia Belanda tak pernah mempertanyakan atau melihat pentingnya orang Tionghoa bagi masyarakat Hindia. Berbagai pujian dan kritikan muncul untuk masyarakat Tionghoa di Hindia ini. Di samping itu juga perlakuan diskriminatif yang selalu mereka terima baik oleh pemerintah maupun masyarakat lainnya hingga kini.
Walau pada kenyataannya ada pula kalangan Tionghoa yang membatasi diri mereka hanya untuk kalangan mereka sendiri.

K.Verboeket dalam De geschiedenis van de Chineezen in Nederlandsch Indië menuliskan bahwa Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (1618-1623) pernah menyatakan: “Tak ada penduduk di dunia yang melayani kami sebaik orang Tionghoa”. Gubernur Jenderal Cornelis van der Lijn (1645-1650) juga menyebutkan bahwa “Mereka (baca:orang Tionghoa) merupakan salah satu peletak dasar koloni.”

Thomas Stanford Raffles (1811-1816) pun menyebut orang Tionghoa sebagai jiwanya perdagangan dan perekonomian. Bahkan ahli ekonomi E. Helfferich dalam artikelnya “Het vreemde element in Nederlandsch-Indië” di Economische statistische berichten vol 11 (1926) mengatakan bahwa bila orang Tionghoa tidak pernah ada, maka mereka tidak akan menemukan kehidupan perekonomian di Hindia” . R.A Kartini dalam salah satu suratnya untuk istri Direktur Pendidikan J.H. Abendanon tertanggal 14 Desember 1902 memuji kedermawanan orang Tionghoa yang membantu pemerintah kolonial ketika terjadi bencana banjir.

Puji-pujian tersebut berbanding terbalik dengan kritik dan kecaman berikut. Misalnya kecaman J.F.W. van Nes dalam artikel “De Chinezen op Java” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (1851) yang menyebutkan berbahayanya orang Tionghoa bagi orang Belanda dan Jawa. Atau J.S Furnivall yang membandingkan orang Tionghoa sebelum tahun 1900-an dengan parasit. Belum lagi cibiran terhadap masyarakat ini kerap dilontarkan. Seperti cibiran dalam sebuah catatan perjalanan seorang serdadu Belanda yang menyebut masyarakat Tionghoa, “Yahudi”nya Asia. Demikian pula stereotipe dalam roman-roman kolonial yang hampir selalu menggambarkan hal negatif masyarakat Tionghoa di Hindia (pedagang candu, pemilik rumah bordil).

Terlepas dari pujian dan kritikan tersebut, masyarakat Tionghoa di Hindia ketika itu tentu mempertanyakan mengapa pemerintah kolonial butuh 300 tahun untuk menyediakan sekolah bagi mereka. Bahkan ketika pemerintah membutuhkan para pegawai rendahan baru untuk kepentingan mereka, yang akhirnya membuka sekolah bagi penduduk pribumi, kesempatan tidak terbuka bagi penduduk Tionghoa.
Barulah setelah penghapusan sistem konsesi (Politik Etis), munculnya Chineesche Beweging (Gerakan orang Tionghoa) dan berkembangnya pendidikan Tiong Hoa Hwe Koan yang nasionalis pada awal abad ke-20, kebijakan pendidikan pemerintah berubah drastis.

Gerakan orang Tionghoa ini pun menjadi isu politik penting. Setelah tawar-menawar antara pemerintah Belanda dan Republik Tiongkok, akhirnya diputuskan bahwa masyarakat Tionghoa di Hindia menjadi bagian dari perhatian yang dipertimbangkan oleh pemerintah. Sekolah Belanda-Tionghoa yang dibuka pada 1908 dan diharapkan dapat “memperkuat” pemerintah kolonial, justru mempengaruhi kalangan Peranakan Tionghoa (hal.202). Politieke Inlichtingen Dienst (Intel politik pemerintah kolonial) tetap mengawasi sekolah-sekolah swasta Tionghoa. Mereka khawatir pada pengaruh gerakan nasionalis di Tiongkok melalui sekolah-sekolah tersebut.

Manfaat yang bisa diambil dari buku ini adalah ternyata pendidikan pun tak luput dari kebijakan politik. Suatu persoalan yang hingga kini masih kita hadapi. Bagai pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Mulai dari polemik ujian nasional, dana bantuan sekolah, RUU guru, minimnya anggaran pendidikan hingga kebijakan yang berganti-ganti. Semua itu menggambarkan bahwa persoalan pendidikan masih dianggap tidak penting dan tidak perlu. Padahal persoalan pendidikan adalah persoalan masa depan. Di sinilah investasi sumber daya manusia yang sesungguhnya.

Buku ini dilengkapi pula dengan kata pengantar dari Wang Gungwu dari East Asian Institute Singapura, daftar dan tabel jumlah sekolah, mata pelajaran serta murid Tionghoa di Nusantara, foto-foto, indeks. Buku ini merupakan sumber berharga bagi para peneliti, pengamat dan peminat kajian masyarakat Tionghoa di Indonesia sebelum Perang Dunia II karena kaya akan sumber primer (baca: Belanda) yang juga seyogyanya perlu dikritisi lebih lanjut.

Cahaya yang menari : Sejarah Seni Kaca Patri Masa Kolonial di Indonesia

Tidak banyak orang yang memperhatikan salah satu ornamen penting ini dalam suatu bangunan. Padahal ornamen itu sangat cocok dengan iklim tropis Indonesia yang kaya akan matahari. Ornamen hiasan tersebut akan semakin indah bila cahaya sinar matahari menembusnya. Seolah cahaya itu menari. Ornamen indah itu adalah kaca patri yang dalam bahasa Belanda disebut glass-in-lood.  Sementara itu dalam bahasa Inggris disebut leaded glass  atau stained glass art.

Ditinjau dari sejarahnya, seni kaca patri merupakan ornamen arsitektur yang berasal dari Eropa. Penggunaan kaca warna pada jendela terutama untuk rumah ibadah (gereja) dimulai pada pertengahan abad ke-12. Pada zaman Gotik inilah, seni ini berada pada puncak kejayaannya. Jauh sebelumnya, teknik pewarnaan pada kaca sudah dikenal di Mesir dan Mesopotamia pada milenium ketiga sebelum masehi. Yang kemudian berkembang pada masa Romawi.

Di Indonesia sebenarnya kita mengenal pula ornamen kaca patri ini. Namun, tidak jelas siapa yang membawa seni kaca patri ini ke Indonesia. Menariknya, sampai paruh pertama abad ke-19 kaca termasuk jenis barang mewah dan sangat mahal. Baik di Indonesia maupun di Asia, termasuk China dan Jepang. Dari arsip laporan tahunan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Batavia untuk kantor pusat di Amsterdam, terdapat beberapa catatan tentang impor barang-barang kaca dari Belanda atau Eropa. Barang-barang kaca itu untuk dijual atau diberikan sebagai hadiah kepada raja-raja atau sultan-sultan di Indonesia. Namun, VOC lebih banyak menjual atau memasok kaca ke India, China dan Jepang. Pada 1675 VOC sempat memikirkan untuk mendirikan pabrik kaca di Batavia tetapi rencana itu tidak terwujud. Di Indonesia pun, bahan kaca tetap langka sampai awal abad ke-20, kecuali untuk kalangan terbatas. Baru sesudah 1910-an kaca semakin terjangkau dengan impor kaca dari Jepang.

Dapat dikatakan pada 1900-an merupakan awal penggunaan kaca patri selain di tempat-tempat ibadah. Pada masa ini kaca patri mulai digunakan untuk bangunan kantor, hotel dan rumah tinggal, terutama bangunan yang bergaya arsitektur art deco. Berbeda dengan kaca patri di rumah-rumah ibadah, penggunaan kaca patri untuk rumah tinggal pada umumnya hanya menempati bidang kecil pada bagian bangunan yang disebut bovenlicht, yaitu jendela kecil yang bisa dibuka tutup. Panel kaca patrinya kecil-kecil dan terpasang pada kusen. Supaya kaca patri tampak alami maka kusennya juga dipelitur.
Di Indonesia kita bisa menemukan jejak seni kaca patri ini, terutama di Jawa. Misalnya di gereja Katedral Jakarta yang diresmikan pada 1901. Menurut Han Awal, arsitek senior Indonesia, gereja ini dirancang pada 1891 oleh A. Dijkmans seorang pastor yang juga arsitek. Lantaran sakit dan harus kembali ke Belanda, maka pembangunannya dilanjutkan oleh M..J. Hulswit dari biro arsitek terkenal di Belanda, Fermon & Cuypers. Oleh karena itu di prasasasti depan gereja yang disebut hanya Cuypers-Hulswit sebagai arsiteknya. Gaya arsitektur gereja ini adalah neo gotik karena merupakan “tiruan gaya Gotik”. Pada bagian Barat gereja ini kita akan menjumpai jendela rosetta besar yang dihiasi kaca patri indah.

Ornamen kaca patri juga dapat ditemui di gedung Museum Bank Indonesia yang dulu merupakan kantor Javasche Bank, cikal bakal Bank Indonesia. Gedung yang bergaya neo klasik ini sebelumnya adalah bekas rumah sakit Binnen yang dibangun pada 1828. Lagi-lagi perancang bangunan ini adalah oleh biro arsitek Fermont & Cuypers. Khusus di ruangan direktur yang dikenal dengan nama Ruang Hijau, di sana terpasang panel-panel jendela kaca patri berwarna-warni indah dengan gambar aneka produk alam. Produk alam itu merupakan komoditi yang diperdagangkan Belanda pada masa itu, seperti kopi, lada, timah, emas, kapas, karet, tebu. Beberapa panel jendela hilang sehingga perlu waktu untuk mengetahui komoditi yang terdapat dalam panel tersebut.

Seluruh jendela kaca patri di museum Bank Indonesia itu dibuat oleh  seniman Belanda bernama Ian Sihouten Frinsenhouf dari Delft. Saat ini panel-panel kaca patri di gedung museum Bank Indonesia sedang direstorasi  oleh Eztu Glass Art, pimpinan Brian Yaputra & Freddy Sudjadi, dua maestro kaca patri Indonesia yang membawa seni kaca patri sejak 1981 kembali Indonesia.

Di Yogyakarta kita akan menjumpai hiasan kaca patri ini di Kraton Yogya. Terletak di bangsal Trajumas, bangsal ini memiliki fungsi penting untuk upacara dan sebagai ruang pengadilan. Hiasan kaca patri yang ada di sana bergaya Victorian dipadu dengan gambar alat musik seperti terompet, biola dan sejenis harpa.

Hiasan kaca patri juga dapat ditemui di Hotel Oranje di Surabaya, kelak berganti nama menjadi hotel MADJAPAHIT dan sekarang bernama Mandarin Oriental   . Hotel ini diresmikan pada 1900 dan kaca patrinya juga direstorasi pada 1993.  Begitupula dengan Hotel Sentral di Wonosobo. Kedua hotel tersebut pun  telah direstorasi oleh EZTU GLASS ART. Pada sebuah rumah peninggalan masa kolonial di Malang, kita juga dapat menjumpai kaca patri dengan desain yang terinspirasi dari Frank Lloyd Wright. Demikian pula dengan bangunan-bangunan rumah di Surabaya yang menggunakan ornamen kaca patri bergaya Mondriaan. Dengan ciri khas garis segi empat tetapi warnanya berbeda.

Bangunan mesjid pun tak luput dari sentuhan ornamen kaca patri. Misalnya Masjid Menara Kudus yang sebenarnya bernama Masjid Al-Aqsha. Berdasarkan inskripsi dalam bahasa Arab, masjid ini didirikan pada 1549 oleh Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus. Pada 1925 bagian depan masjid ditambah bangunan baru berupa serambi. Pada 1933, bagian serambi itu disambung lagi dengan bangunan baru yang juga berupa serambi. Serambi ini memiliki mimbar kubah bercorak arsitektur bangunan India. Disekelilingnya dihiasi kaca patri yang indah dan unik. Panel-panel kaca patri yang menghiasinya merupakan kombinasi motif gaya art deco dengan kaligrafi  huruf-huruf Arab. Di sana tertulis nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, serta empat orang imam mazhab (Hanafi, Hambali, Syafi’i dan Maliki), dll.

Gereja St Paulus di Bandung yang dibangun tahun 1919 hasil rancangan arsitek Belanda C.P. Schoemaker juga memanfaatkan keindahan kaca patri. Lukisan Yesus dan Bunda Maria dalam paduan warna-warna indah memberi kesan lebih religius yang khusyuk dalam gereja. Selain itu penggunaan kaca patri secara besar-besaran digunakan di aula barat dan timur Technische Hoogeschool Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung). Itu merupakan hasil rancangan Ir Mclaine Pont. Ia sengaja menggunakan warna kaca yang putih bersih. Dengan alasan supaya sinar matahari dari luar bisa masuk. Sehingga ruangan menjadi lebih terang tanpa terasa panas dan silau. Demikian pula dengan bangunan hotel Savoy Homann yang pada waktu renovasi 1939 dirancang oleh A.F. Aalbers juga menggunakan ornamen kaca patri.

Bila kita cermati gaya kaca patri (khususnya rumah) yang dominan adalah gaya modernisme dari Piet Mondriaan , salah satu pelopor De Stijl, majalah seni di Belanda yang terbit 1917. Tokoh De Stijl lainnya adalah Theo van Doesburg (1883-1931) yang sempat mengunjungi arsitek Amerika Frank Lloyd Wright. Frank Lloyd Wright (1867-1959)  adalah salah satu pelopor aliran modernisme dalam arsitektur di Amerika. Aliran ini mengembangkan gagasan fungsional, bentuk mengikuti fungsi (form follow function). Bagian bangunan tanpa fungsi serta unsur dekorasi tanpa fungis tabu dibuat. Sehingga keindahan timbul karena pancaran komposisi elemen-elemen berfungsi.
Kemungkinan besar aliran ini sangat berpengaruh pada arsitek-arsitek di Belanda. Yang kemudian membawanya masuk ke Indonesia. Mereka menyesuaikan dengan budaya dan iklim setempat. Seperti pada karya-karya Cuypers, Karsten, Henri Maclaine Pont (1884-1971), C.P. Wolff Schoemaker (dosen dan pembimbing Soekarno waktu mahasiswa). Para arsitek inilah yang “membangun” kota , merancang dan merenovasi berbagai bangunan di kota-kota besar Jawa seperti Bandung, Batavia, Surabaya, Semarang. Bisa jadi pula seni kaca patri digunakan mereka sebagai bagian ornamen rancangan arsitektur yang disesuaikan dengan fungsi. Memanfaatkan sinar matahari tropis sehingga cahayanya yang masuk menembus panel-panel kaca patri seolah menari dengan indah.

Memang kaca patri sejak diciptakan telah mempesona dan terbukti memberi keindahan. Demikian pula kaca patri di setiap rumah ibadah menimbulkan perasaan yang khusyuk, damai  kepada umatnya. Kedamaian dan keindahan ini juga diterapkan oleh para desainer di setiap lokasi yang mereka perlukan. Maka seni kaca patri hingga saat ini tidak pernah.pudar, malahan selalu dapat  disesuaikan dengan gaya desain arsitektur yang sedang trendy.

Dimuat dalam INA Magazine  Vol.XVII. no.1