Menarik sekali menyimak tulisan Pak Taufik Effendi “Kita Menulis Sejarah” di Sindo (29/1/2007). Ditambah lagi dengan ajakan untuk berpikir ke depan, berpikir maju yang beliau ibaratkan seperti mengendarai mobil. Sesekali bolehlah “melirik” kaca spion, siapa tahu ada mobil atau motor di kanan-kiri kita. Namun, bagi yang pertama kali belajar mengemudi mobil, rasanya hampir selalu ingin melihat ke arah kaca spion. Khawatir kalau-kalau, mobil kita diserempet atau menyenggol kendaraan lain. Apalagi jika kreditannya belum lunas dan tanpa asuransi, urusan bisa tambah runyam.
Lain ceritanya kalau kita memang mau berjalan mundur. Kita harus melihat spion atau menengokkan kepala ke arah belakang. Namun, kalau kita sedang belajar mobil tentunya kita berjalan sangat perlahan. Bahkan mungkin lebih lambat dibanding laju sepeda. Itu karena rasa takut menabrak tadi. Bukan lantaran ada papan peringatan seperti di daerah pemukiman yang kerapkali bertuliskan: “Ngebut Benjut!” plus gambar tengkoraknya.
Tentunya tulisan Pak Taufik Effendi itu bukan mengenai cara mengemudi mobil yang baik atau kecenderungan calon pengemudi yang selalu melihat ke arah spion. Yang ironisnya angka kecelakaan kendaraan bermotor terus meningkat. Saya terus berupaya mencari hubungan judul dengan isi tulisannya. Karena pada awalnya, saya mengira isi tulisannya merupakan ajakan beliau untuk menulis sejarah.
Secara garis besar, tulisan beliau mengajak kita untuk keluar dari “carut-marut”nya kehidupan di negeri ini. Intinya jelas, beliau “keberatan” dengan kritik-kritik tajam yang akhir-akhir ini ditimpakan pada pemerintah, tanpa membantu mencarikan solusi. Ditambah lagi bencana beruntun yang semakin memojokkan posisi pemerintah dalam posisi sulit. Cocok seperti yang diibaratkannya yaitu posisi serba salah. Maju kena, mundur kena.
Namun, itu semua salah siapa? Salah pemerintah atau salah para pengkritik (orang-orang bijak nan cerdas)? Yang jelas, kita jangan sampai mata gelap lalu menyalahkan keadaan apalagi Tuhan. Karena mungkin saja, apa yang kita alami ini merupakan buah perbuatan kita di masa lalu yang tidak kita sadari. Betapapun kecilnya perbuatan kita di masa lalu, kita semua akan menuainya (mendapat balasannya). Apakah itu perbuatan baik atau buruk. Bisa saja, tak ada yang salah karena kita hanya manusia “bodoh”. Yang membiarkan semua ini serta mau dipermainkan oleh nafsu. Terus-menerus, berulang kali.
Memang akan sangat melelahkan dan membuat kepala pegal jika kita terus-menerus menengok ke belakang. Kepala bisa kram dan kaku, akibatnya kita sulit untuk melihat ke arah depan. Apalagi kalau kita mengendarai sepeda motor, tentu sulit sekali. Ditambah lagi akan adanya aturan pelarangan sepeda motor di jalan protokol. Kepala tidak hanya pegal tapi pusing lantaran ongkos transportasi menjadi bertambah.
Sehubungan dengan judul tulisan Pak Taufik itu, sebenarnya menurut hemat saya generasi kini inilah (termasuk saya atau Anda semua) yang diharapkan untuk dapat “membuat “ sejarah dan tidak sekedar “menulis” sejarah. Karena, apa yang terjadi dan generasi kini lakukan, juga akan dituliskan oleh generasi yang akan datang. Itu pun kalau generasi kini rela “dituliskan” sejarahnya. Karena ada juga yang hanya ingin “menulis” sejarahnya sendiri. Tentunya bisa saja semua berisi yang baik-baik saja. Sedangkan hal-hal dan perilaku negatif atau aib dihilangkan. Maka muncullah istilah “penggelapan” sejarah. Yang jelas bukan dibuat pada saat listrik padam dan hanya menggunakan lilin atau pelita.
Sejarah yang kita “buat” pada masa kini dapat saja menjadi sejarah “hitam” atau sejarah “putih” di masa nanti tergantung bagaimana kita menyikapinya. Meminjam ungkapan Pak Taufik, ada berbagai cara dalam mencapai tujuan (yang sama). Namun, mohon maaf jika menurut saya, tidak semua punya tujuan yang sama dalam berbangsa dan bernegara ini. Apa yang tertulis tebal dengan tinta emas dalam pembukaan UUD 45, mungkin bagi segelintir orang hanyalah sekedar tulisan tanpa makna. Hasil rembukan orang-orang di masa lalu yang menurut segelintir orang itu tak lagi sesuai konteks jaman. Karena dalam prakteknya pun jauh panggang dari api. Akibatnya, ya seperti sekarang. Tak ada komitmen bersama. Yang ada upaya selamatkan diri masing-masing. Siapa cepat, dia dapat. Bagimu, golonganmu, bagiku golonganku.
“Membuat” sejarah memang lebih mudah dibandingkan “menulis” sejarah karena setiap orang mampu melakukannya. Walaupun itu belum tentu penting atau menarik untuk dituliskan. Ambillah contoh kasus lumpur Lapindo. Anggap saja, ada sekelompok ilmuwan yang mampu menghentikan luapan lumpur itu dan menjadikannya sumber energi alternatif murah. Nah, para ilmuwan itu telah “membuat” sejarah. Kelak, bila ada orang yang hendak menuliskan sejarah kota Sidoarjo, para ilmuwan itu bisa dimasukkan sebagai bagian dari sejarah Sidoarjo.
Sebaliknya, “menulis” sejarah juga tak segampang seperti yang orang pikirkan. “Menulis” sejarah bukan sekedar menulis sesuai ide yang ada di kepala karena itu bukan fiksi dan rekaan. Ada metode-metode yang harus dipatuhi serta diarahkan dengan teori-teori yang telah ada. Belum lagi penelusuran terhadap sumber-sumber sejarah itu sendiri. Lalu menelitinya apakah sumber-sumber itu valid dan bisa dipercaya. Karena sumber-sumber itu sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menjadi sumber sejarah. Misalnya kas bon seorang pegawai tahun 50-an atau daftar belanja ibu rumah tangga tahun 60-an. Kas bon dan daftar belanja itu bisa membantu kita menggambarkan kondisi keuangan pada masa itu. Yang terpenting adalah upaya rekonstruksi sejarah ini harus dilakukan dengan penuh ketelitian. Sehingga kita bisa menggambarkan situasi masa lalu sedekat mungkin.
Lain halnya jika kita sekarang berhati-hati dalam melangkah dan berbuat. Segala sesuatu dilakukan dengan cermat dan teliti kalau perlu dicatat. Dengan niat, kelak sengaja akan dijadikan sumber sejarah. Kalau begini, kita perlu tempat penyimpanan segala macam sumber sejarah (arsip, barang cetakan, rekaman, gambar, film, dsb) yang baik. Itu pun kalau generasi kini sadar sejarah dan tak abai dengan semua hal yang kita anggap penting dalam kehidupan kita.
Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah tak ada sejarah yang tunggal karena itu bisa berbahaya dan dapat membodohkan. Biarlah, orang-orang “menuliskan” sejarahnya (menurut versi) masing-masing, asalkan sesuai dengan metode yang berlaku. Tidak ditambah-tambahi maupun dikurangi. Dengan kata lain, upaya penulisan dengan berbagai versi justru memperkaya kita dalam memahami masa lalu. Jadi daripada ditutup untuk sementara, lebih baik biarlah “garis batas” itu dibuka sehingga masa lalu tak sekedar lewat begitu saja. Seperti diktum seorang sejarawan terkenal bahwa setiap generasi menuliskan sejarahnya.
Rakyat kita sudah bosan dan jenuh dengan sikap-tingkah polah para “elit” yang terkadang membuat bingung. Belum lagi aneka tingkah yang membuat geli. Rakyat sudah kehabisan suara dan kata-kata, tak mampu lagi berteriak apalagi menangis karena air mata pun telah mengering. Mereka pun sulit “menagih” janji para “elit” yang dihamburkan pada saat Pesta Pemilu karena telanjur terlena. Lupa dengan janji mereka. Di sinilah para “elit” telah “membuat” sejarah yang akan dikenang oleh rakyat sepanjang hayat yaitu sejarah membodohi dan menipu rakyat.
Marilah kita “membuat” sejarah baik “hitam” (kalau mau) maupun “putih” walaupun tentunya “putih’ dianggap lebih baik. Kalau kita ingin “ngebut”, mengendarai mobil “Negara” ini, siapkanlah skill mengemudi, periksa kelengkapan mobil, pasang sabuk pengaman, dan siap dengan segala resikonya. Jangan seperti supir tembak yang mengejar setoran. Kita salip negeri-negeri jiran itu dan segera menjadi negeri yang besar. Ayo Bung!