Usai pencoblosan calon presiden RI pada 9 Juli 2014 ‘pertunjukan’ dimulai. Padahal suasananya masih dalam bulan Ramadhan. Sengaja saya tak ikut meramaikan perdebatan di media sosial, seperti facebook. Apalagi menyebarkan fitnah atau kejelekan salah satu kandidat. Waktu 13 hari jelang 22 Juli 2014 terasa lama dan panjang. Dinding facebook pun dikotori dengan kejelekan-kejelekan kandidat yang disebarkan oleh pendukung lawan. Awalnya hal itu sangat menghibur tapi lama-kelamaan terasa mengganggu dan membuat jengah. Bahkan di dunia nyata ada yang terbunuh lantaran tak rela kandidat yang dijagokan dihina.
Saya teringat perbincangan dengan seorang pengemudi taksi yang mengantarkan saya ke rumah ketika saya pulang dari perjalanan luar kota. Pencalonan Jokowi dan Prabowo menjadi kandidat presiden RI yang ke-7. Kami mencoba menganalisis secara amatir siapa yang paling berpeluang menang. Pak supir mengatakan Indonesia sebaiknya dipimpin oleh seorang yang ‘tegas’. Pasti Anda tahu siapa yang dimaksud dengan pemimpin yang ‘tegas’ tersebut. Namun, ujung-ujungnya dia pesimistis siapa pun yang akan keluar sebagai pemenang apakah akan membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Saya mencoba memancingnya dengan menanyakan kans kandidat yang lain. Kandidat yang belum sempat menyelesaikan amanah yang satu, mencoba mendapatkan amanah yang lain. Pak Supir tertawa keras. “Untung didampingi Pak JK, pak!” serunya. “Memangnya kenapa dengan Pak JK?,” tanya saya pura-pura heran. “Ya, siapa tahu seperti waktu Pak JK jadi wapres. Jalan sendiri-sendiri!” katanya sambil terbahak. Saya pun maklum dan teringat dengan perbincangan dengan rekan saya saat sarapan di restoran hotel sebelum kembali ke Jakarta. Saat itu kami membahas peluang Jokowi yang lebih besar dibandingkan lawannya. Apalagi dengan didampingi JK. Saat itu saya berkomentar kuncinya ada di wapres.
Ternyata benar, Jokowi mengungguli lawannya. Meskipun muncul ketidakpuasan dengan alasan adanya kecurangan atau ketidakwajaran, rasanya sulit juga membalikkan keadaan. Masalahnya adalah dukungan yang cukup kuat untuk Jokowi dibandingkan dengan Prabowo. Ditambah lagi di kubu Prabowo berkoalisi partai dengan ada orang-orang yang bermasalah. Ibarat film, peran antagonis tampaknya sudah melekat dan sulit untuk dicabut.
Saya pun tak terpancing untuk memperlihatkan dukungan pada salah satu kandidat (Terserah bila Anda menganggapnya tak punya pendirian). Meskipun ada beberapa rekan dan sanak saudara yang terang-terangan memihak atau mendukung salah satu kandidat. Hal yang menurut saya tidak patut adalah dukungan itu ditambah dengan mencari kejelekan kandidat lain. Alasannya karena pihak lawan juga menyebarkan kejelekan. Jadi, ya tidak akan ada habisnya.
Saya teringat dengan ungkapan Sudjiwo Tedjo dalam salah satu acara televisi ketika ditanya mendukung kandidat yang mana. Pertanyaan itu dijawab dengan kalimat “Saya khawatir dengan matinya nyali dan nalar.” Awalnya saya tidak paham apa yang dimaksud dengan mati nyali dan mati nalar itu. Kemudian dijelaskan, jika kita mendukung secara habis-habisan pada salah satu kandidat, pilihannya adalah mati nyali (bila mendukung kandidat X) karena ‘ketegasannya’ atau mati nalar karena mendukung secara fanatik kandidat yang lain lantaran ikut-ikutan. Akibatnya, apa pun yang dilakukan meskipun kandidat itu kelak berbuat salah karena nalar sudah mati, maka akan dianggap benar. Semoga Indonesia akan lebih baik!
Gambar 1: sumber pemilihan.info
Gambar 2: sumber www.rimanews.com