Dua Ribu Empat Belas

juara III

Dua Ribu Empat Belas pun harus berlalu. Begitulah, kita usia kita kian bertambah (bahkan berkurang jatahnya) dan seharusnya bertambah bijak.

Tahun 2014 ini penuh dengan dinamika dan makna. Pengalaman yang semakin bertambah membuat sadar bahwa hidup perlu dimaknai.

Ada beberapa hal yang (kembali) ditunda. Meskipun itu sebenarnya bukan kegagalan tetapi ada hal lain yang ternyata perlu didahulukan. Hal ini juga menunjukkan bahwa kita tidak bisa mengatur segalanya.

Beberapa peristiwa mewarnai tahun 2014 ini. Penuh warna. Demikian halnya dengan kesempatan yang datang. Kesempatan itu harus diambil, dijalani dengan penuh tanggung jawab karena kesempatan tak akan datang dua kali kecuali jika sedang diare yang bisa berkali-kali.

max havelaar

Pertemuan dengan kawan-kawan baru menunjukkan kedinamisan tahun yang telah dilewati. Kehadiran mereka memperlihatkan bahwa ‘dunia tak selebar daun kelor’. Terima kasih karena telah berkenalan dengan Anda . Namun, untuk hal-hal tertentu sepertinya para pelakunya, dia lagi-dia lagi.

Perjalanan ke tempat baru dan bahkan lama kembali menambah pengalaman. Jika perlu dapat dituangkan dalam bentuk tulisan dan dinikmati oleh orang lain.

Tahun 2014 juga penuh dengan hingar-bingar politik. Beruntung, kami tak ‘terseret’ untuk ikut berhingar-bingar yang membuat lelah pikiran dan perasaan karena bisa-bisa sakitnya tuh di sana.

Beberapa artikel, baik yang dimuat dalam jurnal, kumpulan tulisan dan hasil penelitian telah dihasilkan pada tahun 2014. Hal ini perlu ditingkatkan kembali tahun depan.Tidak hanya kuantitas tetapi juga kualitas.

Beberapa rencana disusun untuk tahun depan. Menyelesaikan dan mempertahankan disertasi, menyiapkan artikel untuk jurnal nasional dan internasional, menulis buku (ada beberapa gagasan), beberapa proyek. Semuanya butuh strategi tidak sekedar Mimpi, Yakin, Syukur, Pasrah, dan Doa.

foto: Pak Aselih Asmawi

Si Anak Hilang Pulang

oude tijgerJumat sore itu saya bergegas kembali ke apartemen usai menyaksikan film yang merupakan bagian dari perkuliahan. Setelah berkemas saya berjalan menuju ke stasiun Leiden. Hari itu saya telah berjanji pada Sitor untuk menginap di rumahnya, di Apeldoorn, provinsi Gelderland. Beberapa bulan sebelumnya kami bertemu untuk kali pertama di perpustakaan KITLV Leiden.

Perjalanan ke Apeldoorn sudah dirancang sebelumnya. Ketika itu Sitor memberitahu alamat rumahnya serta petunjuk saya harus turun di Schiphol untuk berganti kereta, lengkap dengan jamnya. Ternyata saya terlambat beberapa menit dan ketinggalan kereta. Terpaksalah saya menunggu kereta berikutnya.  Sampai di Apeldoorn hari menjelang gelap. Saya menelusuri jalan yang diarahkan Sitor dengan perut lapar hingga tiba di alamat yang dituju. Paaslaan.

Saya agak sedikit bingung karena rumah Sitor bukan vrijstaand huis (rumah yang berdiri sendiri) tapi serupa apartemen. Untuk memastikan saya menaiki tangga memeriksa nomor rumah di depan pintunya. Rupanya saya keliru dan saya kembali ke bawah. Saya menekan bel. Pintu dibuka dengan sosok Sitor berdiri di sana. Saya minta maaf dan menjelaskan keterlambatan saya. Tak lama kemudian telepon berdering. “Ja, hij is onze gast. Bedankt, hoor!,” kata Sitor. Rupanya langkah kaki saya di anak tangga membuat penghuninya curiga dan ia mendengar langkah kaki saya berhenti di depan pintu rumah Sitor dan Barbara. Sang tetangga memastikan itu bukan pencuri.

Barbara, istri Sitor langsung menyilakan saya ke meja makan. Di meja makan rupanya sudah terhidang makanan. “Pak Sitor yang masak,” kata Barbara. Hidangan berupa soto ayam segera saya santap. Sambil makan kami bercakap-cakap berbagai hal, khususnya perkembangan kuliah saya.

Apeldoorn2000Usai santap malam, kami berbincang lagi sambil menikmati minuman. Saya memilih teh hangat. Berbagai hal kami perbincangkan. Salah satunya, saya menceritakan pengalaman saya, JJ Rizal, Agus ketika menyambangi rumah Pramoedya Ananta Toer untuk wawancara. Sitor beranjak dari kursi, sepertinya ia mengambil sesuatu. Ia kembali dengan sebuah buku. Judulnya penghormatan untuk 70 tahun Pramoedya yang disunting Bob Herring. Buku itu diberikan kepada saya. Itu buku kedua yang saya peroleh. Buku pertama terjemahan kumpulan ceritanya dalam bahasa Belanda de oude tijger (1996) saya peroleh pada pertemuan pertama di KITLV.

Pun saya teringat obrolan di kantin KITLV yang begitu hangat beberapa bulan sebelumnya. Saya, Kees Snoek, dan Sitor saling bertukar cerita. Salah satu cerita yang saya ingat pengalaman masa revolusi Sitor. Dengan penuh ekspresif, Sitor menceritakan pengalamannya tentang Amir Syarifudin. Dengan ekspresif, sesekali Sitor bangkit dari bangku, berdiri mempertegas ceritanya. Obrolan bermula ketika saya menceritakan buku Tan Malaka dan Islam terbitan Komunitas Bambu ketika itu. Mengalirlah kisah masa revolusi dari mulut Sitor.

Minggu 21 Desember 2014, Sitor Situmorang wafat di Apeldoorn, Belanda. Selamat jalan, Bung!

Menjelang Natal

Si Anak Hilang

pulang

ke Lembah Kekal