Dalam kehidupan kita sehari-hari tidak lepas dari aplikasi atau yang kerap disingkat app. Aplikasi merupakan perangkat lunak/program komputer yang beroperasi pada sistem tertentu dan dirancang untuk dapat melakukan perintah tertentu yang diinginkan. Sederhananya, aplikasi dibuat untuk memudahkan, bukan menyulitkan. Namun, seperti ungkapan yang kerap kita kenal di kalangan masyarakat ‘jika dapat dipersulit, mengapa dipermudah’, sepertinya hal ini memang perlu kita perhatikan.
Dalam masyarakat yang serba digital, segala sesuatunya ditentukan oleh aplikasi. Namun, tidak semua aplikasi ini bermanfaat atau membantu manusia. Awal bulan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengeluhkan terlalu banyak dan borosnya aplikasi pelat merah alias pemerintah. Tercatat 24 ribu aplikasi milik pemerintah yang dinilai tidak efisien. Hal itu justru menjadi pemborosan bagi pemerintah. Sri Mulyani pun mendorong dilakukannya integrasi antar aplikasi agar pelaksanaan tugas pemerintah lebih terkoordinasi dan lebih efisien.
Berbagai aplikasi yang harus kita unduh, miliki untuk ‘memudahkan’ segala urusan, mengingatkan saya pada cerita Almarhum Bapak dan sebuah foto karya Cas Oorthuys (1908-1975), fotografer Belanda. Almarhum Bapak pernah bercerita sebuah alat sekolah wajib masa itu yang disebut sabak. Sabak merupakan alat bantu tulis-menulis. Sabak terbuat dari lempengan batu karbon yang dicetak segi empat dan ditulisi dengan grip (serupa pensil). Fungsinya bukan untuk menyimpan secara permanen tetapi untuk digunakan sementara waktu ketika mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru di depan kelas. Setelah selesai mencatat di atas sabak, sabak dapat dihapus dan ditulisi dengan bahan pelajaran lainnya. Dengan demikian kemampuan mengingat menjadi hal penting bagi anak-anak pada masa itu. Sementara foto karya Cas Oorthuys yang bersubyek anak-anak sekolah di Indonesia yang menenteng sabak pada akhir tahun 1940-an setidaknya memvisualisasikan kenangan almarhum Bapak.
Semenjak digitalisasi dan berbagai aplikasi yang diwajibkan memiliki berbagai kata kunci, angka, huruf, saya merasa ‘ingatan’ saya benar-benar diuji. Bahkan, seringkali saya tidak ingat nomor rekening bank, nomor identitas, nomor paspor, dan nomor telepon genggam. Sebagai jalan keluar, saya masih mencatat berbagai nomor, kata kunci, dan kode penting. Untungnya saya tidak mencatat di atas sabak.
Beberapa bulan terakhir, saya memiliki pengalaman terkait dengan aplikasi. Pertama, ketika memperpanjang paspor dan kedua mengurus visa. Sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, sebelum dan selama pandemi, pengalaman dengan aplikasi semakin bertambah. Sebenarnya, dengan aplikasi memang harus mempermudah segala urusan.
Ada pengalaman menggelikan mengenai aplikasi yang saya alami beberapa tahun lalu. Ketika berada di Sydney, Australia saya menanyakan letak sebuah kampus universitas kepada sekumpulan anak muda bertampang Asia di sebuah halte bis yang saya duga mahasiswa. Salah satu anak muda yang mengenakan earphone itu justru balik bertanya: ‘Apakah Anda tidak punya Google maps?’ Saya hanya menjawab : ‘Saya baru datang kemarin dari abad lalu.’ Anak muda itu menjawab: ‘Naik bis itu saja yang juga menuju kampus.’
Ketika memperpanjang paspor beberapa bulan lalu, kembali saya berhadapan dengan aplikasi. Kali ini aplikasinya harus melalui telepon pintar, bukan PC. Sebenarnya saya hanya perlu memasukkan angka, nomor identitas, mengunggah dokumen, lalu tinggal membayar. Setelah itu datang ke kantor imigrasi sesuai tanggal yang telah ditentukan. Dalam hal pengisian aplikasi, kita memang harus teliti. Jari-jari saya ternyata tidak cukup luwes memainkan telepon pintar yang tidak pernah disekolahkan tapi menjadi pintar. Maka, perlu ketelitian dan ‘kesabaran’ dalam proses mengisi aplikasi. ‘Kesabaran’ di sini lantaran ketika itu jumlah orang yang akan membuat atau memperpanjang paspor melebihi kapasitas sehingga seolah kita bertaruh untuk mendapatkan slot waktu di kantor imigrasi. Hal serupa juga terjadi ketika proses pembuatan visa. Setelah proses pengisian, kembali ‘kesabaran’ kita diuji untuk memperebutkan slot waktu wawancara.
Namun, kembali lagi kita perlu menyadari bahwa di balik aplikasi ada sistem, terutama manusia yang mengendalikannya. Seringkali yang terjadi justru aplikasi membuat frustrasi. Salah memasukkan data, keliru satu angka, format data yang tidak sesuai dengan sistem akan mengakibatkan gagal proses atau malah membuat lama proses. Proses yang seharusnya lebih cepat, justru menjadi lebih lama. Persis seperti ungkapan: ‘jika dapat dipersulit, mengapa dipermudah’.
Dalam urusan aplikasi memang kerap membuat geregetan. Banyak kegiatan sosialisasi ini dan itu yang berhubungan dengan aplikasi dan pengisian data yang dilakukan oleh berbagai panitia (termasuk aplikasi pelat merah). Tetap saja hal itu perlu diulang berkali-kali dan jangan sampai kendor, jika memang segala sesuatunya ingin berjalan lancar karena ‘ingatan’ kita tidak sekuat anak-anak pada masa lalu.
Sepertinya sudah saatnya kembali melatih dan menggunakan ‘ingatan’ kita dan mencari cara yang lebih ‘mudah’ untuk membantu berbagai urusan. Sehingga ungkapan yang biasa berlaku di masyarakat lambat laun akan berubah menjadi: Jika dapat dipermudah, mengapa dipersulit’. Namun, semua itu kembali kepada manusianya, apakah mau bertransformasi, mau berubah mengikuti perkembangan teknologi yang terus berlari.
foto: Cas Oorthuys (Nederland foto museum)