‘Belanda Hitam’ di Hindia-Belanda

Judul   :  Serdadu Afrika di Hindia-Belanda 1831-1945
Judul asli :  Zwarte Hollanders: Afrikaanse Soldaten in Nederlands-Indië
Penulis   :  Ineke van Kessel
Penerjemah :  S.Hertini Adiwoso
Penerbit :  Komunitas Bambu- NLVPF- IAK, Mei 2011
Tebal   :  xiv + 306 halaman
ISBN : 978-979-373-198-8

Apa yang muncul di benak Anda jika mendengar tentang orang Afrika di Indonesia? Mungkin Anda akan menyebut para kriminal, penjual-penyelundup narkoba atau pemain sepakbola, anggota legiun asing asal Afrika yang membela kesebelasan profesional di sini.Namun, jangan salah, kiprah orang Afrika di Nusantara ternyata sudah berlangsung lama. Bila ditelusuri ke belakang dan menurut catatan sejarah, orang Afrika sudah tiba dan menetap di Nusantara sekitar abad ke-19. Ineke van Kessel, penulis buku ini, menulis dengan detail berdasarkan data arsip dan hasil wawancara dengan para keturunan prajurit Afrika.

Buku terjemahan ini diawali dengan sejarah orang Afrika sebagai serdadu yang ditelusuri penulis jauh kebelakang hingga ke masa Romawi (halaman 11). Lalu diulas keberadaan orang Afrika di pasukan Islam (kerajaan di Timur-Tengah, Asia, Afrika Utara dan Eropa Selatan) hingga keberadaan orang Afrika dalam pasukan Eropa (halaman 13). Secara khusus penulis membahas tentang keberadaan Neger-corpsen di Hindia Belanda (halaman 21).

Antara tahun 1831-1872 Kerajaan Belanda mendatangkan 3085 pria dari Afrika Barat untuk dijadikan prajurit militer di Hindia Belanda. Mereka sebagian besar berasal dari wilayah Elmina yang sekarang bernama Ghana dan Burkina Faso. Setelah mengikuti pendidikan militer di Jawa, para prajurit Afrika itu dikirim untuk ekspedisi di Sumatra, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Bali, Timor, dan perang Aceh.

Prajurit Afrika pertama diterjunkan pada 1832 dalam pertempuran di barat daya Sumatra dan detasemen terakhir pasukan Afrika diturunkan dalam Perang Aceh (1873-1893). Dalam kurun waktu tersebut, mereka juga ikut dalam ekspedisi memadamkan “pemberontakan” di Borneo, Celebes, Bali, kepulauan Maluku dan Timor (hal.137). Menurut Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, hingga 1892 tercatat 54 prajurit Afrika berdinas dalam pasukan KNIL.

Desersi pun terjadi di kalangan prajurit Afrika ini. Akar permasalahannya adalah masalah komunikasi (bahasa) karena di kalangan prajurit Afrika itu sendiri terdiri dari berbagai suku yang memiliki bahasa berbeda satu sama lain. Sementara dalam pasukan KNIL, bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda atau Melayu Pasar. Akibatnya, penilaian terhadap prajurit Afrika ini menjadi negatif, seperti jorok, sakit-sakitan, lamban dalam mempelajari senjata, malas, brutal, cepat naik darah, sulit diperintah, cenderung memberontak (hal.93). Padahal para prajurit ini tidak suka mabuk, tak kenal lelah serta berani.

Para prajurit Afrika ini pun memperoleh status sama dengan prajurit Eropa. Oleh karena itu mereka harus memakai sepatu selama bertugas. Begitu bangganya mereka, hingga saat lepas tugas, sepatu masih tetap dipakai. Namun, ada saja yang karena tak terbiasa bersepatu, masih lebih suka telanjang kaki berselimutkan lumpur (hal.95).

Di antara para orang Afrika itu terdapat pangeran Ashanti, Pangeran Kwasi Boakye yang didatangkan ke Belanda sebagai ‘jaminan’ karena perjanjian antara Raja Willem I dengan Raja Ashanti. Kisah pangeran Ashanti ini sempat dijadikan inspirasi roman De zwarte met het witte Hart (1997) oleh Arthur Japin yang juga menulis kata pengantar untuk buku ini.

Lagi-lagi dalam roman sejarah tersebut, sang pangeran yang meskipun lulusan Delft dan meraih gelar ingenieur (insinyur) serta merasa sudah menjadi “Belanda”, tetap mendapatkan perlakuan diskriminatif rasial dari pemerintah Belanda.

Dalam salah satu bab roman itu diceritakan pengalaman sang Pangeran ketika bertemu maestro dari Jawa, Syarif Bustaman alias Raden Saleh di Jerman untuk dilukis. Komentar Raden Saleh singkat: “Kulit Anda terlalu gelap untuk dilukis. Tak bagus pencahayaannya!”

Para prajurit Afrika tersebut juga diabadikan dalam karya sastra Hindia Belanda. Para prajurit Afrika ini rupanya hanya menjadi figuran, sebagai bagian dekorasi alam tropis yang eksotis. Hanya satu karya sastra (untuk remaja) yang menggunakan prajurit Afrika, Kopral Jan den Prins alias Wamba Ouli Bouli Bourni sebagai tokoh utama. Roman itu adalah De Zwarte Jager (Pemburu Hitam) karya seorang penulis yang menggunakan nama samaran Cheribon dan terbit pada akhir abad ke-19 (hal.199).

Seperti halnya para prajurit KNIL lainnya baik pribumi maupun Eropa, para prajurit Afrika ini tinggal bersama nyai di tangsi. Kelak, anak-anak mereka yang laki-laki akan menjadi serdadu KNIL sedangkan yang perempuan akan menjadi ibu rumah tangga. Mereka menikah dengan sesama Indo-Afrika serta juga tinggal di tangsi (hal.211). Jaminan bahwa anak-anak laki mereka akan menjadi serdadu dibuktikan Pemerintah Hindia Belanda dengan mendirikan sekolah militer anak-anak pertama di Weltevreden, Batavia pada 1828.

Awalnya, sekolah militer itu khusus ditujukan untuk anak-anak Eropa dan Indo Eropa. Namun, kelak anak-anak pribumi serta Afrika diperbolehkan sekolah di sana.

Kajian mengenai orang-orang Afrika ini sebenarnya pernah dibahas oleh Endri Kusruri dalam skripsinya “Orang-orang Afrika di Purworejo: Suatu Analisa Historis Sosiologis Atas Latar Belakang dan Peranan Mereka” (1979). Menurutnya pilihan daerah Purworejo (disebut juga Kedong Kebo) bukanlah suatu kebetulan belaka. Distrik Bagelen merupakan sumber pemberontakan dalam Perang Jawa (1825-1830).

Sebuah “koloni” para veteran Afrika di sana merupakan cara ampuh dan strategi jitu untuk menjinakkan pemberontakan yang dikhawatirkan terjadi lagi. Usai Perang Jawa 1830 memang di Purworejo dibangun sebuah tangsi besar. Di sana ditempatkan tiga kompanyi pasukan Afrika yang ironisnya pada 1840 membuat panik Pemerintah Hindia Belanda lantaran pemberontakan bersenjata mereka (hal.222)

Buku ini sesuai bagi mereka yang tertarik pada sejarah, antropologi dan sosiologi. Selain itu buku ini dapat mengisi kepingan mozaik sejarah Indonesia, khususnya sejarah orang Indo-Afrika di Indonesia. Indonesia yang terdiri dari berbagai bangsa dan budaya merupakan anugerah yang harus diterima. Keragaman tersebut seharusnya tidak dijadikan alat untuk saling mempertentangkan dan membenci tapi justru menjadi modal menghadapi tantangan masa depan
cover buku: www.mediaindonesia.com

1 thought on “‘Belanda Hitam’ di Hindia-Belanda”

  1. Saya memiliki minat pada sejarah sosilogi antropologi.saya menikmati membaca blog anda.saya tahu blog anda dari facebook,istri anda dan saya sama sama bersekolah di smu 1 bekasi,istri anda dan saya pernah ikut ekskul paskibraka,kami saling kenal nama tapi tidak terlalu dekat.anyway dengan membaca blog anda minat dan ketertarikan saya pada sejarah antropologi sosiologi jadi terpenuhi.terimakasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *