“Kenal, Pak Ong?,” tanya seorang ibu pustakawan di Perpustakaan Nasional Jakarta ketika saya memperkenalkan diri pada awal tahun 2000-an. Saya yakin yang dimaksud adalah sejarawan terkenal Ong Hok Ham. Belum sempat saya menjawab pertanyaan itu, saya dikejutkan dengan pustakawan lain yang mendorong troli dengan beberapa tumpukan bundel surat kabar sambil berkata: “Ini, Mas. Bundel surat kabarnya.” Saya terkejut. Pesanan saya adalah koleksi surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad tahun 1908. “Ini belum semua, Mas,” kata pustakawan itu seperti ‘mengerti’ keterkejutan saya. Seharusnya saya ketika itu memesan secara spesifik tanggal dan bulannya sehingga tidak semua edisi dikeluarkan.
Perpustakaan sejatinya telah menjadi salah satu tujuan saya di waktu luang. Pengalaman masa kecil dengan pengetahuan literasi dari ibu saya didukung oleh lingkungan memberikan kesempatan untuk membentuk diri saya saat ini. Ketika kecil, bacaan-bacaan pengantar tidur siang yang dibacakan ibu saya sebelum saya mampu membaca sendiri menjadi landasan kuat. Setelah saya mampu membaca sendiri, berbagai majalah dan buku, terutama buku petualangan anak-anak, saya membaca tanpa mengenal waktu. Akibatnya dalam usia muda, sejak berusia sembilan tahun saya terpaksa mengenakan kaca mata berukuran minus.
Petualangan di toko buku menjadi kegiatan favorit saya daripada perpustakaan di sekolah. Salah satunya adalah toko buku di sudut Pasar Cikini dan Pertokoan Hias Rias Jakarta Pusat. Namun, layaknya anak-anak pada umumnya saya tidak hanya membaca buku. Saya juga kerap bermain sepak bola, badminton atau bersepeda dengan teman-teman. Ketika bersekolah dari sekolah dasar hingga menengah atas, perpustakaan sekolah bukanlah tempat yang menyenangkan bagi saya. Perpustakaan di sekolah dasar saya di kawasan Jakarta Timur, ketika itu di akhir tahun 1970-an, memiliki fungsi lain. Ruang perpustakaan sekolah sekaligus berfungsi sebagai kamar dari Mang Sanip, sang penjaga sekolah. Kunjungan saya ke perpustakaan sekolah menjadi yang pertama dan terakhir justru ketika Mang Sanip sakit. Kami sekelas sambil membawakan buah-buahan, datang mengunjungi Mang Sanip yang meringkuk di ranjang kecilnya. Saya melirik deretan buku-buku di rak dan tumpukan buku-buku yang tampak kusam di sekelilingnya. Salah satu buku menarik perhatian saya. Judulnya: Keluarga Gerilya.
Perkenalan saya dengan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) terjadi pada awal tahun 1990-an. Pada periode itu saya duduk di bangku SMA tinggal di kawasan Raden Saleh, Cikini Jakarta Pusat dan bersekolah di kawasan Pulo Mas, Jakarta Timur. Saya biasanya menumpang bis tingkat dari Jalan Kramat Raya yang menuju Pulo Gadung. Di jalan Salemba Raya, bis yang saya tumpangi melewati sebuah bangunan kuno dengan halaman yang luas. Bangunan itu menarik perhatian saya. Ketika itu saya belum mengetahui bahwa bangunan kuno itu merupakan bagian dari Perpustakaan Nasional.
‘Trauma’ terhadap perpustakaan pada masa sekolah dasar, membuat saya berpikir bahwa perpustakaan hanya tempat menyimpan buku-buku dan tempat yang membosankan. Hal ini diperkuat dengan perpustakaan sekolah SMP dan SMA saya dengan koleksi buku-buku kusam yang sangat terbatas. Koleksi bukunya hanya buku-buku teks terbitan pemerintah. Tidak ada buku menarik dalam koleksi perpustakaan sekolah. Jika memiliki uang lebih, maka pilihan saya justru datang ke sebuah toko buku besar di Jalan Matraman, Kwitang atau lapak penjual buku bekas di kawasan Kwitang. Belum terpikir oleh saya bahwa fungsi perpustakaan sebenarnya tidak hanya sekedar sebagai tempat penyimpanan buku.
Pada tahun 1991 saya memerlukan sebuah buku untuk tugas dan hal itu memaksa saya berkunjung ke Perpustakaan Nasional. Pengalaman saya ketika itu kembali mendatangkan ‘trauma’. ‘Kapok. Cukup sekali, dan tak akan datang lagi’, pikir saya. Pertama, buku koleksi yang akan dipinjam tidak dapat dibawa pulang. Lalu, sebelum meminjam, para pengunjung harus membuat kartu anggota. Untuk membuatnya kita harus menunggu lumayan lama sehingga waktu kunjungan menjadi terbuang sia-sia.
Ketika berkuliah di Depok, perpustakaan di fakultas menjadi salah satu tempat favorit saya dan juga beberapa teman. Terutama tempat duduk di ruang baca surat kabar dan majalah. Biasanya kami bergantian membaca surat kabar edisi pagi dan sore di sana. Pada tahun-tahun pertama, kami hanya dapat memesan buku di lantai bawah. Pada tahun-tahun berikutnya, kami diperbolehkan menelusuri dan mencari buku-buku sendiri di lantai atas. Ditambah lagi, jurusan saya memiliki sudut koleksi khusus di lantai atas perpustakaan fakultas. Tugas-tugas perkuliahan sebagian besar saya kerjakan bersama teman-teman di sudut tersebut. Sesekali kami tertidur di balik tumpukan buku, kamus, dan ensiklopedi karena kelelahan.
‘Trauma’ saya atas pengalaman di Perpustakaan Nasional pada tahun 1991 berangsur-angsur hilang. Pada awal tahun 2000-an, saat itu saya sudah lulus kuliah, saya kembali datang ke Perpustakaan Nasional. Saat itu saya sedang menikmati liburan di Jakarta karena saya sejak 1999 bertugas di Makassar. Saya diajak oleh salah seorang kawan satu fakultas yang meminta bantuan saya. Awalnya, ia menunjukkan kepada saya selembar artikel fotokopian dalam bahasa Belanda disertai foto bertuliskan ‘Boeaja Betawi’. Saya lihat sekilas artikel itu tampaknya dari sebuah surat kabar lama. Saya penasaran dengan surat kabar tersebut dan ingin melihat bentuk utuhnya. Kali ini saya datang kembali ke Perpustakaan Nasional tetapi tujuannya tidak meminjam buku.
Setelah menyepakati hari, saya dan kawan pergi ke Perpustakaan Nasional di Salemba. Kami segera menuju koleksi surat kabar langka di lantai tujuh. Suasananya sangat sepi. Hanya ada satu, dua pengunjung yang tampak asyik menekuni surat kabar atau majalah di hadapannya. Setelah memesan satu bundel surat kabar kami menunggu sejenak. Kami memesan surat kabar dari awal abad ke-20. Surat kabar itu adalah Bandera Wolanda dan artikel yang diberikan kepada saya semacam feuilleton, sejenis cerita bersambung yang ditulis oleh Clockener Brousson, seorang serdadu Belanda di Hindia-Belanda. Sekilas ketika saya baca artikel itu mengenai situasi di Batavia.
Artikel yang diberikan teman saya itu rupanya bagian di tengah-tengah serial artikel Bandera Wolanda. Kami pun memesan edisi-edisi sebelum dan edisi sesudah artikel yang saya terima. Saya membaca dengan cepat artikel tiap edisi yang kami pesan dan memutuskan untuk memfotokopi edisi-edisi yang diperlukan. Rasa penasaran mengalahkan suasana sepi dan rasa lapar. Waktu zuhur kami beristirahat untuk shalat dan makan siang di kantin. Lalu pekerjaan dilanjutkan hingga menjelang perpustakaan tutup. Selama beberapa hari terkumpul beberapa edisi. Hasil fotokopian saya bawa ke Makassar dan saya terjemahkan. Setelah melalui proses penyuntingan, hasil terjemahan itu menjadi sebuah buku. Buku itu diberi judul Batavia Awal Abad ke-20. Gedenkschrift van een Koloniaal yang diterbitkan pada tahun 2004 oleh penerbit Komunitas Bambu. Buku itu mendapatkan sambutan baik dan mengalami cetak ulang dua kali yaitu pada 2007 dan 2017.
Kecintaan terhadap perpustakaan semakin tebal setelah saya mendapatkan kesempatan berkuliah di Universitas Leiden, Belanda. Suatu pengalaman menarik saya peroleh. Di Belanda, setiap berkunjung ke rumah kawan atau kenalan, saya disuguhi pemandangan rak berisi buku-buku di ruang keluarga atau ruang kerja mereka. Mereka dengan bangga menunjukkannya. Bahkan, pada beberapa kunjungan, saya diajak mengunjungi perpustakaan di kota mereka. Beruntung, koleksi perpustakaan Universitas Leiden, terutama perpustakaan KITLV (ketika itu memiliki koleksi tersendiri) sangat lengkap. Saya merasa berada di ‘lautan’ pengetahuan yang tak ada habis-habisnya. Buku-buku yang di Indonesia dianggap langka dan sulit diperoleh, dapat saya pinjam dengan mudah di sana.
Pada periode berikutnya, Perpustakaan Nasional menjadi salah satu tempat yang wajib saya kunjungi. Setelah kontrak saya di Makassar berakhir, saya memutuskan melanjutkan studi ke jenjang magister dan memilih ilmu sejarah. Dalam penelitian sejarah, sumber-sumber primer merupakan salah satu data penting yang menjadi dasar penulisan sejarah (historiografi). Situasinya sedikit agak berbeda dibandingkan periode sebelumnya. Kali ini saya benar-benar memiliki niat yang kuat untuk memanfaatkan koleksi dari Perpustakaan Nasional. Bekal yang saya peroleh di bangku kuliah pada tingkat magister menjadi modal penting untuk melakukan penelitian sejarah.
Kunjungan saya ke Perpustakaan Nasional pada periode ini lebih banyak di bagian koleksi buku langka dan surat kabar, majalah langka. Sesekali saya berada di bagian koleksi surat kabar dan majalah di lantai bawah. Tujuannya adalah untuk membuat fotokopi artikel-artikel dari sebuah surat kabar nasional. Sedikitnya sebulan sekali, artikel saya yang saya kirim ke sebuah surat kabar nasional dimuat. Hasil fotokopi artikel-artikel itu selain untuk dokumentasi pribadi, juga untuk portofolio saya di fakultas. Ketika itu saya mulai merintis karir sebagai asisten pengajar. Honor menulis artikel cukup lumayan untuk membayar biaya fotokopi data yang saya perlukan di Perpustakaan Nasional.
Berbeda dengan periode sebelumnya, pada periode ini saya memiliki strategi untuk membuat fotokopi beberapa halaman penting dari surat kabar, majalah dan buku-buku langka yang saya cari. Biasanya dalam seminggu saya dua kali ke Perpustakaan Nasional. Satu hari digunakan untuk menelusuri data dan memesannya untuk difotokopi. Satu hari lainnya untuk mengambil hasil fotokopian. Sisa waktu yang ada, saya gunakan untuk menelusuri data atau membuat catatan dari majalah-majalah atau buku-buku langka yang saya pesan. Sesekali saya membantu para peneliti luar negeri mencari data. Salah satunya adalah Dr. Gerard Termorshuizen yang meminta bantuan menelusuri artikel dari majalah Wereldnieuws tahun 1920-an. Penelusuran artikel tersebut tidak sulit karena beliau tahu benar bahwa Perpustakaan Nasional mengkoleksinya.
Suasana di lantai tempat koleksi buku langka dan surat kabar, majalah langka pada waktu itu masih lumayan sepi. Pertemuan dengan penulis dan para peneliti terkenal baik dari dalam maupun luar negeri, saya alami di tempat tersebut. Dalam suatu kesempatan saya bertemu dengan satu sosok pria bule berkumis, berjanggut yang sepertinya wajahnya pernah saya lihat. Ketika itu beliau sedang menekuni tumpukan-tumpukan surat kabar. Sesekali dia berbicara dengan petugas dalam bahasa Indonesia. Saya mencoba mengingat-ingat wajah tersebut, sambil membaca satu majalah langka di meja. Menjelang siang, saya ingat sosok pria itu, dia adalah Jaap Erkelens, mantan kepala perwakilan KITLV Jakarta.
Di lain waktu saya melihat pengunjung yang sepertinya sepasang suami istri. Mereka berwajah seperti orang Indonesia pada umumnya tapi berbicara dengan logat bicara Melayu. Sang suami tampak tekun membaca surat kabar-surat kabar kuno dan sesekali membuat foto. Sementara sang istri membantu mencatat dengan rajin. Lagi-lagi, rasanya saya pernah melihat wajah sang suami. Namun, hingga menjelang perpustakaan tutup, saya tidak ingat di mana saya melihat wajah itu. Barulah, ketika saya di rumah dan hendak mencari informasi nama surat kabar untuk data tesis di sebuah buku, mata saya tertumbuk pada penulisnya. Dia adalah Ahmat Adam, penulis buku Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan 1855-1913. Dia lah sosok yang saya lihat di Perpustakaan Nasional.
Ketika sedang berada pada tahap menyelesaikan disertasi, saya beberapa kali berkunjung ke Perpustakaan Nasional, khususnya ke bagian buku langka. Di sela-sela menunggu pesanan buku, saya kerap berbincang-bincang dengan pustakawan di lantai tersebut mengenai kondisi koleksi buku langka. Mereka mengeluh jika ada pemustaka yang memaksa untuk membuat fotokopi buku-buku yang kondisinya sudah sangat tidak memungkinkan tetapi pemustaka bersikeras menggandakannya. Keperdulian pemustaka terhadap buku langka koleksi Perpustakaan Nasional rupanya sangat diperlukan.
Lalu apakah ada jalan keluarnya? Apakah koleksi itu dapat difoto atau didigitalisasi? Menurut hemat saya, koleksi yang kondisinya sudah sangat tidak memungkinkan untuk dipegang secara fisik, sebaiknya didigitalisasi. Selain untuk menjaga kondisi koleksi tersebut, dalam bentuk digital dapat digunakan oleh kalangan yang lebih luas. Di samping itu ikut menjaga koleksi tersebut sebagai bagian dari upaya menjaga peradaban bangsa dan tanggung jawab sebagai bagian peradaban itu sendiri. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang memperlakukan dan menjaga jati dirinya dengan baik.
Ketika mendengar Perpustakaan Nasional pindah dari Jalan Salemba Raya ke Jalan Medan Merdeka Selatan, saya sangat menyambut gembira. Peresmian Gedung layanan Perpustakaan Nasional di Jalan Jalan Medan Merdeka Selatan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada 14 September 2017. Namun sayang, saya belum memiliki waktu yang pas untuk berkunjung ke sana. Saya hanya mendengar dari cerita mahasiswa-mahasiswa yang telah berkunjung untuk mengerjakan tugas dari saya.
Kesempatan berkunjung ke Gedung Perpustakaan Nasional di Jalan Medan Merdeka Selatan baru terwujud dua tahun kemudian. Sebuah email tertanggal 21 Februari 2019 masuk ke kotak surat saya dengan subyek ‘Minta Tolong’. Pengirimnya adalah M.C. Ricklefs. Ya, pengirim surat elektronik tersebut adalah Profesor Merle Calvin Ricklefs, sejarawan asal Australia. Sejenak saya tertegun. Ada persoalan apa salah seorang sejarawan besar menghubungi saya. Lalu saya mulai membaca surat beliau yang lumayan panjang dan dibuat dalam bahasa Indonesia yang baik.
Rupanya Profesor Ricklefs mendapatkan nama dan alamat email dari Profesor Peter Carey, salah seorang pembimbing dan penguji disertasi saya. Wah, tugas yang tidak mungkin ditolak, gumam saya. Profesor Peter Carey adalah salah seorang ‘guru’ saya yang kerap ‘menguji’ saya dengan berbagai tugas menarik dan menantang terkait penelusuran data sumber sejarah (heuristik). Beberapa tugas dari beliau dapat saya jalankan dengan baik dan Profesor Peter Carey merekomendasikan nama saya kepada Profesor Ricklefs untuk menjalankan tugas. Saya pun penasaran dengan tugas tersebut.
Saya lalu melanjutkan membaca email tersebut. Rupanya Profesor Ricklefs sedang meneliti suatu istilah yaitu Latawaluja. Istilah yang muncul dalam Babad Giyanti serta beberapa suluk. Profesor Ricklefs meminta saya menelusuri surat kabar Bramartani/Jurumartani dari tahun 1868 koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta. Saya langsung memberikan reaksi dan membalas surat beliau. Saya menyanggupi membantu menelusuri surat kabar tersebut di Perpustakaan Nasional. Sebelumnya saya mencoba menelusuri secara digital surat kabar yang beliau maksud dalam katalog Perpustakaan Nasional.
Satu hal luput dari perhatian saya ketika menerima tugas dari Profesor Ricklefs yaitu dalam bahasa apa surat kabar Bromartani atau Djoeroe Martani tersebut. Hal tersebut baru saya sadari ketika berada di dalam kereta menuju Perpustakaan Nasional di Jalan Medan Merdeka. Saya baru sadar surat kabar tersebut dalam bahasa Jawa (huruf Jawa). Persoalannya adalah saya sama sekali tidak menguasai bahasa Jawa. Namun, saya tetap yakin dapat menyelesaikan tugas tersebut.
Saya harus memperhitungkan waktu penelusuran mengingat ketika saya berkunjung ke Perpustakaan Nasional hari itu adalah hari Jumat. Saya tiba di Perpustakaan Nasional pukul 9.30 dan saya langsung menuju lantai 8. Beruntung setelah sempat naik-turun lantai saya mendapatkan surat kabar yang dicari oleh Profesor Ricklefs. Metode yang saya gunakan adalah salah satu dari metode sejarah yaitu kritik sumber. Memang benar, bahasa yang digunakan oleh surat kabar tersebut adalah huruf Jawa.
Di dalam kereta, saya menyalin angka-angka dalam huruf Jawa dari internet dan itu menjadi kunci pegangan saya dalam menelusuri surat kabar-surat kabar dalam bentuk microfilm. Setelah hampir satu jam saya membaca microfilm tersebut, akhirnya saya menemukan nomor surat kabar yang dimaksud. Pukul 11.00 saya meminta dua nomor edisi untuk dipindai yaitu Djoeroemartani nomor 21 dan 25 tahun 1868. Pukul 11.30 saya turun ke lantai 6 untuk shalat Jumat. Usai shalat Jumat saya kembali ke lantai 8.
Hasil pindai dikirim oleh pustakawan melalui email. Di rumah, malam harinya saya segera mengirim email dan hasil penelusuran saya ke Profesor Ricklefs. Beliau segera membalas email saya dan memang edisi tersebut yang beliau cari. Rupanya itu adalah tugas pertama dan terakhir dari beliau. Pada 29 Desember 2019, Profesor Ricklefs menghembuskan nafas terakhir.
Pengalaman selama di Belanda ketika mengunjungi berbagai perpustakaan membuat saya berfikir, apakah mungkin perpustakaan dapat menjadi salah satu objek wisata. Setidaknya, orang mengenali, mengagumi bangunannya terlebih dahulu dan kemudian memanfaatkan fasilitasnya. Seperti dalam buku panduan terbitan tahun 1786 karya Johannes Hofhout (1740-1780), seorang pegawai VOC berjudul Bataviasche, historische, geografische, huishoudelijke en reis almanach of nuttig en noodzakelijk handboek, voor hun, die hun, die naar Oost Indien varen of kundigheid van die gewesten begeeren (Almanak atau buku pedoman penting dan berguna mengenai sejarah dan geografi Batavia serta cara hidup di kota itu, bagi mereka yang bepergian ke Hindia Timur atau ingin mengenal daerah tersebut). Hofhout memasukkan bangunan Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen yang ketika itu berfungsi sebagai perpustakaan sebagai salah satu informasinya dan mencatat betapa besar biaya dan upaya untuk mendirikannya.
Dalam buku panduan abad ke-19 karya Marius Buys, seorang pendeta Belanda dengan judul Batavia, Buitenzorg, en De Preanger. Gids voor Bezoekers en Toeristen [Batavia, Buitenzorg dan Priangan. Panduan bagi Para Pengunjung dan Turis] (1891) mencantumkan informasi mengenai museum dan perpustakaan Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen tersebut. Khusus untuk koleksi perpustakaan, Buys berkomentar: de kostbare en uitgebreide boekverzameling van het Genootschap, waarin vele belangrijke Kawische (oud-Javaansche), Javaansche, Maleische en Arabische handschriften voorkomen [koleksi buku perkumpulan yang berharga dan beragam, berisi banyak manuskrip Kawi (Jawa kuno), Jawa, Melayu dan Arab yang penting]. Pada periode berikutnya di abad ke-20, dalam buku panduan Guide Through Netherlands India (1911) karya J.F. Bemmelen dan G.B. Hooyer memasukkan perpustakaan Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen sebagai salah satu tempat menarik untuk dikunjungi di Batavia.
Catatan-catatan dari masa lalu tersebut memperlihatkan bahwa perpustakaan sudah menjadi salah satu tujuan dan menjadi objek wisata. Tidak tertutup kemungkinan, perpustakaan kelak menjadi salah satu tujuan wisata ilmu bagi semua kalangan, baik tua maupun muda. Ditambah lagi kondisi dan suasana saat ini di berbagai perpustakaan baik di pusat maupun daerah, terutama Perpustakaan Nasional sudah jauh lebih baik. Meskipun dalam percakapan dengan pustakawan kenalan saya, menurutnya kebanyakan para pemustaka yang datang ke Perpustakaan Nasional di Medan Merdeka Selatan hanya untuk berfoto di lantai teratas. Menurut saya hal itu merupakan bagian dari langkah pengenalan. Bukankah kita lebih baik berkenalan terlebih dahulu, untuk kemudian menyayanginya dan memanfaatkan berbagai fasilitas di dalamnya.