Literasi Kartini: Apa yang ditulis akan abadi

Verba Volant, Scripta Manent. Apa yang dikatakan akan lenyap, apa yang ditulis akan abadi. Demikian makna ungkapan bahasa Latin ini. Ungkapan dalam bahasa Latin tersebut sesuai dengan kiprah R.A.Kartini yang menghasilkan sejumlah karya tulis. Jejak karya beliau masih dapat kita baca hingga hari ini. Dari kumpulan surat hingga beberapa karangan beliau. Baik yang dipublikasikan, maupun tidak. Jejak tersebut akan abadi dan tak akan terhapus oleh waktu karena scripta manent.

Simaklah salah satu bagian dalam surat R.A. Kartini yang ditujukan kepada Estelle Zeehandelaar tertanggal 11 Oktober 1901: “Als schrijfster zou ik op groote schaal aan de verwezenlijking mijner idealen en aan de opheffing, beschaving van ons volk kunnen arbeiden.” (Sebagai penulis, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami). Mereka yang ingin lancar menulis, seharusnya banyak juga membaca. Dengan banyak membaca, selain membuka wawasan, kita juga dapat mengetahui pemikiran pemikiran orang lain. Kita seolah “berdialog” dengan para penulis yang bukunya kita baca tanpa harus bertatap muka, kapan pun dan di mana saja.

Banyak membaca, itulah yang menjadi modal R.A. Kartini dalam menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Dari catatan yang dapat ditelusuri dalam surat-suratnya, seperti menurut catatan Sulastin Soetrisno ada sejumlah buku-buku dan surat kabar yang dibaca oleh R.A. Kartini. Buku-buku tersebut membuka wawasannya dan ia dialogkan dengan mereka yang ia kirimi surat.

Kemampuan yang dimiliki oleh Kartini ini dikenal dengan nama literasi yang berasal dari literature, kata berbahasa Latin. Dalam makna sederhana, literasi adalah kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya melingkupi kemampuan membaca dan menulis. National Institute for Literacy mendefinisikan literasi sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat.” Untuk konteks Kartini, di sini dibahas kemampuan membaca dan menulisnya. Dengan menitikberatkan pada berbagai bahan bacaan yang dilahap Kartini, serta karya-karya yang dihasilkannya.

Dari berbagai sumber, terutama berdasarkan surat-surat yang ditulis Kartini, diperoleh informasi buku-buku yang dibaca oleh Kartini. Buku-buku yang dibacanya kebanyakan dalam bahasa Belanda, seperti roman Hilda van Suylenburg (1898) karya Cecile Goekoop de Jong van Beek en Donk. Buku ini diceritakan Kartini dalam surat untuk Estelle Zeehandelaar tanggal 25 Mei 1899, 6 November 1899. Buku lain adalah karya Augusta de Wit. Hal ini diceritakan oleh Kartini dalam suratnya untuk Nyonya H.G. de Booij-Booissevain tanggal 26 Mei 1902.

Penulis Belanda lain yang bukunya dibaca Kartini adalah Louis Couperus. Ini diceritakan Kartini dalam surat untuk Estelle Zeehandelaar tanggal 12 Januari 1900. Kartini juga membaca puisi, seperti buku De Dichtwerken (1886) karya Petrus Augustus de Genestet. Mengenai penulis ini diceritakan Kartini dalam surat-suratnya untuk Nyonya H.G. de Booij-Booissevain tanggal 6 Juni 1901. Lalu surat untuk Ny. N van Kol tanggal 21 Juli 1902, dan surat untuk Nyonya H.G. de Booij-Booissevain tanggal 21 Maret 1902.

Buku berbahasa Belanda lain yang dibaca Kartini adalah karya Multatuli, seperti Max Havelaar (1860) yang diceritakan dalam surat untuk Estelle Zeehandelaar tanggal 25 Mei 1899, 6 November 1899 dan 12 Januari 1900. Lalu Minnebrieven (1900) yang diceritakan Kartini dalam suratnya untuk Estelle Zeehandelaar tanggal 12 Januari 1900. Buku lainnya adalah karya Henri Ferdinand Borel, Het Jongetje (1898), Droom uit Tosari (?), De Laatste Incarnatie (1901) yang diceritakan dalam surat untuk Tuan dan Nyonya Prof. Dr. G.K. Anton di Jena tanggal 10 Juni 1901. Penulis Belanda lainnya yang bukunya dibaca Kartini adalah Frederik van Eeden dengan karya De Kleine Johannes (1885). Buku ini diceritakan Kartini dalam suratnya untuk Nyonya H.G. de Booij-Booissevain pada 26 Mei 1902.

Kartini juga membaca buku terjemahan, seperti Moderne Vrouwen (1896) karya Jeanette van Riemsdijk dari bahasa Prancis. Buku ini diceritakan dalam surat untuk Stella Zeehandelaar tanggal 12 Januari 1900. Lalu buku Moderne Maagden terjemahan dari Les Demi-Vierges karya penulis Prancis Marcel Prévos. Buku ini diceritakan oleh Kartini dalam suratnya untuk Estelle Zeehandelaar tanggal 9 Januari 1901.

Selain membaca buku-buku dalam bahasa Belanda, Kartini juga membaca surat kabar dan majalah dalam bahasa Belanda, seperti De Locomotief, surat kabar yang 70 terbit pertama kali di Semarang pada 1852, majalah De Gids, Hollandsche Lelie, dan De Echo. Lalu majalah terbitan Hindia-Belanda, seperti Indisch Magazijn (1845), Indisch Archief (1851).

Banyaknya bahan bacaan yang Kartini baca ditambah berbagai gagasan yang memenuhi pikirannya, perlu dituangkan dalam bentuk tulisan. Publikasi awal karya Kartini adalah artikel “Het Huwelijke bij de Kodja’s” (Pernikahan orang Koja) yang ia tulis ketika berusia sekitar 16 tahun. Artikel tersebut merupakan karya etnografis yang diterbitkan pada Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van Nederlandsch Indië pada 1895 yang dimuat dengan menggunakan nama ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosro Ningrat, Bupati Jepara. Mengenai artikelnya itu, rupanya Kartini tidak begitu antusias. Ia menyampaikan hal ini pada Estelle Zeehandelaar dalam surat tertanggal 6 November 1899:
Ik zond je ‘t stukje uit de Bijdragen van het Koninklijk Instituut voor Land-, Taal- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië. Dat ding schreef ik een jaar of vier geleden en keek verder niet naar, tot kort geleden bij ‘t opruimen van oude papieren ‘t mij weer onder de oogen kwam. Vader kreeg juist een verzoek om medewerking van ‘t Bestuur van bovengenoemd Instituut. Pa zond ‘t stukje op en na eenigen tijd kreeg ik een hoop overdrukjes gestuurd. Ik dacht, dat ‘t je misschien interesseeren zou en zond je er dus een (Kartini, 1912).
(Aku mengirimkan padamu sebuah artikel dari Bijdragen van het Koninklijk Instituut voor Land-, Taalen Volkenkunde van Nederlandsch-Indië. Artikel itu aku tulis sekitar empat tahun lalu dan tak pernah aku lihat-lihat lagi sampai beberapa waktu lalu ketika membongkar kertas-kertas tua aku menemukannya lagi. Ayahlah yang mendapatkan permohonan untuk kerjasama dari lembaga yang disebut di atas. Ayah mengirimkan artikel itu dan beberapa waktu kemudian aku mendapat setumpuk cetakannya. Aku pikir, kau mungkin akan tertarik dan aku kirimkan kau satu eksemplar.)

Berikutnya Kartini kembali menulis artikel etnografis tentang pernikahan di kalangan elite pribumi. Bahan itu diperolehnya ketika adiknya, Kardinah menikah pada tahun 1903. Sebuah majalah di Belanda berkali-kali meminta izin untuk menerbitkannya. Namun, Kartini menolak. Redaksi tetap mendesak dan jika Kartini setuju maka artikel akan dimuat tanpa mencantumkan namanya. Kartini tetap menolak dengan alasan, jika nama itu dibuang, orang akan mengetahui siapa penulisnya. Alasan itu tepat, mengingat pada masa itu, sangat sedikit orang di Hindia dari kalangan pribumi yang dapat menulis dalam bahasa Belanda (Toer, 2000: 178).

Empat tahun sebelum Kartini wafat, ia menulis essay dan satu seri surat yang ditulis dalam bahasa Belanda. “Een Gouverneurs-Generaalsdag” (Hari Gubernur Jenderal) dimuat dalam surat kabar De Echo (1903). Artikel ini merupakan pengalaman Kartini bersama saudara perempuan dan ayahnya ketika mengunjungi pesta besar untuk menghormati kedatangan Gubernur Jenderal Rooseboom dan nyonya di Semarang (Toer, 2000:190). Lalu artikel “Van een Vergeten Uithoekje” (Dari sebuah sudut terlupakan) dimuat dalam Eigen Haard (1903).

Kesadaran terhadap kepengarangan diri Kartini tidak dapat diragukan lagi. Namun, pada praktiknya, Kartini menghadapi tantangan. Terlebih lagi ia adalah seorang gadis pribumi yang tidak memiliki kebebasan sama sekali. Setiap tindakan yang akan dilakukan olehnya harus dipertimbangkan terlebih dahulu oleh orang tuanya yaitu ayahnya karena setiap langkah dan tindakan yang dilakukan Kartini, orang tuanya lah yang akan menanggung akibatnya. Selain itu, Kartini memandang bahwa sastra merupakan alat yang sedemikian tinggi dan keramat sehingga ia memiliki anggapan bahwa karya-karyanya yang benar-benar memiliki nilai sastra sebenarnya belum ada. Karya-karya tulis yang dimuat di berbagai majalah, belum dianggapnya sebagai karya sastra. Anggapan ini dipegangnya terus hingga akhir hayat berdasarkan keyakinan bahwa karya tulis sastra dapat dibuatnya apabila ia telah sungguh-sungguh bebas. Sedangkan kebebasan perempuan pada masa itu adalah apabila perempuan itu telah bersuami, kemudian menjanda (Toer, 2000: 183).

Pada sisi lain, Kartini pun terlalu berhati-hati dalam mempertimbangkan tulisan mana yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan. Hampir semua pertimbangan yang diputuskan olehnya, memilih keputusan yang kedua yaitu tidak boleh dipublikasikan. Pertimbangan ini bukan karena kerendahhatian karena miskin akan bahan, seperti yang ia sampaikan dalam surat kepada Estelle Zeehandelaar tanggal 6 November 1899 bahwa ia masih terlalu muda dan hanya memiliki sedikit pengalaman. Menurut Kartini, ia dapat saja menulis jika ia mau tetapi ia akan menyesalinya karena ia merasa beberapa tahun kemudian ia akan memiliki pandangan yang lebih baik dan jernih dari apa yang ia telah tuliskan (Kartini, 1912).

2 thoughts on “Literasi Kartini: Apa yang ditulis akan abadi”

Leave a Reply to JHONI BUKHARI Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *