Menikmati Aijer Blanda dan Nangke Lande

terong belandaApalah arti sebuah nama, demikian ungkapan dari seorang pujangga Inggris William Shakespeare. Namun, ungkapan tersebut seolah tak berarti jika kita membicarakan masalah berikut. Misalnya kata ayam. Jika kita gabungkan dengan kata bakar di belakangnya tentu akan berbeda dengan kata goreng. Apalagi jika kata ayam digabungkan dengan kata kampung dan ‘kampus’. Kata tersebut akan memiliki makna denotatif dan konotatif.

Kata penjelas di belakang suatu kata tertentu menjadikan kata yang diikutinya memiliki arti. Gabungan kata atau kelompok kata tersebut dapat memiliki arti tertentu yang jenisnya tidak jauh berbeda. Di sini dibahas kata belanda dan variannya olanda, wlanda, wolanda yang mengikuti kata-kata benda tertentu. Apakah arti kata-kata tersebut?

Indonesia, sejak masih bernama Nusantara memiliki hubungan yang lama dengan berbagai negeri di seberang lautan. Salah satunya adalah Belanda. Hubungan itu memungkinkan adanya pengaruh, khususnya pemberian nama terhadap beraneka benda yang ada di Indonesia, terutama benda-benda yang bukan ‘asli’ Indonesia.

Kita mulai dari air belanda. Dalam Kamus Besar Bahasa IndonesiaKBBI (2008)  makna kata itu adalah ‘minuman terbuat dari air yang mengandung gas karbon (dioksida)’. Kita biasa menyebutnya air soda. Jauh sebelumnya, dalam Practisch Maleisch-Hollandsch en Hollandsch-Maleisch Handwoordenboek karya L.Th. Mayer (1906: 8) tertulis ayer wlanda. Dalam kamus Mayer ajer wlanda ini dijelaskan sebagai ‘seltzerwater of in het algemeen mineraalwater (air seltzer atau pada umumnya air mineral)’.

Penggunaan istilah air belanda ini dapat kita telusuri dari penggunaannya. Dalam sebuah artikel berjudul “Een goed begin” di De Locomotief (4/09/1867) mengenai tugas-tugas Asisten Residen van der Horst di Semarang ditemukan istilah ajer blanda yang memang mengacu pada minuman mineral dalam botol.  Pada 1896 Raja Siam, Raja Chulalongkorn berkunjung ke Jawa. Ketika sampai di Magelang dalam perjalanan menuju Surabaya, rombongan raja disuguhi air belanda oleh residen Kedu. Hal tersebut terdapat dalam buku catatan perjalanan raja Journeys to Java by a Siamese King (2001: 74). Sebagai perbandingan perhatikan iklan air mineral Apollinaris di Java Bode (11/09/1891) yang menggunakan istilah Aijer Blanda untuk air mineral yang ketika itu masih merupakan produk impor. Dalam buku panduan Java the Wonderland (1900:5) sebagai terjemahan dari Apollinaris digunakan istilah ajer blanda.

Pada awal abad ke-20 istilah air belanda kian marak sehubungan dengan turisme Hindia-Belanda. Dalam The Garoet Express and Tourist Guide (1922-1923) dicantumkan kosa kata praktis untuk para turis yang akan berkunjung ke Hindia. Salah satunya adalah aijer blanda dan whiskey-aijerblanda. Di sini air belanda merupakan terjemahan dari sodawater (air soda) dan whisky soda (hal. 22).  Oleh karena mahalnya harga ajer blanda impor hingga ada pihak yang ingin memalsukannya. Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indië (5/09/1913) mengabarkan ditangkapnya seorang Tionghoa di daerah Senen beserta dua peti ajer blanda palsu sebagai barang bukti.

Adalah apoteker cum pengusaha Hendrik Freerk Tillema yang pada 1901 membangun pabrik minuman mineral pertama di Semarang. Minuman itu bermerek Hygea dengan gambar kucing hitam berekor melambai. Sebelumnya pada 1896 Tillema bekerja di Samarangsche-Apotheek milik firma R. Klaasesz en Co. Tiga tahun kemudian ia diangkat menjadi rekanan di perusahaan itu. Pada 1899 ia membeli perusahaan R. Klaasesz en Co dan tetap mempertahankan nama perusahaan itu di etiket minuman hasil produksinya.

Kata berikutnya yaitu ubi belanda. Dalam KBBI (2008: 1515) kata ini bermakna ‘kentang’ alias Solanum tuberosum. Dalam kamus Mayer (1906: 183), digunakan varian dari kata belanda yaitu oebi-ollanda tetapi maknanya tetap ‘kentang’. Penggunaan kata ollanda di belakang kata oebi ini menarik, mengingat dalam kamus yang sama digunakan varian yang berbeda yaitu wlanda. Remy Silado dalam artikelnya “Dari Olanda sampai Belanda” (2003) menyebutkan kata olanda merupakan kata yang ditulis dalam huruf Arab gundul, huruf yang terpakai di Indonesia sebelum Latin. Namun kemudian, imbuh Silado,  oleh karena huruf Arab o adalah waw, dan waw dalam huruf Arab mencakup tiga huruf Latin, masing-masing o, u, dan w, maka tulisan olanda pun dibaca walanda.

Hal yang menarik adalah nama buah-buahan di Indonesia yang menggunakan berbagai varian dari kata belanda. Misalnya sirsak (Annona muricata L.) yang dikenal juga dengan nama-nama lain di berbagai tempat di Nusantara. Seperti deureuyan belanda (Aceh), nangka landa (Jawa), nangka walanda (Sunda),  jambu landa (Lampung), durio ulondro (Nias), langelo walanda (Gorontalo), sirikaya balanda (Bugis dan Makassar), naka walanda (Ternate).

Si ‘nangka belanda’ alias sirsak yang terdapat dalam KBBI (2008: 951) ini ternyata dapat mengurangi dan mengobati asam urat.  Nama sirsak sendiri diambil dari bahasa Belanda, zuurzak (zuur = asam, zak = kantong) yang berarti kantung yang asam. Namun, ‘nangka belanda’ ini tidak ditemukan dalam kamus Meyer. Nangka blanda ini muncul dalam buku Wenken en raadgevingen betreffende het gebruik van Indische planten, vruchten enz (1911) karya J. Kloppenburgh Versteegh, ahli obat tradisional Hindia berkebangsaan Belanda.  Besar kemungkinan jika mengacu pada kamus Meyer, kata nangka belanda tersebut masih berupa ragam cakap.

Di Indonesia, sirsak tumbuh di daerah yang berketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan laut. Buah sirsak yang masak lebih terasa asam daripada manis. Namun, rasanya segar apalagi jika dinikmati dalam kondisi dingin (dengan batu es). Bahkan ada syair lagu yang berjudul “Nangke Lande” dinyanyikan dengan jenaka oleh Benyamin S, komedian terkenal Indonesia.  Bunyinya begini:

 

“Nangke lande diencot-encot jande.

Jande nggak laku ketiban nangke lande.

Yang mane jande yang mane ikan pede

Gue peratiin due-duenye same….”

Selain nangka adapula nanas belandaAgave cantala (KBBI 2008:951). Kata ini berasal dari bahasa Betawi yang dalam kamus tersebut dijelaskan sebagai jenis tumbuhan dengan tinggi hingga 2 meter, daunnya berukuran 1-2 meter, berwarna hijau tua kebiru-biruan, berduri tajam pada tepi dan ujungnya serta mengandung serat yang diolah untuk dijadikan tali-temali.

Adapula terung belanda yang memiliki nama Latin Cyphomandra betacea. Dalam kamus Meyer (1906:260) tertulis terong wlanda tetapi dengan nama Latin Lycopersicum esculentum. Dalam KBBI 2008, terung belanda yang memiliki nama Latin Cyphomandra betacea dijelaskan sebagai pohon perdu dengan tinggi yang mencapai 6,25 meter, berbuah banyak dan dapat dimakan mentah atau diolah menjadi selai (hal.1445). Buah ini juga dijadikan minuman sejenis sirup dengan nama terong belanda.

Masih nama buah-buahan. Dalam KBBI (2008:1258) ditemukan semangka belanda atau Cucumis melo L. yang mengacu pada ‘blewah’. Buah blewah juga kerap dijadikan sebagai minuman.  Dalam kamus Meyer (1906) kata ini tidak ditemukan.

Tumbuhan lainnya adalah sagu belanda (KBBI 2008: 1200) yang dideskripsikan dengan ‘tumbuhan palem’ alias sagu betawi (Maranta arundinacea). Umbi dari tumbuhan ini dapat dimakan. Meskipun tidak menjadi sumber bahan pangan pokok, tanaman ini kerap ditanam di pekarangan di rumah-rumah di pedesaan dan menjadi cadangan pada saat paceklik.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa menggunakan kata belanda di belakang kata nangka, jambu, sirikaya atau tumbuhan lainnya?  Padahal buah-buahan atau tumbuhan ini jelas tidak tumbuh dan bukan berasal dari Eropa (Belanda). Apakah karena isinya putih (baca: lebih terang) seperti kulit orang Belanda atau karena yang memakan dan mengkonsumsinya hanya orang Belanda sehingga ditempelkan kata ‘belanda’ di belakangnya? Wallahu alam.

Selain yang berhubungan dengan kuliner terdapat pula kata-kata yang tidak berhubungan dengan urusan kuliner yaitu kapur belanda. Dalam KBBI (2008) kata ini bermakna ‘kapur tulis’ (hal.623). Demikian pula dalam kamus Meyer (1906). Di sana tertulis kapoer wlanda yang juga bermakna ‘kapur tulis’ (hal.129). Apabila kita membicarakan kapur belanda, jelas ini berhubungan dengan pendidikan. Kita dapat menelusurinya dalam sejarah pendidikan di Indonesia (Hindia-Belanda), khususnya kapan pertama kali kapur tulis alias kapur belanda ini digunakan.

Berikutnya adalah ayam belanda. Dalam KBBI (2008:278) kata ini bermakna ‘kalkun’ yang memiliki nama Latin, Meleagris gallopavo. Dalam kamus Mayer (1906: 7) tertulis ajam wlanda yang juga bermakna ‘kalkun’. Selain ayam belanda, ada juga tikus belanda alias ‘marmot’ (KBBI 2008: 1455). Namun, kata ini tidak dijumpai dalam kamus Mayer (1906).

Ada pula kucing belanda yang mengacu pada ‘terwelu’ atau ‘kelinci’ (KBBI: 749). Namun, ‘terwelu’ (Lepus curpaeums) dan ‘kelinci’ (Oryctolagus cuniculus) bukanlah hewan yang sama. Mereka memiliki perbedaan.

Hewan lainnya adalah kera belanda yang mengacu pada ‘bekantan’ atau Nasalis lavartus (KBBI: 673). Seperti tikus belanda dan kucing belanda, kera belanda tidak ditemukan dalam kamus Mayer. Dilihat dari penampilannya kera belanda sepertinya layak menggunakan kata ‘belanda’. Hewan yang banyak di Kalimantan ini memiliki ciri khas hidung yang panjang dan besar.

Kata lainnya adalah batu belanda. Dalam KBBI (2008) kata ini bermakna ‘intan buatan atau tiruan’ (hal.147). Namun, kata ini tidak terdapat dalam kamus Meyer (1906). Kemungkinan besar, istilah ini baru muncul pada abad ke-20. Berkaitan dengan bahan buatan atau tiruan ditemukan juga istilah cuka belanda  dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia (2009:135). KBBI (2008) menyebutkan cuka belanda adalah ‘cuka yang dibuat dari bahan kimia’. Istilah ini ditemukan dalam artikel De Locomotief (25/02/1887) dan Sumatra Courant (8/03/1887) dengan nama tjoeka blanda yang rupanya menjadi salah satu bahan baku untuk obat boeat gosok.

Keterangan kata ‘belanda’ di belakang suatu kata ini cukup menarik karena rupanya tidak selalu mengacu pada satu bangsa yang pernah menginjakkan kaki di bumi Nusantara. Makna yang dihasilkan dari gabungan kata yang dihasilkan tidak serta-merta mengacu pada produk negeri, bangsa atau segala sesuatu yang berhubungan dengan negeri Belanda. Sebagai contoh istilah turis londo yang rupanya digunakan tidak hanya untuk orang Belanda tetapi semua orang kulit putih. Bahkan, istilah ini berlaku, misalnya untuk orang (baca: turis) Jepang yang jelas bukan ‘orang londo’.

Daftar Pustaka

De Locomotief (4/09/1867), (25/02/1887)

Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indië (5/09/1913)

Java Bode (11/09/1891)

Java the Wonderland. 1900. Arnheim: Thieme.

KloppenburghVersteegh, J. 1911. Wenken en raadgevingen betreffende het gebruik van

Indische planten, vruchten enz.

Mayer,  L.Th. 1906. Practisch Maleisch-Hollandsch en Hollandsch-MaleischHandwoordenboek.

Semarang-Soerabaia-Bandoeng: N.V. Boekhandel en Drukkerij

Pattajoti-Suharto, Imtip. 2001. Journeys to Java by a Siamese King . Bandung: ITB Press.

Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pusat Bahasa. 2009. Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia. Bandung: Mizan.

Silado,  Remy. 2003. “Dari Olanda sampai Belanda” dalam Salomo Simanungkalit (ed.) Inul itu

Diva. Jakarta: Penerbit Kompas.

Sumatra Courant (8/03/1887)

The Garoet Express and Tourist Guide (1922-1923)

* Artikel ini dimuat dalam buku Persembahan bagi 75 Tahun Prof. Harimurti Kridalaksana

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *