Pandemi Covid-19 memang belum usai secara tuntas tetapi keinginan orang untuk bepergian tidak dapat ditahan. Ketika pandemi berlangsung semua orang di dunia terpaksa tinggal di rumah. Mereka yang bekerja di sektor transportasi pun tak luput dari pengaruh pandemi. Pengurangan terhadap pekerja di sektor tersebut tidak dapat dihindari. Bahkan ada yang terpaksa keluar dari pekerjaannya untuk mencari pekerjaan lain.
Dampaknya adalah ketika orang mulai kembali bepergian, suasana tidak menyenangkan yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi harus dijalani dan dihadapi. Demikian pula dengan pengalaman bepergian pertama saya ke luar negeri pasca pandemi tahun ini.
Berita-berita tidak sedap serta penuturan pengalaman orang lain semakin membuat tidak nyaman. Schiphol Amsterdam yang menjadi pintu masuk saya ke Eropa rasanya tidak lagi menjadi tempat ‘menyenangkan’. Entah mengapa semakin mendekati hari keberangkatan, berita-berita mulai dari antrian panjang masuk ke Schiphol untuk pemeriksaan keamanan dan imigrasi, kopor-kopor penumpang yang telantar semakin menciutkan nyali.
Namun, tiket telah dibeli dan keberangkatan tidak dapat ditunda. Saya mencoba menghibur diri bahwa pengalaman para penumpang yang mengalami pengalaman tidak menyenangkan rata-rata mereka adalah yang melakukan perjalanan antar negara Eropa, bukan antar benua. Setelah transit di Abu Dhabi, perjalanan dilanjutkan menuju Amsterdam. Ketika roda pesawat menjejakkan di tanah rendah, bayangan pengalaman seram mulai muncul.
Setelah menunggu beberapa saat, para penumpang mulai turun. Saya mengikuti rombongan penumpang. Memasuki area pemeriksaan imigrasi mulai tampak antrian yang mengular. Namun, antrian tersebut bergerak meskipun perlahan. Akhirnya dengan sedikit beberapa pertanyaan antara lain pekerjaan dan tujuan saya, petugas imigrasi memberikan stempelnya. Resmi sudah saya masuk ke Belanda.
Bayangan seram muncul lagi dalam perjalanan menuju pengambilan bagasi. Tumpukan kopor-kopor penumpang seperti yang saya baca dan lihat di berita mulai terlihat di sana-sini. Namun, bayangan seram itu sirna setelah awalnya menunggu di tempat yang salah, saya mendapat mengambil kopor dari ban berjalan sesuai dengan penerbangan. Alhamdulillah.
Kisah ‘seram’ sesungguhnya adalah upaya pulang ke tanah air. Kali ini bukan hanya tantangan di Schiphol melainkan bagaimana cara menuju Schiphol dengan selamat. Beberapa hari menjelang kepulangan, muncul berita di televisi mengenai rencana pemogokan para pegawai Nederlandse Spoorwegen (NS) di beberapa regio di Belanda.
Para pegawai NS memulai pemogokan pada tanggal 26 Agustus di regio West (barat), dilanjutkan di regio Noordwest (barat laut) pada 29 Agustus, regio Midden (tengah) pada 30 Agustus, regio Oost dan Zuid (timur dan selatan) pada 31 Agustus 2022. Alasan pemogokan adalah para pegawai NS tidak puas dengan perjanjian CAO (Collectieve Arbeidsovereenkomst). CAO adalah perjanjian tertulis yang memuat perjanjian tentang syarat-syarat kerja. Misalnya tentang upah, tunjangan, pembayaran lembur, jam kerja, masa percobaan, masa pemberitahuan atau pensiun.
Menurut Roos Rahimi dari vakbond FNV spoor (FNV = Federatie Nederlandse Vakbeweging – serikat pekerja kereta api): “Tujuan pemogokan agar NS memenuhi tuntutan kami. Jarak antara yang kami minta dan yang ditawarkan masih terlalu jauh,” kata Rahimi. “Saat ini banyak orang yang keluar dan lowongan tidak terisi. Akibatnya NS terkendala jadwal dan beban kerja bertambah,” imbuhnya. Serikat pekerja menuntut, antara lain, jaminan pekerjaan hingga 1 Juli 2027, kenaikan upah tahunan berdasarkan inflasi, kenaikan upah 100 euro dan upah minimum 14 euro. Selain itu, mereka menginginkan harus ada pembayaran satu kali sebesar 600 euro.
Dikutip dari rtlnieuws.nl menurut para ahli, negeri Belanda tidak memiliki budaya pemogokan yang nyata, pemogokan pegawai kesehatan terbesar yang pernah berlangsung hanya 24 jam dan pemogokan pengemudi bus tahun lalu juga pemogokan estafet. Belanda juga tidak mengenal tentang pemogokan di seluruh negeri (secara nasional).
Menurut Rosa Kösters, sejarawan pemogokan Belanda, jika dibandingkan dengan Belgia atau Prancis, Belanda relatif sedikit pemogokan. Menurut Kösters kerap dikatakan bahwa di Prancis hanya sedikit orang yang menjadi anggota serikat pekerja, itulah sebabnya ada lebih banyak pemogokan di sana. Namun, jika melihat negara-negara Skandinavia, lebih banyak orang menjadi anggota di sana dan ada juga lebih banyak pemogokan. Di Belanda ada lebih banyak orang yang menjadi anggota serikat pekerja. lebih banyak serikat pekerja. Mereka lebih fokus pada diskusi dan kurang pada pemogokan.
Kösters merasa sulit untuk mengatakan mengapa ada lebih sedikit pemogokan di Belanda. Sampai tahun 1979 bahkan para pegawai dilarang mogok kerja. “Setelah Perang Dunia Kedua, hanya ada sedikit pemogokan di negara kami,” lanjut Kösters. “Sebelum Perang Dunia Kedua, kami memiliki lebih banyak pemogokan kecil, pabrik tutup selama berminggu-minggu. Saat ini jauh lebih terorganisir.
Memang kepulangan saya ke tanah air sebelum pemogokan pegawai kereta di Belanda dilakukan secara nasional. Namun, imbasnya mulai tampak pada saat hari kepulangan. Dari Nijmegen saya berganti kereta di Breda untuk melanjutkan perjalanan ke Rotterdam. Saya terpaksa berganti kereta di Rotterdam untuk menuju Amsterdam. Di Leiden, saya berganti kereta menuju Schiphol yang telah penuh sesak dengan penumpang berkopor.
sumber foto:insideflyer.nl