Menelusuri Kehidupan Orang China Khek di Singkawang

Judul   :  Orang Cina Khek dari Singkawang
Penulis  :  Harry Purwanto
Penerbit :  Komunitas Bambu, Depok, 2005
Tebal  :  xviii +  412 halaman

Asal usul komunitas Tionghoa di Nusantara memiliki sejarah yang menarik.  Mereka ternyata berasal dari suku yang berbeda satu sama lain. Tidak hanya yang kita kenal yaitu ‘orang China’ saja. Orang Tionghoa di Indonesia datang dari dua propinsi yaitu Fujian dan Guangdong. Kelompok terbesar yang ada di Indonesia adalah Hokkian (Fujian) yang menurut sensus tahun 1930 berjumlah 550.000 jiwa. Mereka tersebar di Jawa, Madura, Sumatera (kecuali Bengkalis), Indonesia bagian Timur dan sedikit di Kalimantan Barat. Kelompok lainnya yaitu Hakka yang berasal dari Barat Daya propinsi Fujian dan menurut sensus 1930 berjumlah 200.000 jiwa. Kelompok ini banyak terdapat di Kalimantan Barat.
 Diangkat dari disertasi Harry Purwanto di Universitas Indonesia buku Orang Cina Khek dari Singkawang ini membahas kehidupan kebudayaan kelompok Hakka (Ke Jia atau Khek) di Indonesia, khususnya di Singkawang, Kalimantan Barat. 
 Salah satu hal yang menarik adalah istilah ‘China’ yang masih digunakan mereka. Orang-orang China Singkawang, Kalimantan Barat dan di Bangka selalu mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Ch’in tanpa memiliki anggapan bahwa istilah itu mengandung konotasi merendahkan atau menghina. Tidak jarang pula mereka mengidentifikasikan diri sebagai orang Tong Nyin atau orang dari dinasti Tang (618-907 M) yang merupakan orang Manchu (hal.20).
Menurut pendapat pakar sejarah, istilah China diambil dari Dinasti Qin (baca: Chin) yang berkuasa pada 221-206 SM. Alasannya karena kaisar Qin yang pertama dianggap sebagai pemersatu negeri China. Begitupula dengan Orang Belanda, Inggris dan Italia yang menyebut negeri China dengan China. Sementara orang Rusia menyebut China dengan Kitai (China). Ada pendapat lain di daratan China yang mengatakan bahwa kata China diasosiasikan dengan kata Zhina, sebuah kata yang sengaja diciptakan oleh orang Jepang untuk menghina orang China. Sedangkan orang Jawa jaman dahulu menyebut mereka dengan nama Tartar.
Hal menarik lainnya dalam buku ini adalah penjelasan yang gamblang dan menyeluruh mengenai alasan mengapa orang ‘China’ masih sulit diterima sepenuhnya oleh orang ‘Indonesia’. Penulis menghubungkan dengan orientasi sejumlah orang ‘China’ yang masih sangat kuat pada negeri leluhurnya serta pandangan merendahkan mereka terhadap suku-suku lain di Indonesia. Sikap inilah yang menghalangi mereka untuk berasimilasi dengan warga setempat (hal.103). 
Selain itu kita diberikan pula data sejarah dan lapangan mengenai persoalan ‘China’ di Indonesia, hasil ketekunan penulis selama 15 tahun. Antara lain; pembahasan mengenai perjanjian dwi kewarganegaraan di zaman pemerintahan Soekarno (hal.68), awal kontak antara orang ‘China’ dengan penduduk asli Kalimantan Barat (hal.117), asal usul nama kota Singkawang yang berasal dari bahasa Hakka, San Kheu Yong (Shan= gunung, Kou= mulut sungai, dan Yang= lautan). Nama Singkawang ini rupanya muncul dari penafsiran para perantau China di masa lampau (hal.138).
Kelompok orang Khek ini ternyata selalu dianggap “tamu” oleh sesama orang China (baik di Fujian, Guangdong maupun di luar negeri). Pada abad ke-10, mereka pindah dari Henan ke Shantung kemudian pada abad ke-13 pindah ke Fujian. Mereka didesak ke Barat  oleh penduduk Fujian dan Guangdong, ke daerah perbukitan yang kurang subur di perbatasan Fujian dan Guangdong. Pengalaman berpindah-pindah dan berjuang untuk hidup dalam kehidupan yang keras inilah yang menyebabkan perseteruan dengan kelompok lain. Mereka menjadi lebih ulet, gigih, keras ketika harus pindah lagi ke luar negerinya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Di tempat baru, seperti di Kalimantan, adaptasi mereka ternyata cukup tinggi meskipun mereka dianggap kurang ramah.
Tahun 1760 mereka datang dalam jumlah yang besar ke Kalimantan. Mula-mula mereka didatangkan dan dipekerjakan di tambang emas oleh Sultan Sambas sejak tahun 1740-an. Sebelumnya, hanya orang Dayak dan Melayu yang menjadi penambang tetapi ternyata hasil yang diperoleh sedikit.  Sementara itu orang Khek lebih berpengalaman dan unggul dalam teknologi penambangan sehingga dapat memproduksi emas lebih banyak. Orang Khek pada saat itu juga memiliki organisasi untuk mendatangkan buruh ‘China’ dari daratan China dan menguasai buruh sehingga pertambangan dapat terus berlangsung.
Lama kelamaan, karena alasan-alasan seperti ingin bagian yang lebih besar dan tidak puas pada Sultan (mereka merasa diperas) maka mereka tidak menyerahkan emasnya kepada Sultan Sambas tetapi untuk diri mereka sendiri dan mendirikan kongsi. Kongsi adalah organisasi yang mengurus kehidupan orang Khek termasuk memiliki pasukan keamanan untuk menjaga keselamatan masyarakat Khek.
Kongsi pertama menurut Victor Purcell dalam The Chinese in Southeast Asia adalah Lan-fang didirikan di Mandor oleh Lo-Fong-Phak yang berasal dari suku Hakka. Ia tiba di Borneo pada 1772 dengan 100 orang anggota keluarga. Pada awalnya mereka bergerak di bidang pertanian dan tidak ada hubungannya dengan pertambangan. Sementara itu dua kongsi besar lainnya adalah Ta-kang dan San-t’iao-kou. Keberadaan kongsi-kongsi ini tidak disukai pemerintah Hindia Belanda karena mereka menganggap seperti ‘negara dalam negara’. Alasannya ada beberapa kongsi besar dan kecil memiliki pasukan sendiri, seperti Lan-fang memiliki 6000 prajurit, Ta-kang 10.000 prajurit dan San-t’iao-kou 5000 prajurit.
Akhir abad ke-18, kongsi-kongsi ini tidak lagi ‘mengakui’ kekuasaan Sultan Sambas. Kemudian mereka memberontak dan berusaha mengambil alih usaha tambang emas tersebut. Orang Khek juga pernah bersengketa dengan orang Dayak. Penyebabnya mungkin karena masalah tanah ketika orang Khe mulai membuka hutan untuk ditanami lada dan sayuran.
Kajian antropologis yang menjadi kajian utama buku ini tentunya merupakan  bagian yang tidak kalah menarik. Misalnya ketika mereka dipaksa pindah meninggalkan rumah dan tanah mereka, peraturan pemerintah mengenai perimbangan antara murid bumiputera dan murid Tionghoa yang mengakibatkan banyak anak Tionghoa terpaksa tidak sekolah, dan pembahasan mengenai kewajiban orang Tionghoa mengganti namanya dengan nama Indonesia. Padahal, nama bagi orang Tionghoa memiliki makna khusus dan menunjukkan ke’aku’an mereka. Sehingga muncullah nama-nama yang terdengar aneh di telinga, misalnya ada seorang pria di Singkawang yang bernama Tjhin Sin Kie yang mengganti namanya menjadi Fatmawati (hal.279).
 Masih soal penggantian nama, ada di antara mereka yang menggunakan nama Ngatijan. Sekilas nama ini mengingatkan pada nama orang Jawa. Alasan memilih nama ini karena ada pertimbangan untuk tetap menyertakan nama she (marga) mereka ke dalam nama Indonesia. Sebelum berganti nama, ia bernama Ng Sjak Tshin (hal.335). Mereka justru tidak memilih nama Dayak tetapi cenderung memilih nama Jawa atau Melayu. Penulis mengaitkan alasan ini dengan konflik berdarah yang merupakan rangkaian peristiwa pengungsian tahun 1967 yang rupanya menimbulkan ‘rasa permusuhan laten’.
 Seperti pengalaman nenek moyang mereka di negeri leluhur yang selalu dipinggirkan, peristiwa  yang hampir mirip yaitu ‘pengungsian’  tahun 1967 juga dialami orang Khek di perantauan. Peristiwa tersebut merupakan ekses politik konfrontasi Indonesia dengan Malaysia dan peristiwa pemberontakan komunis tahun 1965. Berawal dari konflik terbuka antara ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) melawan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Gerilya Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). Kelompok PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak) yang terdiri dari orang-orang Cina Komunis atau Leftist (kiri) bersikap oposan terhadap pemerintah RI dan Malaysia.
Kejadiannya berawal pada bulan Juli 1967, ketika itu PGRS menyerang pangkalan udara di Senggau Ledo dekat Serawak. Akibatnya, pemerintah RI berusaha mendapat dukungan dari Malaysia untuk menumpas gerakan tersebut. Oleh karena gerakan itu didukung oleh orang-orang China maka tindakan berikutnya adalah memindahkan orang China dari daerah pedalaman ke kota. Tujuannya untuk mengisolasi sumber logistik dan intelijen mereka. Dalam ‘menumpas’ PGRS, peranan orang Dayak sangat penting sekali. Diperkirakan sekitar 50.000 orang China dipaksa pindah dari desa ke kota. Sedangkan sebagian lainnya terbunuh.
Dilengkapi dengan indeks, foto-foto, tabel serta bagan, buku ini tidak hanya menarik tetapi juga kaya akan informasi yang mewarnai keragaman studi mengenai salah satu komunitas di Indonesia. Salah satu komunitas yang dalam sejarahnya kerapkali menjadi sasaran diskriminasi dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Selebihnya, untuk lebih dalam menelusuri seluk beluk orang Khek di Indonesia, Thuk Lia Su (baca buku ini) saja!

Melirik Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa

Judul : Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa
Penulis : Ong Hok Ham
Pengantar : David Reeve
Penerbit : Komunitas Bambu, Depok, 2005
Tebal : xlii + 244 halaman
Dalam pidato menyambut 70 tahun Ong Hok Ham tiga tahun lalu Professor A.B. Lapian mengusulkan untuk menerbitkan kembali kumpulan karangan Pak Ong di majalah Star Weekly. Usulan A.B. Lapian itu sepertinya diwujudkan dalam penerbitan buku Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa ini.
Ada 15 artikel yang disuguhkan dalam buku ini dari 40 artikel yang menurut editornya pernah ditulis Ong Hok Ham untuk Star Weekly periode 1958 – 1960. Periode ketika Ong masih belia, belum genap 25 tahun, saat artikel pertamanya ‘Perkawinan Indonesia-Tionghoa sebelum abad ke-19 di Jawa’ (hal. 1) terbit. Tepatnya 15 Februari 1958. Artikel ini menceritakan kedatangan perempuan Tionghoa totok pertama di Batavia pada abad ke-17 yang begitu menggemparkan dan menurut Ong dapat disamakan dengan kedatangan orang Mars ke bumi. Diceritakan pula perempuan Tionghoa totok pertama yang datang ke Jawa (Semarang) pada 1815. Ia menjadi tontonan bagi nyonya-nyonya peranakan di Semarang karena perempuan Tionghoa totok itu berpakaian aneh dengan kaki kecil yang diikat. Sesudah menonton, para nyonya Semarang itu memberi persen bagi perempuan Tionghoa totok itu (hal.4). Selain itu diceritakan pula seorang janda, seorang perempuan Bali yang diangkat menjadi kapitein oleh Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker pada 1666 (hal.5), serta kapitein Tionghoa muslim terakhir, Kapitein Mohammad Japar yang meninggal pada 1827 (hal.7).
Disusun secara kronologis, tulisan-tulisan Ong mengenai masyarakat Tionghoa peranakan di Jawa dan Filipina memang memikat. Meskipun ditulis untuk sebuah majalah populer dan mudah dimengerti tetapi isinya begitu serius, analitis dan bernuansa akademis.
Salah satu tulisan menarik adalah ‘Masyarakat Peranakan di Madura’ mengenai masyarakat Tionghoa peranakan di Madura (hal.15). Dalam tulisan ini Ong mengungkapkan mitos yang dipercayai oleh orang Madura asli yang menjelaskan mengapa orang Madura ‘asli’ jarang menikah dengan perempuan ‘peranakan’. Alasannya adalah orang Tionghoa berasal dari ‘abu’ yang lebih tua dari orang Madura sehingga jika ada seorang Madura menikah dengan perempuan keturunan Tionghoa maka malapetaka akan turun kepada laki-laki Madura itu. Namun, hal ini tidak berlaku bagi kaum pria ‘peranakan’. Mereka justru diperbolehkan menikah dengan perempuan Madura (hal.25).
Selain itu diungkapkan pula cerita asal usul orang Tionghoa di Madura yang konon datang ke Sumenep karena dipanggil oleh Panembahan Sumenep pada 1790 untuk mendirikan keraton dan masjid Sumenep (hal.26). Cerita lain mengatakan bahwa nenek moyang orang ‘peranakan’ ini berasal dari Semarang. Mereka pada 1740 terpaksa harus bersembunyi di pesisir Sumenep karena di Semarang terjadi pemberontakan dan pembunuhan terhadap orang Tionghoa (hal.27).
Terjadinya suatu ‘minoritas’ [Tionghoa peranakan] di Indonesia pun ditampilkan dalam buku ini (hal.33). Menurut Ong hal itu disebabkan lenyapnya elite Indonesia, kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda yang mengisolasi penduduk Hindia dalam berbagai golongan dengan menerapkan wijkenstelsel (pembagian kampung) dan passenstelsel (penggunaan pas untuk mengadakan perjalanan).
Rasa penasaran A.B Lapian yang tidak menemukan tulisan Ong mengenai ‘makanan’ dalam buku Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang (2003) rupanya terobati. Dalam buku ini Ong menyinggung masalah itu mengenai makanan yang dipersembahkan pada leluhur pada Tahun Baru Imlek oleh masyarakat Tionghoa di Jawa Tengah. Yaitu makanan tradisional Jawa yang penuh dengan santan dan manis. Hal ini menurut Ong merupakan budaya baru yang menyelundup ke dalam meja sembahyang leluhur kaum peranakan (hal.51). Selain pengaruh Jawa, pengaruh Eropa pun masuk dalam makanan yang disajikan pada para tamu sewaktu penyelenggaraan pesta Luitenant Tan. Masakan itu berupa Hors d’Ouvre, semacam capcay Eropa yang dihidangkan dengan roti (hal.59).
Selain aspek budaya ‘Klenteng dengan gaya bangunan Barat’ (hal.141), aspek lain yang ditampilkan buku ini adalah aspek pendidikan dalam ‘Sejarah pengajaran minoritas Tionghoa’ (hal.89), aspek hukum dalam ‘Sejarah dan kedudukan hukum masyarakat Tionghoa dari abad ke abad’ (hal.105), serta politik dalam ‘Chung Hwa Hui, PTI, dan Indonesia Merdeka’ (hal.123) dan ‘Asimilasi dan Manifesto politik’ (hal.209).
Bila kita simak lebih jauh, tema utama dari artikel-artikel Ong Hok Ham ini adalah bahwa orang Tionghoa dan pribumi Indonesia sudah terasimilasi secara baik sebelum munculnya pemerintah kolonial Belanda yang semakin kuat sejak abad ke-19. Namun, kemudian kebijakan politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan hukum Belanda telah dengan sengaja menciptakan perbedaan antara kedua kelompok masyarakat tersebut. Perbedaan yang tegas antara keduanya sesudah masa kemerdekaan merupakan produk dari kolonialisme. Seharusnya ketika kemerdekaan tengah ‘melucuti’ warisan-warisan kolonial itu, sudah semestinya kedua masyarakat tersebut harus didorong untuk dapat berasimiliasi kembali.
Keberangkatan Ong ke Filipina pada bulan Januari hingga Juni 1959 yang merupakan kunjungan luar negeri pertama baginya, didanai oleh Star Weekly. Sebagai imbalan, Ong menulis sejumlah artikel untuk majalah ini. Untuk menambah uang saku selama di sana, Ong juga membawa sejumlah kain batik untuk dijual. Namun, kebanyakan kain batik itu diberikan sebagai hadiah. Tambahan uang saku yang semula diniatinya diperoleh dari imbalan tulisan yang dimuat media Filipina, termasuk Manila Chronicle, tulis David Reeve. Hasil kunjungan Ong di Filipina yang termuat dalam kumpulan tulisan ini adalah ‘Warga negara Filipina yang mempunyai darah Tionghoa’ (hal.153) dan ‘Proses asimilasi Tionghoa peranakan di Filipina’ (hal.163).
Sebagai karya salah seorang sejarawan terkemuka Indonesia yang unik, sayang rasanya melewatkan buku ini. Tak banyak orang yang mampu mengedit tulisan-tulisan Pak Ong. Tulisan-tulisannya, menurut para editor yang pernah mengedit tulisannya, sangat njelimet. Untunglah, para editor itu mampu ‘mengolah’ maksud Ong sehingga tulisan-tulisan ‘sang ahli masak’ ini jadi senikmat masakannya. Namun terkadang mereka tak luput dari kesalahan. Seperti pengalaman Goenawan Mohammad yang pernah mengedit tulisan Ong. Setelah Ong berbicara panjang lebar di suatu kesempatan mengenai salah satu tulisannya rupanya maksud Ong berbeda dengan hasil editan sang editor. Goenawan pun minta maaf pada Ong yang ditanggapinya dengan santai, “Tidak apa-apa, lha wong tidak ada yang baca!”
Hal yang sama pun terjadi pada buku menarik ini. Misalnya dalam kalimat: ‘Fakta ini menyesal saya tak dapat selidiki kebenarannya’ (hal.184) yang seharusnya: ‘Saya menyesal tak dapat menyelidiki kebenaran fakta ini.’ Beberapa kesalahan ejaan juga ‘menghiasi’ buku ini seperti kata instutuut seharusnya instituut (hal.72). Lalu Probolinggo Geschledenis… yang seharusnya Probolinggo Geschiedenis…(hal.87). Berikutnya Europeesche Lagere Shool seharusnya Europeesche Lagere School (hal.101), …van Minvergemonde… seharusnya …van Minvermogende… (hal.103), borgeren ende ondersaten seharusnya burgeren ende onderstaten (hal.116). Hal lainnya adalah tidak adanya catatan untuk istilah “kaum Packard” (hal.137) dalam glosarium. Istilah ini mungkin telah diketahui oleh para sejarawan tetapi bagi masyarakat awam istilah ini perlu dijelaskan lebih jauh. Istilah ini mengacu pada merek mobil Packard yang digunakan oleh para kaum elite pada tahun 30-an. Selanjutnya ada catatan kaki yang urutannya berantakan. Catatan kaki bernomor 2 yang kembali ke nomor 1 (hal.112).
Terlepas dari itu semua kita harus angkat topi untuk usaha editor dalam penerbitan buku yang dilengkapi indeks, glosarium dan daftar singkatan ini. Sehingga tepatlah kata pak Harry Tjan Silalahi , peneliti senior CSIS bahwa buku ini pantas dilirik bagi mereka yang tertarik pada masalah Tionghoa peranakan. Suatu kelompok masyarakat yang juga adalah bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia yang beraneka ragam.

Menelusuri Jalan Daendels di Jawa

Judul   :  Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis  :  Pramoedya Ananta Toer
Penerbit :  Lentera Dipantara, Jakarta, 2005
Tebal  :  148 halaman

Setiap tahun, menjelang dan setelah lebaran kita selalu disibukkan dengan ramainya jalur mudik. Media cetak dan elektronik pun terus melaporkan situasi yang dikenal, misalnya dengan istilah H-7 atau H+7. Bukan sesuatu yang mengherankan bila arus mudik dan arus balik itu dimeriahi dengan kemacetan baik di Jalur Utara maupun Selatan.
 Tapi tahukah para pemudik tersebut cerita atau mungkin asal-usul jalur jalan yang mereka lalui setiap tahun tersebut. Jalur jalan yang tidak hanya dibangun dengan tetesan keringat, tetapi juga tetesan air mata dan darah para pekerja paksa?  Buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karya Pramoedya Ananta Toer ini memberikan jawabannya serta menguak sisi kelam pembangunan jalan itu.
 Adalah Herman Willem Daendels (1762-1818), Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada waktu itu, yang memerintahkan pembangunan – ada pula yang berupa pelebaran – de Grote Postweg (Jalan Raya Pos) atau Jalan Daendels. Jalan yang membentang 1000 kilometer, sepanjang utara Pulau Jawa. Dari Anyer hingga Panarukan.
 Kualitas jalan ini pada masanya dapat disejajarkan dengan jalan yang membentang dari Amsterdam ke Paris. Namun, dibalik ambisi Daendels yang oleh penduduk Jawa Barat dikenal dengan Mas Galak ini mengisahkan tragedi kemanusiaan.
Adapun disebut Jalan Raya Pos karena jalur itu sebenarnya adalah jalur pos dan penumpang. Pada 1810 dua ratus ekor kuda dibeli dan secara khusus digunakan untuk mengangkut kiriman pos dan penumpang.
Daendels diangkat menjadi gubernur jenderal pada 1807 oleh Louis Bonaparte, raja Belanda yang merupakan sepupu Napoleon Bonaparte. Sejak 1795, Belanda berada di bawah kekuasaan Prancis hingga 1800-an. Pengangkatan Daendels yang mantan komandan Légion Etrangère (Legiun Asing) Prancis pun dianggap tidak lazim karena ia tidak pernah mengenal atau memiliki pengalaman di Hindia. Lagipula biasanya pejabat-pejabat di Batavia sajalah yang akan diangkat menjadi gubernur jenderal. 
Ide Daendels akan pertahanan bagi pulau Jawa dari serangan Inggris membuatnya berpikir untuk membangun jalan sehingga dapat mengirim pasukan dari Batavia ke Surabaya dengan cepat. Daendels tahu bila ia membicarakan ‘pembangunan’ jalan baru dengan para pembesar di Belanda yang selalu ‘hemat’, mereka akan merasa alergi. Maka, ia hanya menulis surat tentang perbaikan sistem jalan di Jawa bukan pembangunan. Akibatnya ia memerintahkan para penguasa pribumi lokal yang dilewati proyek jalan itu untuk memobilisasi rakyatnya. Tiap penguasa lokal diberi target sekian kilometer. Bila gagal, ia akan dibunuh termasuk para pekerjanya. Kepala mereka digantung di pepohonan di sepanjang jalan. Dalam setahun dengan kebijakan tangan besinya, jalan itu selesai. Satu rekor pada waktu itu. Di balik kesuksesan itu, korban-korban sebagai tumbal berjatuhan. Para pekerja paksa itu tewas lantaran kelelahan dan serangan nyamuk malaria yang ganas. Sumber Inggris menyebutkan korban tewas akibat pembangunan Jalan Raya Pos sebanyak 12.000 orang. Ini yang resmi tercatat karena diyakini jumlah korban lebih dari angka tersebut.
Sementara itu kekejaman dan kekurangajaran Daendels sendiri ditampilkan dalam cerita rakyat dan hikayat. Seperti Hikayat Mareskalek karya penulis dari Arab, Syekh Abdullah bin Muhammad Abu Bakar pada 1813-1815. Daendels ditampilkan sebagai orang yang licik, memiliki pengetahuan, gagah berani, sekaligus otoriter dan sangat kurang ajar. Dalam hikayat itu dituliskan ia melontarkan kata-kata yang sangat kasar kepada seorang pangeran Cirebon yang berusaha menentangnya: “lu ini terlalu bodoh, gua mau ajar sama lu…Lu orang Cirebon makan udang trasi, mengapa mengajar gua orang yang makan daging dan minyak sapi?”
Ada 39 kota yang dilewati Jalan Daendels diceritakan Pramoedya satu persatu, baik kota besar maupun kota kecil seperti Juwana, Porong, dan Bangil. Berawal dari Anyer, Cilegon, Serang, Tangerang, Batavia, Depok, Bogor, Cianjur, Cimahi, Bandung, Sumedang, Cirebon, Brebes, Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Rembang, Tuban, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo dan berakhir di Panarukan.
Pram juga menyisipkan kisah-kisah menarik di beberapa kota yang diceritakan.
Cerita tentang Tangerang, produsen kecap sejak jaman kompeni hingga sekarang. Kecap yang dikenal dengan nama kecap Benteng itu selalu dipromosikan sebagai kecap kelas satu. Kenomorsatuannya membuat Bung Karno menciptakan ungkapan ngecap yang berarti mempromosikan diri sebagai yang nomor wahid. Kemudian pabrik topi anyaman bambu di Tangerang yang pada 1887 telah mengekspor 145 juta topi ke Prancis (hal.41).
Kisah lucu ketika ia masih berdinas di ketentaraan di daerah Cirebon diceritakan Pram. Setelah kekenyangan disuguhi singkong rebus, Pram kebelet ingin buang air besar. Dalam kegelapan malam ia menuju sebuah kamar gelap yang ditunjukkan piket. Tak sengaja ia buang hajat di sebuah tungku berisi singkong untuk ransum para laskar yang dikiranya kakus. Kontan, Pram dan kopralnya kabur karena takut dianggap provokator (hal.79). Atau kisah tentang perkenalannya dengan istilah garong di Padalarang tahun 1945. Para garong merupakan kelompok-kelompok bersenjata yang tak tergabung dalam laskar atau tentara  merajalela, merampok di sekitar Padalarang. Ternyata garong menurut salah seorang prajurit merupakan akronim dari gabungan romusha ngamuk (hal.64). 
Kisah ‘misteri’ 10 November 1945 di Surabaya yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai Hari Pahlawan juga disentilnya. Pram mempertanyakan bagaimana bisa secara massal pemuda Surabaya serentak menghadang Inggris? Beberapa bulan menjelang ulang tahun proklamasi RI ke-50, muncul jawaban yang masih desas-desus. Dikatakan bahwa seorang perwira Angkatan Laut Jepang, Iwabata telah menyerahkan 60.000 pucuk senjata dan amunisi kepada para pemuda Surabaya (hal.115). Lalu Pram mengisahkan sebuah berita surat kabar tentang tindakan kanibal di Bangil yang dibacanya ketika masih SD. Berita seorang anak penjaja  panganan sarapan yang di suatu pagi dipanggil masuk ke sebuah perguruan keagamaan. Di situ ia dibantai, dimasak, dan dimakan beramai-ramai oleh guru dan murid-muridnya (hal.119)
Hanya saja buku ini tidak dilengkapi peta rute Jalan Pos dan indeks sehingga para pembaca tidak dapat mengikuti dengan mudah dan memilih obyek yang disukainya. Buku ini hanya menyajikan peta kuno dari Rijksmuseum Amsterdam yang tak begitu jelas dan huruf yang tak terlihat (hal.129). Sebaiknya untuk lebih menikmati buku ini, kita dapat menggunakan peta jalur mudik gratis yang tersedia. Di samping itu ada sedikit kekurangan dalam ejaan kata Indie (Gouverneur Generaal van Indie ) yang seharusnya dibubuhkan umlaut (tanda baca berupa dua titik di atas huruf vokal / ë / menjadi Indië (hal.15 dan 16). Selebihnya buku yang dilengkapi dengan tulisan Koesalah Soebagyo Toer ‘Dan Siapa Daendels’  dan daftar pustaka ini cukup informatif dan menghibur sambil ‘menikmati’ kemacetan di jalur mudik Pantai Utara Jawa. Buku ini memberikan pelajaran satir bahwa bangsa kita kaya tapi lemah, bangsa yang kawasannya luas tapi selalu kalah sehingga menjadi bangsa bermental suka diperintah bangsa lain dan lembek. Selain itu ditunjukkan pula bahwa untuk kemuliaan seorang penguasa (bukan pemimpin) tak jarang menuntut pengorbanan rakyat. Oleh karena itu seharusnya para penguasa jangan melupakan rakyat yang telah berkorban bagi mereka!

Mempelajari Bahasa Penjajah

Judul   :  Kamus Belanda-Indonesia
Penyusun :  Susi Moeimam, Hein Steinhauer
Penerbit :  PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta dan KITLV-Jakarta
Tebal  :  xlvii + 1263 halaman
Akhirnya sebuah kamus Belanda-Indonesia ‘istimewa’ terbit juga. Disebut ‘istimewa’ karena salah satu penyusunnya adalah seorang Indonesia, ahli bahasa Belanda. Susi Moeimam, penyusun Kamus Belanda-Indonesia ini adalah doktor pertama bagi Program Studi Belanda, Universitas Indonesia yang mempertahankan disertasinya Van lexicologische modelvorming naar lexicografische praktijk: een concept voor een receptief Nederlandsch-Indonesisch woordenboek pada 1994 di Universiteit Leiden.
 Bersama Hein Steinhauer, dosen di Universiteit Leiden, guru besar IIAS dan Universitas Radboud Nijmegen, Susi Moeimam menggarap kamus ini yang merupakan proyek kerjasama banyak pihak. Tercatat lembaga-lembaga yang terlibat dalam proyek ini seperti Commisie voor Lexicografische Vertaalvoorzieningen (CLVV) dari Nederlandse Taalunie, Koninklijke Nederlandse Academie van Wetenschappen (KNAW), International Institute for Asian Studies (IIAS), Fakultas Sastra Universitas Leiden, dan tentunya Program Studi Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
 Hal istimewa lainnya adalah kamus khusus untuk penutur bahasa Indonesia ini melengkapi dan menyempurnakan kamus-kamus Belanda-Indonesia sebelumnya. Seperti kamus ‘legendaris’ karya Woyowasito (Ichtiar Baru-Van Hoeve) yang menjadi kamus pegangan bagi mereka yang mempelajari bahasa Belanda, terutama para mahasiswa fakultas hukum. Di samping itu kamus ini juga merupakan kamus komprehensif pertama sejak tahun 1985.
 Menyusun sebuah kamus bukanlah pekerjaan sederhana karena dibutuhkan ketelitian dan ketekunan yang luar biasa. Penyusunan kamus ini pun berlangsung dari bulan November 1997 hingga Desember 2002. Di samping itu Kamus Belanda-Indonesia ini sebenarnya merupakan salah satu hasil proyek kerjasama antara lembaga-lembaga yang disebutkan di atas. Hasil lain dari proyek tersebut adalah Nederlands-Indonesisch woordenboek, kamus Belanda-Indonesia versi Belanda  terbitan KITLV Uitgeverij, Leiden tahun 2004 yang ditujukan khusus bagi penutur bahasa Belanda.
 Jumlah entri kamus ini mendekati 50.000 kata yang diseleksi berdasarkan frekuensi pemakaian bahasa secara umum. Dilengkapi pula dengan jumlah makna yang dibedakan melebihi 60.000 kata serta lebih 55.000 contoh pemakaian, ungkapan, dan idiom. Selain itu dijabarkan pula panduan pemakaian (hal. xv), ringkasan tatabahasa Belanda (hal. xix), dan lampiran daftar verba bentuk ketiga (partisipum perfektum) yang tidak teratur (xlv). Semua itu memudahkan para pemakai kamus ini sehingga dapat memanfaatkannya secara maksimal.
 Mempelajari bahasa Belanda saat ini memang bukanlah suatu keharusan seperti puluhan tahun yang lampau, di zaman kakek-nenek kita, terutama dari kalangan priyayi. Bahkan kalaupun kita akan mempelajarinya, maka sekarang kita dianggap aneh. Biasanya dikomentari:“Bahasa penjajah kok dipelajari!”. Walaupun sebenarnya pendapat itu tidak sepenuhnya tepat. Buktinya, banyak remaja atau anak muda yang mempelajari bahasa ini dengan berbagai alasan, terutama untuk studi di negeri Belanda.
Bahasa Belanda sendiri di Nusantara sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Pendeta Francois Valentijn dalam Beschrijvinghe van Batavia (1726) menyebutkan bahasa umum yang dipakai di Batavia adalah bahasa Portugis, Melayu-Rendah (pasar) dan Belanda. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa bahasa Belanda ini tidak pernah menjadi bahasa resmi seperti bahasa Inggris di Malaysia dan India. Kees Groeneboer dalam disertasinya Weg tot het Westen,Het Nederlands voor Indië 1600-1950:Een taalpolitieke geschiedenis (Jalan ke Barat, Bahasa Belanda di Hindia Belanda 1600-1950: Sejarah politik bahasa) ,menjelaskan pada masa VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) sekitar abad ke-17 memang telah dicoba agar bahasa Belanda memainkan peranan penting. Namun, lantaran ketidakkonsistenan mereka, maka cita-cita itu tak terlaksana. Bahkan dapat dikatakan gagal total.
Bubarnya VOC pada akhir abad ke-18 (1799) bersamaan dengan gagalnya politik bahasa yang berhubungan dengan bahasa Belanda. Peristiwa-peristiwa di Eropa yang dengan cepat silih berganti pada abad ke-19 memiliki konsekuensi bagi Hindia Belanda. Di Hindia Belanda pun sempat berganti penguasa. Pada Juni 1810 Hindia Belanda pernah menjadi koloni Prancis lalu mulai Agustus 1811 hingga 1816 menjadi koloni Inggris. Selanjutnya Hindia Belanda kembali menjadi koloni kerajaan Belanda mulai 1816. Namun, pendidikan berbahasa Belanda pada awal abad ke-19 ini seluruhnya diserahkan kepada pihak swasta. Campur tangan pemerintah pada pendidikan pun terbatas untuk kelompok penduduk Eropa. Kelompok pribumi yang hendak mempelajari bahasa Belanda hanya dapat dilakukan di rumah dan E.L.S (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar yang izin masuknya sangat terbatas. Tercatat pada abad ke-19 para pribumi yang mempergunakan bahasa Belanda dalam tulisan seperti bupati Demak R.M Adipati Ario Hadi Ningrat, paman dari R.M. Pandji Sosro Kartono dan R.A Kartini serta seorang calon dokter J.E. Tehupeiory.
Menjelang abad ke-20, bahasa Belanda sebagai ‘pintu gerbang menuju Barat’ mendapat arti ‘etis’. Maksud ‘etis’ di sini – menurut M.S Koster seorang ahli hukum di OSVIA Bandung –negeri Belanda tidak boleh lagi menganggap dirinya sebagai tuan dan majikan, tetapi harus bertindak sebagai wali dari penduduk pribumi.
Sementara itu para Founding Father Indonesia yang sempat mencicipi pendidikan Belanda memiliki pengalaman-pengalaman unik dengan bahasa Belanda. Seperti H. Agus Salim yang menguasai banyak bahasa. Ia mendidik sendiri anak-anaknya dalam bahasa Belanda yang juga dijadikan bahasa sehari-hari keluarganya.
 Atau Bung Karno yang ketika sambil bersepeda berkencan dengan seorang noni Belanda tertangkap basah, berpapasan dengan ayahnya. Di rumah, Soekarno muda yang sudah ketakutan setengah mati menunggu omelan dari sang ayah yang tidak suka jika ia berkencan dengan gadis Belanda terkejut ketika dengan tenang ayahnya berkata: “Bagus, No..kamu berteman dengan gadis Belanda itu. Itu baik untuk bahasa Belandamu supaya bahasa Belandamu lebih vlot (lancar)!” Hasilnya Bung Karno pernah berkata mengenai bahasa Belanda ini: “Bahasa itu menjadi bahasa saya berpikir. Bahkan sekarang juga saya dengan secara otomatis mencaci-maki dalam bahasa Belanda. Kalau saya menghadapkan diri kepada Tuhan, saya lakukan dalam bahasa Belanda.”  Ironisnya, pada 1957 Soekarno mengeluarkan pengumuman larangan berbahasa Belanda akibat persoalan Irian Barat (Papua).
Pengalaman unik lainnya adalah dari Bung Hatta di Belanda. Ketika itu ia hendak mendaftarkan diri di Universitas Rotterdam. Kantor pendaftaran belum dibuka ketika ia tiba di sana. Sambil menunggu, Bung Hatta berjalan-jalan di taman di tepi Sungai Maas. Di sana ada sebuah kios kecil yang menjual kue-kue dan minuman. Dengan bahasa Belanda, Bung Hatta memesan segelas susu. Wanita yang menjaga kios itu memuji bahasa Belanda Bung Hatta dan bertanya dimana ia belajar bahasa itu. Bung Hatta memberikan jawaban yang biasa diberikan oleh para pelajar Indonesia di masa itu: “Di kapal yang membawa saya dari Hindia Belanda.”. “Berapa lama perjalanannya?,” tanya wanita itu. “Satu bulan,” jawab Bung Hatta. “Dan kamu dapat berbicara begitu lancar dalam waktu yang singkat?” tanya wanita itu tak percaya. “Tentu saja, kamu bisa karena di sana (Hindia Belanda) ada banyak bahasa. Kalau tidak salah ada 36 bahasa. Betul begitu? Tentunya tidak sulit untuk belajar satu bahasa lagi, ya?,” sambung wanita itu lagi.
Hal lain yang berhubungan dengan bahasa Belanda adalah untuk menunjukkan modernitas seperti yang terdapat dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco. Novel ini berbahasa Melayu dan dibukukan pada 1919. Dalam novel itu bertaburan kata-kata bahasa Belanda yang menunjukkan kemodernan pada masa itu seperti plesir yang diambil dari kata plezier , heerlijk (menyenangkan), dag, papa, mama, nee, toch, lieve, zus.
Bahasa Belanda memang akhirnya tak bisa menjadi bahasa resmi bahkan persatuan di Nusantara. Suryadi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro) pada awalnya memang setuju bahwa bahasa Belanda diperlukan pada zaman peralihan sebagai gerbang ke peradaban Barat tetapi : “Bahasa Belanda tidak akan mungkin menjadi bahasa persatuan, karena sama dengan bahasa Jawa, bahasa Belanda merupakan bahasa yang sukar. Terutama karena bahasa Belanda memang benar-benar ‘bahasa asing’. Adapun ciri khas bahasa asing adalah susunan kalimat yang asing, ungkapan-ungkapannya yang khas dan tidak bersifat Hindia Belanda serta cara penyampaian, peribahasa yang hampir semuanya dari adat kebiasaan orang Belanda yang asing bagi kami”.
 Mempelajari bahasa asing apalagi bahasa bangsa yang pernah ‘menjajah’ memang tidak mudah. Namun, setidak-tidaknya dengan memiliki kamus Belanda-Indonesia ini, kita dimudahkan dalam mempelajarinya. Kamus ini sangat diperlukan bagi para penerjemah, sejarawan, ahli hukum, antropolog, Islamolog, filolog dan semua yang berhubungan bahasa Belanda karena di masa mendatang tampaknya bahasa ini masih perlu dipelajari meski bukan lagi keharusan.

Catatan Revolusi Seorang Perempuan Amerika

Judul   :  Revolusi di Nusa Damai
Penulis  :  K’tut Tantri
Penerbit :  Gramedia Pustaka Utama, 2006
Tebal  : 368 halaman
Orang boleh saja bercerita tentang pengalamannya pada masa revolusi. Khususnya revolusi di Indonesia. Namun, bila yang bercerita adalah “orang luar” dan perempuan pula tentu akan lain ceritanya. Apalagi jika si pemilik cerita punya banyak hal menarik yang bisa diceritakan serta dituangkan dalam bentuk novel.
Buku ini merupakan terjemahan dari Revolt in Paradise (1960) dan cetakan ulang Revolusi di Nusa Damai (1982) karya K’tut Tantri, seorang perempuan Amerika. K’tut Tantri adalah nama yang diberikan oleh seorang raja Bali baginya yang datang ke Bali pada tahun 30-an. Ia juga diangkat anak oleh raja Bali itu dan tinggal di puri sebagai puteri raja yang keempat. Timothy Lindsey dalam The Romance of K’tut Tantri and Indonesia (1997) menuliskan berbagai nama alias si perempuan Amerika itu. Tercatat nama-nama seperti Miss Walker, Miss Tenchery, Mrs Muriel Pearson, Mrs Manx, Miss Daventri, Surabaya Sue, K’tut Tantri, Miss Oestermann, Sally van de As.
Bermula dari ketika berteduh dari hujan di Hollywood Boulevard. Persis di depan bioskop, mata seorang gadis kelahiran Pulau Man (sebuah pulau di Inggris) , tertumbuk pada poster film Bali, Surga Terakhir (Bali, The Last Paradise). Film yang mempromosikan keindahan dan keeksotisan Bali pada 1930-an sehingga para turis tertarik untuk datang. Ternyata upaya itu “berhasil”.
Seperti orang-orang kulit putih umumnya pada masa itu, K’tut Tantri melihat “timur” merupakan tempat eksotis yang harus dikunjungi. Ia pun tertarik datang. Maka pada bulan November, di tengah musim dingin yang menggigit, berangkatlah nona Amerika ini dari New York menuju Timur Jauh dengan menumpang kapal “Batavia”. Perjalanan setengah bumi dilakoninya mencari “surga terakhir” dengan seperangkat alat lukis (hal.11-13).
Petualangan “turistik” nya pun dimulai di Jawa, pulau yang berbeda dengan bayangannya. Apalagi dengan persiapan minim. Jalan yang berbelok-belok, menikung bak memecahkan teka-teka harus dilakoninya. Ia pun berkomentar: “Pulau Jawa merupakan mimpi yang menakutkan bagi pengemudi.” Belum lagi bahasa yang sama sekali berbeda membuat tak mudah untuk berkomunikasi (hal.15).
Berkenalan dengan makanan lokal di Jawa yang berbumbu pedas seperti pengalaman kuliner para pengunjung sebelumnya, Eliza Scidmore Java The Garden of the East dan Augusta de Wit dalam Java:Facts and Fancies juga dialami oleh K’tut Tantri.  Ia menikmati arem-arem yang berbungkus daun pisang (hal. 24).  Sementara itu di Bali, ia menyaksikan sendiri perempuan-perempuan Bali yang bertelanjang dada. Ia menggambarkan: “Aku melihat mereka di mana-mana. Di sepanjang jalan maupun di sawah, para wanita dengan polos memperagakan payudara yang sintal, sementara mereka berjalan beriringan satu-satu sambil menjunjung beban yang tidak kecil ukurannya di atas kepala.” (hal.28)
Selain itu ia juga harus menghadapi “keangkuhan” si tuan putih Belanda sebagai penguasa dengan berbagai aturan. “ Ini bukan Bali, melainkan Holland dalam ukuran kecil di mana setiap orang termasuk Anda wajib mematuhi undang-undang Belanda,” ujar seorang aspirant controleur distrik Denpasar di Bali Hotel. Ketika K’tut Tanri mengutarakan keinginannya untuk tinggal bersama orang Bali, pejabat Belanda melarangnya untuk tidak bergaul dengan si sawo matang. Ia pun menjawab: “Saya di sini karena ingin melihat Bali, bukan untuk hidup di hotel deluxe sambil menonton manusia-manusia kolonial minum-minum dan main tenis.” (hal.32) Sikapnya ini kelak akan menyulitkannya ketika berhadapan dengan pejabat-pejabat Belanda.
Uraian di atas merupakan bagian pertama (Melanglang Buana) dari novel yang terdiri dari tiga bagian ini.  Bagian pertama menceritakan periode 1932-1941 sebelum pendudukan Jepang dengan mengambil latar belakang Bali yang penuh dengan cerita-cerita menarik.
Sementara itu bagian kedua (Firdaus yang Hilang) menceritakan periode 1942-1945. Bagian ini juga penuh cerita menarik dan tegang. Beberapa tokoh penting yang menjadi founding father Indonesia muncul, seperti Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin. Kehidupan sebagai tawanan Jepang juga ia ceritakan meskipun sebelumnya ia masih dapat menghirup udara kebebasan lantaran ia mendapat keterangan sebagai warga Bali berdasarkan adopsi (hal.131). Bahkan sempat ikut dalam gerakan bawah tanah hingga akhirnya dimasukkan dalam tawanan oleh militer Jepang dan mendapatkan berbagai siksaan.
Pada bagian ketiga (Berjuang Demi Kemerdekaan) yang menceritakan periode 1945-1948, masih dihiasi dengan cerita-cerita ketegangan ala spionase. Perjuangannya untuk membantu Republik Indonesia yang masih bayi mewarnai bagian ini. Ia menjadi penyiar radio gelap di Jawa Timur yang dikelola bung Tomo. Siarannya membuat Indonesia menjadi pusat perhatian internasional. Oleh karena itu K’tut Tantri “diculik” oleh Barisan Baju Hitam pimpinan seorang mayor yang menginginkannya untuk menjadi penyiar di radio mereka. Barisan Baju Hitam ini adalah barisan pemuda pejuang yang hidup bak Robin Hood. Mereka merampok orang-orang Cina kaya dan membagikan hasil rampokannya pada para pengikut dan penduduk (hal.233).
Ada cerita menarik pada bagian ini yaitu ketika K’tut Tantri sukses membuat naskah pidato radio bahasa Inggris untuk Presiden Soekarno, ia diundang ke istana. Dengan bersarung kebaya, ia menghadap presiden. Ia terkejut karena melihat Presiden Soekarno berbusana santai. Sarung dengan jas pendek dan kopiah. Padahal gambaran sebelumnya yang ada di kepala Tantri adalah sosok gagah bersetelan putih-putih atau seragam khaki. Alasan Bung Karno yang sebelumnya sudah berseragam adalah: “Anda sudah repot-repot berdandan dengan busana nasional. Jadi kurasa sepatutnya Anda kuterima dengan pakaian nasional pula.” (hal.244). Tidak hanya itu, seperti yang sudah kita ketahui, Bung Karno pun memuji kepantasan K’tut Tanri berkebaya.
Hal menarik lainnya adalah menyelundup ke Singapura dengan menggunakan kapal kayu dari pelabuhan Tegal (hal.305). Rupanya korupsi tak kenal revolusi. Ada saja orang-orang tak bertanggung jawab yang memanfaatkan kesempatan di tengah kesempitan. Ia melukiskan: “Orang-orang Indonesia sebelumnya tidak pernah memegang uang sebanyak itu. Godaan terlampau besar bagi orang semuda mereka (hal.328). Satu lagi episode sejarah Indonesia dilukiskan oleh seorang perempuan Amerika yang simpati pada Indonesia.
Pada 1949 K’tut Tantri kembali ke Indonesia menjadi saksi “penyerahan” kedaulatan Indonesia dari tangan Belanda. Ia lalu menjadi pegawai di Kementerian Penerangan.  Walau K’tut Tantri ingin menghabiskan masa tuanya dan meninggal di Indonesia, ia meninggal dalam tidurnya di Sydney, Australia pada 27 Juli 1997. Seorang warga Amerika kelahiran Inggris yang diperkenalkan oleh Bung Karno kepada rakyat Indonesia sebagai orang yang telah berjuang sekuat tenaga untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Peti matinya ditutup bendera merah putih berhias warna khas Bali, kuning dan putih. Abunya setelah dikremasi dibawa ke Bali untuk disebar di sana. Di Nusa Damai!

Kreativitas Pujangga Jawa menghadapi Rasionalisme Barat

Judul   :  Pujangga Jawa Dan Bayang-Bayang Kolonial
Penulis  :  S.Margana
Penerbit :  Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004
Tebal  :  xxii + 270 halaman
Sebagai sumber historiografi, sumber-sumber dari babad seringkali dianggap remeh. Alasannya, isi babad cenderung berlebih-lebihan, berisi mitos-mitos, dan dongeng belaka dan bersifat istana sentris yang menceritakan kepahlawanan para raja.  Sehingga babad tersebut lebih dianggap sebagai sumber sastra dan bukan sumber sejarah. Namun, bukan berarti penggunaan sumber-sumber babad dalam historiografi lalu dinafikan begitu saja.
Sejarawan Belanda, H.J. de Graaf berpendapat kesalahan utama yang dilakukan para sejarawan modern yang meneliti babad (Jawa) adalah mereka memulai menganalisa isi babad dari halaman-halaman pertama yang cenderung berisi cerita-cerita mitologis. Menurut sejarawan yang berguru pada filolog Jawa R.M. Ngabehi Poerbatjaraka penelitian babad seharusnya dimulai dari peristiwa-peristiwa yang paling dekat dengan masa hidup penulisnya. Bila peristiwa-peristiwa yang paling dekat dengan masa hidup penulisnya dikonfrontasikan dengan sumber Eropa maka akan terlihat bahwa penulis babad cukup akurat dalam mencatat peristiwa-peristiwa sejaman. Buktinya, de Graaf antara lain berhasil menggambarkan sejarah Mataram yang lengkap. Mulai dari kemunculan –De regering van Panembahan Senapati Ingalaga (1954), berkembang –De regering van Sultan Agung (1958) hingga runtuhnya kerajaan itu –De regering van Sunan Mangkurat I Tegal Wangi (1961,1962).
Pendapat tersebut diperkuat oleh M.C.Ricklefs yang merupakan murid H.J.de Graaf. Setelah menganalisa Babad Sengkala, ia mengemukakan sebuah statistik teks tentang kredibilitas babad Jawa dalam merekam peristiwa-peristiwa sejarah. Hasilnya, pencatatan peristiwa-peristiwa yang dekat dengan masa hidup penulisannya 90 persen dapat dipertanggungjawabkan ketepatannya. Berbeda dengan gurunya yang hanya meneliti kalangan elite keraton (aspek perang/militer dan politik), Ricklefs memperluas penelitiannya ke aspek-aspek ekonomi, budaya, sastra, dan agama untuk menggambarkan dinamika masyarakat Jawa di sekitar keraton serta interaksinya dengan kekuatan asing. Ada tiga karya utamanya yang penting: Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-92 (1974), War, Culture and Economy in Java 1677-1726 (1993), dan The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749 (1998). Melalui ketiga karyanya ini ia berhasil menggambarkan perkembangan sejarah Jawa di sekitar keraton pada abad ke-17 dan 18. Upaya de Graaf dan Ricklefs dalam meneliti sejarah Jawa melalui sumber-sumber babad kelak diikuti oleh peneliti-peneliti lainnya seperti Peter Carey dengan studi tentang perang Jawa: Babad Dipanagara, An Account of the Outbreak of the Java War 1825-1830 (1981), Ann Kumar dengan Surapati, Man dan Legend, A Study of three Babad Traditions (1976) dan Vincent Houben dengan Kraton en Kumpeni, Surakarta en Yogyakarta 1830-1870 (1987).
Meskipun, sumber-sumber babad ini masih diragukan oleh sebagian sejarawan, namun pendekatan ini tampaknya telah mendapat tempat dalam pikiran sejarawan modern. Berbagai kajian modern tentang sejarah Jawa dari para peneliti telah dihasilkan bersumber pada babad-babad tetapi bagaimana dengan para penulis babad itu sendiri ? Dari sekian banyak kajian tentang babad tidak banyak yang mengungkapkan sisi penulisnya. Padahal peran historis sejarawan Jawa tersebut tidaklah kecil.
Melalui buku ini, S. Margana salah seorang sejarawan muda Indonesia yang juga staf pengajar di UGM membahas kreativitas dan tradisi pemikiran para intelektual Jawa tradisional (pujangga) tentang sastra, sejarah serta masalah-masalah politis-kultural yang mereka hadapi didasarkan pada berbagai studi mutakhir tentang sastra dan historiografi Jawa modern. Pendekatan yang dilakukan oleh sejarawan yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Universiteit Leiden, Belanda ini terhadap sumber-sumber babad (baca: naskah lama) agak berbeda dengan apa yang dilakukan para peneliti sebelumnya. Ia menitikberatkan pada kajian biografis para pujangga istana beserta persoalan psikologis, sosial, kultural dan politis serta analisis terhadap pemikiran-pemikiran pujangga istana tersebut. Di sini ia melihat sumber-sumber babad itu tidak hanya sebagai sumber sejarah tetapi juga sebagai sejarah (Jawa) itu sendiri. Pendekatan tersebut sebenarnya pernah dilakukan oleh filolog Nancy Florida dalam Writing the Past Inscribing the Future:History as Prophecy in Colonial Java (1989). Di sini, Nancy menempatkan teks-teks Jawa dari abad ke-19 dalam konteksnya sebagai history in writing (sejarah dalam tulisan) dan history as writing (sejarah sebagai tulisan).
            Ketika Belanda berhasil mendekati jantung kebudayaan keraton maka konsentrasi penelitian orang-orang Belanda pun diarahkan pada sastra istana Surakarta. Para pujangga istana dan abdi-dalem payeratan lainnya pun berdiskusi dan dengan para Javanisi seperti Winter dan Wilkens. Para intelektual Jawa Surakarta abad ke-19 mulai memasuki dua dunia, dua kebudayaan yang berbeda. Di satu sisi, mereka berada pada batas-batas tradisi yang tumbuh dalam kebudayaan keraton. Sementara di sisi yang lain mereka berhubungan langsung dengan para peneliti dari dunia akademis Barat (baca:Belanda).
Perbenturan antara tradisi pemikiran para pujangga Jawa dan rasional modern para akademisi kolonial ternyata tidak mempengaruhi tradisi para pujangga Jawa tersebut.  Bahkan partisipasi orang Jawa dalam membentuk Dutch Javanese world atau dunia Jawa dalam pikiran akademik Belanda sangat besar. Di samping bekerja di keraton sebagai pujangga, mereka juga menjadi informan bagi para peneliti Belanda itu (hal.111).
Ada hal menarik sehubungan dengan para penulis babad tersebut. Pujangga, menurut Pigeaud berasal dari bahasa Kawi bhujangga. Pada masa Jawa kuno istilah ini dipakai untuk menyebut seseorang yang memiliki profesi di semua bidang keilmuwan. Sementara untuk menyebut sastrawan istana digunakan istilah kawi. Berbeda dengan Pigeaud, menurut C.F.Winter dan R.Ng. Ranggawarsita bhujangga hanya memiliki satu arti saja yaitu sawer yang dalam bahasa Indonesia berarti ular (hal.126). Dalam konteks dunia kepujanggaan Jawa, kata ‘ular’ adalah simbolisasi sifat seorang pujangga yang memiliki pemikiran tajam, menguasai masalah dan apa yang diucapkan dapat menjadi kenyataan seperti bisa ular. Pendapat serupa diungkapkan pula oleh C.C Berg dalam Penulisan Sejarah Jawa (1974).
Selama abad ke-18 dan 19 dikenal tiga belas tokoh yang dianggap sebagai pujangga besar, termasuk di dalamnya dua raja Surakarta yaitu Pakubuwana II dan IV , serta seorang Pangeran, yaitu Pangeran Adilangu II dan dua Adipati dari Semarang (hal.133). Di samping nama-nama besar lainnya seperti Carik Bajra, Yasadipura I, Yasadipura II dan Ranggawarsita.
Misalnya Yasadipura I –yang kerap dipanggil Jaka Subuh karena dilahirkan pada waktu subuh – dalam karyanya Babad Giyanti.  Nama ‘Giyanti’ sendiri diambil dari sebuah tempat di sekitar lereng pegunungan Lawu, sebelah timur kota Surakarta, tempat perjanjian pembagian kerajaan Surakarta dan Yogyakarta tahun 1755. Namun, ia yang seharusnya menonjolkan kepahlawanan Pakubuwana III malah menggambarkan kepahlawanan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said yang memberontak terhadap Pakubuwana III. Sebaliknya ia menggambarkan Pakubuwana III sebagai sosok yang lemah dan kurang simpatik (hal.158).
Begitupula dengan Yasadipura II, putra Yasadipura I,  dalam karyanya Serat Wicara Keras. Wicara Keras diartikan bicara blak-blakan, terus terang yang menunjukkan ganjalan batin sang pujangga terhadap realitas sosial politik masyarakat Surakarta yang sedang ‘sakit’. Di sana ia mengkritik tokoh-tokoh pejabat, bangsawan (termasuk Pakubuwono IV, rajanya sendiri) sebagai manusia yang ‘sakit’. Orang pertama yang ia kritik adalah Bupati Sujanapura, tokoh yang mempengaruhi Pakubuwono IV untuk melawan Belanda. Ia dianggap orang congkak yang gayanya melebihi kebesaran Sultan Mangkubumi, padahal ia tidak lebih seperti wong ngutil alias pencopet (hal.164). Atau kritik terhadap Tumenggung Mangun Oneng dari Pati, seorang yang berasal dari lapisan sosial rendah tetapi tidak tahu diri dan bertindak sewenang-wenang (hal.165).
Tokoh lain adalah Ranggawarsita, pujangga penutup kerajaan. Sebagai penulis babad dan pujangga istana, mengapa ia tidak pernah menulis babad yang menceritakan kejadian-kejadian sejaman seperti para pendahulunya , apakah hal tersebut karena adanya disharmonisasi antara raja-pujangga sehingga Raja lebih percaya pada seorang juru tulis istana untuk menuliskan babad daripada Ranggawarsita? Jawabannya diulas secara gamblang dalam buku ini.
Ranggawarsita terkenal dengan konsep ‘Jaman Edan’ nya dalam Serat Kalatida yang tampaknya dapat dikaitkan dengan konteks sejarah sosial-politik Surakarta pada abad ke-19. Bagian lain dari karya-karya Ranggawarsita yang banyak dikagumi oleh para peneliti asing maupun dari Indonesia adalah aspek prophecy (ramalan). Seperti dalam Serat Sabdojati, Serat Sabdatama, dan Serat Jaka Lodhang (hal.191). Dalam Serat Sabdatama, misalnya, Ranggawarsita memberikan ramalan dalam bentuk simbol-simbol mengenai dicapainya jaman kebaikan (kemerdekaan) setelah wewe putih (sejenis mahluk halus) – yang menggambarkan para pejuang kemerdekaan – bersenjatakan tebu wulung/hitam (bambu runcing) menghancurkan penjajah Belanda yang disimbolkan dengan wedhon (setan pocong) (hal.192-193)
Adanya pergeseran ideologis dengan contoh dua sejarawan tradisional Jawa dalam menilai peristiwa sejarah, terutama luruhnya teori tentang raja sebagai patron (istana sentris) memberikan makna yang menarik. Oleh karena dengan demikian, hal tersebut mempertentangkan konsepsi ideal para pujangga Jawa sebagai penjaga kewibawaan dan keluhuran rajanya.
           Sudah semestinya kita harus bersyukur bahwa masih ada seorang sejarawan muda Indonesia yang berminat pada naskah-naskah babad di tengah-tengah para peneliti asing karena selain kita, siapa lagi yang harus menggelutinya. Tentunya, tidak hanya minat, serta ketrampilan peneliti untuk dapat meneliti naskah-naskah tersebut sebagai sumber sejarah. Dukungan dari pihak lain juga tetap diperlukan untuk dapat mengungkapkan sejarah berbagai etnik budaya di Indonesia lainnya sehingga tidak hanya terbatas di Jawa saja.