Judul : Orang Cina Khek dari Singkawang
Penulis : Harry Purwanto
Penerbit : Komunitas Bambu, Depok, 2005
Tebal : xviii + 412 halaman
Asal usul komunitas Tionghoa di Nusantara memiliki sejarah yang menarik. Mereka ternyata berasal dari suku yang berbeda satu sama lain. Tidak hanya yang kita kenal yaitu ‘orang China’ saja. Orang Tionghoa di Indonesia datang dari dua propinsi yaitu Fujian dan Guangdong. Kelompok terbesar yang ada di Indonesia adalah Hokkian (Fujian) yang menurut sensus tahun 1930 berjumlah 550.000 jiwa. Mereka tersebar di Jawa, Madura, Sumatera (kecuali Bengkalis), Indonesia bagian Timur dan sedikit di Kalimantan Barat. Kelompok lainnya yaitu Hakka yang berasal dari Barat Daya propinsi Fujian dan menurut sensus 1930 berjumlah 200.000 jiwa. Kelompok ini banyak terdapat di Kalimantan Barat.
Diangkat dari disertasi Harry Purwanto di Universitas Indonesia buku Orang Cina Khek dari Singkawang ini membahas kehidupan kebudayaan kelompok Hakka (Ke Jia atau Khek) di Indonesia, khususnya di Singkawang, Kalimantan Barat.
Salah satu hal yang menarik adalah istilah ‘China’ yang masih digunakan mereka. Orang-orang China Singkawang, Kalimantan Barat dan di Bangka selalu mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Ch’in tanpa memiliki anggapan bahwa istilah itu mengandung konotasi merendahkan atau menghina. Tidak jarang pula mereka mengidentifikasikan diri sebagai orang Tong Nyin atau orang dari dinasti Tang (618-907 M) yang merupakan orang Manchu (hal.20).
Menurut pendapat pakar sejarah, istilah China diambil dari Dinasti Qin (baca: Chin) yang berkuasa pada 221-206 SM. Alasannya karena kaisar Qin yang pertama dianggap sebagai pemersatu negeri China. Begitupula dengan Orang Belanda, Inggris dan Italia yang menyebut negeri China dengan China. Sementara orang Rusia menyebut China dengan Kitai (China). Ada pendapat lain di daratan China yang mengatakan bahwa kata China diasosiasikan dengan kata Zhina, sebuah kata yang sengaja diciptakan oleh orang Jepang untuk menghina orang China. Sedangkan orang Jawa jaman dahulu menyebut mereka dengan nama Tartar.
Hal menarik lainnya dalam buku ini adalah penjelasan yang gamblang dan menyeluruh mengenai alasan mengapa orang ‘China’ masih sulit diterima sepenuhnya oleh orang ‘Indonesia’. Penulis menghubungkan dengan orientasi sejumlah orang ‘China’ yang masih sangat kuat pada negeri leluhurnya serta pandangan merendahkan mereka terhadap suku-suku lain di Indonesia. Sikap inilah yang menghalangi mereka untuk berasimilasi dengan warga setempat (hal.103).
Selain itu kita diberikan pula data sejarah dan lapangan mengenai persoalan ‘China’ di Indonesia, hasil ketekunan penulis selama 15 tahun. Antara lain; pembahasan mengenai perjanjian dwi kewarganegaraan di zaman pemerintahan Soekarno (hal.68), awal kontak antara orang ‘China’ dengan penduduk asli Kalimantan Barat (hal.117), asal usul nama kota Singkawang yang berasal dari bahasa Hakka, San Kheu Yong (Shan= gunung, Kou= mulut sungai, dan Yang= lautan). Nama Singkawang ini rupanya muncul dari penafsiran para perantau China di masa lampau (hal.138).
Kelompok orang Khek ini ternyata selalu dianggap “tamu” oleh sesama orang China (baik di Fujian, Guangdong maupun di luar negeri). Pada abad ke-10, mereka pindah dari Henan ke Shantung kemudian pada abad ke-13 pindah ke Fujian. Mereka didesak ke Barat oleh penduduk Fujian dan Guangdong, ke daerah perbukitan yang kurang subur di perbatasan Fujian dan Guangdong. Pengalaman berpindah-pindah dan berjuang untuk hidup dalam kehidupan yang keras inilah yang menyebabkan perseteruan dengan kelompok lain. Mereka menjadi lebih ulet, gigih, keras ketika harus pindah lagi ke luar negerinya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Di tempat baru, seperti di Kalimantan, adaptasi mereka ternyata cukup tinggi meskipun mereka dianggap kurang ramah.
Tahun 1760 mereka datang dalam jumlah yang besar ke Kalimantan. Mula-mula mereka didatangkan dan dipekerjakan di tambang emas oleh Sultan Sambas sejak tahun 1740-an. Sebelumnya, hanya orang Dayak dan Melayu yang menjadi penambang tetapi ternyata hasil yang diperoleh sedikit. Sementara itu orang Khek lebih berpengalaman dan unggul dalam teknologi penambangan sehingga dapat memproduksi emas lebih banyak. Orang Khek pada saat itu juga memiliki organisasi untuk mendatangkan buruh ‘China’ dari daratan China dan menguasai buruh sehingga pertambangan dapat terus berlangsung.
Lama kelamaan, karena alasan-alasan seperti ingin bagian yang lebih besar dan tidak puas pada Sultan (mereka merasa diperas) maka mereka tidak menyerahkan emasnya kepada Sultan Sambas tetapi untuk diri mereka sendiri dan mendirikan kongsi. Kongsi adalah organisasi yang mengurus kehidupan orang Khek termasuk memiliki pasukan keamanan untuk menjaga keselamatan masyarakat Khek.
Kongsi pertama menurut Victor Purcell dalam The Chinese in Southeast Asia adalah Lan-fang didirikan di Mandor oleh Lo-Fong-Phak yang berasal dari suku Hakka. Ia tiba di Borneo pada 1772 dengan 100 orang anggota keluarga. Pada awalnya mereka bergerak di bidang pertanian dan tidak ada hubungannya dengan pertambangan. Sementara itu dua kongsi besar lainnya adalah Ta-kang dan San-t’iao-kou. Keberadaan kongsi-kongsi ini tidak disukai pemerintah Hindia Belanda karena mereka menganggap seperti ‘negara dalam negara’. Alasannya ada beberapa kongsi besar dan kecil memiliki pasukan sendiri, seperti Lan-fang memiliki 6000 prajurit, Ta-kang 10.000 prajurit dan San-t’iao-kou 5000 prajurit.
Akhir abad ke-18, kongsi-kongsi ini tidak lagi ‘mengakui’ kekuasaan Sultan Sambas. Kemudian mereka memberontak dan berusaha mengambil alih usaha tambang emas tersebut. Orang Khek juga pernah bersengketa dengan orang Dayak. Penyebabnya mungkin karena masalah tanah ketika orang Khe mulai membuka hutan untuk ditanami lada dan sayuran.
Kajian antropologis yang menjadi kajian utama buku ini tentunya merupakan bagian yang tidak kalah menarik. Misalnya ketika mereka dipaksa pindah meninggalkan rumah dan tanah mereka, peraturan pemerintah mengenai perimbangan antara murid bumiputera dan murid Tionghoa yang mengakibatkan banyak anak Tionghoa terpaksa tidak sekolah, dan pembahasan mengenai kewajiban orang Tionghoa mengganti namanya dengan nama Indonesia. Padahal, nama bagi orang Tionghoa memiliki makna khusus dan menunjukkan ke’aku’an mereka. Sehingga muncullah nama-nama yang terdengar aneh di telinga, misalnya ada seorang pria di Singkawang yang bernama Tjhin Sin Kie yang mengganti namanya menjadi Fatmawati (hal.279).
Masih soal penggantian nama, ada di antara mereka yang menggunakan nama Ngatijan. Sekilas nama ini mengingatkan pada nama orang Jawa. Alasan memilih nama ini karena ada pertimbangan untuk tetap menyertakan nama she (marga) mereka ke dalam nama Indonesia. Sebelum berganti nama, ia bernama Ng Sjak Tshin (hal.335). Mereka justru tidak memilih nama Dayak tetapi cenderung memilih nama Jawa atau Melayu. Penulis mengaitkan alasan ini dengan konflik berdarah yang merupakan rangkaian peristiwa pengungsian tahun 1967 yang rupanya menimbulkan ‘rasa permusuhan laten’.
Seperti pengalaman nenek moyang mereka di negeri leluhur yang selalu dipinggirkan, peristiwa yang hampir mirip yaitu ‘pengungsian’ tahun 1967 juga dialami orang Khek di perantauan. Peristiwa tersebut merupakan ekses politik konfrontasi Indonesia dengan Malaysia dan peristiwa pemberontakan komunis tahun 1965. Berawal dari konflik terbuka antara ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) melawan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Gerilya Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). Kelompok PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak) yang terdiri dari orang-orang Cina Komunis atau Leftist (kiri) bersikap oposan terhadap pemerintah RI dan Malaysia.
Kejadiannya berawal pada bulan Juli 1967, ketika itu PGRS menyerang pangkalan udara di Senggau Ledo dekat Serawak. Akibatnya, pemerintah RI berusaha mendapat dukungan dari Malaysia untuk menumpas gerakan tersebut. Oleh karena gerakan itu didukung oleh orang-orang China maka tindakan berikutnya adalah memindahkan orang China dari daerah pedalaman ke kota. Tujuannya untuk mengisolasi sumber logistik dan intelijen mereka. Dalam ‘menumpas’ PGRS, peranan orang Dayak sangat penting sekali. Diperkirakan sekitar 50.000 orang China dipaksa pindah dari desa ke kota. Sedangkan sebagian lainnya terbunuh.
Dilengkapi dengan indeks, foto-foto, tabel serta bagan, buku ini tidak hanya menarik tetapi juga kaya akan informasi yang mewarnai keragaman studi mengenai salah satu komunitas di Indonesia. Salah satu komunitas yang dalam sejarahnya kerapkali menjadi sasaran diskriminasi dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Selebihnya, untuk lebih dalam menelusuri seluk beluk orang Khek di Indonesia, Thuk Lia Su (baca buku ini) saja!