Djongos kassie kartoe makan!’: Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Jawa

Pendahuluan
Dalam pariwisata unsur kuliner (makanan) memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya dengan unsur-unsur lain, seperti obyek, atraksi dan fasilitas. Hal ini dapat kita lihat dalam buku panduan pariwisata. Di sana kita dapat menemukan saran untuk menikmati makanan atau minuman khas setempat.  Namun, selain saran kita juga menemukan larangan-larangan untuk menikmati makanan atau minuman tertentu.

Menariknya, saran dan larangan itu ditemukan dalam buku panduan pariwisata di Indonesia sejak masa kolonial hingga kini. Hal itu jelas penting karena urusan kuliner berhubungan dengan perut dan sekaligus kesehatan.

Dalam persoalan kuliner, pemerintah atau penyelenggara pariwisata pastinya tak akan sembarangan. Tentu bukanlah promosi yang baik bagi pariwisata setempat jika turis yang datang terpaksa terbaring di rumah sakit sebelum penuh menikmati liburan yang menyenangkan dan berkesan. Meski tetap saja ada wisatawan yang mengabaikan peringatan dan larangan itu karena gairah petualangan yang besar.

Kuliner masa kolonial inilah yang akan dibahas dalam tulisan berikut. Sebagai sumber digunakan beberapa pengalaman para turis (tahun 1800-1900-an) yang menuliskan kesan dan catatan mereka mengenai urusan kuliner. Selain itu digunakan pula buku panduan pariwisata masa kolonial (tahun 1920-30-an).

Pengalaman kuliner para wisatawan
Justus van Maurik, seorang wisatawan Belanda atau tepatnya pengusaha cerutu yang menggunakan waktunya untuk berwisata mengungkapkan pengalaman kulinernya di Jawa pada 1800-an dalam Indrukken van een totok (1897). Ia menceritakan para penjual makanan di warung pinggir jalan yang menjual nasi, sayur dan gebakken vischjes (ikan goreng) dibungkus pisang-bladeren (daun pisang). Selain itu ia menceritakan juga seorang Tionghoa, penjual makanan keliling lezat dengan menggunakan pikulan. Makanan yang dijajakannya disebut kimlo atau sop tjina. Makanan itu disajikan dengan mangkok dan sendok porselen berwarna biru yang dinikmati oleh para pembeli sambil jongkok dengan uang beberapa sen saja.

Sementara itu di perkampungan orang Tionghoa dijumpai bermacam-macam warung kecil namun cukup lengkap. Mereka menjual berbagai hidangan seperti nasi, ikan goreng dan asap, dendeng, sambal, kopi, buah-buahan, kembang gula (buatan pabrik orang Tionghoa), aneka macam kue, rokok, rokok lintingan sendiri, kelapa, cabe, bermacam-macam pisang dan tentu saja minuman tuak. Yang menarik perhatian Maurik adalah bermacam-macam minuman sirup rasa buah-buahan dalam botol. Maurik berpendapat orang Tionghoa adalah peniru terbaik untuk minuman-minuman Eropa. Situasi dalam warung itu pun tak luput dari komentarnya. Ia menulis:

‘namun kita juga dapat menjumpai warung-warung yang di dalamnya terdapat kamar makan. Terdiri dari ruangan yang gelap dan berasap…’(hal.112)

Begitupula durian yang baunya menurut Maurik sangat menusuk. Sementara itu hidangan Tionghoa yang disukainya selain kimlo, Maurik menyebutkan bami, yang dinikmatinya di roemah-makan di Glodok. Bami menurut Maurik :

‘…merupakan hidangan dari sejenis makaroni tipis dengan berbagai macam bumbu,
ditambah kuah kaldu yang dicampur jamur, hati ayam, lada, irisan bawang, potongan
daging babi atau paha kodok’. (hal.114)

Maurik juga menulis bila mengingat hotel-hotel di Hindia, ia akan teringat pada kopi dan pisang yang lezat serta ‘harum’ buah nanas dan terasi.

Sebelumnya Charles Walter Kinloch (Bengal Civilian) seorang wisatawan asal Inggris yang berkunjung ke Jawa pada 1852 mengkritik hidangan dingin dan gaya makan Belanda yang menyajikankan seluruh hidangan (pembuka dan penutup) sekaligus. Menurutnya dalam Rambles in Java and The Straits in 1852 (1987), hidangan itu tidak cocok dengan perut orang Inggris. Ia juga mengkritik penggunaan sendok dan garpu serta tak dikenalnya penggunaan pisau mentega dan sendok garam, bahkan tata cara makan di perjamuan gubernur jenderal.

Sedangkan Désiré Charnay yang pergi ke Jawa mengemban misi resmi dan surat rekomendasi dari Pemerintah Hindia Belanda pada 1878, khususnya Kementrian Pendidikan, mengungkapkan pengalamannya menikmati masakan di hotel. Menurutnya sayur kari itu berisi campuran menjijikkan dari bahan-bahan seperti nasi, ditambah telur dadar di atasnya, lalu ikan asin, ayam, daging kambing, ketimun dan bistik. Di atasnya lalu disiram sambal dan dibubuhi 4 atau 5 jenis acar. Charnay pun tak mampu memakannya karena mual.  Masakan itu tak lain adalah rijsttafel yang memang dibanggakan oleh orang Belanda di Hindia.

Hidangan rijsttafel yang cukup terkenal ini mendapat perhatian dari wisatawan lain yaitu Augusta de Wit yang mengunjungi Jawa akhir 1890-an. Dalam Java :Feiten en Fantasieën (1905) , ia menyebutkan ada dua hal yang menarik perhatiannya yaitu pertama, hidangan tersebut disajikan tidak di ruang makan biasa melainkan di bagian belakang hotel. Hal lainnya adalah pakaian para pelayan pribumi yang menghidangkan rijsttafel. Dengan kaki telanjang, mereka mengenakan pakaian potongan semi Eropa yang dikombinasi dengan sarung dan ikat kepala.

‘(…) hidangan pedas itu disajikan bolak-balik dengan nyaris tak bersuara oleh para pelayan pribumi dengan kaki telanjang serta berpakaian separuh Indis, separuh Eropa.’ (hal.18)

Isi aneka hidangan rijsttafel itu sendiri juga menarik perhatian Augusta de Wit. Hidangan utamanya nasi dan ayam. Yang juga dilengkapi dengan aneka lauk pauk yang berupa daging asap, ikan dengan berbagai bumbu kari, saus, acar,  telor asin, pisang goreng, dan tak ketinggalan sambal ati ayam. Semuanya diberi bumbu cabai (hal.19).

Augusta de Wit ternyata tidak hanya menikmati hidangan di hotel, ia juga mengamati bagaimana para penduduk pribumi (di sini ia menyebutnya orang Jawa) menikmati sarapan paginya setelah mandi di kali.

‘Setelah mandi, orang-orang Jawa itu sarapan dan ini juga dilakukan
di depan umum’ (hal.113)

Ia menunjuk lokasi warung penjual makanan tersebut di daerah Tanah Abang dan Koningsplein (sekarang Jl. Medan Merdeka/Monas), daerah yang dihuni oleh penduduk pribumi. Tapi selain itu ada lagi warung-warung yang lebih kecil dan bisa dipindahkan. Mereka ada yang mangkal di pinggir kali, sepanjang kanal, di sudut-sudut jalan, di stasiun serta pangkalan sado.

‘Kita dapat menjumpai bermacam-macam warung atau yang serupa di daerah Tanah Abang dan Koningsplein serta tentu saja di daerah orang pribumi. Namun, warung yang lebih kecil atau para pedagang keliling dapat dijumpai di mana saja, di pinggir kali, di stasiun kereta, di pangkalan sado, sepanjang kanal, di pojok-pojok jalan. Tampaknya mereka itu berdagang dengan baik.’ (hal.114-115)

De Wit mengamati mereka. Pagi-pagi sekali mereka memikul dagangannya lalu aneka dagangan, piring, gelas serta botol diatur supaya menarik. Setelah menurunkan anglo untuk memasak, mulailah mereka berjualan. Ada yang menjual nasi, ikan asin dengan sambal, kue hijau yang diberi parutan kelapa berwarna putih, pelbagai macam kue yang tampaknya terasa manis berwarna-warni mencolok (oranye, merah jambu dan coklat tua) tampak kontras ketika disajikan di atas daun pisang segar berwarna hijau.

‘Semuanya telah siap di pikulan –istri penjual itu menyiapkannya di waktu subuh – dan sekarang mereka siap disajikan di atas daun pisang yang berfungsi sebagai piring dan mangkuk. Kue bulat dari tepung beras berwarna hijau dan putih  dengan parutan kelapa di atasnya, pipilan jagung berwarna oranye, selai berwarna merah muda dan kue-kue alot berwarna coklat tua.’ (hal.116)

Gambar dan cerita ‘eksotis’
Hal yang menarik adalah penggunaan kartu pos sebagai sarana promosi kuliner, khususnya makanan khas setempat. Misalnya kartu pos bergambar ruang makan Java Hotel,  ruang makan Hotel Marinus Jansen.  Ada pula kartu pos bergambar penjual nasi yang sedang dikerumuni para pembelinya, penjual soto keliling, suasana warung pinggir jalan di Jawa, bahkan ada gambar penjual roti pikulan keliling di Batavia, gambar penjual sekoteng, penjual rujak ulek , penjual buah-buahan, penjual sate.

Tidak hanya melalui gambar, tulisan Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie 1918 menggambarkan makanan-makanan yang dikonsumsi penduduk Hindia. Misalnya hidangan daging banteng, kerbau, kambing, kijang, kelinci dikonsumsi penduduk Jawa. Daging kuda yang dikonsumsi penduduk Sumba, daging orang utan dan kera dikonsumsi penduduk Borneo (Kalimantan), daging kelelawar oleh penduduk Minahasa, daging anjing oleh penduduk Batak, Papua dan Tionghoa (hal.243).

Gambar-gambar kartu pos tersebut tentu menarik perhatian para calon wisatawan asing. Tentunya keinginan untuk mencicipi makanan ‘eksotis’ itu sudah tertanam sebelum mereka menginjakkan kaki di Hindia Belanda. Gambar-gambar itu tampaknya dibuat, baik di luar maupun dalam studio sehingga kita harus mempertanyakan apakah memang disarankan kepada para wisatawan untuk mencicipi makanan khas atau hanya sekedar daya tarik gambar ‘eksotis’ semata. Dalam pandangan orientalis, menurut Alison Blunt dan Jane Willis dalam  Dissident Geographies:An Introduction to radical ideas and practice (2000) itu semua merupakan imajinasi Barat tentang Timur yang menyajikan Timur dengan hal romantis, eksotik, misterius dan berbahaya (hal.184)

Seperti di rumah sendiri
Selain makanan dan minuman khas setempat, para wisatawan juga disediakan makanan dan minuman yang sengaja diimpor dari negara asal. Misalnya dalam Gids voor Indie dicantumkan iklan DEL MONTE yang khusus untuk makanan kaleng impor seperti asparagus, ercis hingga buah-buahan.

Menurut data dari Handboek of the Netherlands East Indies 1930 jumlah makanan-makanan kaleng yang diimpor dari luar negeri memiliki nilai cukup besar. Misalnya untuk mentega, pada 1926 bernilai 7.625 gulden dan pada 1928 bernilai 8.125 gulden; ikan pada 1926 bernilai 22.040 gulden dan pada 1928 bernilai 20.046; keju pada 1926 bernilai 1.125 gulden dan pada 1928 bernilai 1.169 (hal.323)

Selain makanan kaleng ada pula iklan peternakan sapi di beberapa kota besar seperti Batavia, Bandung dan Semarang. Misalnya Melkerij “Petamboeran” yang merupakan peternakan tertua dan terbesar serta terletak di Petamboeran, Paalmerah.  Ada pula toko FROSCHER’S di Batavia-Centrum yang menyediakan roti dan kue.  Selain yang segar ada pula susu dalam kaleng seperti iklan NESTLE’S MELK CO di Batavia-Centrum yang menyediakan susu kalengan seperti yang kita nikmati sekarang.  Begitupula dengan pabrik air mineral dan limun di kota-kota besar, seperti iklan pabrik air mineral dan limun NOVA di Bandung yang menyediakan limonades Hollandsche smaak, Aer Blanda gelijk Apollinaris, Orange Crush. Air mineral ini juga menjadi salah satu fasilitas yang disediakan di pasanggrahan selain fasilitas tempat tidur dan makan.

Tidak lengkap rasanya jika tidak tersedia minuman beralkohol. Dalam Hotel Blad terdapat iklan minuman JONKER CAPERO, minuman sherry yang diimpor. Selain itu tersedia juga Heineken’s Bier. Ada pula Haantjes Bier, Pittig Hollandsch Pils, bir pahit Belanda cap ayam.  Bisnis impor minuman keras ‘modern’ dari Eropa ini cukup menggiurkan. Dalam laporan Departement van Financiën, ribuan gulden hasil dari cukai masuk ke kas pemerintah.  Ironisnya, menurut Kasijanto Sastrodinomo dalam artikelnya ‘Mabuk-mabukan dalam Sejarah’ (Kompas, 18/3/2006) Pemerintah Hindia Belanda juga membentuk Alcoholbestrijdings-commisie (Komisi Pemberantasan Alkohol) pada 1918. Tujuannya untuk menyelidiki dan memerangi penyalahgunaan alkohol di kalangan penduduk Hindia. Sasaran utamanya adalah minuman keras tradisional yang populer di kalangan masyarakat pribumi, seperti arak, badèg, dan ciu. Menurut polisi jenis-jenis minuman beralkohol itu termasuk minuman ‘gelap’ tak berizin.

Iklan makanan kaleng, susu dan minuman tersebut jelas ingin memperlihatkan bahwa para wisatawan tidak perlu khawatir dengan masalah kuliner negara asal mereka karena hampir semua tersedia. Elsbeth Locher-Scholten dalam artikelnya mengenai makanan kaleng ini menyebutkan bahwa hingga 1900-an hidangan Eropa dinilai lebih tinggi daripada hidangan Hindia. Hidangan dari makanan kaleng ini disediakan sehari-hari, kecuali hari Minggu di kalangan keluarga totok. Para wisatawan hanya tinggal menikmati suasana Hindia ditemani makanan dari tanah air. Dengan kata lain tak ada liburan senikmat seperti di rumah sendiri.

Djongos kassie kartoe makan!

Para wisatawan pun dimudahkan dalam urusan perut ini. Dalam The Garoet Express and Tourist Guide (1922-1923) dicantumkan kosa kata dan kalimat-kalimat perintah praktis berhubungan dengan kuliner dalam bahasa Inggris, Belanda dan khususnya Melayu yang dapat digunakan mereka (hal.22).

Kalimat-kalimat perintah itu antara lain:

Boy bring me a Menu, a winelist, icewater, sodawater, whiskey and soda’ (Inggris)
Jongen breng een menu, wijnlist, ijswater, sodawater whisky soda’ (Belanda)
Djongos kassi kartoe makan, kartoe minoeman, aijer ijs, aijer blanda’ (Melayu)

Hurry up fetch ice’ (Inggris)
Haas[t] je haal ijs’ (Belanda)
Lekas ambil ijs (aijer batoe)’ (Melayu)

Atau kosa kata yang berhubungan dengan aktivitas kuliner, peralatan makan dan aneka menu seperti:

To boil (Inggris); ko[o]ken (Belanda); masak (Melayu)
To drink (Inggris); drinken (Belanda); minoem (Melayu)
To eat (Inggris); eten (Belanda); makan (Melayu)
To fry (Inggris); bakken/braden (Belanda); goreng (Melayu)
To mix (Inggris); mengen (Belanda); tjampoer (Melayu)

Clean plate (Inggris); schoon bord (Belanda); piring bresi (Melayu)
A knife (Inggris); mes (Belanda); piso (Melayu)

Cold water (Inggris); koud water (Belanda); aijer dingin (Melayu)
Soft boilled eggs
(Inggris); zacht gekookte eieren (Belanda); telor stengah mateng (Melayu)
Hard boilled eggs (Inggris); harde eieren (Belanda); telor kras (Melayu)
Bacon and eggs (Inggris); spek met eieren (Belanda); mata sampi sama sepek (Melayu)

Penutup

Bila dikaji lebih jauh ternyata masih banyak hal yang dapat diungkap dan diteliti dari masalah kuliner sebagai unsur pariwisata baik pada masa lampau maupun sekarang. Antara lain  asal usul suatu jenis masakan, industri rumahan makanan dan minuman yang dipengaruhi oleh pariwisata.

Masalah kuliner pun ternyata tidak hanya dapat dijadikan sarana promosi positif, tapi juga sarana promosi negatif. Hal tersebut tak lepas dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Disajikan dalam Seminar Hasil Penelitian Departemen Sejarah FIB UI, Desember 2006 

Mimpi Chasteleyn Tentang Depok

Cornelis Chasteleyn boleh bermimpi jika tanah miliknya yang luas hanya akan digarap dan digunakan oleh para ahli warisnya. Tanahnya mencakup Depok sekarang, ditambah sedikit wilayah Jakarta Selatan plus Ratujaya, Bojong Gede, Kabupaten Bogor sekarang. Seperti yang ia tuangkan dalam (terjemahan) surat wasiatnya yang berbahasa Belanda kuno tertanggal 14 Maret 1714.: “… MAKA hoetan jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chasteleyn tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennja tijada sekali-sekali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe… dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakkan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennja,…”

Gambaran Depok masa silam ini tentu pada masa kini nyaris tak berbekas. Depok pada masa itu dihiasi sungai, hutan, rimbunan rumpun bambu yang sengaja ditanam, tidak boleh diganggu. Bahkan ternyata ada pula penggilingan tebu.

Sungai Krukut yang disebut-sebut dalam surat wasiat itu kemungkinan ada hubungannya dengan wilayah Kelurahan Krukut, Kecamatan Limo, Kota Depok sekarang. Tepatnya berada di selatan Cinere. Sementara itu, bila ada penggilingan tebu, maka logisnya terdapat pula tanaman tebu. Budidaya tebu yang sesuai dengan watak agrarisnya, pastilah berada pada hamparan yang luas, berpengairan cukup serta dengan sistem pengaturan lahan yang baik.

Asal Usul Nama Depok

Ditinjau dari asal usul nama Depok ada berbagai versi yang berupaya mengungkapkan asal nama Depok tersebut. Versi pertama berhubungan dengan Cornelis Chasteleyn yang membeli tanah di Jatinegara, Kampung Melayu, Karanganyar, Pejambon, Mampang dan Depok pada akhir abad ke-17 (ada yang menyebut tanggal 18 Mei 1696, ada juga tanggal 13 Maret 1675).

Ketika Chasteleyn membeli tanah di Depok, ia membelinya dengan harga 700 ringgit, dan status tanah itu adalah tanah partikelir atau terlepas dari kekuasaan VOC. Tanah-tanah itu memiliki batas-batas yang diperkirakan, sebelah utara (Kampung Malela), sebelah selatan (Kampung Belimbing, berbatasan dengan Kelurahan Ratujaya, sekarang), sebelah timur (sungai Ciliwung), sebelah barat (rel kereta api Jakarta-Bogor).

Cornelis Chasteleyn adalah seorang Belanda, tuan tanah mantan pegawai VOC. Ia memiliki tanah mulai dari wilayah Weltevreden (Gambir), Meester Cornelis (Jatinegara), hingga Buitenzorg (Bogor). Bisa dibayangkan betapa kayanya, meneer yang satu ini. Tanah yang dibelinya di kawasan Depok itu harus diolah. Oleh karena itu, ia mendatangkan budak dari Bali, Borneo (Kalimantan), Makassar, Maluku, Ternate, Kei, Pulau Rote, Batavia. Jumlahnya sekitar 150 orang.

Atas permintaan ayahnya, Chasteleyn mengajarkan agama Kristen kepada para budaknya. Secara bertahap di sana muncul sebuah padepokan Kristiani yang disebut De Eerste Protestante Organisatie van Kristenen (Organisasi Kristen Protestan Pertama). Ada pula yang menyebut Deze Eenheid Predikt Ons Kristus (Dengan persatuan membawa kami ke Kristus). Keduanya bisa disingkat DEPOK dan konon menjadi cikal bakal nama Depok.

Versi yang lain menyebutkan, jauh sebelum Chasteleyn membeli tanah di Depok, nama Depok sudah ada. Hal tersebut dikatakan Abraham van Riebeeck, inspektur jenderal VOC ketika mengadakan ekspedisi menelusuri sungai Ciliwung pada 1703, 1704, dan 1709. Ia melalui rute: Benteng (Batavia) – Tjililitan – West Tandjong (Tanjung Barat) – Seringsing (Serengseng) – Pondok Tjina – Depok – Pondok Pucung (Terong).

Pendapat lain, menyebutkan Depok sudah ada jauh sebelum bangsa Eropa (baca: Belanda) masuk ke Jawa. MW Bakas, salah seorang keturunan asli Depok yang dikutip H. Nawawi Napih dalam Meluruskan Sejarah Depok mengatakan, ketika meletus perang antara Pajajaran dengan Banten-Cirebon (Islam) tentara Pajajaran membangun ‘padepokan’ untuk melatih para prajuritnya untuk mempertahankan kerajaan. Padepokan ini dibangun dekat Sungai Ciliwung. Terletak antara pusat kerajaan Pajajaran (Bogor) dan Sunda Kelapa (Jakarta). Sesuai dengan lidah melayu, kata ‘padepokan’ kemudian hanya disebut ‘Depok’.

Pendapat ini didukung dengan fakta bahwa di sekitar Depok terdapat nama-nama kampung yang menggunakan bahasa Sunda. Misalnya Parung Blimbing (di Depok Lama) di selatan, Parung Malela di utara dan Kampung Parung Serab di sebelah timur seberang Ciliwung berhadapan dengan Parung Belimbing. Semua kampung ini berada di tepi sungai Ciliwung. Kemungkinan kampung-kampung itu pada waktu perang dijadikan pusat pertahanan tentara Pajajaran terhadap kemungkinan serangan Cirebon dan Banten ke pusat pemerintahan di Bogor melalui Ciliwung. Kemungkinan lain sebagai basis pertahanan untuk menyerang Sunda Kelapa.

Kaitan nama Pajajaran dengan Depok pun dibantah buku Meluruskan sejarah Depok. Alasannya, nama Depok di masa Pajajaran belum ada, baik dalam naskah lama tulisan para penulis Portugis, maupun dalam cerita yang mengisahkan raja-raja Pajajaran. Padepokan baru dikenal setelah masa Islam karena tempat yang sama pada masa Hindu justru disebut Mandala bukan padepokan. Yang menarik nama ‘Depok’ juga ditemui di wilayah Sleman, Yogyakarta.

Sementara itu versi lain menyebutkan antara Perumnas Depok I dan Depok Utara ada tempat yang disebut Kramat Beji. Di sekitar tempat itu ada tujuh sumur berdiameter satu meter. Di bawah pohon beringin yang berada di antara ke-7 sumur ada sebuah bangunan kecil yang selalu terkunci. Di dalamnya masih dapat kita temukan banyak sekali senjata kuno, seperti keris, tombak dan golok. Konon, dahulu di Kramat Beji sering diadakan pertemuan antara pihak Banten dan Cirebon. Senjata-senjata tersebut diduga peninggalan tentara Banten ketika melawan VOC. Di tempat seperti ini biasanya untuk latihan bela diri dan pendidikan agama yang kerap disebut padepokan. Disimpulkan nama Depok kemungkinan besar dari kata Padepokan Beji.

Di padepokan inilah para guru agama (Islam) mengajar pada para siswa atau santrinya. Di siang hari mereka bekerja di ladang, dan sorenya mengaji agama. Para santri ditempatkan pada sebuah asrama, sedangkan gurunya disediakan tempat di kompleks itu juga. Pelajaran yang diberikan selain agama, juga seni bela diri (silat), dan kemungkinan latihan kemiliteran. Jadi pada masa Pajajaran, agama Islam telah berkembang di Depok.

Namun, yang jelas perlu diakui jika Depok pada masa Hindu merupakan jalur perniagaan penting. Letaknya yang berada di antara Pakuan dan Sunda Kelapa membuat Depok menjadi tempat persinggahan. Pelabuhan kecil di Depok adalah Cipanganteur dan sering disebut Kali Pengantar. Sekarang tempat tersebut bernama RAU yang lokasinya di Parung Malela (dekat kuburan Kristen di Depok lama), di tepi sungai Ciliwung.

Aliran sungai Ciliwung ini menjadi sarana transportasi pada masa lalu. Adalah Jembatan Panus (berasal dari nama Stevanus, salah satu keluarga ‘kaoem Depok’) yang menghubungkan Depok I (Barat) dengan Depok II (Timur). Jembatan itu dibangun sekitar tahun 1917 yang dapat disebut sebagai monumen dibukanya jalur lalu lintas darat antara kedua wilayah Depok tersebut.

President van Depok

Untungnya pemerintah Orde Baru tidak mengetahui hal ini karena memang terjadi jauh sebelum Orba. Alasannya, jangankan bercita-cita, hanya berniat untuk menjadi presiden saja pada masa Orba urusannya bisa repot. Namun, di Depok justru gemeente bestuur (pemerintahan sipil) nya diketuai oleh seorang pemimpin yang disebut Presiden. Ia dipilih berdasarkan pemungutan suara terbanyak tiap tiga tahun sekali.

Pemerintahan sipil ini dibentuk tahun 1872 oleh para ahli waris Chasteleyn. Sepeninggal Chastelein mereka merupakan pemilik sah tanah partikulir di Depok yang kemudian menata Depok dalam bentuk pemerintahan sipil. Sistem ini disebut Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden Depok dibantu oleh sekretaris, bendahara, kepala polisi, juragan (kepala administrasi pemerintahan wilayah) serta dua orang pegawai. Aturan ditetapkan untuk keperluan pemerintahan, antara lain peraturan bahwa orang-orang yang berhak atas tanah di Depok adalah orang-orang yang beragama Kristen dan bertempat tinggal di Depok.

Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah sipil ini tetap bertahan. Hal ini karena pihak Jepang kekurangan personil untuk ditempatkan di daerah ini. Depok tetap berada di bawah seorang presiden yang ketika itu dijabat oleh Jonathans. Kekuasaan pemerintahan sipil berakhir pada 8 April 1949 ketika Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan penghapusan tanah partikelir di seluruh Indonesia serta memberlakukan Undang-Undang Agraria (landreform).

Tahun 1951, para pemegang hak tanah partikelir Depok melepas hak mereka untuk memenuhi rencana pemerintah menghapus tanah partikelir. Namun, kepada keturunan ke-12 keluarga yang mendapat wasiat dari Chasteleyn masih diberi gedung, tanah yang ada hubungannya dengan pendidikan, kesehatan dan agama. Setelah dikuasai Republik Indonesia, Depok merupakan kecamatan yang berada di bawah lingkungan kewedanaan (pembantu Bupati) wilayah Parung, yang meliputi 21 desa.

Ketika Presiden Soeharto meresmikan Perumnas tahun 1976, penduduk Depok tak lebih dari 100 ribu jiwa. Sarana transportasi pun hanya mengandalkan jalur kereta api yang dibangun tahun 1880-an serta jalur jalan raya ke Pasar Minggu yang ketika itu hanya satu jalur. Kini penduduk Depok yang menjadi kotamadya sejak 1999, melonjak lebih dari 10 kali lipat (1.333.734 jiwa).

Depok terus berkembang pesat dan padat. Suasana sejuk dan tenang pada pagi hari berganti bising kendaraan penduduknya yang berbondong-bondong menuju Jakarta untuk beraktivitas. Pemandangan ini akan terulang pada sore hingga malam hari. Ribuan rumah juga dibangun hingga tak tersisa lagi lahan kosong dan perkebunan. Bahkan jumlah situ yang berfungsi sebagai resapan air hujan semakin sedikit, tergusur dan menghilang. Entah apakah keadaan seperti ini yang diimpikan Chasteleyn di masa lalu?

Siapa Suka Susu?

Siapa yang tidak suka susu? Maaf, ini bukan porno. Susu yang dimaksud adalah susu sapi. Memang tidak semua orang, terutama anak-anak menyukai minuman sehat ini. Di Indonesia, masyarakat yang mengkonsumsi susu sapi segar pun masih sangat rendah. Kalah jauh dengan India. Apalagi sekarang susu menjadi barang mewah dan impor serta harganya yang kian melonjak. Khususnya susu bubuk dan susu yang diformulasikan.

Ada pendapat yang mengkaitkan melonjaknya harga susu dengan pemanasan global. Pemanasan global tersebut menyebabkan kekeringan di sebagian wilayah Australia dan Selandia Baru sehingga sapi perah kekurangan pakan. Kita tahu selama ini masih ada bahan baku susu, khususnya susu formula yang harus diimpor dari negara-negara tersebut. Dampaknya, harga susu formula di dalam negeri ikut naik sampai 15 persen.

Sejarah susu di Indonesia ini pun menarik untuk diketahui mengingat tidak semua orang mengetahuinya. Tahun 1906 atas anjuran Pemerintah Hindia Belanda, maka diimporlah beberapa jenis sapi pedaging ke Sumba, Nusa Tenggara Timur. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menetapkan Sumba sebagai pusat pengembangbiakan ternak sapi daging dari jenis O ngole (India). Sekitar tahun ini pula, sapi perah mulai masuk ke Hindia Belanda. Namun, tahun masuknya sapi perah ini perlu dipertanyakan lagi. Alasannya, sejak akhir abad ke-19, wilayah Bandung terkenal sebagai penghasil susu sapi berkualitas tinggi di Nusantara.

Restorasi kereta pos pada awal abad ke-20 yang melewati jalur Cirebon-Bandung- Bogor – Batavia konon menghidangkan susu sapi segar kepada para penumpangnya. Lumayan sebagai pelepas dahaga dan obat lapar di perjalanan. Bahkan jauh sebelumnya , berdasarkan catatan Heer Medici pada 1786 yang melancong ke ‘Negorij Bandoeng’ dengan rombongan berkuda dari Batavia, sudah mencicipi segarnya susu Bandung tatkala rombongan sampai di Cianjur.

Menurut catatan sejarah, pada tahun 1938 di wilayah Bandung terdapat 22 usaha pemerahan susu dengan produksi 13.000 liter susu per hari. Hasil produksi susu ini semua ditampung oleh “Bandoengsche Melk Centrale” untuk diolah (pasturisasi) sebelum disalurkan kepada para langganan di dalam maupun luar kota Bandung.

Direktur B.M.C dengan nada sedikit sombong menulis: ‘Vergeet U  niet, dat er in geheel Nederlandsch Oost-Indië slechts een Melk centrale is, en dat is de Bandoengsche Melkcentrale’ (Anda jangan lupa, bahwa di seantero Nusantara ini cuma ada satu Pusat Pengolahan Susu dan itu adalah Bandoengsche Melk Centrale)

Dari sejarah persusuan di Indonesia, di wilayah Bandung ada 3 perusahaan pemerahan susu (Boerderij) yang terkemuka. Mereka inilah yang merupakan cikal bakal usaha peternakan sapi perah dari jenis unggul yang didatangkan dari Friesland, salah satu propinsi di Belanda.

Model peternakan sapi perah yang terkenal adalah perusahaan ‘Generaal de Wet Hoeve’ milik Tuan Hirschland dan Van Zijll di Cisarua, kabupaten Bandung. Mereka inilah yang pertama kali mendatangkan sapi perah Friesland ke Nusantara pada awal abad ke-20.

Kemudian tercatat pula Lembangsche Melkerij ‘Ursone’, sebuah perusahaan pemerahan susu di Lembang yang didirikan oleh tiga diantara empat bersaudara Ursone pada tahun 1895. Keluarga Ursone yang berkebangsaan Italia ini terkenal sebagai pemain musik gesek ulung di kota Bandung.    Usaha keluarga Ursone diawali dengan 30 ekor sapi dengan hasil hanya 100 botol per hari. Kemudian pada tahun 1940 telah berkembang menjadi 250 ekor sapi dengan produksi ribuan liter susu perhari.

Selain kedua perusahaan ini, di Pangalengan, sekitar danau Cileunca, ratusan ekor sapi perah diternakkan orang Eropa di sana. Begitu banyaknya sapi perah bibit luar negeri di lembah danau Cileunca, hingga majalah Mooi Bandoeng sering menyebut wilayah di Pangalengan sebagai ‘Friesland in Indië (Friesland di Hindia)’.

Selain minuman dengan bahan baku susu seperti es krim, susu coklat (chocomelk), B.M.C mengolah susu menjadi mentega, keju dan cream untuk kosmetika. Hampir seluruh produksi susu di Jawa Barat tertampung oleh B.M.C pada jaman sebelum perang.

Jika demikian hebatnya sejarah susu di Indonesia lalu mengapa di Indonesia yang lebih populer adalah susu bubuk dibandingkan susu segar? Hal ini pun ada alasannya.

Sekitar tahun 1920, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan aturan mengenai produksi susu yang disebut Melk-Codex. Salah satu aturan persusuan ini adalah mengenai kondisi mikroba atau bakteri psychotropic pada susu segar di bawah satu juta mikroba untuk setiap satu sentimeter kubik susu segar. Standar ini dibuat untuk memenuhi kualitas susu segar yang siap minum tanpa melalu proses pengolahan lebih lanjut.

Dapatlah dibayangkan betapa Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu telah menyosialisasikan kualitas susu segar untuk siap minum tanpa proses lebih lanjut. Namun, kebanyakan kualitas susu segar kita di atas satu juta mikroba sehingga kita terpaksa harus melupakan kebiasaan minum susu segar dan susu tersebut harus diolah dalam bentuk bubuk dan diminum dalam keadaan hangat.

Menariknya lagi tradisi minum susu segar pada masa Hindia Belanda ternyata
juga tak tersosialisasi dengan baik meski sudah ada Melk-Codex. Masyarakat kita pada masa itu masih menganggap susu adalah minuman yang hanya dikonsumsi oleh orang kulit putih (baca: Belanda) serta golongan tertentu yang berkuasa. Sehingga muncul anekdot jika mau berkuasa, maka minumlah susu.

Lucunya lagi ada yang berpendapat sinis, tak perlulah bangsa kita punya tradisi minum susu (segar) nanti kelewat pintar. Alasannya, dahulu kala nenek moyang kita sangat getol puasa mutih atau hanya minum air segar (putih), nasi serta umbi-umbian saja mampu menjadi orang “pintar” dan ditakuti. Apalagi jika minum susu (putih), bisa-bisa kita menjadi “super pintar”.

Ketika Pemerintah Hindia Belanda sedang gencar-gencarnya mempromosikan pariwisata di Hindia, peternakan sapi menjadi salah satu daya tarik fasilitas yang ditawarkan. Promosi tersebut dimuat Gids voor Indie: Handleiding en Hotel Pension-, Toko en Dienstengids voor New Comers en  Touristen in Ned-Indie. Misalnya iklan peternakan sapi di beberapa kota besar seperti Batavia, Bandung dan Semarang. Salah satunya iklan Melkerij “Petamboeran” yang merupakan peternakan tertua dan terbesar di Petamboeran, Paalmerah (Jakarta). Iklan tersebut memperlihatkan bahwa para turis (kulit putih) tak perlu khawatir jika di Hindia juga tersedia minuman susu.

Kita tentu ingat slogan pemerintah “Empat Sehat Lima Sempurna” yang ternyata disosialisasikan pada awal 1950-an. Menurut Prof. Dr. Ali Khomsan, ahli gizi IPB, pencetus “Empat Sehat Lima Sempurna” adalah Prof. Poorwo Sudarmo yang menempatkan susu pada urutan terakhir dari empat hidangan lainnya. Akibatnya masyarakat biasa akhirnya beranggapan bahwa susunan hidangan kita menjadi tak sempurna tanpa susu. Meskipun komposisi kandungan susunya itu sendiri perlu dipertanyakan karena lebih banyak airnya dibandingkan susunya.

Mungkin masyarakat melihat yang terpenting adalah warna putihnya. Perkara komposisi kandungan susunya urusan belakangan. Maka tak heran ketika harga susu (formula) melambung, sebagian ibu-ibu menggantikan susu dengan air tajin (susu beras). Padahal sangat jelas dari segi kualitas air tajin tak dapat menggantikan susu formula apalagi ASI meski dilihat dari warnanya nyaris serupa.

Memang kandungan protein air tajin mungkin setara atau bahkan lebih rendah dari pada beras. Apalagi kandungan vitamin dan mineralnya. Sehingga bisa diduga jika air tajin tak akan menandingi susu terutama dari segi kandungan kalsium dan fosfor.

Bicara melambungnya harga susu (formula) tentu mengingatkan kita pada ASI yang memang sangat dianjurkan. Namun, jangan lupa para ibu itu pun harus mendapatkan asupan gizi yang memadai, misalnya dengan minum susu. Bagaimana bisa memberikan ASI yang baik jika gizi para ibu itu tak berkualitas. Hal inilah yang sering dilupakan dan terabaikan. Jadi, siapa suka susu?

Menyingkap Kumpulan Surat Pribadi Raja Ali Haji

Surat merupakan salah satu sarana komunikasi tulisan yang kini kian tergeser kedudukannya oleh bentuk komunikasi yang lain, seperti e-mail maupun SMS. Namun, bagi sebagian kalangan surat tetap dianggap lebih bersifat ‘pribadi’ dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber sejarah. Apalagi jika sang penulis surat merupakan tokoh penting karena dapat dipergunakan untuk menyusun gambaran tentang penulis dan zamannya. Seperti halnya penulis surat dalam buku ini.

Buku Di Dalam Berkekalan Persahabatan: Surat-surat Raja Ali Haji kepada von de Wall adalah kumpulan surat-surat pribadi Raja Ali Haji (ca.1809-ca.1873) kepada Herman von de Wall, seorang sarjana kelahiran Jerman yang menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Kumpulan surat-surat tersebut ditulis antara 1857 hingga akhir 1872. Ketika itu mereka sibuk mengumpulkan bahan dalam upaya menyusun Kamus Melayu.

Raja Ali Haji merupakan penulis Melayu abad ke-19, sezaman dengan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Dua karyanya yang terkenal Gurindam XII dan magnum opus, Tuhfat al-Nafis (Hadiah yang berharga). Khusus karya yang disebut terakhir merupakan sumber informasi berharga bagi sejarah Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya serta mengandung deskripsi peristiwa yang sangat terperinci, demikian tulis Barbara Watson Andaya dan Virginia Matheson.

Pada 2004, Raja Ali Haji diangkat menjadi pahlawan nasional dari kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Namun, Raja Ali Haji bukanlah pahlawan yang diangkat karena semangat berperangnya. Melainkan karena sejumlah karya, hasil goresan kalam yang memberikan sumbangan berharga bagi bahasa Indonesia.

Perhatian Raja Ali Haji begitu luas tak terbatas pada karya sastra. Ranah agama, hukum, dan sejarah diakrabinya dan diungkapkan dengan sentuhan sastra seolah antara ranah-ranah itu terjalin rapi, satu sama lain. Misalnya dalam kitab Thamarat al-Muhimmah setebal 79 halaman. Karya ini memiliki keistimewaan dalam sejarah perundangan di Nusantara sebelum munculnya undang-undang Barat.

Kumpulan surat-surat Raja Ali Haji ini sebelumnya pernah diterbitkan dan dianotasikan dalam bahasa Inggris pada 1995 yang mendapatkan banyak pujian dan kritikan. Serta dimuat dan diresensi dalam berbagai majalah, jurnal luar negeri yang berbobot.

Namun demikian penerbitan kumpulan surat-surat ini tidak serta-merta dapat menjawab sejumlah pertanyaan mengenai sosok Raja Ali Haji. Setidaknya, melalui buku yang sedikit lebih lengkap dari edisi Inggrisnya diharapkan dapat memberikan gambaran keseharian dan gagasan dirinya. Misalnya, merekonstruksi citra dirinya dan hubungan penulis Melayu ini dengan para pegawai kolonial di kepulauan kecil sekitar Singapura pada pertengahan abad ke-19. Hubungan serta citra yang disebut oleh Eliza Netscher, pejabat khusus urusan Melayu yang kemudian menjadi Residen Riau, sebagai “penulis Islam (alim) yang dengki dan membenci orang Eropa (Belanda)”.

Ironisnya, Netscher jualah yang “mensponsori” syair-syair lain dari Raja Ali Haji untuk diterbitkan dalam majalah Bataviaasch Genootschap, TBG (Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde van Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) edisi 1853.

Berlawanan dengan citra “negatif” yang dibentuk Netscher, melalui kumpulan surat-suratnya ini muncul sosok diri Raja Ali Haji sebagai guru agama yang alim dalam upaya memajukan orang-orang Melayu. Raja Ali Haji pun justru melihat manfaat kerjasama dengan pemerintah kolonial untuk tujuan pendidikan dan bersahabat dengan seorang pejabat Belanda. Bahkan mereka kelak mengumpulkan bahan dan menyusun kamus Melayu-Belanda dan kamus ekabahasa Melayu. Perihal persahabatannya ditunjukkan dalam surat 22 April 1862 (hal.69).

Begitu eratnya persahabatan itu, hingga Raja Ali Haji dalam suratnya begitu bebas mengungkapkan informasi pribadi. Mulai dari urusan uang persekot “proyek” kamusnya (surat 30 Mei 1869), persoalan anaknya (surat 26 Juli 1867) hingga rasa khawatirnya atas kegagalan memuaskan hasrat pada perempuan yang baru dinikahinya: ”Ini satu susah, akan tetapi rahasia kitalah kepada paduka sahabat kita, yaitu syahwat kita inilah yang kurang benar2…. Bagaimanakah kiranya ikhtiar paduka sahabat kita memberi ikhtiar kepada kita. Istimewa pula ini baharu pula kita dapat satu gundik budak muda. Maka hal kita inilah, itulah susah kita ” (surat 31 Juli 1872),

Pada umumnya, gagasan-gagasan yang muncul dalam kumpulan surat-suratnya adalah pemikiran Raja Ali Haji di bidang bahasa, khususnya Melayu. Ini sangat membantu kita dalam memahami kamusnya, Kitab Pengetahuan Bahasa, serta Bustanul Katibin, kitab tatabahasanya.  Pun kita bisa menyibak beberapa pemikiran Raja Ali Haji tentang bentuk-bentuk sastra, khususnya syair.

Bahkan dalam kamus yang merupakan karya nonsastra, Raja Ali Haji tetap memasukkan karya sastra sebagai bagian dari rasa keindahan yang dimilikinya. Seperti dalam salah satu suratnya kepada von de Wall pada 12 Maret 1872: “Bermula adapun kamus yang hendak diperbuat itu, yaitu bukannya seperti kamus yang seperti paduka sahabat kita itu. Hanyalah yang hendak kita perbuat bahasa Melayu yang tertentu bahasa pada pihak Johor dan Riau Lingga jua. Akan tetapi dibanyakkan bertambah di dalam qissah2 cerita2 yang meumpamakan dengan kalimah yang mufrad, supaya menyukakan hati orang muda2 mutalaahnya, serta syair2 Melayu sedikit2. Di dalam hal itupun memberi manfaat jua kepada orang2 yang mempikirkan perkataan dan makna bahasa Melayu pada orang2 yang bukan ternak Johor dan Riau dan Lingga” (hal.130)

Selain itu dengan membaca surat-surat ini, kita mendapatkan contoh langka tentang bentuk tidak resmi dan sehari-hari bahasa Melayu abad ke-19 yang bisa dikatakan ‘informal’. Namun, bukan berarti Raja Ali Haji menggunakan bahasa Melayu pasar. Tentunya, hal itu menunjukkan bentuk kontras bahasa dalam surat resmi serta berbagai bentuk sastra tradisional Melayu.

Raja Ali Haji tak hanya terkenal di tanah Melayu, karya-karyanya juga dikenal di seberang lautan. Ketika karya-karyanya dicetak dan diterbitkan di Batavia dan Belanda, namanya pun semakin dikenal hingga menyeberangi benua. Karya Raja Ali Haji juga merupakan satu-satunya syair Melayu pertama yang diterbitkan Warnasarie (1853), majalah terbitan Batavia yang sebenarnya hanya khusus untuk sastrawan Belanda di Hindia. “Hak privilege” ini diperolehnya setelah Roorda van Eysinga menerima Syair Abdul Muluk karya Raja Ali Haji langsung dari tangan penulisnya dan terpukau karena keindahannya. Roorda van Eysinga juga yang menerjemahkan Syair Abdul Muluk itu dan dimuat dalam Tijdschrift voor Neerlandsch Indië (1847).

Perihal, keterkenalan dan kegembiraan karena karyanya dibaca kalangan luas juga diungkapkannya dalam salah satu suratnya pada 11 November 1869 : “Dan lagi saya maklumkan kepada tuan, ada surat Raden dari Bandung kepada saya yang dia sudah sampai di Bandung. Membawalah dia kamus yang tiada bersampaian, maka dipinjamlah konon orang2 Bandung ke sana ke mari, suka akan syairnya konon. Dan lagunya pun dibacakanlah oleh Raden, sangatlah sukanya orang2 yang tahu2 bahasa Melayu.” (hal.104)

Akhir hayat Raja Ali Haji tidak dapat ditentukan secara pasti. Baik tanggal, tahun dan sebab-sebab kematiannya. Yang jelas, ketika itu ia tengah menyelesaikan kamus ekabahasa Melayu. Diperkirakan ia menutup mata di sekitar masa-masa kematian sahabatnya, von de Wall pada 1873.

Buku ini dilengkapi dengan peta, foto-foto naskah surat, catatan biografis orang-orang yang disebutkan dalam surat, silsilah Raja Ali Haji serta indeks. Semua itu sangat membantu pembaca. Namun, alangkah baiknya jika disertakan pula gambar/foto Raja Ali Haji dan Hermann von de Wall, Sehingga khalayak pembaca, khususnya generasi kini, bisa membayangkan rupa sang penulis surat-surat dalam kekekalan  persahabatan.

Menulis atau Membuat Sejarah?

Menarik sekali menyimak tulisan Pak Taufik Effendi “Kita Menulis Sejarah” di Sindo (29/1/2007). Ditambah lagi dengan ajakan untuk berpikir ke depan, berpikir maju yang beliau ibaratkan seperti mengendarai mobil. Sesekali bolehlah “melirik” kaca spion, siapa tahu ada mobil atau motor di kanan-kiri kita. Namun, bagi yang pertama kali belajar mengemudi mobil, rasanya hampir selalu ingin melihat ke arah kaca spion. Khawatir kalau-kalau, mobil kita diserempet atau menyenggol kendaraan lain. Apalagi jika kreditannya belum lunas dan tanpa asuransi, urusan bisa tambah runyam.

Lain ceritanya kalau kita memang mau berjalan mundur. Kita harus melihat spion atau menengokkan kepala ke arah belakang. Namun, kalau kita sedang belajar mobil tentunya kita berjalan sangat perlahan. Bahkan mungkin lebih lambat dibanding laju sepeda. Itu karena rasa takut menabrak tadi. Bukan lantaran ada papan peringatan seperti di daerah pemukiman yang kerapkali bertuliskan: “Ngebut Benjut!” plus gambar tengkoraknya.

Tentunya tulisan Pak Taufik Effendi itu bukan mengenai cara mengemudi mobil yang baik atau kecenderungan calon pengemudi yang selalu melihat ke arah spion. Yang ironisnya angka kecelakaan kendaraan bermotor terus meningkat. Saya terus berupaya mencari hubungan judul dengan isi tulisannya. Karena pada awalnya, saya mengira isi tulisannya merupakan ajakan beliau untuk menulis sejarah.

Secara garis besar, tulisan beliau mengajak kita untuk keluar dari “carut-marut”nya kehidupan di negeri ini. Intinya jelas, beliau “keberatan” dengan kritik-kritik tajam yang akhir-akhir ini ditimpakan pada pemerintah, tanpa membantu mencarikan solusi. Ditambah lagi bencana beruntun yang semakin memojokkan posisi pemerintah dalam posisi sulit. Cocok seperti yang diibaratkannya yaitu posisi serba salah. Maju kena, mundur kena.

Namun, itu semua salah siapa? Salah pemerintah atau salah para pengkritik (orang-orang bijak nan cerdas)? Yang jelas, kita jangan sampai mata gelap lalu menyalahkan keadaan apalagi Tuhan. Karena mungkin saja, apa yang kita alami ini merupakan buah perbuatan kita di masa lalu yang tidak kita sadari. Betapapun kecilnya perbuatan kita di masa lalu, kita semua akan menuainya (mendapat balasannya). Apakah itu perbuatan baik atau buruk. Bisa saja, tak ada yang salah karena kita hanya manusia “bodoh”. Yang membiarkan semua ini serta mau dipermainkan oleh nafsu. Terus-menerus, berulang kali.

Memang akan sangat melelahkan dan membuat kepala pegal jika kita terus-menerus menengok ke belakang. Kepala bisa kram dan kaku, akibatnya kita sulit untuk melihat ke arah depan. Apalagi kalau kita mengendarai sepeda motor, tentu sulit sekali. Ditambah lagi akan adanya aturan pelarangan sepeda motor di jalan protokol. Kepala tidak hanya pegal tapi pusing lantaran ongkos transportasi menjadi bertambah.

Sehubungan dengan judul tulisan Pak Taufik itu, sebenarnya menurut hemat saya generasi kini inilah (termasuk saya atau Anda semua) yang diharapkan untuk dapat “membuat “ sejarah dan tidak sekedar  “menulis” sejarah. Karena, apa yang terjadi dan generasi kini lakukan, juga akan dituliskan oleh generasi yang akan datang. Itu pun kalau generasi kini rela “dituliskan” sejarahnya. Karena ada juga yang hanya ingin “menulis” sejarahnya sendiri. Tentunya bisa saja semua berisi yang baik-baik saja. Sedangkan hal-hal dan perilaku negatif atau aib dihilangkan. Maka muncullah istilah “penggelapan” sejarah. Yang jelas bukan dibuat pada saat listrik padam dan hanya menggunakan lilin atau pelita.

Sejarah yang kita “buat” pada masa kini dapat saja menjadi sejarah “hitam” atau  sejarah “putih” di masa nanti tergantung bagaimana kita menyikapinya. Meminjam ungkapan Pak Taufik, ada berbagai cara dalam mencapai tujuan (yang sama). Namun, mohon maaf jika menurut saya, tidak semua punya tujuan yang sama dalam berbangsa dan bernegara ini. Apa yang tertulis tebal dengan tinta emas dalam pembukaan UUD 45, mungkin bagi segelintir orang hanyalah sekedar tulisan tanpa makna. Hasil rembukan orang-orang di masa lalu yang menurut segelintir orang itu tak lagi sesuai konteks jaman. Karena dalam prakteknya pun jauh panggang dari api. Akibatnya, ya seperti sekarang. Tak ada komitmen bersama. Yang ada upaya selamatkan diri masing-masing. Siapa cepat, dia dapat. Bagimu, golonganmu, bagiku golonganku.

“Membuat” sejarah memang lebih mudah dibandingkan “menulis” sejarah karena setiap orang mampu melakukannya. Walaupun itu belum tentu penting atau menarik untuk dituliskan. Ambillah contoh kasus lumpur Lapindo. Anggap saja, ada sekelompok ilmuwan yang mampu menghentikan luapan lumpur itu dan menjadikannya sumber energi alternatif murah. Nah, para ilmuwan itu telah “membuat” sejarah. Kelak, bila ada orang yang hendak menuliskan sejarah kota Sidoarjo, para ilmuwan itu bisa dimasukkan sebagai bagian dari sejarah Sidoarjo.

Sebaliknya, “menulis” sejarah juga tak segampang seperti yang orang pikirkan. “Menulis” sejarah bukan sekedar menulis sesuai ide yang ada di kepala karena itu bukan fiksi dan rekaan. Ada metode-metode yang harus dipatuhi serta diarahkan dengan teori-teori yang telah ada. Belum lagi penelusuran terhadap sumber-sumber sejarah itu sendiri. Lalu menelitinya apakah sumber-sumber itu valid dan bisa dipercaya. Karena sumber-sumber itu sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menjadi sumber sejarah. Misalnya kas bon seorang pegawai tahun 50-an atau daftar belanja ibu rumah tangga tahun 60-an. Kas bon dan daftar belanja itu bisa membantu kita menggambarkan kondisi keuangan pada masa itu. Yang terpenting adalah upaya rekonstruksi sejarah ini harus dilakukan dengan penuh ketelitian. Sehingga kita bisa menggambarkan situasi masa lalu sedekat mungkin.

Lain halnya jika kita sekarang berhati-hati dalam melangkah dan berbuat. Segala sesuatu dilakukan dengan cermat dan teliti kalau perlu dicatat. Dengan niat, kelak sengaja akan dijadikan sumber sejarah. Kalau begini, kita perlu tempat penyimpanan segala macam sumber sejarah (arsip, barang cetakan, rekaman, gambar, film, dsb) yang baik. Itu pun kalau generasi kini sadar sejarah dan tak abai dengan semua hal yang kita anggap penting dalam kehidupan kita.

Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah tak ada sejarah yang tunggal karena itu bisa berbahaya dan dapat membodohkan. Biarlah, orang-orang “menuliskan” sejarahnya (menurut versi) masing-masing, asalkan sesuai dengan metode yang berlaku. Tidak ditambah-tambahi maupun dikurangi. Dengan kata lain, upaya penulisan dengan berbagai versi justru memperkaya kita dalam memahami masa lalu. Jadi daripada ditutup untuk sementara, lebih baik biarlah “garis batas” itu dibuka sehingga masa lalu tak sekedar lewat begitu saja. Seperti diktum seorang sejarawan terkenal bahwa setiap generasi menuliskan sejarahnya.

Rakyat kita sudah bosan dan jenuh dengan sikap-tingkah polah para “elit” yang terkadang membuat bingung. Belum lagi aneka tingkah yang membuat geli. Rakyat sudah kehabisan suara dan kata-kata, tak mampu lagi berteriak apalagi menangis karena air mata pun telah mengering. Mereka pun sulit “menagih” janji para “elit” yang dihamburkan pada saat Pesta Pemilu karena telanjur terlena. Lupa dengan janji mereka. Di sinilah para “elit” telah “membuat” sejarah yang akan dikenang oleh rakyat sepanjang hayat yaitu sejarah membodohi dan menipu rakyat.

Marilah kita “membuat” sejarah baik “hitam” (kalau mau) maupun “putih” walaupun tentunya “putih’ dianggap lebih baik. Kalau kita ingin “ngebut”, mengendarai mobil “Negara” ini, siapkanlah skill mengemudi, periksa kelengkapan mobil, pasang sabuk pengaman, dan siap dengan segala resikonya. Jangan seperti supir tembak yang mengejar setoran. Kita salip negeri-negeri jiran itu dan segera menjadi negeri yang besar. Ayo Bung!

Mengupas Gardu di Perkotaan Jawa

Judul   :  Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa
Judul Asli  :  Guardian of Memories:Gardu in Urban Java
Penulis  :  Abidin Kusno
Penerjemah : Chandra Utama
Penerbit :  Ombak, 2007
Tebal  : xv + 154 halaman
Coba tengok ke ujung gang atau jalan, pintu masuk sebuah kompleks perumahan, ada satu bangunan kecil yang mungkin tak menarik perhatian kita. Mungkin karena memang kita anggap tak penting atau karena kita tak pernah menyinggahinya. Gardu, demikian bangunan kecil itu disebut.

Dianggap tidak penting karena biasanya hanya digunakan untuk kongkow-kongkow di waktu siang dan menghabiskan malam saat meronda. Atau sekedar tempat mangkal para pengojek. Bangunan kecil ‘remeh’ itu memang kalah penting dibanding dengan monumen megah yang berdiri kokoh dan menghabiskan dana besar. Bahkan jika perlu menggunakan dana khusus atau anggaran pemerintah yang nota bene adalah uang dari rakyat. Di samping itu gardu tak pernah menjadi obyek wisata dan tak ada orang yang khusus berfoto-ria berlatar belakang gardu.

Namun, rupanya gardu tak seremeh yang kita bayangkan. Abidin Kusno melalui bukunya ini dengan cerdas menguliti fungsi-fungsi politik dan perubahan makna gardu dari masa kini lalu kembali ke masa silam. Ia juga merefleksikan gardu sebagai sebuah institusi yang perlu dipahami menurut sejarahnya yang spesifik.

Berbeda dengan buku sejarah konvensional yang kronologis dan linier, buku ini dibahas dengan gaya melingkar bak cakra manggiling. Buku ini diawali dengan penggambaran posko milik PDI Perjuangan era Megawati. Mundur ke masa Soeharto, lalu masa revolusi, jaman Jepang, masa kolonial Belanda, sedikit mengulas jaman Jepang, kembali ke masa revolusi, masa Soeharto lalu kembali ke posko Megawati.

Abidin Kusno, seorang arsitek yang menulis disertasi Behind the postcolonial: architecture, urban space, and political cultures in Indonesia di State University of New York memiliki gaya bertutur yang baik dalam menyusun mozaik data-data sejarah. Ia mampu menyiasati kekurangan data dengan menggunakan karya sastra sejaman sebagai pelengkap.

Posko Megawati menjadi titik tolak bukunya. Ketika itu pasca lengsernya Soeharto, kekacauan dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Respons komunitas kota atas kekacauan ini dimanfaatkan para elite politik untuk menarik perhatian wong cilik.

Adalah Megawati Soekarno Putri, ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memprakarsai pembangunan gardu atau yang lebih populer disebut posko (pos komunikasi) di berbagai tempat di Indonesia (hal.11).  Posko-posko PDIP ini menandai lahirnya sejarah gardu baru Indonesia yang sekaligus memberi makna baru pada gardu.

Bagi Megawati, posko bukan sekedar gardu untuk menjalin komunikasi, namun juga sebuah struktur yang mempresentasikan citra publik dirinya dan sang ayah, Soekarno. Megawati pun berpesan kepada para simpatisannya untuk menjaga posko, menggunakannya dengan baik serta menghindari semua tindakan yang membuat buruk posko. Hiasan gambar figur Megawati dan Soekarno di posko-posko tersebut seolah ‘menjaga’ dan ‘mengawasi’ orang-orang yang lalu lalang di depan posko.

Pada masa Soeharto, gardu biasa disebut pos hansip (pertahanan sipil), pos kamling (keamanan lingkungan) atau pos ronda. Pada masa ini juga menggunakan istilah ‘posko’. Namun, itu lebih mengacu pada pos komando yang dibangun unit militer secara temporer ketika mereka bertugas di wilayah yang rawan dan belum terkendali (hal.28).

Memasuki tahun 1980-an intelijen angkatan darat mendapat tuntutan perubahan yang memaksa mereka menyesuaikan operasi-operasi yang dilakukan. Menurut mereka ancaman keamanan bukan lagi datang dari Aceh, Timor Timur atau Irian Jaya namun sangat mungkin dari perkotaan. Di kota, unit-unit militer yang ditarik dari operasi-operasi luar daerah berbagi tugas dengan polisi. Pada masa ini posko militer bertransformasi menjadi pos hansip. Tak jarang beberapa anggota hansip di lingkungan perumahan ternyata pernah bertugas di Timor Timur misalnya.

Bila kita menelusuri sejarah gardu jauh ke belakang ternyata bisa dikatakan gardu sudah ada di Jawa sebelum datangnya bangsa Eropa. Gardu bisa ditemui di pintu masuk kediaman para bangsawan. Namun, tujuan gardu pada masa pra kolonial bukan untuk mengawasi, mengintai atau memberi batas teritorial. Gardu dibangun untuk menunjukkan kuasa raja sebagai pusat kosmos (hal.47).

Kesadaran teritorial pun muncul akibat bercampur-baurnya rezim penguasa yang berbeda . Misalnya Daendels yang dipengaruhi Prancis dan Raffles yang dipengaruhi Inggris. Gardu pun menjadi bagian terpenting dalam kesadaran teritorial itu. Pengaruh pemerintah kolonial Belanda serta di Hindia Belanda menyebabkan pergeseran makna gardu yang tidak hanya melambangkan keamanan tapi juga kekuasaan, wilayah dan identitas.

Perubahan penting dapat dikatakan terjadi pada masa Daendels. Gardu muncul dan berperan dalam institusi ronda (baik siang maupun malam). H.C.C. Brousson pun menduga kata gardu kemungkinan berasal dari bahasa Prancis ‘garde’.  Hal tersebut berkaitan dengan strategi batas teritorial yang digunakan Daendels dalam memerintah Jawa.

Hal menarik lain yang diulas Abidin Kusno ialah pengalaman etnis Tionghoa terhadap gardu. Pengalaman mereka sangat jarang disinggung karena sebagian besar pembahasan seputar makna gardu menyajikan gardu sebagai warisan sejarah budaya Jawa. Padahal gardu memiliki sejarah dan makna yang spesifik bagi mereka.

Pencatat sejarah kota Semarang, Liem Thian Joe memperlihatkan bahwa perkara-perkara yang berkaitan dengan jaga dan gardu mulai muncul pada era kompeni (VOC). Berawal dari pembantaian massal terhadap orang-orang Tionghoa pada 1740. Peristiwa itu menyebabkan sebuah wilayah khusus yaitu Glodok disiapkan oleh VOC untuk mengontrol orang-orang Tionghoa. Imbas lainnya adalah pada 1741, kelompok Tionghoa di Semarang membangun ‘betengan’ (barikade) dari kayu dan papan di depan kampung Tionghoa (hal.84).

Menjelang abad ke-19, peristiwa Java Oorlog (Perang Jawa), pemberontakan Diponegoro menghembuskan kabar angin yang beredar di kalangan Tionghoa. Isinya mengenai serbuan kawanan brandal. Peristiwa yang dikenal dengan ‘gegeran Diponegoro’ itu membuat mereka membangun gardu dan gerbang-gerbang di sekitar kampung.

Tahun 1940-an, Jepang mulai menduduki Jawa. Pemerintahan Hindia Belanda frustasi mencari tenaga yang mau mempertahankan Hindia. Mereka mengembangkan sebuah program yang melatih warga sipil untuk menjadi penjaga kota (stadswacht) sukarela. Seorang warga sipil di Malang, Kwee Tiam Tjing terpanggil ikut menjadi penjaga sukarela. Dalam bukunya Indonesia dalem Api dan Bara, ia menuliskan gardu-gardu “ (wacht-wacht) jang ditempatken di moeloet djalanan-djalanan jang menoejoe ka kota Malang…”  (hal.90).

Pada masa pendudukan Jepang, ‘saudara tua’ kita ini justru memanfaatkan mobilisasi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda secara terbalik. Bila pada masa Hindia Belanda, penjaga kota diacuhkan dan tak mendapat perhatian warga, pada jaman Jepang  orang Indonesia diinstruksikan agar berhenti dan memberikan hormat pada penjaga kota. Lalu bila penjaga-penjaga kota pada masa kolonial Belanda dilatih dengan berbagai macam protokol disipliner, maka ‘adik-adik’ Jepang ini dilatih dengan hukuman fisik. Kesalahan kecil dibalas dengan tempelengan, tendangan dan pukulan (hal.99). Hal ini mengingatkan kita pada perlakuan para ‘oknum’ siswa IPDN terhadap siswa lainnya.

Sistem toniragumi (kelompok lingkungan, cikal bakal RT/RW yang kita kenal sekarang) yang diterapkan pada jaman Jepang melahirkan organisasi keamanan Keibodan yang beranggotakan warga setempat. Para anggota Keibodan digambarkan sebagai orang-orang yang saling bekerja sama dalam semangat gotong royong dengan penjaga kampung di lingkungan mereka. Di sini gardu tidak hanya merepresentasikan keamanan kampung tapi juga merangsang semangat gotong royong antara negara dan masyarakat (hal.105).

Lain halnya dengan masa revolusi. ‘Gardu’ yang diwujudkan dalam bentuk ‘pos-pos komando’ didirikan oleh Tentara Nasional Indonesia di desa-desa dan zona-zona perbatasan yang ditentukan Belanda. Fungsinya untuk menjamin keamanan dan ketertiban. ‘Gardu’ lainnya dibangun oleh kelompok-kelompok masyarakat (biasanya pemuda) untuk menghadapi aksi huru-hara dan pembunuhan yang dilancarkan milisi-milisi liar.

Berbeda dengan penjaga gardu biasa atau polisi yang diawasi negara, para pemuda (revolusi) ini seolah berhak menentukan siapa lawan dan kawan. Mereka tidak hanya sekedar bertanya melainkan juga berhak memeriksa identitas politik orang-orang yang mereka jumpai. Biasanya para pemuda revolusi ini mengawali dengan pertanyaan: “mana surat keteranganmu, Bung?” (hal.122).

Pada masa kini gardu seolah menjadi bagian dari kapitalisasi massa cerminan masyarakat urban. Dalam suatu acara televisi beberapa waktu lalu yang disiarkan menjelang sahur, latar belakang gardu plus kentongan seolah mewakili suasana malam menjelang pagi. Beberapa orang (biasanya beberapa pelawak plus artis bintang tamu) berpakaian hansip atau berselimutkan sarung menjadi properti melengkapi gardu. Acara itu pun mampu menyedot pemirsa dan iklan yang lumayan banyak.

Gardu memang tak sekedar hanya pajangan atau pelengkap untuk menjaga keamanan suatu wilayah berhiaskan papan bertuliskan: “ Tamu harap lapor 2 x 24 jam”. Berbagai permasalahan di negara kita mulai dari nomor buntut, skandal seks artis atau pejabat, korupsi, interpelasi terhadap presiden, terorisme bisa dibahas sini, tanpa terikat waktu dan khawatir disomasi. Selain itu gardu tak akan hilang dari ingatan karena memang kita tak pernah mengingatnya. Pertanyaan yang muncul adalah apa makna gardu di masa datang?

Dimuat di Kompas, 23 Juli 2007 Continue reading “Mengupas Gardu di Perkotaan Jawa”

Sejarah Pendidikan Tionghoa Masa Kolonial

Judul : Dutch Colonial Education: The Chinese Experience in Indonesia 1900-1942
Judul asli : Hollands onderwijs in een koloniale samenleving: Dhe Chinese ervaring in Indonesie 1900-1942
Pengantar : Wang Gungwu
Penulis: Ming Govars

Penerbit: Chinese Heritage Centre, Singapore 2005

Tebal: xxiii + 37o halaman

Sejarah bila ditulis dari dalam akan terasa sekali perbedaannya. Apalagi jika si pelaku itu sendiri yang menuliskannya. Namun, tetap ada faktor penting yang harus diperhatikan. Supaya tak terjebak dengan emosi pribadi yang terkadang mengalahkan obyektifitas. Demikian pula dengan buku yang merupakan terjemahan disertasi Ming Govars dalam bahasa Belanda di Universiteit Leiden pada 1999.

Dikatakan dilihat dari dalam karena sang penulis Ming Govars lahir dan besar di Hindia. Tepatnya di Padang pada 1922 dengan nama Ming Tien Nio Tjia. Ia menyelesaikan ELS di Padang. Lalu setahun di HBS serta sekolah perdagangan di Batavia. Tahun 1958 ia pindah ke Belanda dengan suaminya, Willem Bramwell Govars. Dalam usia yang boleh dikatakan tidak muda lagi Ming Govars menyelesaikan penelitian mengenai pendidikan Tionghoa masa kolonial ini.

Tema pendidikan cukup menarik mengingat buku-buku mengenai sejarah masyarakat Tionghoa kebanyakan melihat dari sudut pandang politik, sosiologis, antropologis. Secara garis besar buku ini membahas sejarah perkembangan pendidikan Tionghoa masa kolonial dalam kurun waktu 1900-1942. Yang mencakup pengaturan, tujuan, perubahan yang terjadi serta konsekuensi dari perubahan tersebut. Dikaitkan pula pengaruh Chineese Beweging (Gerakan orang Tionghoa) dan yang penulis sebut Neo-Chineese Beweging (Neo Gerakan orang Tionghoa) terhadap pendidikan.

Dalam tempo yang cukup panjang (1900-1942), Ming Govars juga menelusuri ke belakang, melihat sejarah orang Tionghoa di Hindia (Indonesia) pada abad ke-17 (masa Verenigde Oost Indische Compagnie) serta kedudukan mereka dalam masyarakat ketika itu. Yang khusus ia bahasa dalam bab 2 Education 1600-1900 (hal.30).

Adalah Regeringsreglement (Peraturan Pemerintah) tahun 1818 yang menunjukkan pandangan baru dalam pendidikan kolonial. Sekolah-sekolah yang dahulunya sebagai institusi khusus (baca: berhubungan dengan agama) , mulai mendapat perhatian pemerintah kolonial. Pemerintah pun menawarkan anak-anak pribumi untuk bersekolah di sekolah-sekolah Belanda.

Namun, dalam aturan tersebut tidak disebutkan anak-anak kalangan Tionghoa. Tapi toh mereka pun akhirnya bisa bersekolah di sekolah-sekolah Belanda itu. Seperti isi laporan Algemeen Verslag van het Onderwijs (laporan umum pengajaran) 1849 yang menyebutkan adanya hak privilege bagi anak-anak Tionghoa untuk bersekolah di sekolah-sekolah Belanda. Ironisnya, anak-anak Tionghoa ini lalu sama sekali tidak diperkenankan belajar di sekolah-sekolah pemerintah (sekolah Eropa). Khususnya, setelah Komisi Pengajaran yang disetujui oleh pemerintah pada 1849 menyatakan bahwa anak-anak Tionghoa (termasuk anak-anak Jawa) bisa “merusak” perkembangan moral anak-anak Eropa (hal.44).

Tahun 1845 pemerintah kembali membuka sedikit pintu dengan memperbolehkan anak-anak Tionghoa belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan syarat tertentu. Terutama, mereka harus memiliki izin dari Komisi Pengajaran. Peraturan baru pun terus digulirkan. Hasilnya pada akhir 1869, anak-anak Tionghoa termasuk dari 193 anak non-Eropa yang belajar di sekolah-sekolah Belanda di Jawa. Menurut J.M. Rosskopf dalam Het Europeesch onderwijs in Indië (1895), pada 1893 dari 13.537 murid sekolah di seluruh Nusantara terdapat 153 anak Tionghoa. Jumlah ini tentu membuat miris, mengingat dari lebih setengah juta penduduk Tionghoa (berdasarkan sensus 1905) hanya sedikit saja yang bisa mengecap pendidikan. Ditambah lagi bila mengingat “sumbangan” penduduk Tionghoa terhadap pemerintah Hindia Belanda selama tiga abad.

Bila kita melihat sejarah perkembangan pendidikan untuk orang Tionghoa pada masa kolonial di Hindia Belanda, kita dapat melihat peranan penting baik dari sekolah swasta Tionghoa serta sekolah pemerintah Hindia Belanda. Membuat sistem sekolah yang baik merupakan tujuan dari Tiong Hoa Hwe Koan ketika organisasi ini didirikan pertama kali pada 1900 di Batavia. Dibentuknya sekolah Belanda-Tionghoa pada 1908 jelas merupakan reaksi langsung atas keberhasilan sekolah Tiong Hoa Hwe Koan.

Ironisnya, pemerintah Hindia Belanda tak pernah mempertanyakan atau melihat pentingnya orang Tionghoa bagi masyarakat Hindia. Berbagai pujian dan kritikan muncul untuk masyarakat Tionghoa di Hindia ini. Di samping itu juga perlakuan diskriminatif yang selalu mereka terima baik oleh pemerintah maupun masyarakat lainnya hingga kini.
Walau pada kenyataannya ada pula kalangan Tionghoa yang membatasi diri mereka hanya untuk kalangan mereka sendiri.

K.Verboeket dalam De geschiedenis van de Chineezen in Nederlandsch Indië menuliskan bahwa Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (1618-1623) pernah menyatakan: “Tak ada penduduk di dunia yang melayani kami sebaik orang Tionghoa”. Gubernur Jenderal Cornelis van der Lijn (1645-1650) juga menyebutkan bahwa “Mereka (baca:orang Tionghoa) merupakan salah satu peletak dasar koloni.”

Thomas Stanford Raffles (1811-1816) pun menyebut orang Tionghoa sebagai jiwanya perdagangan dan perekonomian. Bahkan ahli ekonomi E. Helfferich dalam artikelnya “Het vreemde element in Nederlandsch-Indië” di Economische statistische berichten vol 11 (1926) mengatakan bahwa bila orang Tionghoa tidak pernah ada, maka mereka tidak akan menemukan kehidupan perekonomian di Hindia” . R.A Kartini dalam salah satu suratnya untuk istri Direktur Pendidikan J.H. Abendanon tertanggal 14 Desember 1902 memuji kedermawanan orang Tionghoa yang membantu pemerintah kolonial ketika terjadi bencana banjir.

Puji-pujian tersebut berbanding terbalik dengan kritik dan kecaman berikut. Misalnya kecaman J.F.W. van Nes dalam artikel “De Chinezen op Java” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (1851) yang menyebutkan berbahayanya orang Tionghoa bagi orang Belanda dan Jawa. Atau J.S Furnivall yang membandingkan orang Tionghoa sebelum tahun 1900-an dengan parasit. Belum lagi cibiran terhadap masyarakat ini kerap dilontarkan. Seperti cibiran dalam sebuah catatan perjalanan seorang serdadu Belanda yang menyebut masyarakat Tionghoa, “Yahudi”nya Asia. Demikian pula stereotipe dalam roman-roman kolonial yang hampir selalu menggambarkan hal negatif masyarakat Tionghoa di Hindia (pedagang candu, pemilik rumah bordil).

Terlepas dari pujian dan kritikan tersebut, masyarakat Tionghoa di Hindia ketika itu tentu mempertanyakan mengapa pemerintah kolonial butuh 300 tahun untuk menyediakan sekolah bagi mereka. Bahkan ketika pemerintah membutuhkan para pegawai rendahan baru untuk kepentingan mereka, yang akhirnya membuka sekolah bagi penduduk pribumi, kesempatan tidak terbuka bagi penduduk Tionghoa.
Barulah setelah penghapusan sistem konsesi (Politik Etis), munculnya Chineesche Beweging (Gerakan orang Tionghoa) dan berkembangnya pendidikan Tiong Hoa Hwe Koan yang nasionalis pada awal abad ke-20, kebijakan pendidikan pemerintah berubah drastis.

Gerakan orang Tionghoa ini pun menjadi isu politik penting. Setelah tawar-menawar antara pemerintah Belanda dan Republik Tiongkok, akhirnya diputuskan bahwa masyarakat Tionghoa di Hindia menjadi bagian dari perhatian yang dipertimbangkan oleh pemerintah. Sekolah Belanda-Tionghoa yang dibuka pada 1908 dan diharapkan dapat “memperkuat” pemerintah kolonial, justru mempengaruhi kalangan Peranakan Tionghoa (hal.202). Politieke Inlichtingen Dienst (Intel politik pemerintah kolonial) tetap mengawasi sekolah-sekolah swasta Tionghoa. Mereka khawatir pada pengaruh gerakan nasionalis di Tiongkok melalui sekolah-sekolah tersebut.

Manfaat yang bisa diambil dari buku ini adalah ternyata pendidikan pun tak luput dari kebijakan politik. Suatu persoalan yang hingga kini masih kita hadapi. Bagai pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Mulai dari polemik ujian nasional, dana bantuan sekolah, RUU guru, minimnya anggaran pendidikan hingga kebijakan yang berganti-ganti. Semua itu menggambarkan bahwa persoalan pendidikan masih dianggap tidak penting dan tidak perlu. Padahal persoalan pendidikan adalah persoalan masa depan. Di sinilah investasi sumber daya manusia yang sesungguhnya.

Buku ini dilengkapi pula dengan kata pengantar dari Wang Gungwu dari East Asian Institute Singapura, daftar dan tabel jumlah sekolah, mata pelajaran serta murid Tionghoa di Nusantara, foto-foto, indeks. Buku ini merupakan sumber berharga bagi para peneliti, pengamat dan peminat kajian masyarakat Tionghoa di Indonesia sebelum Perang Dunia II karena kaya akan sumber primer (baca: Belanda) yang juga seyogyanya perlu dikritisi lebih lanjut.

Cahaya yang menari : Sejarah Seni Kaca Patri Masa Kolonial di Indonesia

Tidak banyak orang yang memperhatikan salah satu ornamen penting ini dalam suatu bangunan. Padahal ornamen itu sangat cocok dengan iklim tropis Indonesia yang kaya akan matahari. Ornamen hiasan tersebut akan semakin indah bila cahaya sinar matahari menembusnya. Seolah cahaya itu menari. Ornamen indah itu adalah kaca patri yang dalam bahasa Belanda disebut glass-in-lood.  Sementara itu dalam bahasa Inggris disebut leaded glass  atau stained glass art.

Ditinjau dari sejarahnya, seni kaca patri merupakan ornamen arsitektur yang berasal dari Eropa. Penggunaan kaca warna pada jendela terutama untuk rumah ibadah (gereja) dimulai pada pertengahan abad ke-12. Pada zaman Gotik inilah, seni ini berada pada puncak kejayaannya. Jauh sebelumnya, teknik pewarnaan pada kaca sudah dikenal di Mesir dan Mesopotamia pada milenium ketiga sebelum masehi. Yang kemudian berkembang pada masa Romawi.

Di Indonesia sebenarnya kita mengenal pula ornamen kaca patri ini. Namun, tidak jelas siapa yang membawa seni kaca patri ini ke Indonesia. Menariknya, sampai paruh pertama abad ke-19 kaca termasuk jenis barang mewah dan sangat mahal. Baik di Indonesia maupun di Asia, termasuk China dan Jepang. Dari arsip laporan tahunan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Batavia untuk kantor pusat di Amsterdam, terdapat beberapa catatan tentang impor barang-barang kaca dari Belanda atau Eropa. Barang-barang kaca itu untuk dijual atau diberikan sebagai hadiah kepada raja-raja atau sultan-sultan di Indonesia. Namun, VOC lebih banyak menjual atau memasok kaca ke India, China dan Jepang. Pada 1675 VOC sempat memikirkan untuk mendirikan pabrik kaca di Batavia tetapi rencana itu tidak terwujud. Di Indonesia pun, bahan kaca tetap langka sampai awal abad ke-20, kecuali untuk kalangan terbatas. Baru sesudah 1910-an kaca semakin terjangkau dengan impor kaca dari Jepang.

Dapat dikatakan pada 1900-an merupakan awal penggunaan kaca patri selain di tempat-tempat ibadah. Pada masa ini kaca patri mulai digunakan untuk bangunan kantor, hotel dan rumah tinggal, terutama bangunan yang bergaya arsitektur art deco. Berbeda dengan kaca patri di rumah-rumah ibadah, penggunaan kaca patri untuk rumah tinggal pada umumnya hanya menempati bidang kecil pada bagian bangunan yang disebut bovenlicht, yaitu jendela kecil yang bisa dibuka tutup. Panel kaca patrinya kecil-kecil dan terpasang pada kusen. Supaya kaca patri tampak alami maka kusennya juga dipelitur.
Di Indonesia kita bisa menemukan jejak seni kaca patri ini, terutama di Jawa. Misalnya di gereja Katedral Jakarta yang diresmikan pada 1901. Menurut Han Awal, arsitek senior Indonesia, gereja ini dirancang pada 1891 oleh A. Dijkmans seorang pastor yang juga arsitek. Lantaran sakit dan harus kembali ke Belanda, maka pembangunannya dilanjutkan oleh M..J. Hulswit dari biro arsitek terkenal di Belanda, Fermon & Cuypers. Oleh karena itu di prasasasti depan gereja yang disebut hanya Cuypers-Hulswit sebagai arsiteknya. Gaya arsitektur gereja ini adalah neo gotik karena merupakan “tiruan gaya Gotik”. Pada bagian Barat gereja ini kita akan menjumpai jendela rosetta besar yang dihiasi kaca patri indah.

Ornamen kaca patri juga dapat ditemui di gedung Museum Bank Indonesia yang dulu merupakan kantor Javasche Bank, cikal bakal Bank Indonesia. Gedung yang bergaya neo klasik ini sebelumnya adalah bekas rumah sakit Binnen yang dibangun pada 1828. Lagi-lagi perancang bangunan ini adalah oleh biro arsitek Fermont & Cuypers. Khusus di ruangan direktur yang dikenal dengan nama Ruang Hijau, di sana terpasang panel-panel jendela kaca patri berwarna-warni indah dengan gambar aneka produk alam. Produk alam itu merupakan komoditi yang diperdagangkan Belanda pada masa itu, seperti kopi, lada, timah, emas, kapas, karet, tebu. Beberapa panel jendela hilang sehingga perlu waktu untuk mengetahui komoditi yang terdapat dalam panel tersebut.

Seluruh jendela kaca patri di museum Bank Indonesia itu dibuat oleh  seniman Belanda bernama Ian Sihouten Frinsenhouf dari Delft. Saat ini panel-panel kaca patri di gedung museum Bank Indonesia sedang direstorasi  oleh Eztu Glass Art, pimpinan Brian Yaputra & Freddy Sudjadi, dua maestro kaca patri Indonesia yang membawa seni kaca patri sejak 1981 kembali Indonesia.

Di Yogyakarta kita akan menjumpai hiasan kaca patri ini di Kraton Yogya. Terletak di bangsal Trajumas, bangsal ini memiliki fungsi penting untuk upacara dan sebagai ruang pengadilan. Hiasan kaca patri yang ada di sana bergaya Victorian dipadu dengan gambar alat musik seperti terompet, biola dan sejenis harpa.

Hiasan kaca patri juga dapat ditemui di Hotel Oranje di Surabaya, kelak berganti nama menjadi hotel MADJAPAHIT dan sekarang bernama Mandarin Oriental   . Hotel ini diresmikan pada 1900 dan kaca patrinya juga direstorasi pada 1993.  Begitupula dengan Hotel Sentral di Wonosobo. Kedua hotel tersebut pun  telah direstorasi oleh EZTU GLASS ART. Pada sebuah rumah peninggalan masa kolonial di Malang, kita juga dapat menjumpai kaca patri dengan desain yang terinspirasi dari Frank Lloyd Wright. Demikian pula dengan bangunan-bangunan rumah di Surabaya yang menggunakan ornamen kaca patri bergaya Mondriaan. Dengan ciri khas garis segi empat tetapi warnanya berbeda.

Bangunan mesjid pun tak luput dari sentuhan ornamen kaca patri. Misalnya Masjid Menara Kudus yang sebenarnya bernama Masjid Al-Aqsha. Berdasarkan inskripsi dalam bahasa Arab, masjid ini didirikan pada 1549 oleh Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus. Pada 1925 bagian depan masjid ditambah bangunan baru berupa serambi. Pada 1933, bagian serambi itu disambung lagi dengan bangunan baru yang juga berupa serambi. Serambi ini memiliki mimbar kubah bercorak arsitektur bangunan India. Disekelilingnya dihiasi kaca patri yang indah dan unik. Panel-panel kaca patri yang menghiasinya merupakan kombinasi motif gaya art deco dengan kaligrafi  huruf-huruf Arab. Di sana tertulis nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, serta empat orang imam mazhab (Hanafi, Hambali, Syafi’i dan Maliki), dll.

Gereja St Paulus di Bandung yang dibangun tahun 1919 hasil rancangan arsitek Belanda C.P. Schoemaker juga memanfaatkan keindahan kaca patri. Lukisan Yesus dan Bunda Maria dalam paduan warna-warna indah memberi kesan lebih religius yang khusyuk dalam gereja. Selain itu penggunaan kaca patri secara besar-besaran digunakan di aula barat dan timur Technische Hoogeschool Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung). Itu merupakan hasil rancangan Ir Mclaine Pont. Ia sengaja menggunakan warna kaca yang putih bersih. Dengan alasan supaya sinar matahari dari luar bisa masuk. Sehingga ruangan menjadi lebih terang tanpa terasa panas dan silau. Demikian pula dengan bangunan hotel Savoy Homann yang pada waktu renovasi 1939 dirancang oleh A.F. Aalbers juga menggunakan ornamen kaca patri.

Bila kita cermati gaya kaca patri (khususnya rumah) yang dominan adalah gaya modernisme dari Piet Mondriaan , salah satu pelopor De Stijl, majalah seni di Belanda yang terbit 1917. Tokoh De Stijl lainnya adalah Theo van Doesburg (1883-1931) yang sempat mengunjungi arsitek Amerika Frank Lloyd Wright. Frank Lloyd Wright (1867-1959)  adalah salah satu pelopor aliran modernisme dalam arsitektur di Amerika. Aliran ini mengembangkan gagasan fungsional, bentuk mengikuti fungsi (form follow function). Bagian bangunan tanpa fungsi serta unsur dekorasi tanpa fungis tabu dibuat. Sehingga keindahan timbul karena pancaran komposisi elemen-elemen berfungsi.
Kemungkinan besar aliran ini sangat berpengaruh pada arsitek-arsitek di Belanda. Yang kemudian membawanya masuk ke Indonesia. Mereka menyesuaikan dengan budaya dan iklim setempat. Seperti pada karya-karya Cuypers, Karsten, Henri Maclaine Pont (1884-1971), C.P. Wolff Schoemaker (dosen dan pembimbing Soekarno waktu mahasiswa). Para arsitek inilah yang “membangun” kota , merancang dan merenovasi berbagai bangunan di kota-kota besar Jawa seperti Bandung, Batavia, Surabaya, Semarang. Bisa jadi pula seni kaca patri digunakan mereka sebagai bagian ornamen rancangan arsitektur yang disesuaikan dengan fungsi. Memanfaatkan sinar matahari tropis sehingga cahayanya yang masuk menembus panel-panel kaca patri seolah menari dengan indah.

Memang kaca patri sejak diciptakan telah mempesona dan terbukti memberi keindahan. Demikian pula kaca patri di setiap rumah ibadah menimbulkan perasaan yang khusyuk, damai  kepada umatnya. Kedamaian dan keindahan ini juga diterapkan oleh para desainer di setiap lokasi yang mereka perlukan. Maka seni kaca patri hingga saat ini tidak pernah.pudar, malahan selalu dapat  disesuaikan dengan gaya desain arsitektur yang sedang trendy.

Dimuat dalam INA Magazine  Vol.XVII. no.1

Inspirasi Kaleidoskopis Jakarta

Judul   :  Jakarta Batavia: Esai Sosio-Kultural
Judul asli : Jakarta Batavia: Socio-cultural essays
Penyunting :  Kees Grijns dan Peter J.M Nas
Penerjemah : Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis
Penerbit :  KITLV-Jakarta dan Banana, Maret 2007
Tebal  :  378 halaman

F. de Haan pernah sesumbar bahwa ia telah meneliti Batavia sampai ke akar-akarnya. “Si Jago”, demikian julukan arsiparis-peneliti ini, mengatakan Batavia telah ditelitinya seperti ia memeras sebuah jeruk segar hingga kering. Tak tersisa setetes pun. 

Sesumbar de Haan ada benarnya karena bila kita membaca buku ini, hampir sebagian besar para penulis artikel menggunakan de Haan sebagai sumber. Namun, de Haan melupakan satu hal, membicarakan Batavia atau Jakarta sekarang, tak akan ada habisnya. Buktinya, hampir setiap tahun persoalan yang dihadapi kota yang dahulu bergelar “Ratu dari Timur”, beraneka ragam.

Menariknya, segala macam persoalan itu berakar dari berbagai masalah yang nyaris sama di masa lalu. Sebut saja aspek demografi, morfologi perkotaan, lingkungan hidup, lalu lintas hingga banjir. Dalam konteks itulah, buku Jakarta Batavia: Esai Sosio-Kultural layak dibaca. Khususnya bagi bakal Gubernur , penduduk serta pendatang DKI Jakarta.

Buku yang membahas Jakarta ini merupakan kumpulan artikel yang ditulis oleh para ahli berbagai latar belakang disiplin ilmu dari luar maupun dalam negeri. Mulai dari sejarah, sosiologi, antropologi, geografi, linguistik, arsitektur bahkan sastra. Suatu pendekatan yang semestinya juga dilakukan oleh para pengelola serta aparatur ibu kota negara ini yang memiliki beragam masalah.

Titik tolak yang digunakan buku ini bukan berdasarkan tematis tapi kronologis. Yang merentang dari masa VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), abad kesembilan belas, periode akhir masa kolonial hingga periode modern pascakemerdekaan.

Simak saja uraian Blussé membahas ritual diplomatik internasional pada periode awal Batavia. Ia menuturkan bagaimana para pejabat VOC harus mempelajari etiket dan protokol diplomatik. Berbagai upacara penyambutan, seperti tur dengan kereta kuda, defile pasukan bertombak, tembakan salvo hingga diisapnya sebatang pipa cangklong  harus diketahui oleh pejabat VOC. 

Lalu ia membandingkan dengan penyambutan tamu negara masa kini. Melesat dengan kecepatan penuh dari bandara ke penginapan mereka, didahului dan diikuti rombongan polisi militer dengan raungan sirine dan lampu menyala-nyala. Tanpa memberi kesempatan pada penduduk Jakarta untuk bertatapan dengan tamu pembesar asing itu (hal.36).

Masalah kesehatan serta nyamuk yang hingga  sekarang juga menjadi masalah serius Jakarta ternyata juga merupakan persoalan pada masa lalu. Ironisnya, hal itu seolah menjadi persoalan yang tak kunjung padam. Masalah kesehatan pada masa VOC inilah yang dibahas lugas oleh Van der Brug.

Rumah sakit kompeni yang seharusnya membuat pasien menjadi sehat justru semakin membuat pasien sakit bahkan meninggal. Sehingga para pegawai senior VOC kalau masih menyayangi nyawa disarankan untuk dirawat di rumah saja daripada dirawat di rumah sakit yang jorok, kotor, penuh sesak (hal.51). Bagaimana pula dengan pelayanan rumah sakit pada masa kini?

Menurut penduduk, penyakit mereka berasal dari “uap jahat” yang ditengarai karena pendangkalan pantai yang dipenuhi sampah, bangkai ikan busuk. Tidak hanya itu, kanal yang tercemar, kuburan di halaman gereja, kualitas air, penebangan hutan, penggalian saluran air di sekitar kota hingga pencemaran Sungai Ciliwung karena adanya pabrik gula dituding sebagai biang kerok penyakit ganas di Batavia (hal.52).

Nyamuk pun jadi sasaran kambing hitam. Bila masa kini yang ditakuti nyamuk demam berdarah (Aedes aegypti), maka pada masa VOC nyamuk malaria (Anopheles sundaicus) jadi momok menakutkan. Begitu berbahayanya hingga pada masa VOC orang mengenakan “pakaian anti nyamuk” khusus dan dalam berbagai pesta makan malam adalah hal biasa setiap tamu mempunyai seorang pelayan pribadi yang bertugas mengusir nyamuk dengan kipas besar (hal.64).

Ketidaksehatan Batavia ini sangat terkenal hingga seluruh Eropa. Ketika Raffles yang menjabat letnan gubernur Jawa kembali ke Inggris pada 1816, ia ditugaskan ke St. Helena menemui Napoleon. Pertanyaan pertama Napoleon adalah apakah Batavia masih tidak sehat. Ketika itu memang Raffles sedang menderita malaria-cachexie dan tampak kurus (hal.73).

Masalah keamanan wilayah Ommelanden (di sekitar) Batavia menjadi perhatian Remco Raben. Persoalannya adalah konflik antar komunitas. Pada 1686 ketika sebuah gardu jaga di kota diserang bandit-bandit Bali, VOC memutuskan mengeluarkan peraturan terperinci mencakup semua komunitas di Ommelanden. Diangkatlah para kepala kampung dengan pangkat kapten. Mereka diberi imbalan tanah untuk diri mereka serta para pengikutnya. Dengan cara ini diharapkan berbagai komunitas dijauhkan dari dalam kota (hal.104). Salah satu contohnya adalah Kapten Jonker yang memiliki tanah di dekat Sungai Marunda.

Bicara ‘kepala kampung’, Mona Lohanda dalam artikelnya menyebutkan, kepala kampung pertama yang diangkat pada 1620 adalah kepala kampung Cina, Kapitan Cina. Berbeda dengan pengangkatan kapten Cina pertama yang tercatat dalam Resolutien van ‘t Casteel Batavia tanggal 11 Oktober 1620, VOC justru tidak memberi perhatian pada pengangkatan Inlandsche Kommandanten yang berasal dari berbagai ‘suku’ ini. Antara lain adalah Kommandant der Boegineezen en Makassaren (Bugis dan Makkasar), der Amboneezen en Boetonders (Ambon dan Buton).

Apakah kaum bangsawan dikenal dalam masyarakat Betawi? Pertanyaan inilah yang mendasari Yasmine Shahab dalam membahas pembentukan elite Betawi yang berpangkal pada sejarah prakolonial. Dalam artikelnya Yasmin menampilkan sebuah perhimpunan bernama Al Fatawi Mangkudat yang menyatakan diri sebagai representasi aristokrasi lama Jayakarta pra-Batavia sehingga memberi para anggotanya hak untuk dianggap sebagai B.A alias orang Betawi Asli (hal.213).

Karya sastra ternyata dapat juga dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi masa lalu. Seperti artikel Gerard Termorshuizen yang menggunakan novel-novel P.A Daum dalam mengungkapkan kehidupan kolonial di Batavia. Mulai dari gambaran kedudukan sosial, hobi pamer, kehidupan religius, hiburan dan kebudayaan, kaum Indo rendahan dan nyai hingga kaum pribumi miskin yang tertindas. Di sini tampak bahwa karya sastra itu terkadang bisa memunculkan gambaran lebih jelas tentang sebuah masyarakat ketimbang sebuah rak sarat naskah sejarah yang formil dan kaku.

Sementara itu Huub de Jonge memusatkan perhatian pada orang Arab di Batavia. Kelompok etnis yang relatif kurang mendapat perhatian. Padahal komunitas Arab di Batavia adalah komunitas Arab terbesar kedua setelah komunitas Arab di Surabaya. Ia membahas sejarah komunitas Arab di Batavia, ketegangan dan konflik dalam komunitas tersebut.

Susan Blackburn dalam artikelnya menyoroti persoalan hak pilih perempuan dan posisi perempuan di Batavia yang tampaknya merupakan persoalan rumit.  Ia mengungkapkan sulitnya kerjasama antara kaum perempuan pribumi, Tionghoa, Belanda dan Indo. Hal yang khusus dibahas adalah cabang Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (Perhimpunan Pemilih Perempuan) di Batavia yang belum pernah dikaji sebelumnya.

Nama-nama tempat di JA[DE]BOTABEK merupakan hasil penelitian memikat Kees Grijns yang menandai memori kolektif dan historis komunitas urban. Ia mengungkapkan berbagai nama jalan di Jakarta yang masih menunjukkan karakter asli pedesaan tempat itu, misalnya Kebon Sirih, Kebon Jeruk atau Kebon Kopi. Begitupula nama jalan dengan nama haji tertentu yang menunjukkan kentalnya ikatan emosional orang Batavia dengan Islam tradisional. Namun, tahukah kita ada gang yang diberi nama ‘Gang TSS’?  Ternyata merupakan singkatan ‘Tolong Sakit Sengsara’ dan penghormatan terhadap seorang dokter Jawa yang membantu penduduk selama penjajahan Jepang (hal.230).

Topik pelestarian alam di kawasan metropolitan Jakarta digarap Luc Nagtegaal dan Peter J.M. Nas. Mereka memaparkan kondisi kawasan hijau dari tipe-tipe yang berbeda, seperti taman, tanah kosong, taman milik pribadi, lapangan terbang, tanah makam, padang golf, lahan pertanian serta daerah resapan air. Mereka merumuskan pula sebuah teori tentang distribusi spasial kawasan hijau kota.

Artikel menarik lainnya adalah pandangan dari ‘atas’ yaitu kebijakan para pemimpin Jakarta dari masa ke masa karya Peter J.M. Nas dan Manasse Malo. Mereka menelaah kebijakan tersebut dengan menganalisis riwayat para walikota dan gubernur pascaperang. Mulai dari Walikota Suwirjo hingga Gubernur Wiyogo (1945-1992). Dengan kata lain gubernur, petinggi dan penduduk DKI Jakarta boleh saja silih berganti tapi persoalan yang dihadapi nyaris sama, berulang dan bahkan kian beragam.

Kekurangan buku ini (mungkin) kekurangjelian penyunting terjemahan pada halaman 1. Di sana tertulis tahun terbitan buku Oud Batavia karya si Jago, F. de Haan 1992 seharusnya adalah 1922. Seperti yang tercantum pada buku aslinya.

Secara umum buku yang dilengkapi peta, tabel, ilustrasi ini cukup menarik dan memberikan inspirasi bagi pakar sejarah, antropologi, sosiologi, tata kota, khususnya jajaran petinggi DKI Jakarta. Begitupula para pembaca awam yang ingin mengetahui lebih banyak tentang gambaran persoalan ibu kota Negara Indonesia yang tak ada habisnya, kurang lebih bisa terpuaskan.

Dimuat di Kompas, 14 Mei 2007

Balada Nyamuk

Sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang. Dari jaman kuda gigit besi hingga jaman 3G nyamuk tetap menjadi masalah di DKI Jakarta. Tidak main-main, pemerintah provinsi DKI masih belum mencabut status KLB (Kejadian Luar Biasa) untuk urusan nyamuk ini. Selama April 2007 saja jumlah penderita demam berdarah di Jakarta sebanyak 3.693 orang. Lima diantaranya meninggal dunia. Jumlah terbanyak terdapat di Jakarta Timur dengan 1.173 pasien. Total penderita sejak awal tahun ini sebanyak 14.109 orang dengan 46 meninggal.

Bila pada masa lalu, masyarakat Batavia diresahkan karena si belang kecil nyamuk Anopeles sundaicus, penyebab malaria. Sekarang masyarakat Jakarta dan sekitarnya dihantui nyamuk Aedes aegypti si penyebar teror demam berdarah. Ironisnya nyamuk ini tak pandang bulu. Kaya-miskin, tua-muda, besar-kecil semua sama rata sama menderita.
Batavia yang dibangun pada 1619 sebagai sebuah benteng dan pos dagang di sebuah kota pelabuhan Kalapa. Pelabuhan ini jatuh ke tangan orang Banten yang kemudian bernama Jayakarta. Lalu orang Belanda menghancurkan pemukiman kaum pribumi dan di atas reruntuhan puing-puing tersebut dibuatlah tiruan kota seperti kampung halaman mereka di Eropa sana. Lengkap dengan kanal, jembatan angkat, jalan dilapisi batu bulat plus rumah-rumahnya.

Adalah Jan Pieterszoon Coen yang mendirikan Batavia yang mungkin memerintahkan kota itu ditata menurut peta buatan Simon Stevin, perancang di kota Belanda. Hal ini disimpulkan berdasarkan surat dari Heeren XVII, dewan direksi VOC yang meminta Stevin merancang sebuah benteng dan kota bagi mereka.
Batavia pun memiliki sebuah sistem kanal segi empat dan sangat mirip dengan tata kota Amsterdam pada masa itu. Sekarang, sistem ini menyisakan serta mewariskan masalah serius bagi Jakarta. Karena pekerjaan kanal banjir yang tak kunjung selesai, maka banjirlah yang dituai.

Kanal-kanal atau grachten itu yang sempat mendapat pujian dari Valentijn karena keindahannya hingga mendapat julukan Koningin van het oosten (Ratu dari Timur) ternyata menyimpan sesuatu yang mengerikan. Kanal-kanal yang dipagari pepohonan rindang menjadi sarang ideal bagi berkembang biaknya nyamuk Anopeles sundaicus. Ditambah lagi aliran air kanal hampir tak mengalir. Lumpur dari sungai-sungai mengendap di dasar kanal. Sekaligus menjadi sarang penyakit.

Leonard Blussé berpendapat berkembangnya nyamuk itu bukan karena tata letak kota yang meniru kota di Belanda atau bencana alam. Dalam hal ini, para pejabat VOC mengkambinghitamkan tata arsitektur kota dan Gunung Salak yang meletus pada 1699 hingga membuat kanal-kanal penuh lumpur. Blussé justru melihat polusi sistem drainase yang dicemari limbah gula dalam kota sebagai biang keroknya. Jika dirunut lagi, keserakahan para pejabat VOC dalam bisnis ‘manis’ gulalah sebagai sumber masalahnya.

Ironisnya, rumah sakit kompeni yang seharusnya membuat pasien menjadi sehat justru semakin membuat pasien sakit bahkan meninggal. Sehingga para pegawai senior VOC , seperti yang diungkapkan Peter H. Van den Burg, kalau masih menyayangi nyawa disarankan untuk dirawat di rumah saja daripada dirawat di rumah sakit yang jorok, kotor, penuh sesak. Rumah sakit buruk atau yang lebih tepat disebut rumah mati itu, terletak di dalam kota dan yang satunya lagi berada di luar kota, kira-kira sekitar Glodok.
Setelah tahun 1730 satu dari empat pegawai VOC yang bertugas di Hindia meninggal di rumah sakit. Jika sebelumnya Batavia mendapat julukan ‘Ratu dari Timur’ maka gelar ‘Kuburan dari Timur’ lah yang disandang.

Begitu berbahayanya nyamuk si belang itu pada masa VOC membuat orang mengenakan “pakaian anti nyamuk” khusus dan menurut De Haan dalam berbagai pesta makan malam adalah hal biasa setiap tamu mempunyai seorang pelayan pribadi yang bertugas mengusir nyamuk dengan kipas besar.

Menjelang akhir abad ke-18 ketidaksehatan Batavia ini sangat terkenal hingga seluruh Eropa. Ketika Raffles yang menjabat letnan gubernur Jawa kembali ke Inggris pada 1816, ia ditugaskan ke St. Helena menemui Napoleon. Pertanyaan pertama Napoleon adalah apakah Batavia masih tidak sehat. Ketika itu memang Raffles sedang menderita malaria-cachexie. Setibanya di Falmouth dia dan pengiringnya terlihat begitu kurus. Mereka pun diinterogasi cukup lama dan baru diperbolehkan melanjutkan perjalanan setelah bersumpah bahwa mereka sehat.

Pada masa kolonial pun persoalan nyamuk belum selesai. Meskipun kantor-kantor penting telah dipindahkan ke daerah yang dianggap lebih sehat di Weltevreden (sekitar Monas, Gambir) pada masa Gubernur Jenderal Overstraten (1797) seiring bubarnya VOC serta penghancuran benteng di sekeliling kota dan penimbunan mookervaart pada masa Daendels, nyamuk tetap menyerang.

Pada masa Mohammad Husni Thamrin sebagai anggota Gemeenteraad (dewan kotapraja) Batavia pada bulan Februari 1922, kita pun dapat mengetahui: “Batavia masih tetap seperti lukisan dengan figura indah, dihiasi dengan vila luas serta jalan yang lebar. Sementara kampung-kampung terwakili pada kanvas tak berharga. Ratusan ribu penduduk sehari-harinya hidup dalam bahaya di kampung-kampung yang penuh lubang jamban berbau busuk, tempat berbiaknya nyamuk malaria.”

Mohammad Husni Thamrin akhirnya berhasil mendesak Dewan dan Pemerintah kotapraja Batavia untuk memerhatikan kampongvraagstuk (masalah kampung). Berbagai program perbaikan kampung dijalankan supaya tak menjadi sarang penyakit, apalagi nyamuk. Ironisnya, Thamrin tak kuasa menahan teror si belang Anopeles sundaicus. Pada awal 1941 demam tinggi menyerangnya. Ia pun meninggal pada hari Jumat 10 Januari 1941 karena malaria.

Hal yang menarik adalah apakah memang kita telah serius menghadapi masalah yang telah merenggut banyak nyawa ini. Pemerintah DKI memang telah mengupayakan dan mensosialisasikan kepada masyarakat untuk memusnahkan nyamuk beserta sarangnya.
Namun, upaya pengasapan atau fogging ke rumah-rumah warga harus diperhatikan betul. Jangan sampai justru warga yang ‘teler’ menghisap ramuan anti nyamuk demam berdarah atau nyamuknya justru bertambah ganas. Nyamuk Aedes aegypti ini memang termasuk nyamuk elit yang tidak mau hidup di got atau air yang kotor. Bahkan beberapa rumah di daerah elit di Jakarta ternyata menjadi sarang nyamuk demam berdarah dan lucunya rumah itu kebanyakan kosong.

Masalah nyamuk di Jakarta memang gampang-gampang susah karena tak sekedar diasapi atau disemprot tapi justru perubahan perilaku hidup sehatlah yang dibutuhkan. Baik perilaku sehat pemerintah maupun warganya. Yang jelas ini merupakan salah satu pekerjaan rumah siapa pun gubernur DKI yang akan datang. Jangan sampai, seperti meminjam satu iklan obat anti nyamuk: “Nyamuk sini tidak takut siapa-siapa!”

Dimuat di harian Seputar Indonesia edisi sore, 9 Mei 200