Menjinakkan Kesatria Pemberontak

Judul buku : Strategi Menjinakkan Diponegoro, Stelsel Benteng 1827-1830
Penulis : Saleh As’ad Djamhari
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta 2004
Tebal : xix + 342 halaman

Mengapa dalam historiografi kolonial Belanda pemberontakan Diponegoro tidak disebut sebagai pemberontakan, tetapi Java Oorlog? Begitu pula dalam historigrafi Indonesia, pemberontakan itu disebut Perang Diponegoro.

Menurut aliran sejarah militer baru, dengan John Keegan sebagai salah satu pelopornya, perang yang terjadi dalam satu wilayah negara disebut perang kecil (small war). Bentuk aksi politiknya adalah pemberontakan, revolusi, atau perang saudara. Mengacu pada pendapat ini, maka pemberontakan yang dipimpin Diponegoro sebagai upaya politik yang dilakukan orang Jawa untuk merebut kembali kedaulatannya dapat dikategorikan sebagai perang. Serta dipenuhinya tiga indikasi yang menjadi tolak ukur. Pertama, memiliki ideologi, yaitu untuk berjihad, kedua memiliki organisasi dan dukungan lingkungan serta ketiga menguasai medan.

Di samping itu, Java Oorlog (Perang Jawa), seperti halnya Atjeh Oorlog (Perang Aceh), berlangsung lama (1825-1830), menelan korban yang besar, hampir membakar sebagian besar daerah di Pulau Jawa serta memaksa Pemerintah Hindia Belanda mengocek kantong hingga 25 juta gulden. Bukan jumlah yang sedikit untuk ukuran masa itu. Keletihan luar biasa dan rasa frustrasi akibat kegagalan strategi dalam perang tersebut membuat para petinggi militer Belanda memeras otak mencari strategi baru.

Diangkat dari disertasi Saleh As’ad Djamhari di Pascasarjana UI tahun 2002, buku ini menguraikan teknis strategi baru yang dikenal dengan Stelsel Benteng secara gamblang. Dalam memoar Kolonel Stuers, anak menantu Jenderal De Kock, diungkapkan, Java Oorlog tersebut merupakan awal diterapkannya strategi militer baru, suatu strategi yang unik, baik dari sisi pemikiran maupun pelaksanaan yang berhubungan dengan aspek politik, sosial, dan kultural (hal 5-6). Strategi ini lahir berdasarkan pada kesalahan strategi mobilitas pasukan di lapangan dalam upaya mengejar pasukan Diponegoro selama dua tahun. Perkiraan De Kock yang membiarkan lawan berperang dengan cara berperangnya sendiri sampai kehabisan logistik ternyata keliru. Pasukan Diponegoro ternyata mampu bertahan hanya dengan makan nasi kering dan garam (hal 79).

Strategi Stelsel Benteng bertujuan melindungi pasukan dari serangan mendadak dengan mendirikan semacam kubu perlindungan (battlefield fortification) sederhana dari bahan baku yang tersedia di Pulau Jawa. Model perlindungan sederhana ini kemudian ditiru oleh beberapa komandan pasukan lainnya yang secara populer disebut “benteng” dan dapat menampung 25-30 orang (hal 85). Tercatat dalam buku ini ada 258 benteng berukuran kecil dan sedang, termasuk 16 benteng berukuran besar dibangun.

Meskipun buku ini dipenuhi istilah-istilah kemiliteran, tetapi kita seakan-akan dibawa ke medan pertempuran oleh seorang guide militer dan seolah-olah ikut menyaksikan pertempuran secara langsung. Hal ini tentu tak lepas dari latar belakang penulis di kemiliteran. Di samping itu, penulis Memoar Jend (Pur) Soemitro dan staf pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ini begitu rajin menyusun data renik berdasarkan sumber-sumber primer seperti memoar Kolonel de Stuers Memoires sur la guerre de ile de java de 1825-1830, dokumen Verzameling van officiele Rapporten serta memoar Diponegoro Babad Diponegoro in Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Babad ini sering disebut Babad Diponegoro versi Manado yang ditulis dengan gaya bahasa sederhana dan lebih lugas dari Babad Diponegoro versi Keraton Surakarta yang pernah diteliti oleh Peter Carey. Namun, penulis tidak hanya membahas kronologis jalannya perang, data-data kehidupan sehari-hari para prajurit masa itu juga dihimpunnya sehingga buku ini tidak semata-mata berisi uraian teknis strategi militer (hal 217).

Saleh pun tak terjebak dengan polemik yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa mengenai apakah Pangeran Diponegoro itu seorang “pahlawan” atau “pengkhianat”. Di sini ia mencoba menjelaskan alasan-alasan Pangeran Diponegoro memberontak apakah berkaitan dengan isu balad Islam/negara Islam (hal 36), diterapkannya konsep mesianistik dalam perangnya serta strategi yang diterapkannya menghadapi pasukan kolonial (hal 44). Saleh juga membahas apakah strategi perang yang dilancarkan Diponegoro itu ada kaitannya dengan taktik pasukan elite Kerajaan Turki Usmani.

Hal yang tidak kalah menarik lainnya dari buku ini adalah pada bagian ketika Diponegoro dipaksa menyerah dengan cara mengeksploitasi nilai-nilai budaya karakter kesatria bangsawan Jawa yang ada pada pribadi Diponegoro. Di mana salah satu nilai kesatria yang dianggap luhur itu adalah “seorang kesatria pantang ingkar terhadap janji” (hal 219). Meskipun menyadari telah tertipu, ia menyatakan dirinya bertanggung jawab dan bersalah atas pecahnya peperangan. Namun, ia tetap menolak untuk menyerah dan menyatakan lebih baik mati. Akhirnya, Diponegoro yang sempat emosi dan berniat membunuh Jenderal De Kock mengurungkan niatnya. Ia sadar dan pasrah pada takdir lalu memutuskan untuk meninggalkan tanah Jawa karena tak ada yang dimilikinya lagi di tanah Jawa (hal 223-224). Drama penangkapan ini tampak sesuai dengan pilihan gambar sampul buku yang merupakan repro lukisan karya Raden Saleh “Historiches Tableau; die Gefangennachmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro”

Pemicu memberontaknya Diponegoro dapat dilihat dari beberapa faktor. Bermula dari konflik internal Keraton Yogyakarta pada tahun 1792 antara Sultan Hamengkubuwono II dan putra mahkota, Pangeran Adipati Amangkunagoro, yang akhirnya melibatkan Diponegoro. Hingga keputusan politis Residen Baron de Salis pada tahun 1822 dengan mengangkat RM Menol yang masih berusia dua tahun sebagai Sultan Hamengkubuwono V untuk menggantikan Sultan Hamengkubuwono IV yang meninggal tiba-tiba. Diponegoro pun merasa terhina ketika harus menyembah seorang bocah ingusan karena menurut tata krama keraton, setiap pangeran diwajibkan menyembah sultan dalam audensi resmi. Ini sesuai dengan pandangan Jawa di mana sultan adalah penguasa tertinggi yang ditakdirkan Tuhan karena mendapat wahyu kerajaan.

Faktor berikutnya adalah masalah penyewaan tanah milik Keraton Yogyakarta dan Surakarta oleh Pemerintah Hindia Belanda serta faktor kultur. Pada masa pemerintahan adiknya-Hamengkubuwono IV-banyak bangsawan yang tiba-tiba menjadi kaya dari hasil penyewaan tanah, suka bermewah-mewahan, dan meniru gaya hidup orang Belanda. Mereka mulai meninggalkan nilai dan norma-norma kehidupan Jawa dan Islam yang disakralkan. Ditambah lagi perilaku para pejabat Belanda yang seenaknya memasuki keraton dan berhubungan gelap dengan beberapa putri keraton. Hal ini membuat prihatin Diponegoro yang berlatar belakang Islam taat. Berkuasanya orang asing terhadap tanah milik kerajaan (melalui penyewaan tanah) merupakan pertanda jatuhnya tanah Jawa ke tangan orang asing sehingga Jawa harus direbut kembali dengan perang sabil.

Konflik politik puncaknya pada penutupan jalan ke Tegalrejo dengan pemasangan pancang secara sengaja di tanah milik Diponegoro di Tegalrejo sebagai tanda pembuatan jalan baru. Residen Smissaert-pengganti Residen Baron de Salis-yang mendapat laporan bahwa pancang-pancang itu dicabut oleh para pengikut Diponegoro segera memerintahkan untuk memasang kembali pancang-pancang itu dan menggantinya dengan tombak-tombak mereka. “Insiden pancang” dan penutupan jalan menjadi konflik terbuka antara Diponegoro dan residen yang melibatkan senjata. Insiden ini justru membangkitkan simpati masyarakat dan mengundang para demang beserta anak buahnya berdatangan ke Tegalrejo untuk membela Diponegoro pada pertengahan tahun 1825. Peristiwa ini merupakan awal mobilisasi kekuatan Diponegoro.

Buku ini dilengkapi pula dengan peta lokasi benteng-benteng tahun 1825- 1829, peta operasi, tabel-tabel, serta sajak penutup “Diponegoro” karya Sitor Situmorang yang menggambarkan percakapan Diponegoro dengan kudanya Kiai Gentaju seakan menjadi “gong” simpulan buku ini. Semua itu memudahkan kita-dengan meminjam ungkapan AB Lapian dalam kata pengantarnya-seperti juga John Keegan dalam The Battle for History Re-Fighting World War II untuk ikut “mengulangi pertempuran”, to refight, sebuah perang penting dalam sejarah Indonesia. Perang yang cukup lama membingungkan dan menggoyahkan kedudukan pemerintah kolonial di Pulau Jawa pada dekade ketiga abad ke-19. Tidaklah berlebihan jika buku ini patut dikoleksi para penikmat sejarah, khususnya sejarah militer, yang dapat menambah wawasan dan bahan diskusi lebih lanjut.

Dimuat di Kompas, 21 Maret 2004

This is my first review on Kompas.

Kue Bugis Kanre Jawa

Urusan perut, merupakan urusan yang tidak bisa ditawar lagi. Ada orang yang menjadi beringas lantaran urusan perut. Yang jelas, urusan perut erat kaitannya dengan makanan. Di Makassar, bagi yang belum terbiasa dengan kuliner daerah ini dibutuhkan waktu beberapa saat untuk menyesuaikan diri. Meskipun terasa cocok dengan lidah, belum tentu perut mau menerima. Kalau tidak cocok, perut akan berdemonstrasi, berontak. Lantas, bisa celakalah kita.

Bagaimanapun, wisata kuliner de Macassart tak akan pernah terlupakan. Ada hal yang menarik berkaitan dengan kuliner Makassar ini. Aneka macam makanan dengan beraneka rasa dan warna dapat kita jumpai dan cicipi. Budayawan nasional, Umar Kayam yang pernah bertugas di Makassar berseloroh bahwa orang Bugis-Makassar merupakan masyarakat yang rendah hati. Alasannya meskipun pembuat kue-kue adalah orang Makassar, Bugis, Mandar atau Toraja, kue-kue itu tetap disebut Kanre Jawa. Suatu penghormatan bagi orang Jawa. Sebaliknya di Jawa, kita mengenal Kue Bugis. Sejenis kue yang terbuat dari tepung ketan yang berisi gula merah dan kelapa lalu dibungkus daun pisang muda. Suatu hal yang menarik.

Tidak hanya makanan kecil seperti jalangkote, aneka macam penganan dari pisang pun dapat kita nikmati, seperti: barongko berupa pisang yang dilumatkan hingga seperti bubur , dicampur adonan telur lalu dibungkus dengan daun pisang. Biasanya disajikan dalam keadaan dingin. Pisang Epe yaitu pisang yang dipanggang tapi sebelumnya dipres hingga gepeng lalu diberi saus gula merah, terkadang diberi aroma durian. Pisang Ijo yaitu pisang yang dibungkus adonan terigu dan daun pandan hingga berwarna hijau lalu diberi saus putih dari kelapa.

Selain itu ada pula umba-umba yang di Jawa dikenal dengan nama klepon. Di Makassar ada pula yang menyebutnya onde-onde yaitu kue dari tepung beras dengan gula merah di dalamnya dan dilumuri parutan kelapa. Biasanya kue ini khusus disajikan pada saat menempati rumah baru atau dalam upacara pembuatan perahu. Penganan lain adalah sengkolo, sejenis ketan urap dengan bahan ketan putih atau ketan hitam. Seringkali kita jumpai warung yang menjual songkolo begadang. Disebut demikian karena dijual pada malam hingga pagi hari. Biasanya dinikmati hangat-hangat dengan telur asin dan sambal. Lucu juga bila kita menawari turis asing: “Would you like to try an overnight songkolo, Sir?”

 

Mencari Asal Usul Keluarga Indo Prancis di Jawa

Judul buku: Manhafte heren en rijke erfdochters: Het voorgeslacht van E.du Perron op Java

Penulis : Kees Snoek

Penerbit : KITLV Uitgeverij Leiden, 2003
Sejarah keluarga merupakan salah satu tema penelitian dalam penulisan sejarah yang cukup menarik. Menarik karena seringkali ditemukan unsur-unsur kejutan yang tidak hanya berkaitan dengan keluarga yang diteliti. Terkadang, ditemukan pula hal-hal yang berkaitan dengan sejarah yang lebih luas. Demikian halnya dengan buku Manhafte heren en rijke erfdochters: Het voorgeslacht van E.du Perron op Java (Para tuan yang gagah berani dan para cucu perempuan yang kaya: Nenek moyang E.du Perron di Jawa ) karya Kees Snoek yang bekerja sama dengan Tim Timmers.

Buku ini merupakan bagian dari biografi Charles Edgard du Perron (Eddy) yang disusun Kees Snoek. Dengan menceritakan asal usul keluarga du Perron di Jawa, penulis berusaha menelusuri nenek moyang du Perron hingga ke masa VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di abad ke-17. Adalah Jean Roch du Perron (1756-1808) yang dianggap kakek moyang keluarga du Perron. Jean Roch memiliki dua anak angkat, Nicolaas du Perron (1787-1809) dan Louis du Perron (1793-1855). Hal ini cukup mengejutkan E.du Perron karena berarti ada kemungkinan, Louis, buyutnya berdarah campuran dan bukan murni berdarah Perancis (hal.10)
E. du Perron (1899-1940) adalah seorang sastrawan dan penulis esai Belanda yang lahir di Meester Cornelis (Jatinegara) dari keluarga Indo Perancis. Karyanya yang terkenal adalah roman Het land van herkomst (1935 – tanah asal usul) yang juga merupakan autobiografinya. Anak Mester ini juga menulis buku tentang Multatuli, De man van Lebak (1937) dan Multatuli, tweede pleidooi (1938), serta bunga rampai kehidupan sastra pada masa VOC, De muze van Jan Companie (1939) dan Van Kraspoekol tot Saidjah.

Melalui majalah Kritiek en Opbouw, ia ‘berjumpa’ dengan tokoh-tokoh intelektual Belanda dan Indonesia yang sama-sama tertekan dengan pemerintah Belanda pada tahun 30-an. Majalah ini digunakannya juga untuk ‘menyerang’ Zentgraff, pemimpin redaksi koran Java Bode, salah seorang penentang aspirasi pergerakan nasionalis. du Perron juga merupakan teman baik Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), penulis Buiten het gareel (Manusia Bebas).
Sikap E. du Perron yang akrab dengan tokoh-tokoh intelektual Indonesia menurut Rob Nieuwenhuys lebih dari seorang sahabat sejati. Salah seorang kenalannya yaitu Sutan Syahrir menulis: “Ia [E.du Perron] tidak mendekati orang-orang Indonesia sebagai sebuah obyek studi yang membangkitkan perhatiannya, bukan pula suatu pendekatan dari luar seperti sering dilakukan oleh kaum etisi, tetapi ia menjumpai kami sebagai manusia dengan manusia, berdasar kemanusiaan yang sama”.
Pada 12 Agustus 1939 E.du Perron dan keluarganya meninggalkan Indonesia kembali ke Belanda, tempat yang menurutnya dirasakan selalu asing, seperti dalam surat yang ia tulis untuk Sjahrir. Hal itu menurutnya logis karena orang tuanya yang bijna volbloed Fransen (hampir berdarah Perancis) dan berbeda dengan para kaum borjuis Belanda. Pada 10 Mei 1940 ketika Jerman menyerbu Belanda, E.du Perron meninggal akibat serangan jantung.
Buku ini diawali dengan cerita Gedong Menu yang merupakan tempat kelahiran E.du Perron di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur. Nama Menu mengambil nama salah satu kakek moyangnya, Kolonel Petrus Henricus Menu (1790-1875) yang menikah dengan Agrapina Augustina Michiels (1792-1875), anak perempuan Augustijn Michiels (1769-1833). Augustijn Michiels adalah cicit seorang Mardijker yang kaya raya. Ia terkenal dengan nama Majoor Jantje dan memiliki tanah luas di Klapanoenggal yang terdapat sarang burung walet serta landhuis Citrap (bab 2). Majoor Jantje ini juga berjasa besar terhadap salah satu musik rakyat tradisional Betawi yaitu tanjidor. Kematian Majoor Jantje, menurut Mona Lohanda dalam makalahnya “Majoor Jantje and the Indisch element in Betawi folkmusic” ternyata menandai berakhirnya perlindungan kehidupan musik tradisional dalam rumah tangga-rumah tangga Indo-Belanda.
Petrus Henricus Menu (1790-1875) merupakan putera dari Johannes Menu dan Johanna Maria Smolders. Karirnya di militer di Grande Armee cukup cerah, apalagi ketika ditugaskan di Hindia. Setelah ia menikah untuk yang kedua kalinya dengan puteri Majoor Jantje pada tahun 1844, sang kolonel pun pensiun. Ia menjadi tuan tanah di Citrap dan Nanggewer sambil mengumpulkan naskah-naskah Jawa kuno. Sayang, pernikahannya dengan puteri Majoor Jantje itu tidak dikaruniai anak. Tetapi dari pernikahan sebelumnya dengan Wendelina van Kempen, ia mendapat tiga anak perempuan. Menu juga bersahabat erat dengan pelukis Raden Saleh (1811-1880) dan istrinya mevrouw Winckelhagen. Mereka saling mengunjungi dan menginap, baik di rumah Menu di Citrap atau rumah Raden Saleh di Cikini. Bahkan secara khusus Raden Saleh melukis potret Menu lengkap dengan medali penghargaan di dada (hal.27).
Puteri pertama Menu dari pernikahan sebelumnya, Margaretha Catharina Menu (1829-1896) menikah dengan mr. Hendrik du Perron (1820-1900). Hendrik merupakan anak laki-laki dari Louis du Perron (1793-1855) dan Johanna Lucretia de Quartel (1798-1875). Louis du Perron juga berkarir di militer. Setelah menjadi komandan ekspedisi ke Bangka sekitar tahun 1820-an, ia ditempatkan di Magelang sebagai komandan garnisun. Ia termasuk salah satu perwira yang turut menumpas ‘pemberontakan’ Pangeran Diponegoro dengan kemampuannya memimpin dalam strategi stelsel benteng Jenderal De Kock. Bahkan Louis ikut hadir sewaktu Pangeran Diponegoro ditangkap pada 28 Maret 1830 (hal.38-42).
Salah satu buah dari pernikahan mr. Hendrik du Perron dan Margaretha Catharina adalah Charles Emile du Perron (1861-1926) yang merupakan ayah dari E.du Perron. Sewaktu muda, Charles mendapat julukan kwaaie Duup (Duup yang sulit diatur). Berbeda dengan saudara laki-lakinya, Louis Henry yang mendapat julukan goeie Duup (Duup yang baik). Hal itu dapat dilihat dari minatnya yang rendah untuk kuliah karena ia lebih suka pacuan kuda dan berdansa. Namun, akhirnya ia dapat lulus dari Instituut National Agronomique di Paris pada 1881 (hal.51).
Ketika kembali ke Hindia, Charles membawa serta seorang maîtresse (pacar). Ia tidak mengambil ‘istri’ seperti kebiasaan para pria Eropa yang berlaku masa itu yaitu mengambil para nyai pribumi atau nyai Indo. Namun, ia membawa seorang nyai totok dari Eropa. Dari koleksi foto-foto yang tersimpan terlihat pose ‘pacar’nya itu dengan rambut dipotong pendek, pandangan mata nakal serta mulut yang merajuk. Beberapa foto memperlihatkan perempuan itu mulai dengan kostum berkuda hingga tanpa busana yang dengan antusias sempat ditemukan oleh anaknya, si kecil Eddy (hal.52). Itu kehidupan liar Charles sebelum bertemu dengan istrinya, Marie Mina Madeline Bédier de Praire (1864-1933), seorang pemilik perkebunan kaya di sekitar Cibadak, ibu dari E.du Perron.
Silsilah dari sisi ibu E.du Perron pun cukup menarik untuk diketahui. Neneknya, Madeline Mina Chaulan (1838-1867) merupakan puteri dari Etienne Chaulan (1807-1875). Etienne berasal dari Aubagne, Perancis Selatan yang datang bersama kakaknya Surléon Antoine mengadu nasib ke Batavia dan Ommelanden (daerah sekitar Batavia). Berbeda dengan ayahnya yang seorang cuisiner (juru masak), Etienne adalah seorang ahli bangunan dan ahli mesin.

Dua bersaudara Chaulan ini terkenal sebagai pemilik hotel di Batavia. Pada tahun 1830, Surléon Antoine membuka Hôtel de Provence , hotel bergaya Perancis di Batavia. Hotel tersebut terletak di Weltevreden di ujung Molenvliet, dekat sociëteit De Harmonie (sekarang Carrefour di jalan Gajahmada). Hotel itu kelak berubah namanya menjadi Hôtel Rotterdam. Pada bulan Mei 1856, atas saran Eduard Douwes Dekker (Multatuli), hotel itu menjadi Hôtel des Indes, tempat penginapan yang terkenal di Hindia Belanda (hal.69-70).
Etienne Chaulan sepertinya mengambil alih kepemilikan hotel tersebut dari tangan kakaknya. Sebelumnya, ia adalah pemilik hotel di Bidara Cina yang dikenal dengan sebutan logement de plaisance. Tampaknya, sang kakak Surleon Antoine ingin mengajarkan adiknya manajemen hotel sebelum menyerahkan des Indes.
Etienne ternyata juga pernah berkongsi dengan Insinyur Charles Theodore Deeleman, perancang berbagai sarana transportasi (salah satunya delman). Peninggalan keluarga Chaulan ini masih sempat ditemukan hingga Perang Dunia II dengan diabadikannya nama Chaulan untuk sebuah gang, gang Chaulan (jalan Hasyim Ashari, Jakarta Pusat).
Dengan dilengkapi ilustrasi foto-foto, lukisan-lukisan, potongan iklan surat kabar, arsip, serta surat-surat pribadi, buku yang terdiri dari tujuh bab ini menjadi cukup menarik. Apalagi kita pun dipermudah dengan adanya silsilah keluarga du Perron tersebut di awal buku (hal.6-7) dan (hal.66). Kees Snoek yang pernah menjadi dosen di berbagai universitas seperti di Amerika Serikat, Indonesia, Selandia Baru dan Perancis, tidak hanya berhasil mengungkapkan asal usul sebuah keluarga Indo Perancis di Jawa. Dengan ketelitian dan kejeliannya, ia juga mengungkapkan peranan keluarga tersebut dalam sejarah sosial di Hindia Belanda, khususnya di Jawa. Suatu upaya yang dapat dijadikan pelajaran bagi para penulis dan calon penulis biografi di Indonesia. Supaya tidak terjebak pada hagiografi (bersifat pujian) belaka, tetapi mengupas habis semua aspek, termasuk yang memalukan.

Batavia Awal Abad XX

Cerita Awalnya….

Berawal dari upaya pencarian seorang sobat tentang berita Boeaja Ketjil Batavia di Perpustakaan Nasional RI Jakarta. Kami pun menemukan tumpukan koran-koran tua berdebu. Bandera Wolanda. Ada satu cerita kenang-kenangan (gedenkschriften) seorang prajurit tua di Batavia. Surat cerita demikian si prajurit menyebutnya tampak menarik bila diterjemahkan supaya bisa dibaca khalayak. Berlembar-lembar surat cerita yang bersambung itu difotokopi dan saya bawa ke Makassar tempat saya bertugas. Cerita itu saya terjemahkan di sela-sela kesibukan dan teriknya Makassar dengan syarat sang sobat yang akan mengeditnya. Akhirnya jadilah surat cerita itu seperti ini…

cover-betawi-copy.jpg

Dan sekilas komentar pembaca serta media…

Iskandar.P. Nugraha

H Tanzil

Gatra

Dari Ambtenar ke PNS

Kisruhnya proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)  dan maraknya protes para CPNS tersebut karena dianulirnya kelulusan mereka menyisakan pertanyaan besar. Sebegitu besarkah minat untuk menjadi PNS?  Hal ini seolah-olah memperlihatkan bahwa menjadi pegawai negeri adalah satu-satunya jalan keluar dari sulitnya mencari pekerjaan saat ini. Bahkan sempat beredar kabar adanya aksi main hakim sendiri dari seorang pejabat pemerintah sewaktu pengumuman CPNS lantaran saudaranya tidak lulus.

Namun, faktanya peminat untuk menjadi PNS tetap besar. Tahun lalu saja tercatat jutaan peserta calon pegawai negeri sipil mengikuti ujian serentak. Dari jumlah itu hanya ratusan ribu calon pegawai yang akan diterima. Para calon pegawai itu kelak akan menggantikan PNS yang pensiun. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi menyatakan tidak ada proyek percaloan dalam proses penerimaan CPNS.

Banyaknya peserta ujian menunjukkan hasrat dan antusiasme masyarakat yang besar untuk menjadi pegawai negeri. Bahkan, seorang teman pernah mengatakan bahwa menjadi pegawai negeri merupakan keharusan, apalagi bagi para lulusan perguruan tinggi alias sarjana. Menurutnya kalau sudah meraih gelar sarjana, tingkat berikutnya yang harus dicapai adalah menjadi pegawai negeri.

Bila ternyata menjadi PNS memang masih merupakan pilihan yang paling diminati oleh para pencari kerja, alasannya tentu sudah dapat diduga, selain gaji tetap tiap bulan, fasilitas serta tunjangan yang akan diterima, masih ada lagi jaminan uang pensiun. Belum lagi fasilitas aneka kredit yang ditawarkan. Siapa yang tidak tergiur dengan itu semua apalagi dalam kondisi sekarang yang serba tidak pasti.

Walaupun dari jutaan peserta ujian yang akan diterima hanya sekitar ratusan ribu saja, tidaklah menyurutkan minat menjadi abdi negara. Begitupula dengan praktek percaloan yang disinyalir masih ada. Bahkan ada calo yang berani menuntut bayaran hingga puluhan juta untuk memastikan korbannya lulus ujian PNS. Kalau sudah berani bermain dengan begitu banyak rupiah jauh sebelum jadi PNS, mudah diduga jika kelak diterima uang yang telah dikeluarkan harus segera kembali alias balik modal. Tidak mustahil segala cara akan digunakan untuk mendapatkan uang. Dapat ditebak, di sinilah praktek-praktek korupsi bersemi.

Sepertinya situasi masa kini tidak jauh dengan masa kolonial. Dulu menjadi ambtenaar atau pegawai pemerintah merupakan impian para bumiputera. Baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat biasa. Semua itu demi status dan perbaikan nasib. Bahkan dalam salah satu tetralogi novel Pramoedya A.Toer dikisahkan seorang bapak rela menyerahkan puterinya hanya untuk jabatan juru bayar alias kasir.

Pada masa kolonial banyak orang ingin menjadi pegawai negeri yang sering disebut juga priyayi karena tergiur fasilitas, gaji, hak-hak istimewa serta penghormatan. Salah satu hak penghormatan itu adalah penggunaan payung kebesaran (song-song) yang diatur dalam Bijblad No.337, pasal 2- 4. Pada masa itu memang hanya golongan bangsawan saja yang berhak menjadi pegawai negeri, sebelum pendidikan membuka kesempatan  bagi golongan non-bangsawan untuk menjadi pegawai negeri. Kelak, golongan non-bangsawan ini dikenal dengan istilah neo priyayi.

Oleh karena itu ada golongan bangsawan yang tidak menyukai pegawai negeri dari golongan non bangsawan karena dianggap dapat membahayakan kedudukan mereka. Ini tertuang dari tulisan seorang patih Tulungagung pada 27 Desember 1809:
‘Anak2 prijaji sadja soeda terlaloe banjak, tambah bebrapa-brapa anaknja orang ketjil, di mana-mana kantoor penoeh magang-magang jang tentoe harep boeat djadi prijaji.’  Demikian pula seorang Bupati Demak, Raden Mas Adipati Hadiningrat dalam sebuah tulisannya “De achteruitgang van het prestige der Inlandsche Hoofden en de middelen om daarin verbetering te brengen” yang dimuat dalam Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 1899 sangat tidak setuju orang-orang bukan bangsawan menduduki tempat tinggi dalam pemerintahan. Alasannya karena dianggap bertentangan dengan adat.

Peminat untuk menjadi ambtenar itu terus bertambah hingga pada akhir tahun 1928, menurut Indisch Verslag 1932 tercatat ada 89.163 orang ambtenar. Namun, jumlah ini pada 1940 menurun menjadi 64.369 orang (Statistical Pocketbook 1941). Berkurangnya pegawai sebanyak 24.794 orang ini berhubungan dengan adanya bezuinigingen (penghematan) dan overcompleet (pengurangan pegawai). Pada tahun 30-an kedua istilah ini sempat menjadi momok menakutkan bagi para pegawai.

Menjadi ambtenar pada masa lalu juga merupakan impian para orang tua yang memiliki anak-anak gadis yang sudah cukup untuk dinikahkan. Mereka mencari menantu ambtenar yang sudah pasti dan mantap masa depannya. Sekarang pun masih sama. Coba saja kita lihat rubrik kontak jodoh di surat kabar. Hampir semua, para gadis lajang yang hendak mencari pasangan hidup mendambakan pasangan yang menjadi PNS atau paling tidak memiliki pekerjaan tetap.

Sebenarnya tidak semua calon pegawai tersebut memiliki sifat dan niat “busuk” yang membuat nama PNS menjadi rusak. Apalagi mereka yang memiliki ketrampilan serta kemampuan intelegensi baik. Mereka ini justru baru menjadi PNS yang “busuk” dan “rusak” lantaran sistem. Sementara itu bisa jadi ada yang niat awalnya hanya sekedar menjadi PNS dan mendapat nomor pegawai, selanjutnya masalah pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan menjadi urusan nanti. Toh, mereka tidak akan dipecat bila mangkir atau sekedar melakukan kesalahan sepele. Apalagi kalau lebih sering berada di luar kantor pada jam-jam kerja. Ini yang merusak. Seperti percakapan para CPNS di sebuah musholla kantor milik pemerintah di Jakarta yang sempat saya dengar. Salah seorang dari mereka menegur rekannya yang asyik tidur-tiduran, “Hey! nanti kalau sudah jadi PNS, baru boleh bermalas-malasan!”

Demikian halnya peranan PNS dalam politik. Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda menggunakan penguasa lokal dalam menjalankan pemerintahannya. Sistem ini oleh J.S Furnival disebut indirect rule (sistem pemerintahan kolonial tidak langsung). Para penguasa lokal tersebut diangkat sebagai pegawai Hindia Belanda. Namun, segala sesuatunya diawasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Hingga para sarjana Prancis dan Inggris berkomentar bahwa bila pejabat kolonial Belanda dapat mengatur cara orang Hindia harus bernapas, mereka akan melakukannya.

Sementara itu pada masa pemerintahan Soeharto, para pegawai negeri dibuat “takluk” dan “bungkam” di bawah Korps Pegawai Negeri (Korpri). Jumlah mereka yang cukup besar dimanfaatkan dalam pemilihan umum untuk mendukung Golkar, partai resmi pemerintah. Pengaruh Golkar pun sangat terasa mulai dari sistem pemerintahan paling atas hingga bawah. Bahkan merasuk ke lembaga-lembaga pendidikan. Para pegawai negeri yang dianggap terlalu vokal dan berbahaya diancam akan dipecat, tak peduli meski mereka memiliki kecakapan dan kemampuan. Lengsernya Soeharto pada 1998 dan tuntutan reformasi mendudukkan pegawai negeri dalam posisi netral.

Namun, Wapres Jusuf Kalla baru-baru ini mengusulkan ingin melibatkan PNS dalam politik praktis. Dengan alasan pentingnya keterlibatan PNS dalam politik praktis untuk mengisi kekurangan tenaga yang kompeten dalam institusi negara seperti DPR. Namun, gagasan Wapres itu akan mengganggu posisi PNS yang selama ini sudah sangat pas dengan kenetralannya dan tentunya juga mengganggu keprofesionalan para PNS tersebut. Bisa jadi tugas-tugas utama mereka akan terbengkalai karena harus menjalankan tugas tersebut. Hal yang mengkhawatirkan adalah kembali “terbungkam”nya PNS karena harus tunduk pada pihak yang berkuasa.

Kalau dulu, para ambtenar itu mengabdi pada Ratu Belanda , maka sekarang mereka (seharusnya) mengabdi pada negara [Indonesia]. Atau dalam hal ini mereka (seharusnya) melayani rakyat yang merupakan pemilik sah negara ini. Namun, dalam prakteknya justru rakyat yang harus melayani mereka. Masalah mental inilah yang harus dibereskan sehingga mereka yang akan menjadi PNS benar-benar orang berkualitas dan terpilih.

Dimuat Seputar Indonesia, 30 Maret 2006

Kebaya dan tubuh perempuan

Tiap kelahiran Kartini pada 21 April, berbagai macam cara dilakukan untuk memperingatinya. Mulai dari lomba masak khusus bapak-bapak hingga peragaan busana (khususnya kebaya). Dari tahun ke tahun yang tidak pernah absen adalah anak-anak kecil hingga ibu-ibu yang mengenakan kebaya ala Kartini. Seolah-olah ingin menyampaikan kesan bahwa hari Kartini identik dengan kebaya. Coba bayangkan jika Kartini mengenakan gaun panjang ala Barat yang sedang trend di masa itu, apakah gaun ala Barat itu lah yang sekarang dikenakan?

Kebaya sendiri di masa Kartini dan sebelumnya juga dikenakan oleh perempuan Belanda yang dipadukan dengan kain batik hasil kreasi perancang-perancang peranakan Tionghoa dan Indo. Dalam salah satu koleksi Nieuwenhuys Met vreemde ogen: Tempo doeloe – een verzonken wereld (1988) terdapat foto seorang nyai dari tuan besar Belanda di abad ke-19 yang mengenakan kebaya sutera hitam dengan disemat tiga bros.
Namun, kain kebaya yang dikenakan pada abad ke-19 berbeda dengan kebaya yang dikenakan di masa VOC, terutama dalam hal jenis bahan dan potongannya. Kain batik yang dipadukan dengan kebaya ini pun coraknya beragam. Sekitar tahun 1830-an yaitu setelah kekalahan keluarga kerajaan dalam Perang Diponegoro (Perang Jawa dalam historiografi Belanda), batik sebagai bahan pakaian ekslusif bagi keluarga kerajaan dan kaum bangsawan diambil oleh Belanda dan dijadikan sebagai bahan pakaian pilihan. Bila sebelumnya para perempuan ningrat yang menjadi perancang pola batik, kini perancang batik diambil alih oleh perempuan Indo. Kain batik itu kemudian dijual kepada perempuan Indo lainnya.

Para perempuan Jawa keturunan bangsawan tetap mengenakan kain batik tulis dengan pola serta warna khusus. Kebaya mereka terbuat dari sutera, beludru dan brokat. Sementara itu para kebaya pagi perempuan Indo terbuat dari kain katun putih yang dihiasi renda buatan Eropa dan kebaya malam terbuat dari sutera hitam.
Kain dan kebaya, campuran adaptasi antara kebudayaan Jawa dan mestizo (baca: Indo) yang muncul kemudian, misalnya yang dikenakan oleh para nyai, terancam di masa pemerintahan Raffles. Ketika itu gaun terusan Eropa mulai diperkenalkan. Perlahan-lahan kain dan kebaya berpindah ke dunia yang lebih privat dan terbatas hanya dikenakan oleh kaum pribumi sebelum kelak kembali menjadi pakaian ‘wajib’ perempuan yang akan tinggal di Hindia menemani para suami mereka.

Kebaya menurut Jean Gelman Taylor merupakan kostum bagi semua kelas sosial pada abad ke-19, baik bagi perempuan Jawa maupun Indo. Bahkan ketika para perempuan Belanda mulai berdatangan ke Hindia sesudah tahun 1870, kebaya menjadi pakaian wajib mereka yang dikenakan pada pagi hari.

Pada akhir abad ke-19 para perempuan Belanda yang akan berangkat ke Hindia membeli pakaian tropis, sarung dan kebaya (seperti saran dalam buku panduan) di toko-toko yang khusus menjual pakaian tropis, seperti Gerzon’s dan de Bijenkorf. Meskipun sebenarnya untuk sarung dan kebaya disarankan untuk membelinya di Hindia. Hasilnya, seperti kritikan nyonya Catenius-van der Meijden, penulis buku Naar Indië en terug: Gids voor het gezin, speciaal een vraagbaak voor dames (tanpa tahun), panduan bagi perempuan Belanda yang hendak ke Hindia: ‘kebaya yang dibeli dengan harga mahal di Belanda terlihat konyol ketika dikenakan di Hindia’. Nyonya Catenius juga mengingatkan untuk tidak membawa pakaian terlalu banyak karena di Hindia: ‘semuanya, sangat murah, dibandingkan di Belanda.’

Kebaya dikenal pula sebagai kostum yang mewah dan anggun. Kebaya seakan-akan menyimbolkan ‘waktu yang hilang’ serta diasosiasikan dengan ketentraman, ketenangan dan keteraturan sosial yang menghubungkan orang Indo, Belanda, dan Jawa.
Sehubungan dengan identitas Indonesia adalah hubungan kekuasaan politik dengan kaum pria. Kostum nasional yang menurut Jean G. Taylor dikembangkan oleh Soekarno dan Soeharto terdiri atas setelan Barat (jas) bagi para pria dan kain kebaya bagi para perempuan. Kain dililitkan dengan kencang seakan mencegah gerakan yang cepat dan nyaman. Sementara kaum pria dapat bergerak dengan cepat dibalut setelan-setelan Barat.

Di masa Soekarno, kain dan kebaya kembali muncul di kalangan elit di wilayah publik dan mendapatkan status sebagai pakaian nasional. Menurut Saskia Wieringa dalam disertasinya “The Politization of gender relations in Indonesia:The Indonesian women’s movement and Gerwani until the New Order state”, sikap Soekarno terhadap perempuan tersebut lebih cenderung didorong oleh kekaguman dan hasrat dibandingkan keinginan tulus untuk memasyarakatkan persamaan hak.

Soekarno memang dikenal sebagai ‘pengagum’ perempuan berkebaya. Ia memiliki koleksi kebaya yang lumayan banyak. Kesan mengenai kebaya ini dituturkan oleh salah seorang menteri perempuan di masanya. Ketika itu sang menteri diminta menghadap Soekarno. Rupanya Soekarno ‘memarahi’ sang menteri karena ada suatu hal yang membuatnya tidak berkenan. Usai ‘memarahi’ sang menteri, Soekarno memanggil ajudannya. Tak berapa lama kemudian Soekarno datang membawa setumpuk kebaya dan memberikan pada sang menteri yang masih bingung.

Sementara itu dalam kesempatan yang lain, K’tut Tantri, seorang penulis perempuan Amerika yang sukses membuat naskah pidato bahasa Inggris untuk Presiden Soekarno diundang ke istana. Ia menghadap presiden dengan bersarung kebaya,. Ia terkejut karena melihat Presiden Soekarno berbusana santai. Sarung dengan jas pendek dan kopiah. Padahal gambaran sebelumnya yang ada di kepala Tantri adalah sosok gagah Soekarno yang bersetelan putih-putih atau seragam khaki. Alasan Bung Karno yang sebelumnya sudah berseragam lalu mengganti pakaiannya adalah: “Anda sudah repot-repot berdandan dengan busana nasional. Jadi kurasa sepatutnya Anda kuterima dengan pakaian nasional pula.” Dan seperti yang sudah kita duga, Bung Karno pun memuji kepantasan K’tut Tanri berkebaya

Kain sebagai pelengkap kebaya yang dililitkan kencang di tubuh perempuan memang seolah mencegah gerakan cepat dan nyaman, tetapi para perempuan modern Indonesia tidak kehabisan akal. Suatu jenis kain kebaya yang sering dikenakan pada acara-acara resmi adalah kain yang dijahit seperti sarung sempit lalu dilengkapi risleting. Sehingga mudah dikenakan dan dilepaskan.

Di atas-atas panggung publik tubuh perempuan yang mengenakan pakaian kebaya menunjukkan ciri khas bangsa ini sebagai non-Barat. Tubuh-tubuh para perempuan mewakili esensi bangsa, tradisi yang hidup dan terpelihara pada akhir abad ke-20. Tubuh perempuan sebagai pemakai kebaya yang dianggap ‘kostum nasional’ memberikan kesan seolah-olah perempuan adalah penjaga esensi nasional yang luput dari jamahan penjajahan. Ditambah lagi di masa sekarang tubuh perempuan tampaknya menjadi obyek semata yang perlu diundang-undangkan. Jauh dari keinginan dan cita-cita Kartini.

Pesta Rujak

Negeri kita yang tropis ini memang terkenal dengan buah-buahan yang beraneka ragam. Tercatat dalam prasasti dan kakawin kuno, aneka buah-buahan seperti mangga (Mangifera indica), jambu bol (Anacardium occidentale), salak (Zallaca edulis), nangka (Artocarpus integer), rambutan (Nephelium lappaceum), manggis (Garcinia mangostana), wuni (Antidesma bunius), langsat (Lansium domesticum), jamblang (Syzyqium cumini), jeruk (citrus), durian (Durio zitbethinus), pisang ( Musa), kecapi (Sandoricum koecape) begitu melimpah. Komoditas ini pula yang kerap dijumpai di pasar-pasar desa.

Melimpahnya buah-buahan ini pernah dijadikan kambing hitam oleh Jacob de Bondt alias Bontius, dokter VOC yang juga dokter pribadi J.P.Coen. Sebab banyak pelaut Eropa pada saat mampir ke Nusantara menjadi sakit karena mereka terlalu berlebihan menikmati aneka buah-buahan itu dan nyaris rakus. Walaupun sebenarnya itu kesalahan mereka sendiri karena setelah berbulan-bulan di atas kapal dan kekurangan vitamin, terutama vitamin C, perut mereka diisi dengan bermacam-macam buah-buahan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Sementara itu dalam laporan penjelajah William Dampier pada 1697 menyebutkan kelapa (Cocos nucifera) dan pepaya (Carica papaya) merupakan buah-buahan utama, sedangkan durian, mangga, manggis, jeruk besar /jeruk Bali (Citrus maxima), rambutan dan berbagai buah-buahan lainnya silih berganti sepanjang tahun. Bahkan mangga yang masih mengkal pun dijadikan teman makan nasi setelah dibuat asinan. Sejak dibawanya pepaya (Carica papaya) dan nenas (Ananas comusus) dari benua Amerika di penghujung abad 17 ke Asia Tenggara, buah-buahan ini berkembang dengan pesat dan dianggap buah-buahan eksotis oleh para turis yang datang kesini.

Buah-buahan yang sudah masak biasanya dinikmati sebagai pencuci mulut setelah menikmati hidangan utama atau dimakan begitu saja. Sedangkan buah-buahan yang masih mengkal biasanya dibuat manisan, asinan dan rujak. Walaupun terkadang buah-buahan yang sudah masak digunakan juga untuk rujak.

Rujak merupakan jajanan yang sangat populer di Indonesia dan Malaysia. Hampir di setiap sudut dapat kita temui penjual rujak dengan gerobak berkacanya. Biasanya untuk penjual rujak keliling ini, bumbu rujaknya telah mereka persiapkan dan ditempatkan di toples kaca sehingga tidak perlu diolah lagi. Supaya buah-buahannya tetap segar dan dingin, bongkahan kecil es batu diletakkan di antara buah-buahan itu.  Ada pula penjual rujak yang mangkal di kios atau warung.

Khusus untuk penjual rujak yang mangkal ini biasanya mereka mengolah terlebih dahulu bumbunya. Sebuah cobek besar dan ulekan selalu tersedia untuk meramu semua bumbu-bumbu tersebut. Sehingga para pembeli dapat memesan, mulai dari yang paling pedas, sedang, hingga tidak pedas. Serta kombinasi rasa lainnya, seperti misalnya pedas manis, sedang manis, dan sebagainya. Dulu rujak itu biasa dibungkus dengan daun pisang dan disematkan dengan potongan biting (lidi), sekarang biasa menggunakan kertas pembungkus atau plastik.

Bumbu rujak itu sendiri terdiri dari ; cabe merah (lombok), cabe rawit, gula jawa, terasi, asam jawa, garam, terkadang ditambahkan kacang tanah yang telah dihaluskan.
Buah-buahan yang biasa digunakan antara lain; mentimun (Cucumis sativus), nanas (Ananas comusus), bengkuang (Pachyrrhizus erosus), mangga muda (Mangifera indica), kedondong (Spondias dulcis), jeruk Bali (Citrus maxima), jambu air (Eugenia aquea), pepaya muda (Carica papaya), ada pula yang ditambahkan semangka (Citrullus vulgaris) dan melon (Cucumis melon).

Di Malaysia, ada rujak yang dikenal dengan nama rujak Penang. Rujak itu memiliki bumbu yang sama dengan rujak di Indonesia. Bedanya di atas bumbu yang telah diguyur di atas potongan buah-buahan itu ditaburi wijen. Ada jenis rujak yang lain. Rujak itu cukup dikenal di Jakarta. Biasanya dijajakan dengan pikulan. Rujak itu dikenal dengan nama rujak bebeg (baca bêbêg). Juga  menggunakan buah-buahan, tetapi kebanyakan buah-buahan yang masih mengkal, seperti ubi merah mentah (Ipomoea batatas), jambu biji mengkal (Psidium guajava), nangka (Artocarpus integer), mangga muda(Mangifera indica) , kedondong (Spondias dulcis) , jeruk bali(Citrus maxima). Bumbu-bumbunya, seperti cabe merah, cabe rawit, gula merah, terasi, dimasukkan ke dalam alat yang disebut lumpang dari kayu kemudian ditumbuk. Lalu buah-buahan yang telah dipotong-potong itu dimasukkan ke dalam bumbu yang telah halus itu sambil ditumbuk hingga tercampur dan lumat. Rujak itu disajikan dengan takir ( pincuk dalam bahasa Jawa) , daun pisang yang disemat dengan lidi. Harganya pun cukup murah karena buah-buahannya masih mengkal. Mungkin saja, sang penjual memperolehnya dengan gratis hingga ia tak perlu menjualnya terlalu mahal. Saat ini penjual rujak bebeg sudah jarang kalaupun ada hanya dapat dijumpai di pinggiran kota Jakarta. Namun, rujak bebeg ini naik statusnya menjadi sedikit bergengsi. Kita dapat menjumpainya di beberapa pusat perbelanjaan ber-AC, berjejer dengan jajanan lainnya. Meskipun alat pengolahnya masih sama, dengan lumpang kayu.

Rujak pun kerap dikonsumsi para remaja, khususnya anak perempuan. Sambil belajar bersama, atau mengobrol kesana-kemari mereka menikmati rujak. Tak jarang ada undangan yang dibuat oleh para remaja itu dengan mencantumkan acara ‘rujakan’ atau ‘pesta rujak’ di dalamnya untuk memeriahkan acara mereka.

Kaum perempuan yang memiliki hasrat kuat dan tiba-tiba menginginkan makanan yang sangat pedas, terutama makanan dari buah-buahan dapat dianggap sebagai tanda pertama kehamilan. Hal ini yang sering disebut ngidam rujak. Menurut kepercayaan, keinginan ini harus dituruti karena jika tidak akan berakibat buruk pada jabang bayi yang dikandung. Nah, jika sang istri ngidam rujak tengah malam, maka sang suami yang kebingungan mencari penjual rujak. Tetapi bila kelak sang istri hamil, makanan pedas ini justru menjadi pantangan.

Penggerutu atau pengkritik nomor wahid dari Belanda pada awal abad 20, Bas Veth yang membenci Hindia Belanda dan menganggapnya hampir sebagai penyakit, menggambarkan rujak sebagai bentuk yang sama sekali tidak lebih baik dari ‘ambrosia’, dewa makanan. Ia menuliskan kesannya mengenai rujak dalam bukunya Het Leven in Nederlandsch Indië yang dalam waktu singkat menjadi best seller. Veth menceritakan tentang pengalaman para penumpang sebuah kapal yang melakukan perjalanan panjangnya dari Belanda ke Hindia Belanda pada tahun 1900:
“Pagi hari: para penumpang Indo berharap dapat menikmati aneka masakan dengan harga yang murah. Harga khusus kaum Indo. Tentu saja di warung-warung. ‘Barangkali nanti dapat roedjak ya,’, ujar salah seorang dari mereka. Roedjak yang disiapkan dengan jambu atau mangga mengkal. Rasanya cukup asam hingga membuat perut orang Eropa sakit dan nanti di dek kapal mereka akan bergulingan kesakitan seperti kera. Barangkali dapat roedjak kata mereka sambil menahan air liur dan seolah mendesis kepedasan”

Pada masa Tempoe Doeloe yang sering disebut jaman normaal yaitu masa sebelum pecah perang dunia kedua, para sinyo dan noni Indo sering memaksa kokkie mereka untuk membuatkan bumbu rujak dengan buah-buahan yang masih mengkal dari pohon-pohon yang tumbuh di keboen belakang rumah.mereka. Mereka melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, si kokkie takut ketahuan nyonya rumah karena pada saat itu adalah jam tidur siang  dan bila ketahuan bisa saja nyonya rumah marah besar karena sinyo dan noni tidak tidur siang. Melanggar aturan.

Dalam adat Jawa, rujak juga diikutsertakan. Seperti pada jamuan upacara memperingati tujuh bulan kehamilan pertama. Tetapi rujak yang dihidangkan dalam upacara ini bukan jenis rujak seperti yang biasa kita nikmati tetapi dalam bentuk seperti minuman manis yang segar. Rujak ini disebut rujak krobo atau gobed yaitu rujak yang terbuat dari bermacam-macam buah-buahan, seperti jeruk bali, delima (Punica granatum) yang dicacah dengan sambal gula yang diberi air asam. Semua ini melambangkan kesegaran. Sedangkan untuk mengetahui jenis kelamin si bayi yang masih dalam kandungan dapat ditandai dengan rasa rujak itu. Rujak itu lalu dihidangkan untuk handai tolan dan tetangga yang menghadiri upacara tersebut. Bila rujak itu terasa pedas, itu suatu tanda bahwa bayi yang dikandung adalah perempuan, sebaliknya bila tidak pedas, maka laki-lakilah bayi itu. Kebiasaan ini masih sering dilakukan baik di desa maupun di kota besar meskipun banyak yang tidak setuju tata cara jamuan ritual animistik ini.

Rujak juga dihidangkan untuk upacara perkawinan adat Jawa. Walaupun untuk yang satu ini tampak jarang dilakukan. Biasanya bila mantu anak sulung, dihidangkanlah rujak manis pada sepasang mempelai itu dan ayah mempelai perempuan. Ibu pengantin perempuan kemudian bertanya: “masih adakah kekurangannya?” . Yang dijawab oleh sang bapak pengantin perempuan; “ tak ada, sudah enak rasanya.” Itu melambangkan bahwa segalanya sudah berlangsung baik tanpa kekurangan dan mereka berharap demikian pula bila mereka mantu lagi.

Bahkan rujak pun dijadikan pola batik yang dikenal dengan nama ‘rujak senté’. Pola batik ini di Yogyakarta dianggap termasuk pola batik ‘larangan’, tidak sembarang orang dapat mengenakannya dan hanya para bangsawan yang diperkenankan mengenakannya. Dalam hal ini pola ‘rujak senté’ hanya boleh dikenakan oleh para anggota keluarga Sultan yang bergelar Raden Mas atau Raden, seperti yang diungkapkan Nyonya Veldhuisen-Djajasoebrata dalam Bloemen van het heelal. De kleurrijke wereld van de textile op Java ( Bunga-bunga semesta. Dunia penuh warna dari tekstil di Jawa).

Musim kemarau ini membuat kita butuh sesuatu yang menyegarkan. Potongan aneka warna buah-buahan segar itu kelihatan begitu menantang. Ditambah guyuran saus sambal berwarna merah kecoklatan di atasnya. Rasanya tak sabar untuk mencicipinya. Ya, itulah rujak,  hidangan yang cocok di saat musim kemarau. Rasanya yang segar, manis dan pedas membuat kita ketagihan walaupun belum tentu cocok bagi lidah Eropa. Tak terasa keringat menetes dan mulut kepedasan.
 

Panjang Umur Dengan Mi

Elena,  mantan tetangga saya di Belanda menggeleng heran ketika ia menanyakan usia saya. ‘Kalian orang Asia ternyata awet muda. Wajah kalian tidak mencerminkan usia kalian!’ ujar gadis Bulgaria yang studi hukum di sebuah universitas di Belanda. Ia penasaran dan menanyakan rahasianya. Tentu saja, saya sendiri susah menjelaskannya. Hingga suatu ketika kami bersama-sama memasak di dapur yang khusus disediakan untuk para penghuni lantai di apartemen yang kami tinggali. ‘Aha..saya tahu rahasianya. Rupanya ini yang menyebabkan kalian awet muda! ’ serunya sambil menunjuk pada mi instan yang sedang saya masak.

Saya tertawa. Memang menurut mitos Cina, makan mi tanpa terputus dapat membuat umur menjadi panjang. Secara tradisional di antara masyarakat Cina, mi karena bentuknya yang panjang sering digunakan simbol umur panjang, dan selalu disajikan dalam pesta ulang tahun. Tetapi bukan hanya pada pesta peringatan ulang tahun, melainkan juga pada saat upacara pemakaman dengan harapan mereka yang ditinggalkan memiliki umur yang panjang .

Tiba-tiba saya teringat seorang kawan SMA yang kuliah di Universitas Indonesia. Sebagai anak kost, hampir tiap hari ia menyantap mi instant namun bukan umur panjang yang ia dapat melainkan awet muda alias meninggal dalam usia muda. Walaupun saya sendiri menyangsikan apakah benar ia meninggal lantaran banyak makan mi instan.

Mi memang makanan khas dan populer di Asia, khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara. Begitu terkenalnya, bahkan membuat para pedagang Eropa di masa Marcopolo yang pernah singgah di Cina, mengadopsi mi dalam masakan mereka.  Maka saat ini kita dapat menikmati spaghetti , vermicelli dan pettucini yang mirip dengan mi.

Menurut cerita legenda, mi pertama kali dibuat di daratan Cina kira-kira 2000 tahun yang lalu di bawah kekuasaan dinasti Han. Dari Cina, mi berkembang dan menyebar ke Jepang, Korea, Taiwan, Indocina, Asia Tenggara, bahkan meluas ke seluruh dunia termasuk Amerika Serikat dan daratan Eropa. Dalam bahasa Inggris, mi disebut noodle yang sebenarnya berasal dari bahasa Jerman, nudel. Namun asal istilah tersebut tidak jelas.

Sebenarnya seni menggiling gandum dan pembuatan roti telah lebih dahulu berkembang di Timur Tengah: Mesopotamia, Mesir dan Persia. Logikanya, mi juga dikembangkan dan diajarkan sebagai lembaran roti yang tidak mengembang. Tampaknya di Cina, terutama Cina Utara, mi mendapat perhatian sangat khusus.

Menurut Denys Lombard dalam Le Carrefour Javanais ,ada empat jenis makanan khas yang cukup memasyarakat di Nusantara yaitu: mi, pangsit, tim sum dan bakso.  Mi sendiri merupakan salah satu bahan makanan yang diproses dengan cara pengawetan.  Proses ini di Jawa sudah dikenal sejak zaman Mojopahit. Alasannya karena istilah laksa yang masih digunakan di Semenanjung Malaka untuk menyebut semacam bihun muncul dalam  piagam Biluluk yang bertahun 1391. Kata laksa ini kemungkinan berasal dari India. Wilkinson dalam A Malay-English Dictionary (Romanised) menyebutkan bahwa lakhshah berasal dari Persia atau Hindi, dan menjelaskannya sebagai  “a kind of vermicelli”. Namun karena istilah itu sudah ada dalam bahasa Jawa abad ke-14, dapat dipastikan bahwa kata itu berasal dari bahasa Sanskerta, laksa yang berarti seratus ribu; mungkin karena banyaknya jumlah bihun dalam satu porsi.

Masuknya mi ke Nusantara tampaknya dapat juga menjadi hal yang menarik. Alasannya, mi merupakan hidangan khas Cina Utara. Sementara para pendatang dari negeri Tiongkok ke Nusantara, kebanyakan berasal dari Cina Selatan yang cenderung berkebudayaan beras/nasi. Mungkin saja, pengaruh dari utara masuk ke selatan dan orang-orang selatan inilah yang membawanya ke Nusantara.

Di samping itu seluruh kosakata dari masakan khas  tersebut berasal dari Cina, seperti mi (mian) merupakan istilah umum untuk menyebut mi dari tepung beras maupun dari tepung terigu, kemudian bihun (mifen) dan misoa (mianxian) yang terbuat dari tepung beras, Iomi (lumian) dan kuetiao (guotiao) termasuk mi lebar yang berasal dari Fujian. Lalu so’un (fensi) yang terbuat dari pati kacang hijau serta yang terbuat dari tepung terigu dan beras yang disebut shomein. Ketika tepung soba (buck wheat) telah menjadi salah satu bahan pangan pokok, mulailah diperkenalkan mi dari soba.

Tidak lengkap pula jika kita melupakan ‘teman’ makan mi ini yaitu pangsit (bianshi, yang arti sebenarnya “makanan lonjong”) . Lucunya, kata itu dalam bahasa Tagalog menunjuk apa yang dalam bahasa Melayu disebut mi dan biasanya direbus atau digoreng.

Dalam suatu kesempatan saya sempat menyaksikan kebolehan seorang juru masak di sebuah hotel di Jakarta yang khusus didatangkan dari Cina dalam mengolah mi secara tradisional. Pembuatan mi dari terigu asal Cina Utara ini dilakukan dengan cara melempar-lempar adonan ke udara sehingga menjadi tali temali yang panjang, kemudian ditarik, dilipat dan dipotong sehingga menjadi seperti benang atau tali. Menurutnya, adonan mi yang dibuat dengan cara seperti itu dapat menghasilkan tali-tali tebal seperti macaroni. Dengan teknik khusus, yaitu jika penarikan dilakukan 12 kali dan pelipatan dilakukan sebanyak 11 kali maka akan menghasilkan produk mi yang disebut ‘mi jenggot’ atau ‘jenggot naga’. Mi jenggot naga biasanya disajikan sebagai hidangan penutup suatu pesta. Konon untuk menikmatinya, mi tersebut jangan sampai putus supaya umur Anda tetap panjang.

Berdasarkan kondisi sebelum dikonsumsi, mi dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok yaitu mi basah, mi kering, mi rebus, mi kukus serta mi instan baik dalam kemasan plastik maupun sterofoam (bentuk mangkuk atau cangkir). Khusus untuk Indonesia, kebanyakan yang dikonsumsi adalah jenis mi basah dan mi instan. Sedangkan mi kering (kan-men) merupakan mi yang paling populer di Jepang.

Di Indonesia pun kita mengenal bermacam-macam masakan  mi yang dijajakan mulai dari penjaja keliling (gerobak, sepeda, sepeda motor), warung-warung tenda di pinggir jalan hingga restauran mewah. Masakan mi itu berupa mi baso (bakso), mi pangsit (mi ayam), mi goreng, mi rebus, mi kocok, mi kuah, soto mi. Padahal kalau diperhatikan bahan dasarnya nyaris sama yaitu sama-sama menggunakan mi basah. Seperti mi baso (dikenal dengan bakso) yang terdiri dari mi dan baso (rousu)., cacahan daging sapi giling yang dibentuk bulat-bulat. Biasanya dicampur dengan bihun (mifen) atau tahu (tofu). Terkadang dibubuhi sedikit cuka, garam dan bumbu penyedap. Lalu disiram kuah yang berupa air kaldu daging panas. Bila suka diberikan saus tomat, kecap dan sambal. Mi baso ini lebih dikenal sebagai bakso.

Lain halnya dengan mi pangsit yang dikenal dengan nama mi ayam. Mas Yon, seorang pedagang mi pangsit langganan yang biasa berjualan di daerah Cikini bercerita sambil melayani pelanggan. Untuk mi pangsit, mi-nya dilumuri terigu. Mi basah yang telah berbentuk bulatan  sekepalan tangan dimasukkan ke dalam panci dandang besar berisi kuah kaldu. Sementara itu ia menyiapkan bumbunya di dalam mangkok. Ia masukkan sedikit minyak kaldu, bumbu penyedap, lada, sedikit garam lalu mi yang telah dimasukkan dalam air kaldu mendidih diangkat, ditiriskan dan diletakkan dalam mangkok. Di atasnya ditaburi tumisan daging ayam yang dipotong persegi, irisan daun bawang lalu dibubuhi saus tomat dan sambal bila suka. Kalau tidak ingin kering bisa diberi kuah. Tetapi terkadang kuahnya dipisah. Setelah itu diletakkan beberapa buah pangsit (bianshi). Dari hasil berjualan ini, ia telah memiliki rumah dan tanah di kampungnya di Solo.

Adalagi menu yang berhubungan dengan mi yaitu mi kocok. Saya cenderung menyatakan mi ini mirip dengan soto mi. Hanya cara mengolahnya yang berbeda. Soto mi diolah mirip dengan mi baso tetapi ditambah kol, lemak daging, irisan tomat, dan potongan risoles sementara mi kocok, semua bahan dimasukkan ke dalam satu sendok khusus lalu direndam dalam kuah di panci besar yang berbentuk dandang.

Bertugas di Makassar pun saya tidak terlepas dengan makanan mi. Namun mi di sini cukup unik meskipun bukan makanan tradisional Makassar. Sebuah rumah makan di tengah kota Makassar dipagi dinihari itu, tepatnya di perempatan Jalan Bali dan Lombok, selalu ramai didatangi pengunjung. Nyaris tak pernah kosong.

Di bagian depan rumah makan yang terpampang papan bertuliskan Mi Titi, seorang juru masak sibuk menumis bumbu di penggorengan besar di atas tungku arang. Tungku arang ini menjadi ciri khas dalam mengolah hidangan ini. Bau harum pun menyergap hidung. Berturut-turut ia mencampurkan campuran daging, rempela, dan hati ayam, potongan bakso dan sayuran sawi hijau. Ketika tampak matang, ia masukkan air dari panci besar yang penuh campuran tulang, leher, sayap. Rupanya itu semacam kaldu. Tiap kali air kaldu berkurang, air di panci terus ditambah.

Di samping penggorengan itu ada meja besar. Di atasnya berjejer piring-piring yang berisi mi. Mi yang dimaksud bukan mi basah melainkan mi yang sudah digoreng kering dan garing. Hampir menyerupai kerupuk. Setelah kuah berisi campuran ayam dan sayur matang, juru masak mengentalkan kuah dengan campuran tepung maizena dan kocokan telur ayam. Lalu siap mi di atas piring disiram dengan kuah itu. Mi kering pun siap disantap.

Menurut salah seorang dosen senior Unhas yang juga mahasiswa angkatan pertama Unhas, dr Lies Radjawane , mi kering ini sudah ada sejak tahun 50-an dan ditemukan oleh Angko Cauw, seorang warga keturunan Tionghoa yang telah lama tinggal di Makassar di Jalan Bali. Sedangkan Mi Titi merupakan rumah makan milik putra kedua Angko Cauw yang dibuka tahun 60-an.

Cara menikmati masakan mi pun cukup unik , biasanya dengan supit. Penggunaan supit ini juga diimpor dari negeri asal mi, Cina . Mereka yang tidak mahir akan frustasi dan berjuang dengan susah payah menikmati mi. Tapi mereka bisa juga menggunakan sendok. Seperti yang  digambarkan Pramoedya Ananta Toer bagaimana Minke, tokoh dalam novel Jejak Langkah menikmati mi dengan campuran champignon, jamur merang dan sedikit daging serta kuwah berlemak menggunakan sendok tanpa garpu ketika dijamu oleh seorang gadis Tionghoa, Ang San Mei.

Almarhum Umar Kayam pun memiliki cerita sendiri mengenai mi ini. Di saat tubuhnya diserang flu yang menghilangkan nafsu makannya maka menu bakmi godog (rebus) panas dengan sambal botol menjadi menu sehari-hari. Saat sarapan, makan siang bahkan makan malam hingga dirasa sang lidah dan selera makan kembali normal. Mi rebus dan obat flu seolah menjadi resep mujarab baginya.

Dengan adanya kemajuan teknologi, kita semakin dimudahkan. Begitupula dengan perkembangan mi. Mesin pembuat mi pertama ditemukan oleh T. Masaki di Jepang tahun 1854.. Tahun 50-an mulai dikembangkan Chicken Ramen, ramen merupakan ucapan lain dari lumian, Iomi dalam bahasa Cina untuk mi. Ini merupakan cikal bakal mi instan yang kita kenal sekarang. Tahun 1962 muncullah mi instant baru Saporo Ramen. Ibu saya pada pertengahan tahun 60-an sempat menikmati mi instan tersebut dengan kemasan yang cukup sederhana. Teknologi terus berkembang. Untuk menjaga kesegaran mi dalam jangka waktu lama, ditemukan teknologi pembekuan dan pengeringan tahun 1974. Tahun 70-an dapat dikatakan puncak dari produksi mi instan secara komersial. Hingga kini, ada bermacam-macam merek mi instan serta berbagai macam rasa yang dikombinasikan dengan aneka resep di seluruh Nusantara.

Mi yang dulunya hanya dikenal dalam keadaan basah, dan jika kita ingin menikmatinya harus menunggu penjual atau pergi ke warung saat ini telah dikemas dalam bentuk mi instan. Kita dapat menyajikan dalam waktu yang singkat tanpa mengenal waktu. Baik siang maupun tengah malam sekalipun.

Bahkan mi instan pun saat ini menjadi makanan yang ditunggu-tunggu terutama bagi mereka yang tertimpa musibah kebakaran, kebanjiran maupun dalam konflik. Di layar televisi kita melihat beribu-ribu kardus mi instan siap dikirimkan kepada mereka yang membutuhkan. Tidak mengherankan mi instan tidak hanya menjadi makanan wajib para anak kost tetapi juga para pengungsi. Setidak-tidaknya mitos bahwa makan mi membuat umur menjadi panjang terbukti. Panjang umurnya…dengan mi.

Menjadi Indo Jangan Setengah-Setengah!

Menjadi orang Indo bukan berarti menjadi setengah-setengah. Demikian pesan Tjalie Robinson alias Jan Boon, ayah Rogier Boon seorang ilustrator dan desainer grafis yang karyanya dipamerkan di Erasmus Huis Jakarta, mulai 9 Maret hingga 11 April 2007 lalu.
Menjadi orang Indo justru memikul beban ganda: Oost en West (Timur dan Barat). Budaya campuran merupakan suatu janji dan mengabdi pada masyarakat keturunan Indo yang harus diwujudkan, lanjut Tjalie Robinson.

Rogier Boon dilahirkan di Meester Cornelis (Jatinegara) pada 19 Juni 1936. Pada ulang tahunnya yang ke-17 (19 Juni 1954), ia kembali ke Belanda bersama ayah, ibu tiri dan adik-adik tirinya. Pada masa itu pemerintah Indonesia memang sedang getol-getolnya menasionalisasi semua hal yang berbau Belanda. Bahasa Belanda dilarang padahal para founding father kita menyerap ilmu melalui bahasa itu. Bahkan urusan nama pun dipersoalkan. Maka lenyaplah nama-nama berbau Belanda seperti Mientje, Saartje, Hans, Kees, Bram, Rudy dari Indonesia berganti dengan nama yang lebih “Indonesia”. Menjadi Indo pada masa itu menjadi sesuatu yang nista dan terhina. Mereka diminta untuk memilih, menjadi WNI atau kembali ke Belanda.

Sebelumnya, pada masa pendudukan Jepang orang Indo berada pada posisi sulit. Kalau ternyata dalam tubuh mereka mengalir darah Eropa lebih banyak persentasenya. Habislah mereka, masuk kamp interniran. Oleh karena itu Kantor Arsip Negara yang waktu itu bernama Kobunsjokan dikunjungi orang-orang Indo yang mengetahui asal-usul mereka. Mereka bisa bebas dari tawanan Jepang bila dapat menunjukkan bukti keturunan orang Indonesia. Berapapun persentase darah ‘pribumi’ yang mengendap dalam tubuh seseorang ketika itu sangatlah berharga dan menentukan hidup di dalam atau luar kamp Jepang.

Pada masa pendudukan Jepang ini dan menjelang Proklamasi Kemerdekaan, kaum Indo mengalami perlakuan yang menyedihkan. Dalam bukunya, Anton Lucas menyebutkan bahwa peristiwa pembunuhan terhadap kaum Indo pada masa awal Republik Indonesia di bulan-bulan akhir di tahun 1945— yang berhubungan dengan Peristiwa Tiga Daerah—sebagai ‘masa-masa kacau’. Kaum Indo mengalami tindak kekerasan paling hebat terutama karena mereka dipandang sebagai orang-orang asing dengan kedudukan ekonomi yang istimewa, serta ada prasangka rasial kuat yang jadi salah satu pemicu berbagai kekacauan tersebut. Selain itu keberadaan mereka dikaitkan dengan keberadaan bangsa penjajah (baca: Belanda).

Menurut Prof. Djoko Soekiman dalam Kebudayaan Indis, pada masa VOC, secara garis besar struktur masyarakat dibedakan atas beberapa kelompok. Masyarakat utama disebut signores, kemudian keturunannya disebut sinyo. Yang langsung merupakan keturunan Belanda dengan pribumi “grad satu” disebut liplap, sedang “grad kedua” disebut grobiak, dan “grad ketiga” disebut kasoedik. Liplap biasanya menjadi pedagang atau pengusaha, yang sangat disukai menjadi pedagang budak karena mendapat untung banyak. Sedangkan grobiak kebanyakan menjadi pelaut, nelayan, dan tentara, sedangkan kasoedik mata pencariannya menjadi pemburu dan nelayan.

Pertumbuhan budaya baru (Indis) pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda. Larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) dan mendatangkan wanita Belanda ke Hindia Belanda memacu terjadinya percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi, atau gaya Indis.

Kata “Indis” berasal dari bahasa Belanda Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang disebut Nederlandsch Oost Indie, untuk membedakan dengan sebuah wilayah jajahan lain yang disebut Nederlandsch West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan Curascao. Istilah “Indis” ini sering disebut Indo yang tidak hanya terbatas pada percampuran budaya dengan Belanda tetapi dengan budaya lainnya.

Demikian pula Rogier Boon sebagai bagian dari kaum Indo yang berupaya menampilkan “identitas” ke-Indoannya tanpa melupakan akarnya yang bukan berarti mengorek masa lalu. Kalau Jan Boon alias Tjalie Robinson lebih dikenal sebagai “tukang cerita” atau penulis, maka Rogier dikenal sebagai “tukang gambar”. Sama-sama seniman. Maka peribahasa Belanda de appel valt niet ver van de boom (buah apel jatuh tak jauh dari pohonnya) berlaku untuknya. Bahkan ayah-anak ini pernah bekerja sama. Ketika Tjalie mendirikan majalah bulanan gerilja (1955) yang hanya muncul dua edisi lalu mati, Rogier menjadi ilustratornya. Saat itu ia masih duduk sebagai mahasiswa Kunstnijverheidsschool di Amsterdam (kini Gerrit Rietveld Academie). Rogier pun bersedia membantu sang ayah ketika Tjalie mengambil alih majalah Onze Brug pada 1958 dan mengganti namanya menjadi Tong-Tong (sekarang Moesson). Selain itu Rogier juga menjadi ilustrator bagi buku-buku ayahnya Tjoek (1960), Piekeran van straatslijpers, Ik en Bentiet (1976).

Sehari-hari Rogier dididik dengan berbagai alasan mengapa hal yang bersifat Indo bukanlah masa lalu dan tidak boleh menjadi masa lalu. Karena itu ia selalu berusaha mencari gaya Indo asli yang baru dan modern. Rogier juga membiarkan dirinya terilhami oleh tradisi-tradisi dari berbagai wilayah di Asia dan budaya campuran (mestizo) lainnya. Misalnya budaya Meksiko. Motif dalam rancangannya yang kerap muncul adalah pohon (kehidupan). Rogier menggambarkannya dalam berbagai corak dengan caranya tersendiri. Tanaman digambar secara terpisah dari rimbunan dedaunan kecil. Pohon-pohon besar digambarnya pula seperti pada sampul buku Gordel van Smaragd karya Johan Fabricius.

Akhir tahun 1958 Rogier berkenalan dengan Ellen Derksen yang membantu redaksi Tong-Tong. Setelah berpacaran cukup lama pada tahun 1963 mereka menikah dan mereka dikaruniai seorang putri pada 1964. Hingga mereka memutuskan untuk berpisah tetapi tetap menjalin hubungan baik.

Periode paling produktif dan kreatif Rogier adalah selama Tjalie, ayahnya berada di Amerika Serikat (1962-1965). Ia membuat logo rubrik dan selalu menggunakan tangan bila membuat huruf. Berbagai ilustrasi dibuatnya untuk berbagai artikel dalam majalah Tong-Tong. Tiap artikel dihiasinya dengan ilustrasi detil dan terkadang dengan kartun.
Tahun 1973 Rogier mengadu nasib di Singapura. Di sana ia mendapat pekerjaan sementara. Lalu ia mencoba peruntungannya di kota kelahirannya, Jakarta. Ia berhasil mendapatkan pekerjaan dan tinggal di Indonesia. Ketika itu ia masih bekerja untuk majalah Tong-Tong, menjadi koresponden. Hampir pada setiap edisi, ia mengirimkan artikel beserta foto-fotonya. Selain menjadi koresponden untuk Tong-Tong, Rogier juga bekerja pada berbagai biro iklan di Indonesia. Antara lain PT Perwarnal Utama dan perwakilan biro iklan Amerika di Indonesia, Ted Bates.

Pada awal 1980-an, Rogier kembali ke Belanda karena alasan kesehatan. Namun, istri dan kedua anaknya tetap memilih tinggal di Indonesia. Keterlibatan Rogier pada semua hal yang ‘berbau’ Indo tetap besar. Ia menghadiri reuni, debat serta mengunjungi Pasar Malam Besar sambil mengobrol dan menikmati jajanan dengan para kenalan dan orang yang belum dikenalnya. Rogier meninggal dunia pada tanggal 26 Januari 1995 pada usia 57 tahun.

Dalam pameran Rogier Boon ini ditampilkan berbagai karyanya. Antara lain cerita bergambar Wim is weg yang merupakan tugas akhirnya di Kunstnijverheidsschool Amsterdam, ilustrasi dan rancangan untuk majalah Tong-Tong, terutama logo kentongan yang menjadi ciri khas majalah tersebut. Yang tidak kalah menarik adalah karya fotografinya. Baginya itu merupakan ‘pertemuan kembali’ dengan Indonesia setelah hampir 20 tahun tidak aktif. Berbagai peristiwa yang jarang dapat dilihat di Belanda diabadikannya. Misalnya musim hujan dan banjir, penjaja jalanan serta pengalaman anak-anak yang juga merupakan bagian dari pengalaman dirinya sebagai “anak Betawi”.

Dibandingkan dengan masa Rogier, memang kaum Indo, terutama anak-anak Indo sekarang lebih beruntung. Kapitalisme yang didukung oleh globalisasi di mana-mana, menyerap wajah-wajah Indo ini dalam pasar dunia iklan atau hiburan. Dunia yang juga pernah digeluti Rogier Boon. Wajah-wajah mereka kini seolah ‘mewakili’ arus utama kecantikan atau ketampanan di masyarakat. Serta menjadi gambaran ideal bagi kesempurnaan fisik. Menurut Nuriana Juliastuti dalam artikelnya “Indis dalam Indonesia masa kini”, fakta mempunyai keturunan keluarga ras campuran menjadi penemuan yang menyenangkan, karena itu artinya tampang “bule” (begitu biasanya orang di Indonesia menamakan seseorang dengan wajah campuran) menjadi pintu masuk yang potensial untuk menjadi artis atau selebritis. Namun, seperti pesan Tjalie Robinson pada Rogier: “Jangan setengah-setengah menjadi Indo!”. Jangan sekedar kulit luarnya tanpa memerhatikan makna sesungguhnya menjadi Indo alias cuma jual tampang.

Indische reisverhalen als historische bron

De geschiedenis van het toerisme Nederlands-Indië aan het begin van twintigste eeuw is een interesant thema. Maar hoe staat het met het bronnenmateriaal? De officiële archieven van de overheid als primair bron zijn niet voldoende om een diepgaande beschrijving te geven. En deze primaire bron is te formeel en te droog. Het is daarom voor een historicus vereist ook andere bronnen te gebruiken. Om een levendig beeld van het Indische toerisme in de genoemde periode te kunnen reconstrueren en dit  een menselijk gezicht te geven, is het nuttig om gebruik te maken van reisverhalen.

Reisverhalen en andere soortgelijke werken behoren tot de collectieve culturele ervaring van een bepaalde tijd. Zij bevatten niet alleen psychologische en individuele aspecten die met ‘ruimte’ en ‘tijd’ te maken hebben, maar ze vormen ook het culturele product van een bepaalde periode en bevatten daardoor veel relevante informatie (Nugraha 2004:3)  Als voorbeelden worden hier reisverhalen van Justus van Maurik, Augusta de Wit, en Louis Couperus besproken. De keuze hiervan is gepaald door de factor ‘tijd’, namelijk het einde van negentiende eeuw en aan het begin van twintigste eeuw. Terwijl de factor ‘ruimte’ hier zal worden beperkt tot het toerisme op Java. Bekeken zal worden in hoeverre dergelijke bronnen voor de geschiedschrijving bruikbaar zijn.

Reizen naar Java en de bezoekregeling
De uitvinding van de stoomboot en de opening van het Suezkanaal in de negentiende eeuw maakte de reis naar Azië veel sneller. En dat verhoogde het enthousiasme van de Europeanen om naar het Oost te komen. Het maakte het ook aantrekkelijker om een bezoek aan Java te brengen. Dit ondanks het feit dat Augusta de Wit, een Nederlandse reizigster in de inleiding van haar boek Java: Feiten en Fantasieën (1905) had geschreven dat Java de meest onmogelijke plaats was om te bezoeken (Spillane 1994:7). Volgens Arthur Walcott in zijn boek Java and her Neighbours (1914) was er over Java niet veel literatuur te verkrijgen, behalve allerlei verhandelingen over tropische ziektes, uitbarstingen van vulkanen, burgeroorlogen, en geweld onder de inheemse bevolking, zoals ‘amok’ en ‘stille kracht’ (Nugraha 2004:3). Daar kwam nog bij dat het bezoeken van Nederlands-Indië streng gereguleerd werd. Europese bezoekers en reizigers moesten binnen vierentwintig uur na aankomst melden wat de reden was van hun komst naar Indië. Naam, leeftijd, godsdienst, nationaliteit, adres in Indië, beroep, en naam van schip en kapitein, werden geregistreerd. Als men vervolgens een reis tot buiten Buitenzorg – 57 km van Batavia -, wou maken, moest men een ‘toelatingskaart’, een soort paspoort aanvragen. Deze werd door de gouverneur-generaal verstrekt (Koninklijk Besluit 15-09-1871, no.1, in: Staatsblad van Nederlandsch-Indië 1872, no.38, gewijzigd in Staatsblad van Nederlandsch-Indië 1881, no.226 en 1890, no.186). De Indische regering beoordeelde dan of een dergelijke toelatingskaart werd verstrekt of niet. Wie een reis verder dan tot Buitenzorg maakte zonder geldige toelatingskaart, kon een boete van 5 tot 100 gulden opgelegd krijgen. Een toelatingskaart was zes maanden geldig en kon verlengd worden (Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indië 1908, deel 1:66).

Natuurlijk gold deze regeling niet voor wie een reis maakte in opdracht van de regering zelf. Uit Nederland afkomstige personen kregen eerder gelegenheid om Nederlands-Indië te bezoeken dan andere Europeanen, op gasten van de overheid na. Hoewel deze regeling tegen het einde van  de negentiende eeuw wel wat flexibeler werd, bleef het toch zo dat iedereen die een reis wou maken met de regering moest samenwerken. De overheid zorgde voor de paarden, schepen, en logementen (Staatsblad van Nederlandsch-Indië 1816, Besluit no 25; ibid 28-10-1818 en 10-8-1827; zie ook Encyclopaedie van Nederlandsch Indië  (‘s-Gravenhage/Leiden 1919) deel III:581-91.

Reizigers en toeristen

De literair-historicus Fussel maakt in zijn werk Abroad: British Literary Traveling between the War (1980) een onderscheid tussen reizigers en toeristen. Reizigers reizen vaak geheel alleen door een nieuw gebied, en zijn er op uit in allerlei onverwachte situaties terecht te komen. Soms gaat het hier ook om overheidsdienaren die op avontuur uit zijn. Toeristen daarentegen zijn veel passiever en reageren alleen op wat hen wordt aangeboden (Nugraha 2004:12). Omdat in de negentiende eeuw het toerisme op Java nog niet werd bevorderd en naar behoren georganiseerd, kunnen we iedereen die een reis over Java maakte, voordat in 1908 te Batavia de Vereniging Toeristenverkeer werd opgericht (Sunjayadi 2006, te verschijnen), beschouwen als reiziger of bezoeker. De belangstelling van reizigers om Indië te bezoeken, vooral Java, werd opgewekt door informatie die eigenlijk alleen gericht was op het belang van de overheid, en niet zozeer bedoeld was voor reizigers of toeristen.
Reizigers als bijvoorbeeld de Brit Charles Walter Kinloch (1852) en de Amerikaan Eliza R. Scidmore (1912) beklaagden zich over de behandeling door de douane in Tanjung Priok en over de strenge toelatingsregels. Maar dit gold niet voor de reizigers, Justus van Maurik en Augusta de Wit, en een toerist, Louis Couperus, van wie we hier reisverhalen bespreken. Ze bezaten alle drie de Nederlandse nationaliteit en konden daardoor niet verhalen over moeilijkheden om naar Indië te komen. Maar hun reisbeschrijvingen kunnen een goed beeld geven van hoe het was om door Indië te reizen. Zij vormen voor het beschrijven van het toerisme in Indonesië een waardevolle historische bron, die als aanvulling op de officiële overheidsdocumenten gebruikt kan worden.

Justus van Maurik

In zijn boek Indrukken van een totok (1897) beschrijft Justus van Maurik de situatie in Tanjung Priok aan het eind van de negentiende eeuw:

Nauwelijks ligt de boot vast en is de loopplank gelegd, of een menigte menschen komt, als een troep halfwilden ons overvallend, aan boord. Hotel-mandoers met adreskaarten, eigenaars van commensalenhuizen, boot en expeditie-agenten, jongens die hun toewan of njonja komen afhalen, heeren en dames om vrienden en familie te ontvangen, een troep Chineezen, die een hunner grootwaardigheidsbekleeders komen begroeten
(p.85-6).

Tanjung Priok was een van belangrijkste toegangen tot Java, naast de haven van Surabaja. Bij aankomst was het een drukte van belang van personen die hotels als Hotel des Indes, Grand Hotel Java, Hotel Wisse, of Hotel Ort aanboden. Er was een grote concurentie om de gasten te trekken die voor de eerste keer in Indië aankwamen.
De tocht van het station Tanjung Priok tot Weltevreden trok de aandacht van Van Maurik. Allerlei interessante dingen die niet in de overheidsarchieven te vinden zijn, worden door hem beschreven. Zoals zijn culinaire avonturen. Hij beschrijft een wandelend restaurant van een Chinees met een draagstok die lekkere maaltijden verkoopt: kimlo of sop tjina (Chinese soep) die met een blauw, porceleinen lepeltje in een kommetje werd opgediend. Voor een paar centen konden de klanten deze soep gehurkt opeten (p.110). In de Chinese wijk kon men allerlei kleine waroengs aantreffen waar van alles te krijgen was: rijst, gedroogde en gebakken vis, gedroogd vlees (dendeng), sambal, koffie, vruchten, suikerwerk (van Chinees fabrikant), koekjes, sigaretten, strootjes, kokos, Spaanse peper, verschillende soorten bananen, en flessen met gegiste palmwijn (tuak). Van Maurik schenkt ook aandacht aan allerlei soorten vruchtensiroop in flessen. Volgens hem was de Chinees een matador in het namaken van Europese dranken. Van Maurik schrijft: ‘evenwel treft men ook warongs aan, die binnenin een eetkamer hebben, bestaande uit een donkere ruimte, besmookt en berookt…’ (p.112). Een ander Chinees gerecht dat hij lekker vond was bami, die hij in een  roemah-makan in Glodok at: ‘…een soort van dunne macaroni, gekruid met allerlei specerijen, bereid met bouillon, vermengd met champignons, kippenlever, Spaansche peper, gehakte uien, stukjes varkenvleesch- en zelfs met kikkerbilletjes naar me mij verzekerde.’ (p.114)
Van Maurik beschrijft ook de hotels in Indië. Als hij aan die hotels dacht, herinnerde hij zich de smaak van overheerlijke koffie, lekkere pisang, de onvergelijkelijke geuren van ananas en trassi (p.155). In verband met deze hotels gaf hij het advies aan de gasten om vooral de mandoer te vriend te houden, want: ‘De mandoer in een Indisch hotel is een opzichter over de anderen, oberkellner en bottelier tegelijk,en onder de bedienden de meest beschaafde is, derhalve ook het best weet wat een fooi beteekent.’ (p.160) Hij had ooit gehoord dat de meeste hotelbedienden in Indië niet zo gewend aan fooien waren. Hij adviseert om alleen fooien te geven als je lang in een hotel bent geweest. Als je ze een kwartje geeft, zijn ze heel dankbaar:
dat is hier in Indie plezierig, de bedienden zijn nog niet zoo verwend. Fooien geef je alleen als je lang in een hotel bent geweest, bij je vertrek en voor een kwartje zijn ze hier dankbaarder dan voor een rijksdaalder in Europa (p.160)
Er was een verschil tussen de hotelbedienden in Batavia of Soerabaja en die in de binnenlanden. De hotelbedienden in de binnenlanden waren meer gewillig dan die in de grotere steden. Hoe groter de plaats, hoe meer contact met de westersche beschaving, hoe lastiger ze worden. Van Maurik schrijft: ‘vroeger zaten ze op hun hurken, maar als ze lang met vreemdelingen verkeeren gaan ze op hun stoel zitten, als ze kunnen.’ (p.161)

Augusta de Wit

Een dergelijke ervaring had ook Augusta de Wit, journaliste van de Singapore Strait Times, toen ze Java aan het begin van twintigste eeuw bezocht. In haar reisverslag Java: Feiten en Fantasieën (1905) verhaalt ze hoe ze aankwam in Tandjoeng Priok en hoe overal:
bedienden [verschenen] met koffers en passagiers in spiksplinternieuwe kleeren. Want we naderden al meer en meer; en weldra lag met een diepen zucht van verlichting, de boot stil, en we betraden de kade van Tandjong Priok.De trein is tenslotte in beweging gekomen en snelt nu door een wild triestig landschap, half bosch, half moerasland. (p.9)

Nadat ze de trein van station Tanjung Priok naar Batavia had genomen, vervolgde ze haar reis met paard en wagen (sado) naar Rijswijk -nu Jl. Veteran (p.11).  Net als andere Europese reisverhaalschrijvers beschrijft ook zij een rijsttafel : ‘Dit is alles echter is slechts eene voorbereiding tot dat grootste aller mysteries, dat om twaalf uur gevierd wordt: – de rijsttafel.’(p.18) Er zijn twee dingen die haar aandacht trokken. Ten eerste werd de rijsttafel niet in een eetkamer geserveerd , maar op de achtergalerij van het hotel (p.18). Ten tweede beschrijft zij hoe de inheemse bedienden de rijsttafel serveerden. Zij vond vooral hun kleding interessant. Ze waren blootsvoets en droegen half Europese kleding die met een sarong en een hoofddoek werd gecombineerd: ‘de spijzen worden rondgediend door onhoorbaar, op blote voeten heen en weer bewegende inlandsche jongens, half indisch, half europeesch gekleed.’ (p.18).
Natuurlijk had ze ook aandacht voor de verschillende gerechten van de rijsttafel zelf. De hoofdgerechten bestonden uit rijst en kip. En ook was er gerookt vlees, vis met verschillende ingrediënten, ei, gebakken banaan, en sambal met kippenlever. Alles opgediend met Spaanse peper (p.18-19). Een onvergetelijke ervaring voor haar was de eerste keer dat ze de sambal proefde. Haar lippen werden heet. Haar keel stond in brand, zodat haar ogen traanden:

Ik heb geen woorden om te beschrijven wat er van kwam. Laat mij slechts zeggen, dat in minder tijd dan ik nu noodig heb om het te vertellen, ik onuitsprekkelijk ellendig was geworden; mijne lippen schrijnden onder de vurige aanraking van de sambals, mijne keel brandde te erger door haastigen slok water.(p.20)

Gelukkig vond een van de gasten haar zielig en gaf haar het advies om een stukje zout op haar tong te leggen. Na een paar minuten was het ergste voorbij. Ze was dankbaar dat ze nog leefde en ze bezwoer dat ze nooit meer rijsttafel zou eten. Maar dat kon ze later toch niet nalaten (p.20). Nadat ze allerlei gerechten had geprobeerd die haar lieten zweten en tranen, was het tijd voor het toetje: ananas, mangistan, ramboetan en doekoe. Daarna gingen de gasten terug naar hun kamer voor een siesta tot vier uur ’s middags (p.24).
Het is duidelijk dat we de tip voor de nieuwkomers in Indië om zout op de tong te leggen na het eten van te hete sambal, niet in de officiele archieven zullen aantreffen.
Augusta de Wit bekeek ook hoe de Javanen pas ontbeten nadat ze eerst in de rivier (kali) gebaad hadden: ‘Na het bad gaat de Javanen ontbijten en ook dit gebeurt in het openbaar.’(p.113).  Ze verwees naar Tanah Abang en het Koningsplein (nu Jl Medan Merdeka, Monas), de buurt waar de inheemse mensen woonden. Daar stonden ook de waroengs die allerlei gerechten verkochten. Maar er waren ook nog kleinere en handiger waroengs, die langs het kanaal, op de hoek van de straat, in het station of bij een sado-standplaats stonden:

Men vindt verscheiden, dergelijke warongs in de buurt van Tanah-Abang en het Koningsplein, en natuurlijk ook in de inlandsche wijken. Maar de kleinere, draagbare, vindt men overal, aan den kant van de kali, aan de spoorwegstations, bij de standplaatsen der sadoos, langs de grachten, op de hoeken van de straten, en ze schijnen goede zaken te doen.(p.114)

Vroeg in de morgen bracht men hun etenswaren met een draagstok daarheen. Borden, glazen en flessen werden zo gerangschikt dat ze de aandacht van de mensen trokken. Ze gebruikten een anglo, een komfoor van klei, om op te koken. Er was iemand die rijst verkocht, gezoute vis met sambal, groene koekjes met witte geraspte kokos en verschillende koekjes die een zoete smaak hadden met diverse kleuren – orange, rood, roze en donker bruin -, en die werden geserveerd op bananenblad:

Die staan al gereed in het draagbare buffet –zorgzame vrouw van den verkooper ’s voor dag en dauw opgestaan om ze klaar te maken – en nu worden ze uitgestald op reepen pisangblad, die dienst doen als borden en schotels; groene en witte balletjes rijstmeel, met wat geraspte kokosnoot er overheen gestrooid, oranje maiskoekjes, trillende rose geleien, en reepen van een taai donkerbruin goedje.(p.116)

Volgens De Wit hielden de bewoners veel van dergelijke zoete koekjes. Zittend op een korte houten bank aten ze die veelkleurige koekjes en dronken er siroop bij, zonder bang te zijn dat ze later buikpijn zouden krijgen:

Ik heb dikwijls groepjes volwassen mannen en vrouwen gade geslagen, terwijl ze op het lage bankje  voor een warong gezeten, zich met een volmaakt kinderlijk genot te goed deden aan kwee-kwee, koekjes en suikergoed, of over een stalletje gebogen, ernstig de bekoorlijkheden vergeleken van witte, rose en gele koekjes; aarzelende, den verkooper raadpelegend, en tenslotte het moeilijke vraagstuk oplossen door van alles een beetje te proeven.(p.117)

Louis Couperus
Volgens Couperus bood Tandjong Priok geen fraaie aanblik, maar gelukkig waren daar de vele gezichten van verwanten en vrienden die de passagiers kwamen afhalen. Louis Couperus en zijn vrouw logeerden in Hotel des Indes in Weltevreden

Tandjong Priok. Geen schoonheid van aankomst, maar lieve gezichten van verwanten en vrienden, die ons komen afhalen, trots de brandende zon. Ze namen ons mee en we waren spoedig in Batavia in het Hotel des Indes, in Weltevreden. (p.123).

Hij  was als correspondent verbonden aan de Haagsche Post. Eénenzeventig brieven verschenen in de nummers van 17 december 1921 tot en met 5 mei 1923, en werden later door hem gebundeld in Oostwaarts (1992, eerste druk 1924). Het doel van zijn reis naar Indië was ‘niet om economische toestanden te bestuderen, niet […] om een beeld van onze Nederlandsch-Indische kolonisatie te geven […], maar enkel om eenige luchtige toeriste-brieven te schrijven’ (p.281)
Net als de andere Europesche reizigers verhaalt ook Couperus hoe de bekende rijsttafel bij wijze van Europese lunch in het hotel werd opgediend. Couperus adviseert om niet te veel sambal oelek te nemen, want deze is te heet voor Europeanen. Die sambal houd je op de rand van het bord: ‘De verschillende, soms zeer gepimenteerde sambals neme men in kleine hoevelheid –pas op voor de sambaloelek, louter Spaansche peper!-en houde ze op den rand van uw bord vooral goed uit elkaar’ (p.129). De rijsttafel werd gegeten met lepel en vork. Bij elke hap rijst werd wat kip, vlees of vis genomen, vergezeld van wat sambal. Elke hap was op die manier weer anders van smaak:

Bij elke hap rijst –ge eet uw rijst met lepel en vork –kiest ge iets van kip, vleesch of visch, begeleid door een der sambals. Iedere hap rijst is een nieuwe combinatie. Ge wisselt ze af, die combinaties. Ge wisselt ze af, uw hapjes rijst, waardoor, als ge goed eet, elk hapje anders smaakt. (p.129).

Uit de gidsen voor toeristen van het begin van de twintigste eeuw blijkt dat het voornaamste doel steeds is om van het prachtige landschap in de bergachtige gebieden te genieten. Dit wordt ook door Couperus beschreven. Zo beschrijft hij zijn bezoek aan de Kemojang krater (Kawa-Kemodjan) in West-Java. Ook het bewonderen van de zonsopgang was een belangrijke toeristische attractie. Omdat er niet alle gebieden per auto bereikbaar zijn, gebruiken ze tandoe:

Vroeg in de morgen vertrok hij met de auto naar Ciparai, langs de bergen Papandayan, Guntur en Cikorai. Daarna werd de tocht vervolgd per tandoe (draagstoel) die al klaar stond vanwege het ontoegankelijke gebied. Een auto kon er niet rijden. Die tandoe werd overdekt met bamboe en aan twee sterke bamboestokken meegetorst. Aan beide zijde werd hij door vier zwetende en zwoegende koeli’s meegedragen onder toezicht van een mandoer (p.164).

Ze konden niet zomaar stoppen om naar de zonsopgang te kijken. Ze moesten doorgaan. En zo was het ook als ze iets wilden eten. De mandoer had alles goed geregeld. Hij kocht lempers voor een paar centen. En lemper is gekookte rijst in een omhulsel van pisangblad in vorm van een dikke vierkante brief. Het lijkt op een postpakketje: ‘Vroolijk blijven zij, en hongerig, geloof ik, zijn zij of doen zijn alsof zij zijn om aan een warong hier, een draagkeukentje daar, vlug den mandoer wat ‘lemper’ te doen koopen voor enkele centen.’ (p.165). Al lopende opende de mandoer zo’n postpakketje en gaf elke koeli vlug een lemper. Met een hand pakte een koeli vlug die lemper aan en at hem snel op, ‘en de mandoer die lastloos ter zijde loopt, geeft iedereen koelie vlug een lemperpakje, dat hij, vlug ook, al torsende, pakt met één hand en naar binnen werkt’ (p.165). Als ze moe waren en ze wilden de bamboestokken van de linker- naar de rechterschouder verplaatsen of andersom, dan riepen de koeli’s om beurten: ‘Balek!’, dat betekent ‘andersom’. De bamboestok werd dan op de andere schouder gelegd. Op die manier konden ze gewoon doorlopen zonder te stoppen

“Balek!” roepen de koelies om beurten; dat beteekent: “draai om!” En zij meenen er mee, dat zij de bamboe stokken van linker-over rechterschouder willen leggen of andersom. Een schok, een hevige schudding, en de bamboe’s zijn op frissche schouders verlegd. Na een poosje roept weer en schoudermoede koelie: “Balek!” en met schudding en schok wordt mijn zwaarte weer naar het eerste zwaartepunt overgebracht.’ (p.165-166)

Indische reisverhalen als historische bron
Indische reisverhalen worden niet veel gebruikt als historische bron, want ze behoren tot het genre van de subjectieve fictie. Maar we moeten goed beseffen dat geschiedenis altijd subjectief is en dat geschiedschrijving probeert om iets uit het verleden te verklaren of beschrijven door deze zo nauwkeurig mogelijk te reconstruëren. Het resultaat daarvan is niet de geschiedenis zelf, maar een interpretatie daarvan.
Bij het gebruiken van reisverhalen, moeten we ons bewust zijn dat deze altijd beïnvloed zijn door de achtergrond van de schrijver: wie is de schrijver (leeftijd, beroep, geslacht, ras). Wat was de motivatie om een reisverhaal te schrijven, en in hoeverre is men met hun object – hier: Java/Indië – verbonden? De historicus moet zich hier bij het lezen van dergelijke reisverhalen goed van bewust zijn. Reisverhalen moeten immers altijd begrepen worden als een vorm van representatie (Nugraha 2004:3).  Om reisverhalen te analyseren, kunnen we de tekstbenadering van Foucoult (1976) gebruiken.  En om de koloniale representatie te begrijpen, kunnen we aansluiten bij de benadering van het oriëntalisme van Said (1991).
Als voorbeeld werden hier de reisverhalen van drie reizigers besproken worden. Justus van Maurik (1846-1904) was een sigarenhandelaar uit Amsterdam, Augusta de Wit (1864-1939), in de tijd dat ze Java bezocht, journaliste voor de Singapore Strait Times en ook  lerares Engels en Duits in Batavia (1895-1896), terwijl Louis Couperus (1863-1923) als correspondent verbonden was aan de Haagsche Post.  Augusta de Wit werd geboren in Sibolga, Noord-Sumatra, maar verhuisde met haar familie naar Europa toen ze tien jaar oud was (Nieuwenhuys 1972:323).  Justus van Maurik en Louis Couperus werden in Nederland geboren. Hoewel Louis Couperus zelf niet in Indië geboren werd, had zijn hele familie wel een langdurige Indische achtergrond. Een aantal familieleden had in Indië een bestuursfunctie gehad. Toen hij negen jaar oud was, verhuisden zijn ouders naar Batavia, waar hij vijf jaar woonde.
Als we de indrukken van deze schrijvers kritisch analyseren, dan kunnen we deze Indische reisverhalen als historische bron gebruiken.

Slot
Elke historicus is zich ervan bewust dat hij de bronnen waarmee hij in aanraking komt niet zonder meer kan accepteren. Deze moeten aan een nauwgezette kritiek worden onderworpen voordat ze als historisch materiaal kunnen dienen. En elke bron kan niet worden losgemaakt uit de cultuur waaraan hij zijn ontstaan te danken heeft. Als de onderzoeker de cultuur van de betreffende periode niet kent, zullen de gegevens uit de bronnen hem niet veel zeggen (Lapian 1989:457). Dat geldt ook als we deze Indische reisverhalen als historische bron willen gebruiken.

Uit: Congres Vijfendertig Jaar Studie Nederlands in Indonesië, 24-25 September 2005 PSJ-UI Depok