Jejak Peradaban

Pada 27- 29 Agustus 2006 lalu berlangsung forum dialog antar kementrian pariwisata negara Kamboja, Myanmar, Laos, Thailand, Vietnam, dan tuan rumah Indonesia di Yogyakarta. Forum dialog tersebut mengangkat tema baru: Trail of Civilitation (Jejak-jejak Peradaban) yang diharapkan menjadi payung solidaritas enam dari sepuluh negara anggota ASEAN.

 

Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, forum tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan keutuhan persahabatan di masa yang akan datang agar menebarkan manfaat bagi perdamaian dan kesejahteraan masyarakat masing-masing karena kesamaan jejak peradaban dan asal muasal leluhur. Ia lalu menambahkan bahwa gagasan pertemuan tersebut sebenarnya sudah dirintis oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung ke Myanmar dan Kamboja beberapa waktu lalu.

Gagasan Presiden SBY mengenai persamaan peradaban tersebut bisa dirangkai menjadi obyek budaya yang cukup baik. Di samping itu kesamaan jejak tersebut bisa dipahami lebih jauh oleh generasi dari enam negara ASEAN, dan bangsa-bangsa di dunia. Kesamaan jejak peradaban yang diangkat kali ini adalah fakta bahwa keenam negara tersebut memiliki warisan budaya masa keemasan agama Buddha. Yaitu melalui peninggalan sejarah berupa candi, seperti Candi Angkor Wat (Kamboja), Candi Bagan (Myanmar), Candi Luang Prabang (Laos), Candi Ayuthaya (Thailand), Candi Oc’oe (Vietnam), dan Candi Borobudur (Indonesia).


Forum tersebut pun melahirkan “Deklarasi Borobudur” di Magelang. Isinya berupa komitmen bersama untuk mengembangkan pariwisata melalui pengelolaan dan promosi warisan peradaban bersama dalam wujud kerja sama wisata ziarah dan kebudayaan.
Hal menarik adalah upaya untuk ‘mempromosikan’ warisan budaya masa keemasan agama Budha sebenarnya bukan hal baru.

Pada masa kolonial, di awal dibukanya Hindia khususnya Jawa untuk turisme internasional, warisan budaya masa Budha sudah menjadi ujung tombak promosi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dari buku panduan turisme serta itinerario (jadwal acara) terbitan VTV (Vereeniging Toeristenverkeer = Perhimpunan Turisme) yang mengatur turisme di Hindia Belanda pada masa itu, tercatat sejak tahun 1910-an hingga 1940-an, peninggalan candi-candi baik Budha maupun Hindu menjadi obyek yang ‘wajib’ dikunjungi oleh para turis asing. Jaringan VTV itu pun tidak tanggung-tanggung. Mereka memiliki wakil di kota-kota besar Asia (Tokyo, Singapura, Shanghai, Manila, Hongkong), Amerika (San Fransisco, New York), Eropa (Amsterdam, Den Haag, London, Paris), Australia (Sydney) bahkan Afrika (Cape Town, Johannesburg). Pada masa itu VTV juga memiliki hubungan dengan negara-negara yang ketika itu masih di bawah jajahan Prancis yang dikenal dengan nama Prancis-Indo China. Lantas, apa bedanya dengan sekarang?

Perbedaannya mungkin dahulu kita masih berada di bawah penguasaan pemerintah kolonial (baca: penjajah) dan sekarang kita sudah “merdeka”. Perbedaan lain adalah kalau dulu sasaran turis hanya orang kulit putih dan mereka yang dianggap sejajar, seperti bangsa Jepang, sekarang adalah semua turis yang memiliki potensi besar. Atau kalau dulu kita hanya menjadi penonton atau sekedar pesuruh (dahulu djongos) sekarang menjadi pelaku meskipun tidak semuanya terlibat. Berdasarkan penelusuran jejak bolehlah dikatakan adanya kesamaan jejak peradaban dan kesamaan asal leluhur. Namun, di sini kita tidak boleh melupakan bahwa di samping adanya kesamaan itu ada pula perbedaan yang sejatinya memang selalu ada. Justru dalam perbedaan itu kita menemukan ciri khas yang bisa dijadikan obyek menarik untuk diketahui oleh masing-masing pihak.


Sementara itu negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Malaysia, Brunei, Singapura, dan Filipina tidak diundang. Sudah jelas alasannya karena di negara-negara tersebut tidak memiliki candi sebagai peninggalan sejarah agama Budha. Ironisnya, dilihat dari sudut pandang potensi turis, negara-negara inilah (Malaysia, Singapura) memiliki potensi yang lebih besar dibanding negara-negara yang memiliki candi tersebut. Bukankah akan lebih efektif bila mereka juga turut diundang.
Sudah jelas bila kita berbicara promosi pariwisata hal itu akan bersinggungan dengan masalah ekonomi. Namun, pertanyaannya apakah pemerintah memang sudah dengan serius menangani bidang ini dengan mengangkat warisan budaya sebagai bagian dari promosi pariwisata.

Menurut pakar manajemen, Rhenald Kasali, Indonesia memang pernah sangat serius menekuni bidang pariwisata ini sebagai industri. Namun, pasca krisis tahun 1997 hingga sekarang pariwisata Indonesia seperti kehilangan ‘ruh’nya. Bahkan, tak satu pun dari para presiden Indonesia yang menyebutkan betapa pentingnya ‘industri’ pariwisata ini. Yang kita dengar hanyalah keluhan yaitu matinya usaha pariwisata dengan berbagai akibat. Mulai dari terorisme, ancaman bom, larangan berkunjung (travel banned), peringatan berkunjung (travel warning), hingga flu burung.

Hal-hal negatif tersebut di atas mengingatkan kita pada masa awal mulai berkembangnya turisme di Hindia Belanda (abad ke-18/19). Sebelum turisme diatur oleh pemerintah kolonial. Ancaman wabah penyakit (pes/kolera), bencana alam (gunung meletus), guna-guna, amok, perang antar suku menghiasi buku-buku catatan perjalanan para pengelana yang telah dibumbui. Justru hal tersebut menarik perhatian para petualang hingga mereka membuktikan kebenaran ‘cerita’ tersebut.

Namun, pemerintah Hindia Belanda berupaya membatasi para pengunjung yang berniat berkunjung. Mereka mengeluarkan semacam peraturan dalam bentuk toelatingskaart (kartu izin masuk) yang super ketat. Tetap saja antusiasme para pengunjung tak terbendung. Hingga akhirnya pemerintah ‘membuka’ pintu bagi para pengunjung asing meskipun aturan toelatingskaart itu tetap diberlakukan.

Sehubungan dengan mengangkat warisan budaya sebagai bagian dari promosi pariwisata ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Antara lain tidak menempatkan budaya sebagai obyek belaka. Dalam hal ini termasuk masyarakatnya, sebagai pemilik dan ‘pewaris’ budaya tersebut. Bisa jadi masyarakat yang idealnya dijadikan subyek, dengan kata lain sebagai bagian dari pariwisata tersebut hanya menjadi tontonan atau penonton belaka. Sehingga masyarakat yang seharusnya diharapkan mampu menaikkan taraf hidupnya malah semakin miskin karena sedikitnya ‘kue’ yang seharusnya mereka terima. Misalnya kasus yang menimpa masyarakat di sekitar Candi Borobudur.

Hal lainnya adalah tidak menjadikan budaya sebagai komoditas belaka. Misalnya merekayasa budaya dan dibuat sedemikian rupa untuk konsumsi para turis sehingga menghilangkan nilai-nilai penting budaya tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa salah satu penggerak pariwisata internasional adalah keinginan yang besar untuk mengalami kebudayaan yang masih murni dan eksotis. Kebudayaan murni dan eksotis tersebut dimiliki kelompok-kelompok etnis di negara-negara Dunia Ketiga. Keinginan untuk mengalami kebudayaan yang masih murni dan eksotis, menurut Stuart Hall adalah fantasi Barat tentang otherness, sebagai ‘fantasi kolonial’ tentang dunia pinggiran yang dipelihara oleh Barat.

Sehubungan dengan masalah ekonomi, dua ahli ekonomi mikro, Joseph Pine II dan James H. Gilmore berpendapat bahwa negara-negara industri telah mereposisi ekonominya dari brand based economy (ekonomi manufaktur berbasiskan produk-produk bermerek) menjadi experience economy (ekonomi berbasiskan experience atau kesan). Experience merupakan kegiatan ekonomi produktif yang menimbulkan efek keterlibatan. Hampir semua kegiatan yang berhubungan dengan turisme yang berakhiran ing, misalnya diving, skiing, snorkeling, sightseeing masuk kategori ini. Semua kegiatan ini merupakan kemasan pariwisata modern yang menimbulkan pengaruh terhadap kenaikan lapangan kerja dan otomatis mengurangi pengangguran. Tentunya kenaikan lapangan kerja ini sangat diharapkan oleh Presiden SBY sehingga data berupa menurunnya angka-angka pengangguran yang sempat diperdebatkan benar-benar menjadi kenyataan.

Idealnya, pemerintah berupaya memanfaatkan sumber dan peluang lain, selain mempromosikan kembali warisan budaya. Terutama yang berkaitan dengan kemasan pariwisata modern. Sehingga akan tampak adanya kreativitas, variasi dan tidak sekedar mengulangi apa yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Padahal Indonesia memiliki semua itu dan tidak hanya di Jawa (baca: Borobudur). Misalnya kekayaan alam yang belum digali sepenuhnya di tempat-tempat lain. Terlepas dari masalah-masalah yang mungkin saja dapat menjadi penghambat upaya pemerintah yang memperhatikan sektor pariwisata ini, upaya pemerintah ini patut mendapat dukungan. Khususnya dari kita semua. Tentu dukungan masyarakat ini harus diimbangi oleh keseriusan pemerintah yang berkesinambungan. Sehingga tidak menimbulkan kesan, ganti pemerintahan ganti kebijakan. Yang ujung-ujungnya hanya merugikan masyarakat. Di samping itu diperlukan pula strategi yang matang dalam hal pemasaran. Di sinilah kunci keberhasilan upaya pemerintah tersebut.

2 thoughts on “Jejak Peradaban”

  1. This article is very interesting. It is true that the problem of tourism is a very serious problem. We have to solve it, especially in Indonesia where there so many disasters.

    Greeting,
    BJ

Leave a Reply to bandarjurnal Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *