Balada Hutan Kita

Kebijakan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2008 seperti yang ditegaskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak dimaksudkan untuk merusak hutan. Peraturan tersebut justru meningkatkan pendapatan negara bukan pajak yang diperoleh dari 13 perusahaan tambang yang sudah berada di kawasan hutan lindung.

Isi peraturan tersebut memang memperkenankan penyewaan hutan lindung untuk berbagai kegiatan termasuk pertambangan. Namun, menurut Rino Subagyo, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia, dalam PP tersebut tidak tercantum secara tegas atau eksplisit bahwa peraturan itu hanya untuk 13 perusahaan pertambangan yang sudah mendapat izin. Ditambah lagi, menurut Rino isi PP sama sekali tak menyebutkan pembatasan. Artinya adalah semua pertambangan dapat masuk sehingga dapat dikatakan melanggar keppres yang telah memberi batasan jumlah izin tambang di kawasan hutan lindung.

Persoalan hutan di negara kita ini memang sangat menarik. Kita tentu ingat maraknya kasus illegal logging. Menurut sumber dari Departemen Kehutanan dari 293 kasus illegal logging baru 43 kasus yang selesai. Lalu polemik hukum antara Menteri Kehutanan dan Polri dalam kasus dugaan pembalakan liar di areal hutan tanaman industri (HTI) di Riau dan kasus Adelin. Jauh sebelumnya yaitu ekspor asap yang membuat negeri jiran gerah.

Persoalan hutan kita jauh berakar ke masa lalu. Persis seperti sebuah pohon tua yang akar kesejarahannya menghunjam ke tanah dan menarik untuk diketahui.

Babad dan penebangan hutan
Hutan dan manusia Indonesia sudah saling berhubungan sejak lama. Peradaban Jawa hanya terdapat pada daerah terbuka yang selalu dikelilingi hutan rimba. Di bawah pengaruh ideologi India yaitu agama Hindu dan Budha, orang Jawa tidak lagi merasa sebagai penghuni hutan. Khususnya bagi para bangsawan dan priyayi, hutan merupakan daerah liar yang harus dimusnahkan dan dijinakkan.

Para raja mengizinkan pembukaan daerah baru (baca: hutan) dengan memberikan kebebasan pajak bagi warga desa atau kaum agama sehingga mereka mampu memperoleh lahan baru.Menurut Denys Lombard, kronik-kronik kerajaan yang merupakan sumber bagi para sejarawan memiliki istilah yang disebut babad. Istilah ini konon juga berarti “penebangan” atau “pengolahan tanah”. Namun, apakah etimologi itu tepat atau tidak, kita dapat menghubungkannya dengan pengertian pembukaan hutan dan penulisan sejarah sebagai dua aspek pelengkap bagi pembangunan sebuah kerajaan.

Kelak kita mengetahui bahwa di beberapa tempat lain, seperti Kalimantan para pendatang membuka hutan sehingga beberapa suku penghuni hutan yang lama bertahan hidup di hutan menjadi dikenal karena “pembabatan” itu. Di antara mereka pun ada yang menerima cara hidup baru itu.

Peraturan perlindungan hutan yang pertama
Eksotisme alam di Jawa pada masa lalu menjadi daya tarik perhatian para penjelajah Barat (baca: Eropa) untuk mengeksplorasinya. Hutan di Jawa kelak “dimusnahkan” sehingga kayu bangunan didatangkan dari Pulau Kalimantan. Di Sulawesi dan Sumatera, hutan merupakan persediaan nabati yang menghidupi banyak jiwa.

Namun, menurut sejarawan Denys Lombard hilangnya hutan di Jawa merupakan fenomena baru. Catatan perjalanan orang Eropa yang memiliki nyali petualang untuk masuk ke pedalaman pada abad ke-17 dan 18 menjadi bukti betapa masih lebatnya hutan-hutan di Jawa.

Dalam laporan perjalanan seorang utusan VOC Rijklof van Goens dari Semarang ke Mataram pada 1656 ditulis meluasnya lahan pertanian tetapi kawasan hutan kian berkurang. Memang seer veel wild in de bosschen (masih sangat banyak hewan buruan di hutan), tulis Van Goens. Oleh karena itu raja-raja dan para penguasa sebagai penggemar perburuan telah membuat sejumlah ‘cagar alam’ (krapyak) untuk melindungi hewan buruannya dari pembabat hutan. Krapyak ini merupakan upaya ke arah penyusunan undang-undang kehutanan.

Pada 1744-1745, Gubernur Jenderal van Imhoff memasuki tanah Priangan melalui hutan rimba dan ia menceritakan penduduknya yang masih jarang serta suka berpindah-pindah. Lalu ketika kapal Kapten Prancis, Ch-F. Tombe karam di Selat Bali pada 1805, ia mendarat di sebelah utara Banyuwangi. Untuk mencapai Surabaya, ia harus menelusuri jalan setapak dalam hutan serta acap kali membuka jalan dengan parang. Pada 1886, seorang Prancis lain Comte de Beauvoir masih dapat berburu buaya di rawa-rawa sekitar Batavia serta badak di sekitar pedalaman Priangan (sekitar 4 kilometer dari Bandung).

Pembukaan hutan secara besar-besaran yang disertai perkembangan penduduk sebenarnya baru terjadi pada awal abad ke-19. Perkembangan teknologi kemungkinan besar menjadi pemicunya. Atas perintah Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) “Jalan Raya” (Grote Postweg) dibangun atau lebih tepatnya diperkeras. Lalu menjelang akhir abad ke-19 dimulai pembangunan jalur kereta api yang menembus pedalaman hingga membelah pegunungan.

Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20, sejumlah besar pembabatan hutan dilakukan atas perintah dan di bawah pengawasan orang Eropa. Tujuannya untuk membuka tanah partikelir (prosesnya dimulai Daendels di sebelah timur dan Raffles di sebelah barat) dan sistem tanam wajib (Cultuurstelsel) setelah 1830. Selain itu juga untuk perluasan lahan pertanian serta pengolahan tanaman kopi, kina, teh karet yang mendorong pembabatan hutan secara sistematis.

Daendels sendiri memerintahkan untuk mengeluarkan peraturan perlindungan hutan dan rimba yang pertama melalui Plakaatboek XV : Instructie voor den secretaris en fiscaal bij den inspecteur-generaal van de houtbosschen op Java tahun 1808. Undang-undang itu kemudian hanya dilengkapi saja sesuai keperluan karena makin lama makin sulit melindungi hutan terhadap perluasan pembukaan lahan.

Menjelang akhir abad ke-19, penebangan hutan yang meluas dari utara ke selatan, telah mengusir hewan buas ke daerah selatan. Sebuah buku panduan wisata yang ditulis F.Schulze, West Java, Traveller’s Guide for Batavia and from Batavia to the Preanger regencies and Tjilatjap (1894) menyebutkan bahwa di Pulau Nusakambangan masih dapat ditemukan badak.

Hutan yang tak lagi angker
Walau hampir keseluruhan hutan di Jawa sudah ditebang pohon-pohonnya dan nyaris musnah, meski ini anakronis, kenangan akan hutan masih akan tetap hidup.

Dalam cerita pewayangan, tokoh-tokoh utama bermukim di beberapa keraton yang berjauhan dan terpisah satu sama lain oleh daerah-daerah angker, berbahaya serta sulit ditembus. Bepergian dari satu rimba menembus rimba lainnya merupakan perjalanan jauh dan berbahaya. Diibaratkan harus siap mempertaruhkan jiwa dan raga.

Alasannya, daerah tak bertuan, penuh bahaya itu hanya dihuni oleh roh jahat serta bangsa raksasa pemakan manusia yang harus dihadapi para tokoh pahlawan dalam pertarungan seru di hutan. Di sisi lain hutan rimba pun menjadi tempat tinggal sang resi, tokoh bijak dan sakti yang biasanya memiliki pertapaan di lereng gunung. Tempat sang resi itu juga menjadi tempat para tokoh pahlawan ditempa dan dilatih kesaktiannya dalam naungan hutan rimba lebat.

Adegan wana (adegan dalam hutan rimba) di mana tokoh pahlawan berhadapan dengan para raksasa usai berguru pada resi dan akhirnya menang menjadi bagian dalam pertunjukan wayang.

Kembali ke masa sekarang, di mana hutan tidak lagi menjadi daerah angker, berbahaya dan sulit ditembus. Hutan menjadi daerah menggiurkan banyak pihak.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak dengan mengeluarkan peraturan pemerintah tersebut patut dihargai. Namun, sudah seharusnya peraturan yang dikeluarkan pemerintah juga harus tegas dan eksplisit. Tujuannya adalah menghindari persepsi pemerintah mengizinkan penyewaan hutan yang dapat merusak hutan. Mengingat semakin menipisnya areal hutan di Indonesia.

3 thoughts on “Balada Hutan Kita”

  1. saya pernah baca artikel yakob sumardjo ttg orang jawa dan hutan. katanya orang jawa menganggap hutan itu tempat angker. sebab itu harus dibuka, babat alas. makanya hutan di jawa pada abis.

    saya kurang setuju dengan hal tersebut. bagaimana kalo logikanya dibalik, dengan mitos hutan itu angker, jadi lebih terjaga? mungkin seharusnya ini saya tanyakan ke jakob sumardjo. tapi mungkin om ahmad punya pendapat lain?

  2. Ada!
    Hutan bagi orang jawa bermakna ganda. Disatu sisi sebagai tempat para raksasa jahat, di sisi lain sebagai tempat orang yang bijaksana dan sakti yakni resi. Hutan sebagai tempat angker, penuh makluk halus tidak harus dibabad dan dimusnahkan, karena kalau kayon dicabut dari batang pisang dalam pentas wayang, maka goro-goro akan muncul, keseimbangan kacau.
    di sisi lain, hutan merupakan tempat resi, sumber kebaikan. selain itu, hutan juga menjadi tempat berlatih para kesatria.

    menurut Lombard, memang ada pemisahan yang jelas antara hutan dan cerang (lahan lapang, pemukiman), namun keterkaitan diantara keduanya sangat kentara. Setidaknya, keseimbangan itu perlu di jaga (bagi orang jawa), namun pembatasan atas keduanya (oleh negara) juga akan ditentang oleh masyarakat Jawa. Konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan negara pengelola hutan, terbukti masih ada hingga kini. Tak lain, karena pembatasan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *