Tukang Insinyur di Negeri Bahagia

Judul  :  Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan  
Nasionalisme di sebuah koloni
Penulis  :  Rudolf Mrázek
Penerbit :  Yayasan Obor Indonesia, 2006
Tebal  :  442 halaman + xxii
Dalam sejarah Indonesia ada dua insinyur yang menjadi presiden. Yang pertama Soekarno dan berikutnya B.J. Habibie. Dari kedua tokoh ini, Soekarno lah yang sangat berpengaruh dalam sejarah. Hal ini didukung oleh masa kepemimpinannya selama lebih dari dua dekade (1945-1966). Sementara itu B.J. Habibie hanya sempat memimpin negeri ini kurang lebih setahun.
Rupanya bila ditelisik lebih jauh ke belakang, negeri kita yang pernah dikenal dan digembar-gemborkan sebagai “tanah surga” ini, dalam perkembangannya tak lepas dari campur tangan para insinyur. Tentunya, ketika itu insinyur made in Holland.
Dalam buku Engineers of Happy Land karya Rudolf Mrázek-pakar sejarah modern Asia Tenggara-khususnya Indonesia ini ditampilkan para ‘tukang’ insinyur serta perkembangan teknologi dan nasionalisme di Hindia. Mrázek yang juga menulis biografi Syahrir, Syahrir: Politics and Exile in Indonesia (sudah diterjemahkan) dalam menelisik Indonesia di masa-masa terakhir penjajahan Belanda yang dituangkan dalam buku ini menggunakan ilham dari Marcel Proust dan Martin Heidegger.
Hal menarik dari karya-karya Mrázek adalah kemampuannya mengonstruksi kehidupan melalui hal-hal yang bersifat “remeh”, namun dengan penuh kecermatan dan ketelitian. Yang kemudian dianalisis secara tajam. Demikian halnya dengan karya mutakhirnya ini.
Buku ini disusunnya menjadi enam bab besar dan secara khusus membahas teknologi yang dikaitkan dengan tumbuhnya nasionalisme di Hindia Belanda. Diawali dengan bab pertama ‘Bahasa sebagai Aspal’, Mrázek mengungkapkan teknologi perpindahan dan penyebaran, pergerakan serta percepatan. Mrázek mengawali dengan cerita Ekspedisi Siak pada 1891 yang dipimpin oleh Dr. Jan Willem Ijzerman, penggagas sekolah tinggi teknik di Hindia Belanda (ITB).
Bab pertama menghadirkan gambaran pemisahan manusia dari alam, dari kaki telanjang menjejak lumpur ke kaki yang melangkah madjoe hingga roda-roda yang berputar di atas roda dan rel. Kalau jaringan jalan raya dan rel merupakan sarana transportasi yang memindahkan tubuh dan bahan, maka sarana lain yang juga memindahkan adalah bahasa. Yang berguna untuk memindahkan gagasan dan cita-cita. Di sini Mrázek meneliti dokumen hasil pemikiran sejumlah tokoh. Mulai dari Mas Marco Kartodikromo hingga Soesilo, insinyur muda didikan Belanda yang kini dilupakan (hal.92).
Bab kedua yang berjudul ‘Menara-menara’ diawali dengan berbagai kutipan dan citra tentang menara. Menjulang ke langit tetapi berfungsi sebagai jangkar pengikat manusia dengan dasar kebudayaan. Di sini Mrázek membahas teknologi arsitektur dan tata kota. Berbagai dokumen tokoh, misalnya Willem Walraven, seorang wartawan Belanda, digunakan Mrázek untuk memberikan penjelasan tentang akar historis arsitektur dan tata kota Hindia Belanda yang rupanya dibangun untuk tempat berlibur atau tempat tinggal sementara. Hal ini dapat dikaitkan dengan konsep blijvers (para penetap) dan trekkers (yang tinggal sementara). Sehingga diciptakanlah kota-kota modern seperti di negeri asal (hal.90). Pembangunan kota-kota Hindia Belanda modern itu rupanya dilakukan dengan cara membersihkan dan makin lama makin menggusur (hal.96).
Selain arsitektur, pembangunan irigasi juga menjadi titik perhatian. Yang pada awalnya merupakan solusi masalah agraria. Irigasi yang dimaksud ternyata bukan hanya masalah air bersih , tinja dan lumpur. “Cairan” yang lain yaitu sperma dan darah juga harus diatur, tidak boleh menyebar ke mana-mana. Jangan sampai mengotori kemurnian ras kaukasia /Eropa. (hal.78).
Pada bab ketiga yang mengutip judul buku kumpulan tulisan Kartini ‘Dari Gelap Menjadi Terang’, mengulas teknologi yang membantu penglihatan manusia. Di sini, dengan menggunakan empat buku yaitu karya RA van Sandick, F. Wiggers, Louis Couperus dan Kartini, mengupas teknologi optik dan kaca,  fotografi dan daktiloskop (alat deteksi sidik jari) serta penyebaran jaringan lampu listrik di Hindia.
Pembangunan jaringan tenaga listrik di Hindia berdasarkan semata-semata teknologi Eropa (Barat) yang dirancang dengan rumit dan mewah. Demi kenyamanan kaum kulit putih semata dan tidak disesuaikan dengan kondisi masyarakat Hindia. Akibatnya tarif listrik di Hindia Belanda menjadi yang paling mahal di dunia (hal.134-135).
Sementara itu urusan penampilan luar menjadi bahasan bab empat ‘Para Pesolek Indonesia’. Di sini Mrázek mengulas bagaimana penduduk Hindia Belanda bersolek, menunjukkan perbedaan dan keberadaan mereka. Diawali dengan kajian terhadap 150 boneka orang pribumi yang dibuat oleh kaum perempuan terhormat di Hindia Belanda sebagai hadiah untuk Ratu Belanda (hal.179).
Selain itu disajikan pula aturan berpakaian bagi warga kulit putih yang serba ketat, formal dan serba putih. Aturan yang membedakan diri dengan kaum pribumi yang berpakaian serba longgar, acak-acakan hingga ada yang nyaris telanjang.
Kesadaran berbusana serta gaya hidup kaum pribumi di Hindia Belanda rupanya beriringan dengan bangkitnya nasionalisme, yang seiring pula dengan keinginan untuk sejajar kaum kulit putih. Misalnya busana Bung Karno Sjahrir pada tahun 20-an yang berjas lengkap (dasi, celana panjang), (idealnya) berkumis tipis menggambarkan keinginan itu. Berubahnya situasi politik kolonial dan gerakan kebangsaan juga memengaruhi busana dan penampilan para tokoh yang terlibat di dalamnya.
Pada bab kelima ‘Mari Menjadi Mekanik Radio’ menggali teknologi auditif. Yang bermuara pada kebutuhan mendengar dan didengar secara lebih baik. Teknologi komunikasi kabel dan nirkabel menjadi titik perhatian bab ini (hal.221). Judul bab ini rupanya dikutip dari ajakan dalam editorial majalah nasionalis Keboedajaan dan Masjarakat edisi September 1939 untuk menjadi ahli mekanik radio agar bisa memperbaiki nasib rakyat (hal.261). Ada pula ramalan dari koran nasionalis radikal Soeloeh Indonesia Moeda Agustus 1928 tentang revolusi kemerdekaan. Di mana imperialis terakhir dibayangkan menggulung tikarnya bukan di radio tetapi dalam televisi! (hal.262).
Buku ini ditutup dengan Epilog ‘Hanya Orang Tuli Yang Dapat Mendengar Dengan Baik’. Sekilas judul ini mengingatkan pada Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya A. Toer. Memang benar, bab ini berkisar tentang tokoh yang bukan insinyur tetapi menggelegarkan modernitas dan nasionalisme. Seorang tokoh yang membangun kebangsaan Indonesia bukan melalui alat mekanik tetapi melalui bahasa. Ia memang pernah ingin menjadi insinyur tetapi pendidikannya hanya sampai sebagai siswa Sekolah Teknik Radio di Surabaya.
Buku ini sangatlah menarik bagi kita yang ingin menelusuri akar sejarah teknologi dan nasionalisme. Begitupula bila dikaitkan dengan keluhan pengurus PII (Persatuan Insinyur Indonesia) dalam Kompas (20/9/2006) mengenai semakin berkurangnya minat siswa untuk menekuni bidang teknik. Khususnya, pasca reformasi, delapan tahun silam. Meskipun, belakangan ini ada anak-anak Indonesia mampu menjadi juara sains tingkat dunia. Namun, jumlahnya toh tak banyak.
Para siswa kita ternyata lebih memilih jurusan non teknik, seperti hukum dan ekonomi. Jurusan-jurusan yang mungkin dianggap mudah menangguk rezeki dan mengembalikan modal pendidikan yang kian mahal di masa carut marut ini.
Suatu hal yang patut direnungkan adalah ternyata perkembangan teknologi di negeri “bahagia” ini tidak lepas dari unsur jiwa yang bebas, merdeka. Sehingga dalam membangun bangsa ini, tidak melulu pembangunan fisik tetapi juga pembangunan mental supaya dapat lebih arif.
 

1 thought on “Tukang Insinyur di Negeri Bahagia”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *