Memoar Seorang Sarjana Ngawur

ben-anderson-hidup

Judul               : Hidup di Luar Tempurung

Judul asli         : A Life Beyond Boundaries

Penulis             : Benedict Anderson

Penerjemah      : Ronny Agustinus

Penerbit           : Marjin Kiri, Tangerang Selatan

Cetakan           : I, 2016

Tebal               : x + 205 halaman

ISBN               :  978-979-1260-59-6

Adakah di antara kita mengetahui siapa yang pertama kali memperkenalkan istilah ‘bule’ di Indonesia? Istilah yang menggantikan kata londo (Belanda) dan mengacu untuk orang asing berkulit putih. Bagi yang belum mengetahui, istilah tersebut diperkenalkan oleh Benedict R.O’G. Anderson yang akrab dipanggil Om Ben pada tahun 1960-an ketika ia melakukan penelitian pertama kali di Indonesia.

Bukan tanpa alasan Om Ben menggunakan istilah ‘bule’ tersebut. Diawali dengan perasaan kurang sreg karena kerap dipanggil ‘Tuan’ lantaran ia berkulit putih. Padahal menurutnya warna kulit yang dimiliki lebih mendekati warna merah muda, warna kulit hewan albino (kerbau, sapi, gajah). Warna tersebut oleh orang Indonesia biasa disebut ‘bulai’ atau ‘bule’. Lalu Om Ben memberitahu kawan-kawan mudanya bahwa ia dan orang-orang serupa dirinya (orang kulit putih) harus disebut ‘bule’, jangan ‘putih’. Mereka suka ide tersebut dan mulai menyebarkan di kalangan mahasiswa yang mereka kenal. Sebutan itu menjadi viral dan menyebar sampai ke koran, majalah dan menjadi bagian bahasa Indonesia (hal.76).

Sepuluh tahun kemudian, seorang koleganya sejarawan ‘kulit putih’ dari Australia mengirimi Ben surat berisi omelan yang menyebut orang Indonesia rasis karena ia disebut ‘bule’. Sejarawan itu sangat tidak suka dipanggil ‘bule’. Ben meminta koleganya berkaca dan melihat kulitnya, lalu bertanya apakah ia mau dipanggil ‘Tuan’. Ben juga memberitahu bahwa ia yang mempupulerkan makna baru bagi istilah tersebut. Sejarawan itu tak percaya, maka Ben mengajaknya taruhan 100 dolar untuk menelusuri istilah ‘bule’ yang bermakna ‘orang kulit putih’ dalam dokumen-dokumen sebelum tahun 1963 (hal.77).

Perihal istilah ‘bule’ ini merupakan salah satu cerita menarik dalam memoir karya Ben Anderson yang terbit pertama kali pada 2003 dalam bahasa Jepang dengan judul Yashigarawan no soto e. Adalah Nona Endo Chiho, editor di penerbit NTT Jepang yang pertama kali mengusulkan kepada Ben untuk menerbitkan ‘buku tipis’ mengenai pendidikan, pengalaman kerja lapangan, dan renungan yang dapat dibaca oleh para mahasiswa Jepang. Tujuannya adalah supaya mahasiswa-mahasiswi Jepang yang masih muda-muda memiliki bayangan konteks sosial, politik, budaya dan zaman serta pengalaman ilmuwan Anglo-Saxon, seperti Ben Anderson (hal.vii).

Pada awalnya Ben merasa segan karena menurutnya para professor di Barat jarang memiliki kehidupan yang menarik. Biasanya mereka menganut nilai objektivitas, khusyuk, formalitas, dan tidak suka menonjolkan diri. Namun, Kato Tsuyoshi (Yoshi) salah seorang kawan baik Ben yang masuk Cornell University pada 1967 dan menjadi pengajar jempolan di Kyoto University berhasil membujuknya. Mulailah Ben menyusun manuskrip memoar sesuai dengan pedoman yang disusun Nona Endo dan Yoshi dalam bahasa Inggris. Lalu Yoshi menerjemahkan naskah tersebut ke dalam bahasa Jepang Pada 2009 buku itu terbit. Terjemahan memoir dalam bahasa Indonesia ini merupakan terjemahan dari versi bahasa Inggris yang diterbitkan pada 2016 oleh penerbit Verso atas desakan sang adik, Perry Anderson (hal. ix).

Pembaca Indonesia termasuk beruntung karena terjemahan Indonesia terbit tak lama setelah edisi bahasa Inggrisnya. Ronny Agustinus, penerjemah buku ini mendapat kabar dari Om Ben pada akhir September 2008 mengenai proses penulisan ‘otobiografi’nya: ‘Achir2 ini, Omben sudah rampungkan naskah ttg Pengalaman Sebagai Sardjana Ngawur –ttg ortu, ttg SD SMP-A, Unisex Cambridge, Cornell, fieldwork di Indonesia, Muang Thai, Filipina dllnja plus beberapa ‘renungan’ konjol tentang Perbandingan2 dan Karya Interdisplin, ditambah tjerita ttg hobi2 semasa pension.” (hal.199). Saya membayangkan jika Om Ben masih hidup, hasil terjemahan memoarnya ini pasti menggunakan bahasa Indonesia Edjaan Suwandi (1947-1972) yang sudah menjadi ciri khasnya. Beruntung penerjemah menggunakan istilah bokap-nyokap untuk Ayah-Ibu, kosakata bahasa prokem yang juga menjadi ciri Om Ben.

Bagi pembaca Indonesia bagian yang mungkin menarik dari buku ini adalah pengalaman personal ketika ia berinteraksi dengan para Indonesianis di Cornell University, seperti Herberth Feith, John Smail, Ruth McVey, Dan Lev (hal.59). Lalu bagaimana Ben yang lahir di Kunming, Tiongkok pada 26 Agustus 1936 menyebut dirinya sebagai ‘bocah ingusan Anderson’ mulai bersentuhan dengan Indonesia, cinta pertamanya (hal. 63). Serta pengalaman kerja lapangan di Indonesia untuk menyelesaikan penelitian tentang Indonesia pada masa pendudukan Jepang, salah satu bagian dari Nationalism and Revolution hasil karya gurunya George Mc Turnan Kahin yang masih lemah. Berikutnya adalah perkenalan dengan Ong Hok Ham yang waktu itu masih mahasiswa jurusan sejarah Universitas Indonesia, nongkrong di Rawamangun sambil berusaha menguatkan diri ‘menikmati’ cabe rawit yang membakar lidah, mengenakan sarung dan belajar menggunakan kamar mandi gaya Indonesia (hal.65).

Dalam pengalaman kerja lapangan di Indonesia, Ben mengenang percakapan dengan mantan Laksamana Muda Maeda Tadeshi di Hotel des Indes pada bulan April 1962. Percakapan tersebut berlangsung dalam bahasa gado-gado, Inggris dan Indonesia karena Maeda yang pernah berdinas di Inggris dapat berbahasa Inggris dan pernah belajar bahasa Indonesia ketika ditugaskan di Indonesia. Yang menarik, dalam percakapan itu sang Laksamana hanya mengenakan kaos singlet lantaran cuaca musim kemarau Jakarta sedang panas-panasnya (hal. 80).

Perbincangan dengan Maeda menurut Ben sangat penting karena saat itulah Ben mulai berpikir untuk mengganti tema disertasinya, terutama terkait peran individu-individu dan periode penelitiannya pada periode pendudukan Jepang dan masa Revolusi (hal.83)

Dalam buku ini kita juga memperoleh informasi mengenai latar penggarapan “Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia” (dikenal dengan the Cornell Paper) serta gagasan proyek jurnal Indonesia Ben bersama Ruth McVey, serta Frederick P. Bunnel. Dokumen “Preliminary Analysis ...” merupakan analisis peristiwa G30S bersifat rahasia dan hanya diberitahukan kepada para peneliti yang dipercayai. Mereka takut orang-orang Indonesia lulusan Cornell atau yang berkawan dengan mereka akan ditangkap, disiksa, dan dibunuh. Padahal mereka tidak tahu-menahu mengenai dokumen tersebut (hal.87).

Penggarapan Cornell Paper bukan tanpa resiko. Pada 1972 Ben yang berkesempatan mengunjungi Indonesia terpaksa diminta keluar sebelum pihak Badan Intelijen mengetahuinya. Ben ketika itu sudah berada selama dua minggu di Indonesia. Menurut koran Badan Intelijen ada empat musuh negara yaitu Wall Street Journal, kantor berita TASS di Moskow, harian Renmin Ribao di Peking, dan Cornell. Ben dicekal dari Indonesia selama 27 tahun, sampai Soeharto lengser tahun 1998.

Pencekalan terhadap dirinya, membuat Ben memikirkan rencana lain. Sempat terpikir olehnya Sri Lanka. Namun, jatuhnya kediktatoran militer Sarit-Thanom-Praphat di Siam pada 1973 yang berkuasa sejak 1958, membuat Ben mengalihkan perhatian ke negeri gajah putih tersebut. ‘Keterpaksaan’ pergi ke Siam, membuat dirinya ‘terpaksa’ berpikir secara komparatif. Kelak, kedua pengalaman ‘kerja lapangan’ di Indonesia dan Siam mengilhami karyanya Imagined Communities pada 1983 (hal. 94). Wilayah lain yang juga ditekuninya adalah Filipina pada pertengahan 1980-an. Minat di tiga wilayah tersebut membuat sang Sardjana Ngawur fasih berbahasa Indonesia, Thai, dan Tagalog. Selain itu ia fasih bahasa Inggris (bahasa ibu), Belanda, Jerman, dan Spanyol, bahasa yang terakhir ditekuninya secara otodidak.

Judul buku Hidup di Luar Tempurung mengingatkan kita kepada peribahasa ‘bagai katak dalam tempurung’ yang berarti kita tidak mengetahui apa-apa dan mengira kita mengetahui segalanya. Maka, ‘hidup di luar tempurung’ menjadi antitesis dari peribahasa tersebut. Demikian lah kehidupan Ben. Meski ia punya kesempatan untuk tinggal dalam tempurung tetapi ia lebih memilih hidup di luar tempurung. Seperti yang ia sampaikan: ‘Sementara saya tak pernah tinggal berlama-lama di mana pun untuk menetap di satu tempat saja, tidak seperti katak dalam peribahasa tersebut.’ (hal.23). Ben wafat di Batu, Jawa Timur pada 13 Desember 2015. Jenazahnya dikremasi dan abunya disebar di Laut Jawa, Bangkok, Manila, dan Amerika.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *