Judul : Put On
Penulis/penggambar : Kho Wan Gie
Penyunting : Wahyu Wibisana dan Harianto Sanusi
Penerbit : Pustaka Klasik, Jakarta 2008
Tebal : iv + 64 halaman
Put On dalam ejaan Hokkian (Bu An) berarti “si gelisah”. Sepertinya para penggemar tulen komik strip “si gelisah” tak lagi “gelisah” karena sekarang sudah ada komik strip Put On versi buku yang disajikan orisinil. Karakter Put On sendiri menurut penciptanya, Kho Wan Gie terinspirasi dari Jiggs pada komik Amerika Bringing Up Father.
Menurut Myra Sidharta, Kho Wan Gie mengembangkan karakter tersebut dibantu oleh Ang Jan Goan, manajer Sin Po dan pemimpin redaksi Kwee Kek Beng. Hasilnya, sukses besar di seluruh Indonesia. Sebelumnya di Sin Po tokoh ini belum memiliki nama tetap. Barulah pada 17 Januari 1931 diberi nama Put On.
Karakter Put On adalah pria Tionghoa Peranakan lajang yang tinggal di Jakarta bersama ibu dan dua adik laki-lakinya. Put On digambarkan berperawakan pendek, gemuk, cenderung bulat dan jauh dari sosok kekar dan sempurna seorang pahlawan.
Beberapa karakter muncul mewarnai komik ini selain ibu dan kedua adiknya seperti kakak perempuannya yang telah menikah dan tinggal di tempat lain serta A Liuk, teman Put On dan istrinya.
Gambaran Put On adalah seorang tokoh bodoh, baik hati tapi selalu sial. Namun, ini yang justru menjadi daya tarik dan berhasil menarik perhatian para pembaca. Khususnya masyarakat kecil Jakarta yang merasa ‘dekat’ dengan tokoh ini. Sementara itu gambaran Put On sebagai pria lajang ternyata disesali oleh Kho Wan Gie karena ia tak menggarap gambaran Put On sebagai tokoh yang menikah. Padahal melalui tokoh ini diharapkan ia dapat memberikan pandangan lucu tentang kehidupan berumah tangga. Kho Wan Gie sendiri menikah pada usia yang cukup lanjut.
Petualangan “si gelisah” ini memang mengambil latar belakang kehidupan di Jakarta pada tahun 1940-an hingga 1960-an. Dalam buku komik ini disajikan 60 (enam puluh) cerita dengan berbagai tema. Mulai dari urusan remeh temeh seperti percintaan (hal.4), membuang kucing (hal.7), mode celana jengki (hal.3), dansa dansi (hal.6), hari libur kejepit (hal.33), piring terbang (hal.44), hingga masalah politik misalnya anjuran Presiden Soekarno untuk menanam singkong (hal.29) dan Permesta (hal.51).
Menurut Arswendo Atmowiloto, Put On merupakan komik strip pertama di Indonesia yang diciptakan oleh seorang Indonesia. Selain serial Put On Kho Wan Gie juga menerbitkan berbagai buku komik berdasarkan komik strip Put On. Ia menciptakan seri Sopoiku dan Nona Ago-go yang masih terus dicetak ulang dalam majalah Ria Film.
Kho Wan Gie lahir Agustus 1908 di Indramayu dan meninggal 4 Mei 1983 di Jakarta. Pada tahun 1927 ia pergi ke Batavia dan bekerja sebagai ilustrator di majalah Panorama dengan Kwee Tek Hoay sebagai pemilik dan pemimpin redaksinya. Kho menggambar sebagian besar ilustrasi majalah itu. Ia juga membuat sampul buku novel Bunga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay. Tahun 1929 Kho bergabung dengan Sin Po. Ia pun secara khusus mengikuti kursus menggambar jarak jauh yang diadakan di Amerika.
Secara teknis, menurut pengamat komik Hikmat Darmawan, tarikan garis Kho Wan Gie begitu sederhana. Jauh dari kesan rumit dan meniru anatomi yang akurat. Teknik penyederhanaan ini diwujudkan dalam gambaran tokoh-tokohnya dengan menitikberatkan pada physiognomy di mana bentuk-bentuk tubuh dan guratan garis-garis pada wajah mereka menjadi simbol dari sifat seseorang, emosi atau bahasa tubuh yang menjadi unsur penting cerita.
Menurut Myra Sidharta ada berbagai tema menarik yang disajikan Kho Wan Gie melalui komik strip Put On, antara lain masalah identitas, budaya, dan sosial. Masalah identitas terlihat dalam Sin Po edisi 25 Januari 1938 di mana Put On mengajak orang lain minum untuk memberi selamat serta menghormati Cung Hwa Min Kuo Wan Sui (Republik Rakyat China) pada tahun baru Tionghoa. Atau dalam Sin Po edisi 25 Juni 1947 diceritakan Put On ikut terlibat atau ikut rapat dalam Pao An Tui, pasukan perlindungan perdamaian bersenjata yang dibentuk oleh pemuda Tionghoa untuk melindungi warga Tionghoa dari pasukan liar.
Sementara itu masalah budaya di komik Put On terlihat dalam bahasa dan pakaian. Bahasa yang digunakan adalah Melayu Tionghoa Jakarta, bercampur dengan dialek Hokkian serta bahasa Belanda. Misalnya dialog Put On dengan bosnya:
‘Owe datang Ko Seng…tapi hari Senin Owe mengkali kakaka…kaga bisa perei…. ‘(hal.33)
Pengamat budaya Tionghoa, David Kwa menyebutkan beberapa kata ganti orang yang digunakan dalam bahasa Tionghoa Peranakan seperti owe untuk menunjuk diri sendiri (saya). Lalu neh adalah sapaan buat ibu, ncek untuk pria yang sebaya ayahnya, encim untuk memanggil istri dari pria yang sebaya dengan ayahnya, empek untuk menyapa orang yang lebih tua. Semua itu muncul dalam komik strip Put On.
Kita juga dapat mengetahui gaya berpakaian, khususnya perempuan pada masa itu. Misalnya sarung dan kebaya panjang yang dipakai ibu Put On (hal.22, 32, 37). Menurut David Kwa kebaya panjang yang dikenakan ibu Put On berasal dari masa 1800-an. Sementara istri A Liuk mengenakan kebaya yang lebih pendek (hal.24, 26, 35, 39). Kebaya itu berasal dari masa yang lebih modern yaitu 1900-an. Begitupula dengan pakaian gadis-gadis yang muncul dalam komik Put On. Mulai dari paduan rok dan blus (hal.4, 22), rok terusan (hal.10, 11, 14, 23). Atau mode yang sedang trend pada masa itu misalnya celana jengki (hal.3)
Masalah sosial yang disajikan dalam komik Put On seperti copet, banjir, antri minyak tanah dan air serta melambungnya harga-harga. Dalam buku ini, misalnya diceritakan keluh kesah teman Put On, Pak Kardi yang mengeluhkan melambungnya harga-harga menjelang lebaran (hal.36)
Hal menarik lainnya adalah sarana transportasi pada masa lalu. Misalnya berbagai jenis mobil (hal.3, 9, 16, 31, 48), becak (hal. 31, 48, 60), opelet (hal.43). Alat transportasi yang terakhir ini sepertinya sudah lenyap dari Jakarta dan tinggal kenangan. Ada juga berbagai kuliner khas Tionghoa seperti bakmi (hal.13), bacang (hal.19), capcay (hal.41), baso kuah (hal.54).
Diterbitkannya kembali komik strip Put On ini tidak hanya memuaskan para penggemar ‘si gelisah’ ini. Namun, lebih jauh lagi memberikan pada kita gambaran kaum Tionghoa peranakan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di samping itu pula komik ini dapat dijadikan sebagai alat pembelajaran tentang adat istiadat dan tradisi mereka yang pada masa kini kian tergerus jaman.
Namun, tidak tersedianya sumber (edisi majalah) dalam penerbitan kembali strip komik Put On ini sangat disayangkan karena bagi peneliti, khususnya sejarah, sumber tersebut sangat penting. Jika perlu beberapa cerita dikelompokkan dalam tema-tema tertentu. Mungkin di terbitan berikutnya hal ini dapat menjadi perhatian.
saje singgah japs kat sini…
kalo mau tahu dimana kita bisa beli komik ini di toko buku yang ada di jakarta thx
@lee: Coba dicari di Gramedia atau TM Bookstore
Terima kasih atas informasinya,apakah buku komik ini ceritanya sampai end atau gimana??
Serial strip komik ini muncul pertama kali di Majalah Sin Po tahun 1931 sampai majalah ini ditutup pada masa pendudukan Jepang. Lalu pada 1947 serial komik ini muncul kembali dalam majalah Pantja Warna
terima kasih, sangat menarik sekali.
apa yang menjadi latar belakang terciptanya penulisan ini?