Jika dihitung secara formal (dibuktikan dengan kartu identitas), sudah lebih dari lima tahun saya tinggal di kota Depok ini. Kalau dihitung secara tidak formal, lima tahun ditambah tujuh tahun (masa studi dan masa magang) maka menjadi dua belas tahun. Cukup lama bukan?
Depok sekarang berbeda dengan Depok delapan belas tahun silam. Ketika saya mulai menginjakkan kaki di sini untuk mengangsu ilmu. Dulu udaranya sepertinya lebih segar. Pukul 6.30 ketika itu di sela-sela pepohonan karet masih tampak kabut dan tampak tetesan embun.
Soal macet jangan ditanya. Oleh karena itu jika tidak terlalu penting atau memerlukan pertemuan fisik, saya enggan meluncur ke Jakarta. Durasi perjalanan pergi dan pulang membuat jiwa tertekan. Maka untuk ‘urusan bisnis’ saya lebih senang menggunakan teknologi (jika memungkinkan).
Saya pernah mengalami sendiri pengalaman, berangkat ketika matahari belum menampakkan dirinya dan kembali ketika mulai terbenam. Berangkat dan pulang disambut antrian kendaraan alias macet. Menyebalkan dan menjemukan tapi itu lah kenyataannya sekarang.
Jangankan delapan belas tahun silam, lima tahun lalu saja situasi dan kualitas udaranya jauh berbeda. Ketika itu saya masih bisa menghirup udara bersih di pagi hari dengan leluasa. Genangan air jika hujan tak terlalu banyak. Namun, melihat situasi sekarang sepertinya harus dipikirkan lagi bagaimana situasi lima tahun yang akan datang.
Biar begitu saya sudah telanjur sayang dan cinta dengan kota ini. Kota yang dulu tidak pernah saya bayangkan akan saya tinggali dan menjadi kota kelahiran dua buah hati saya.
Mungkin saja kelak kota ini hanya menjadi persinggahan atau sekedar tempat saya membagi ilmu karena kami telah menemukan ‘sarang’ lain yang masih ‘perawan’ dan mungkin lebih manusiawi.