Naik Haji

Pergi menunaikan ibadah haji merupakan perjalanan spiritual dambaan setiap muslim untuk menyempurnakan rukun Islam. Tak setiap muslim memiliki kesempatan tersebut. Meskipun mereka sudah “mampu” secara materi, tidak lantas orang tersebut dapat menunaikan ibadah haji hingga memperoleh haji yang mabrur. Di samping itu pergi haji juga merupakan upaya peningkatan kadar keimanan seorang sebab mereka yang pergi haji diharapkan kualitas keimanannya meningkat atau naik. Oleh karena itu pergi haji kerap dikatakan naik haji.

Namun, pada prakteknya naik haji rupanya tidak selalu menaikkan kualitas seseorang. Ada saja orang yang sudah ‘berpangkat’ haji tetapi kelakuannya tak ubahnya seperti orang awam. Bahkan, semakin tak karuan alias hancur. Di sini tampak bahwa haji bukanlah sekedar ‘pangkat’ atau titel seperti layaknya gelar kehormatan atau titel sarjana yang bisa diperjualbelikan. Orang bisa saja membeli gelar sarjana hingga bertumpuk-tumpuk lalu diletakkan di depan atau di belakang nama mereka. Namun, belum pernah kita dengar orang membeli gelar haji, kecuali pada awal abad ke-20 (dikenal dengan “haji Singapura”). Mungkin saja kelak ada yang melakukannya. Hanya waktu yang mampu menjawab.

Pada prakteknya kuota yang disediakan oleh pemerintah Arab Saudi sebanyak 210.000 jemaah ternyata tidak mencukupi. Masih banyak calon jemaah haji yang masuk daftar tunggu hingga 2009 (DKI), 2010 (Riau dan Kalimantan Selatan). Tidak hanya itu jalur ilegal pun terpaksa ditempuh hingga mengakibatkan 600 jemaah RI ditangkap (Sindo 10/12/07). Mereka ditangkap karena kehabisan izin tinggal (visanya habis).

Aturan pemerintah untuk membatasi jumlah jemaah haji, sekali seumur hidup perlu dimaknai secara bijak. Di satu sisi, ibadah haji merupakan “hak” setiap umat yang mampu. Di sisi lain, perlu dipikirkan supaya para calon jemaah haji yang bertahun-tahun telah berusaha (menabung) supaya dapat naik haji dapat juga berangkat. Jadi tidak hanya kalangan yang “mampu” saja yang menunaikan ibadah haji.

Menurut catatan sejarah, pada abad ke-17 dan 18 sudah ada jemaah haji dari Nusantara. Tentunya ketika itu perjalanan menuju Mekkah tidak sekedar ritual belaka melainkan perjalanan menantang maut karena sarana transportasi yang digunakan yaitu masih kapal layar. Perjalanan pun dilakukan jauh-jauh sebelumnya, bahkan jika perlu para calon haji bermukim setahun sebelum musim haji tiba. Di Mekkah mereka berguru pada ‘guru-guru’ terkenal dari tanah kelahiran nabi.

Pada masa pemerintahan Raffles (1811-1814), mereka menganggap agama Islam unsur yang sangat berbahaya. Dalam History of Java (1817) disebutkan dua aspek negatif mengenai para haji. Pertama, mereka dianggap sebagai orang istimewa dan suci sehingga rakyat sederhana menganggap mereka memiliki kekuatan gaib. Selanjutnya, para haji dianggap mempunyai pengaruh politik dan sering berperan sebagai pemimpin pemberontakan terhadap orang Eropa.

Di sini jelas bahwa haji kerapkali dikaitkan dengan kegiatan politis. H.J. de Graaf dalam Geschiedenis van Indonesië menuliskan, Pangeran Diponegoro yang dikhianati oleh Jenderal De Kock pada 1830 ditolak keinginannya untuk menjalankan ibadah haji ke Mekkah. Alasannya, pemerintah kolonial tak ingin mengambil resiko jika Pangeran Diponegoro diberikan izin menunaikan ibadah haji, maka kesempatan ‘berguru’ di tanah nabi akan terbuka lebar. Mereka khawatir Pangeran Diponegoro akan melakukan ‘pemberontakan’ yang lebih hebat lagi. Apalagi pada masa itu gerakan Pan-Islamisme mulai muncul di mana-mana.

Menariknya, seabad kemudian yaitu pada 26 Desember 1960, Jenderal Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat RI ketika itu justru menawarkan kepada Kartosuwiryo, pimpinan Darul Islam untuk menjalankan ibadah haji ke Mekkah atas biaya pemerintah. Tetapi dengan syarat ia berjanji memperbaiki dirinya dan berhenti bergerilya.

Ada pula kebijakan pemerintah kolonial terhadap para haji di Hindia Belanda pada masa kolonial. Ordonansi itu tercantum dalam Staatsblad voor Nederlandsch-Indië tahun 1859 No 42. Salah satu isi peraturan itu adalah sekembali dari ibadah haji, seseorang harus mengikuti ujian haji dan harus membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Ujian itu dilakukan oleh bupati dan kyai yang ditunjuk. Bila seseorang lulus, maka ia berhak menyandang gelar haji dan mengenakan busana haji khusus. Sebaliknya, bila gagal tapi ia nekad mengaku-aku dirinya haji dan mengenakan pakaian haji, maka ia didenda 25 hingga 100 gulden. Kebijakan tersebut dikecam oleh Snouck Hurgronje, seorang orientalis dan ahli Islam. Baru pada awal abad ke-20 kebijakan ini dihapus.

Perihal pakaian haji yang lengkap dengan sorbannya ini pun memiliki kisah menarik. Konon ketika orang Muslim pertama dari Demak yaitu Raden Patah sesaat sebelum akan menaiki tahtanya dengan berbusana haji, ia berkali-kali jatuh sakit hingga kehilangan kesadaran alias pingsan. Penderitaan itu baru berakhir setelah ia mengenakan hiasan kepala kerajaan Jawa, demikian tulis H.J. de Graaf dalam Geschiedenis van Indonesië.

Aturan berbusana haji itu rupanya pada masa kolonial diwajibkan untuk memudahkan mengindentifikasi seseorang, khususnya bila ia bepergian. Seorang haji yang hendak bepergian dengan kereta api, ia harus naik gerbong kelas dua dan tidak diperbolehkan menumpang gerbong kelas tiga. Jika ketahuan, ia harus membayar denda.

Dalam literatur kolonial pun sosok haji yang digambarkan dengan seorang pria berpakaian Arab terkadang muncul sebagai sosok yang menakutkan dan memiliki kekuatan gaib. Simak saja Stille Kracht, karya Louis Couperus yang terbit pada 1900. Bahkan dalam beberapa karya Pramoedya Ananta Toer, haji digambarkan sebagai sosok antagonis, bukan hero.

Pada awal abad ke-20 pun ternyata sudah ada praktek percaloan jemaah haji. Maksudnya adalah para agen perantara. Mereka tentu lebih senang disebut agen karena istilah “calo” ketika belum dikenal. Para “calo” itu berupaya menghubungkan para calon haji itu dengan perusahaan pelayaran, misalnya perusahaan KPM. Berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan calon haji sebanyak mungkin. Maklum saja, ketika itu belum ada kuota haji. Namun, tetap saja para haji itu kelak harus didata dan dikarantina, sebelum dan setelah mereka berhaji.

Akibat ulah para agen tersebut ada istilah “Haji Singapura”. Mereka adalah yang ketika itu berniat pergi haji ke Mekkah hanya sampai di Singapura. Para calon jemaah haji itu rupanya dibohongi oleh agen “nakal” yang menjanjikan akan mengurus kelanjutan perjalanan. Namun, mereka malah diperas sehingga tak bisa melanjutkan perjalanan. Para agen itu memang tak peduli apakah seseorang mampu atau tidak, semua orang dibujuk untuk pergi haji. Di Singapura malah ada yang mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan bahwa seseorang telah melaksanakan ibadah haji di Mekkah. Oleh karena biaya yang mereka miliki hanya cukup untuk pergi ke Singapura, maka “berhajilah” mereka di Singapura.

Hingga awal tahun 70-an, perjalanan menunaikan ibadah haji masih dilakukan dengan menggunakan kapal laut. Sejak 1978 perjalanan dilakukan dengan pesawat terbang. Memang pada 1966 di antara 15.983 jemaah calon haji sudah ada yang menggunakan pesawat tetapi jumlahnya hanya 373 orang.

Penggunaan pesawat terbang ini pun pada awalnya menimbulkan persoalan baru, terutama bagi para jemaah calon haji yang sama sekali belum pernah naik pesawat dan tidak dibekali “bekal” pengetahuan yang cukup. Misalnya saja mereka mengambil wudhu dan shalat sebagaimana mereka di darat.  Bisa dibayangkan suasana pesawat terbang pada masa itu.

Prof. Martin Bruinessen dari Universiteit Utrecht dalam artikelnya “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci, Orang Nusantara Naik Haji” justru mengkritik hilangnya fungsi sosial dengan adanya kemajuan teknologi modern (baca: pesawat terbang) dalam ibadah haji. Jemaah haji Indonesia hanya berada beberapa minggu saja di tanah suci. Mereka tinggal bersama-sama dengan orang Indonesia lainnya sehingga kontak dengan umat Islam lainnya minim sekali. Tapi bukankah kita semua dewasa ini cenderung ingin yang praktis hingga untuk beribadah pun jika memungkinkan dilakukan dengan praktis.

Terlepas dari itu semua, menunaikan ibadah haji, pergi ke tanah suci menjadi tamu Allah, hanya diri kita dan Allah yang mengetahuinya. Di sana lah kadar keimanan dan kesabaran seseorang diuji. Apakah kita kelak mau menjadi haji yang mabrur atau haji yang mabur.

Air dalam Sejarah di Asia Tenggara

Judul         :  A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian
Histories

Penyunting    :  Peter Boomgaard
Penerbit    :  KITLV-Leiden , 2007
Tebal        :  368 halaman

Air adalah bagian dari kehidupan manusia. Manusia dapat saja menahan lapar hingga beberapa hari tetapi tanpa air beberapa hari saja manusia dapat menemui ajalnya.

Ada orang-orang yang menganggap air sebagai musuh dan pembawa bencana yang harus dihindari. Namun, ada pula orang-orang yang begitu mendambakan air hingga rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya.

Sejatinya air sebagai salah satu anugerah dari Tuhan kepada manusia yang harus dikelola dengan baik. Namun, keserakahan, kecerobohan dan ketidakpedulian manusia sendiri lah yang menyebabkan air berbalik menjadi musuh dan bencana.

Tengok saja Jakarta yang diwarisi persoalan dari masa lalu, setiap awal tahun selalu dikunjungi ‘tamu tak diundang’ alias banjir. Tentu tidak semua penduduk Jakarta mau menerima ‘tamu’ itu dan para pemegang kebijakan serta aparat pemerintah DKI pun telah berusaha sebaik-baiknya dalam menyambut ‘tamu’ tersebut.

Banjir tersebut ternyata tak hanya berasal dari curah hujan yang tinggi tapi juga karena menaiknya permukaan air laut. Seperti yang beberapa waktu lalu melumpuhkan bandara Soekarno-Hatta dan menggenangi sebagian wilayah Muara Baru, Jakarta Utara. Mungkin saja penyebab lainnya ketidakseimbangan serta ketidaktepatan teknologi dalam mereklamasi daerah pantai. Belum lagi persoalan pencemaran air yang mempengaruhi kualitas air tersebut dan menimbulkan penyakit mematikan.

Tidak hanya Jakarta, kota-kota besar lainnya di Indonesia yang dekat dengan laut pun harus bersiap-siap. Meminjam pernyataan F. Rahardi, kita harus menyiapkan bahtera Nabi Nuh sebelum ikut tenggelam (Kompas, 1/12/07).

Sehubungan dengan air tersebut, buku ini layak dibaca untuk mengetahui seluk-beluk air di Asia Tenggara. Buku ini merupakan kumpulan berbagai tulisan dari lokakarya mengenai air dalam sejarah di Asia Tenggara yang diselenggarakan di Leiden pada 14-16 Juni 2001 dalam menyambut 150 tahun KITLV. Seperti yang diungkapkan penyuntingnya, Peter Boomgaard, tema “air” adalah tema penting dan menarik, khususnya di Asia Tenggara yang sebagian besar wilayahnya diliputi air.

Beberapa pakar menjadi penyumbang tulisan buku ini. Para penulis tersebut menyajikan beragam tema tulisan menarik mengenai air yang secara garis besar disajikan dengan empat bagian penting. Bagian pertama Waterscape, Heather Sutherland mengulas letak geografis Asia Tenggara, khususnya perairan di sana sebagai anugerah yang memudahkan proses masuknya budaya baru. Kerapkali proses itu secara sederhana dikenal dengan istilah ‘Indianization’ (Indianisasi), ‘Islamization’ (Islamisasi) dan ‘Westernization’ (Pembaratan)  (hal.56).

Kekuatan kosmologi laut yang dipercaya penduduk pribumi Kepulauan Maluku disajikan oleh Sandra Pannell (hal.71), lalu sejarah singkat perburuan hiu di Indonesia oleh Manon Osseweijer yang diawali dengan munculnya artikel di surat kabar kolonial pada awal abad ke-20. Artikel itu mengenai peluang bisnis hiu di Hindia Belanda, terutama untuk pasar Batavia dan Singapura. Hiu yang awalnya dianggap hewan predator dan musuh para pelaut menjadi buruan yang menguntungkan. Sekitar 43 persen tubuhnya bernilai ekonomis tinggi. Majalah Zeevisscherij in Indië tahun 1929 melaporkan dagingnya yang sudah dikeringkan diperdagangkan di Jawa, Madura dan China (hal.108). Sementara itu siripnya secara khusus dikirim ke China (hal.109)

Pada bagian kedua Hazards of sea and water , James F. Warren membahas kisah dua abad, globalisasi penjarahan dan perompakan di Asia Tenggara, dari akhir abad ke-18 hingga ke abad 20 (hal.125), berikut Greg Bankoff mengulas badai dalam sejarah masyarakat Filipina 1565-1930 yang harus selalu siap menghadapi bencana tersebut (hal.153).

Bagian ketiga Water for agriculture menyajikan tulisan Robert C. Hunt tentang irigasi komunal (hal.187). Topik yang sama juga dibahas oleh Willem Wolters mengenai institusi irigasi dengan mengambil berbagai kasus di Asia Tenggara (hal.209). Jauh ke belakang sekitar 5000-3000 tahun lalu, Jan Wisseman Christie mengulas pengaturan air pada masa awal penanaman padi (Oryza sativa L.) di Jawa dan Bali (hal.235). Tulisan Jan Wisseman Christie ini merupakan kajian arkeologis yang menarik.

Air merupakan nyawa kehidupan yang penting yang sejatinya merupakan hak setiap warga suatu negara serta diatur oleh negara untuk semata-mata kepentingan rakyatnya. Mengenai hal tersebut Franz van Benda-Beckmann dalam tulisannya menganalisa peranan negara, politik dan konflik di Indonesia terhadap pengaturan air (hal.259). Franz van Benda-Beckman memulai artikelnya dengan konflik sumber air Sungai Tenang pada pertengahan abad ke-19 yang memasok air minum untuk markas pasukan Hindia Belanda di Fort de Kock (Bukittinggi) hingga masa reformasi.

Pada bagian terakhir Pure and impure water: Health and disease , Foong Kin mengungkapkan sejarah penyakit yang berhubungan dengan air seperti tifus, kolera, disentri hingga demam berdarah di Malaysia (hal.281). Menurut catatan, demam berdarah di Malaysia berasal dari Penang pada 1902 (hal.290)

Segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara dan akan menimbulkan masalah jika dikuasai swasta. Sehubungan dengan itu Okke Braadbaart mengkaji kasus privatisasi air di Jakarta (hal.297). Ketika Presiden Soeharto masih berkuasa pada tahun 90-an, sebagai pendamping Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya diusulkan perusahaan swasta untuk ‘melayani’ kebutuhan publik Jakarta. ‘Konsesi’ diberikan kepada dua perusahaan yaitu Garuda Dipta Semesta dengan tokoh kuat di belakangnya yaitu putera pertama Soeharto, Sigit Hardjojudanto yang mengelola wilayah Barat. Lalu Kekarpola Airindo dari Grup Salim yang mendapat ‘jatah’ wilayah Timur (hal.301). Kelak Garuda diperkuat oleh perusahaan Inggris Thames Water International dan Kekarpola didukung oleh Lyonnaise des Eaux dari Prancis (hal.303)

Bagian ini ditutup dengan tulisan Anton Lucas dan Arief W.Djati yang membahas politik lingkungan hidup dan polusi air di Jawa Timur (hal 322). Hingga tahun 70-an, polusi lingkungan merupakan isu yang tidak begitu penting bagi masyarakat Jawa Timur. Sungai di Surabaya yang menjadi sumber utama air minum di sana menjadi tempat sampah hingga bangkai anjing. Hal itu dapat disimak dari nyanyian yang kerap dinyanyikan dalam pentas ludruk? ‘E dayohe teko (E tamunya datang), E beberno kloso (E gelarkan tikar), E klosone bedah (E tikarnya rusak), E tembelen jadah (E ditambal jadah), E jadahe mambu (E Jadahnya bau), E pakakno asu (E berikan ke anjing), E asune mati (E anjingnya mati), E buwaken ing kali (E buang ke kali)…’ (hal.322). Tidak hanya itu proyek pengembangan air minum dari sumber mata air Umbulan pada masa Soeharto ternyata merupakan kasus menarik karena melibatkan anak-anak penguasa serta beberapa konglomerat Indonesia dan perusahaan asing (hal.341)

Menurut sejarawan Anthony Reid, melimpahnya air merupakan salah satu ciri negeri tropis, khususnya Asia Tenggara. Oleh karena itu kelihatannya mereka tak perlu khawatir kehabisan air dan seolah tampak ‘boros’ jika membersihkan tubuh. Tidak mengherankan budaya mandi di kawasan ini sangat berbeda dengan di kawasan Eropa.

Pada abad ke-17 atau bahkan jauh sebelumnya  orang Asia lebih dahulu memiliki kebiasaan mandi dengan menggunakan air mengalir dibandingkan orang Eropa yang antipati dengan kebiasaan itu. Orang Asia telah memanfaatkan sungai sebagai tempat untuk membersihkan tubuh. Oleh karena itu mereka senang tinggal di tepi aliran sungai. Tidak mengherankan jika pemukiman masyarakatnya berada di tepian sungai.

Peranan sungai ini digantikan jalan dan jalur kereta api. Pada kenyataannya hingga kini banyak masyarakat di perkotaan di Indonesia yang masih betah tinggal di bantaran sungai meskipun itu sangat membahayakan diri mereka sendiri.

Jika tidak ada sungai, untuk mandi orang di Asia menuangkan seember air sumur di kepala mereka. Cara mandi seperti ini cenderung melarutkan bakteri tubuh bagian bawah menjauh dari kepala. Praktik ini lebih aman dibandingkan dengan mandi di dalam bak yang sama untuk semua anggota keluarga. Dimulai dari anggota keluarga tertua sampai termuda (bayi). Seperti yang dilakukan di negeri bercuaca dingin (misalnya di Eropa).

Pada masa VOC, mengingat iklimnya yang terlalu panas bagi mereka, para serdadunya di Batavia dikenakan ‘wajib mandi’ setiap delapan atau sepuluh hari sekali. Mandinya pun di sungai yang ketika itu mungkin tak sekeruh sekarang. Namun, tetap saja ada yang menolak lantaran tidak biasa atau malas mandi.

Kebiasaan baru di tanah seberang ini yaitu mandi membuat orang Belanda memasukkan kosa kata baru dalam bahasa mereka yaitu mandiën. Termasuk kata mandiebak (bak mandi), mandiekamer (kamar mandi), dan gajoeng (gayung). Tidak hanya itu, sastrawan Louis Couperus menyebutkan istilah sirammen juga dipakai yang mengacu pada urusan membersihkan tubuh ini.

Air juga terbukti ampuh menyembuhkan penyakit kejiwaan dan masuk angin (misalnya dengan cara mandi atau banyak minum air putih) walau untuk itu dikembalikan pada diri masing-masing apakah mau memercayainya. Namun, yang harus diwaspadai adalah kejahatan yang menggunakan medium air. Misalnya kejahatan yang marak yaitu dengan memasukkan obat bius yang sangat keras ke dalam air (air mineral kemasan) dan diberikan kepada penumpang dari daerah (biasanya penumpang bis kota) untuk dikuras harta bendanya.

Sebagai bagian dari salah satu proyek KITLV yaitu EDEN (Ecology, Demography, and Economy in Nusantara) yang meneliti sejarah lingkungan di Indonesia, buku ini sangat menarik dan berguna bagi kita  yang ingin mendalami sejarah lingkungan, khususnya air dalam sejarah di Asia Tenggara.

Air memang sangat berharga, dia bisa membawa kesejahteraan dan bencana. Pengaruh perubahan iklim global yang mulai kita rasakan dampaknya sekarang memaksa kita menentukan pilihan demi masa depan. Tinggal kita yang harus menentukan mau terus merusak anugerah Tuhan ini atau mulai sadar dengan merawat dan menjaganya hingga akhir zaman. Pilihan ada di tangan kita.

dimuat di Kompas, 16 Desember 2007

Ketidaktahuan, Kemiskinan dan Penyakit: Mengenang Pak Fuad Hassan

Jumat sore 7 Desember lalu saya mendapat kabar dari salah seorang rekan senior di kantor bahwa Prof. Fuad Hassan meninggal dunia. Saya terdiam lalu berdoa semoga beliau mendapatkan tempat di sisi Allah SWT. Saya teringat ketika “menyusup” ke dalam kuliah umum beliau di Fakultas Psikologi dua tahun lalu. Ketika itu istri saya yang sedang mengandung meminta saya mengantarkannya. Saya pun langsung mengiakan. Memang perkuliahan dan ceramah beliau sangat menarik. Tidak mengherankan beliau adalah salah satu dosen favorit di Fakultas Psikologi UI. Tidak banyak hal-hal njelimet yang dibebani pada pendengarnya.

Seperti halnya pada suatu Minggu siang di sebuah hotel berbintang di kawasan jalan Sudirman akhir tahun 2006. Sambil duduk terkantuk-kantuk lantaran usai makan siang dan ruangan ber-AC, saya mendengarkan uraian para pembicara mengenai globalisasi pendidikan. Sesekali saya terjaga karena suara tepuk tangan peserta lainnya. Hingga saya akhirnya benar-benar terjaga ketika giliran Prof. Fuad Hassan, guru besar Fakultas Psikologi urun bicara.

Ada hal menarik yang beliau ungkapkan pada siang itu sehubungan dengan tema yang diangkat dalam acara seminar itu. Menariknya adalah karena beberapa hal yang beliau bicarakan menurut hemat saya relevan dengan situasi sekarang, khususnya dunia pendidikan.

Menurut beliau ada tiga hal penting yang seharusnya menjadi perhatian kita semua. Pertama adalah upaya untuk menghapuskan ignorance (ketidaktahuan). Kedua yaitu penghapusan poverty (kemiskinan) dan terakhir disease (penyakit).

Bukankah kita semua akhir-akhir ini memang berkutat dengan ketiga hal tersebut. Upaya kita dalam menghadapi berbagai bencana alam di tanah air yang di luar kehendak sepertinya kurang memadai dan banyak keluhan di sana-sini sehingga kesannya kurang tanggap. Demikian pula kasus LuSi (lumpur Sidoarjo) yang sampai kini sulit ditemukan pemecahannya hingga dianggap “game over”. Bahkan masyarakat Sidoarjo sampai perlu mengadakan sayembara untuk menghentikan LuSi itu. Lalu “ekspor” asap akibat pembakaran hutan yang membuat gerah negeri tetangga. Terakhir, longsornya ribuan ton sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang , 8 September lalu yang mengakibatkan korban jiwa. Semua ini disebabkan karena ketidaktahuan kita dan bukan kebodohan kita dalam ‘menggauli’ teknologi yang berkembang dengan pesat serta tidak diimbangi pemahaman terhadap kearifan alam

Pun masalah kemiskinan sempat menjadi perhatian. Misalnya BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang menghebohkan karena dianggap proyek populis pemerintah ala sinterklas yang hanya membagi-bagikan uang. Akibatnya banyak orang yang tak malu mengaku-aku diri mereka miskin. Ironisnya, dalam pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16 Agustus 2006 beliau menyampaikan turunnya angka kemiskinan. Namun, angka-angka yang menjadi data tersebut diragukan karena dianggap tidak menggambarkan kondisi riil saat ini.

 Masalah penyakit juga perlu menjadi titik perhatian kita. Ancaman virus flu unggas (baca: flu burung) yang sudah menewaskan 44 orang dan menginfeksi 56 orang di Indonesia seharusnya ditangani secara serius. Terus bermunculannya kasus baru membuat negara-negara di dunia menuding pemerintah Indonesia dianggap tidak responsif, lamban, dan lalai dalam menanggulangi wabah flu burung ini. Kekhawatiran pun berlanjut karena bisa saja Indonesia dianggap menjadi sumbu pemicu pandemi global. Ini baru kasus flu burung, belum lagi virus H.I.V. serta penyakit lainnya seperti penyakit demam berdarah atau malaria.

Pemecahan yang ditawarkan oleh Prof. Fuad Hassan cukup sederhana yaitu pendidikan. Saya pun sependapat dengan beliau karena bila kita melihat negara-negara lain yang puluhan tahun lalu berada di bawah kita dan bahkan “berguru” pada kita, sekarang sudah melesat jauh.

Lagi-lagi, ironisnya pemerintah serta para elite kita tampaknya belum memedulikan bidang pendidikan dan sekedar mengangkatnya sebagai isu-isu populis pada waktu kampanye. Setelah para elite itu berhasil menjadi “pemimpin”, masalah politik dan ekonomi dirasa lebih penting hingga harus didahulukan dibanding pendidikan. Lihat saja berapa banyak sekolah-sekolah yang nyaris ambruk dan anak-anak yang putus sekolah. Coba bandingkan dengan pembangunan mal atau pusat perbelanjaan yang berdiri megah. Padahal dengan mengembangkan pendidikan, kita berharap dapat menghapuskan ketidaktahuan (dan bukan kebodohan) itu. Pendidikan di sini bisa berwujud pendidikan formal maupun non formal. Idealnya, bila pendidikan ini benar-benar menjadi prioritas pemerintah, upaya menghapuskan ketidaktahuan akan terwujud. 


Bila ketidaktahuan itu telah dihapus, tentu akan memudahkan untuk menemukan cara menghapuskan kemiskinan. Karena hanya orang yang memiliki pengetahuan memadai yang bisa terlepas dari jeratan kemiskinan.Orang yang berpengetahuan pun sejatinya mempunyai kemampuan untuk bisa mengupayakan penghapusan penyakit. Mereka mempunyai cara bijak untuk mencegah penyakit menular. Hal itu dimungkinkan karena pengetahuan memadai mereka yang tentunya diperoleh baik di bangku pendidikan formal maupun non formal dengan sistem yang baik.  Namun, patut diingat pula, pendidikan yang dijalankan bukan sekedar “industri” pendidikan yang hanya mengajari anak untuk menghapal, tidak mampu mandiri/berinisiatif atau berfikir kritis. Tentu kita tidak mengharapkan akan menghasilkan “robot-robot” yang tidak kreatif dari “pabrik” pendidikan kita itu. Tapi justru manusia kreatif sebagai penerus generasi sekarang untuk menghadapi masa depan dan globalisasi. Oleh karena itu diperlukan sistem pendidikan yang memadai dan sesuai. Tidak sekedar ganti menteri, ganti kebijakan (baca: kurikulum).

Selain pendidikan, mungkin bisa saya tambahkan dengan kemampuan berbahasa yang baik, baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing. Hal ini disebabkan bahasa merupakan salah satu media berkomunikasi yang cukup penting. Tidak jarang kita melihat atau mendengar karena “kegagapan” dan ketidakmampuan dalam berbahasa, meskipun itu bahasa sendiri, dapat  menimbulkan kesalahpahaman serius. Yang seringkali juga dapat menimbulkan konflik di antara kita.

Demikian pula dengan penguasaan bahasa asing karena globalisasi tidak bisa dielakkan lagi. Globalisasi sudah merebak ke mana-mana bagai tamu tak diundang. Sebenarnya, bangsa Indonesia tidak perlu khawatir dengan penguasan bahasa asing ini. Alasannya, kita sudah terbiasa dan terlatih berbicara lebih dari satu bahasa (bukan dialek pen.). Coba tengok berapa banyak orang di Indonesia yang mampu menguasai bahasa selain bahasa ibunya. Misalnya bahasa Jawa, Sunda, Batak atau Makassar. Di sini yang diperlukan hanya kerja keras, keuletan dan ketekunan untuk mau belajar. Pertanyaannya: masih punyakah kita keinginan bekerja keras, keuletan, ketekunan itu? Terutama untuk mengejar ketertinggalan kita dari bangsa lain.

Selamat jalan Pak Fuad!

 

 

 

 

“Bagai Sayur Kurang Garam”: Kisah Garam di Nusantara

Bila kita bicara tentang makanan yang baik, biasanya sering dikaitkan dengan kesehatan. Misalnya makanan itu hendaknya makanan yang tidak mengandung terlalu banyak lemak, tidak berkadar gula atau garam tinggi, mengandung serat dan lain-lain. Memang sesuatu yang berlebihan itu tidak baik untuk tubuh kita.

Salah satu unsur pelengkap makanan yang hampir tidak pernah lepas dari masakan adalah garam. Kita mengenal garam sebagai salah satu bumbu penyedap yang membuat suatu hidangan masakan menjadi lebih terasa. Jenis garam itu kita kenal dengan nama garam dapur atau garam meja.

Rasanya tentu agak aneh dan kita sebut hambar bila suatu masakan lupa kita bubuhi dengan garam. Sehingga muncul ungkapan ‘Bagai sayur kurang garam’ yang maksudnya kurang begitu pas alias tidak sempurna. Tetapi jangan keliru dengan membubuhkan masakan itu dengan garam Inggris. Karena garam jenis ini meskipun ada unsur kata ‘garam’ dengan bentuk seperti gula pasir merupakan obat untuk pencuci perut.

Menariknya, jika suatu masakan kelebihan garam dan diketahui yang memasak adalah seorang gadis, maka dikatakan: “Wah asinnya masakan ini, yang masak pasti mau kawin!” Suatu masakan yang lezat dan pas itu, menurut Bondan Winarno pasti mak nyus tapi jika kurang atau kelebihan garam maka akan membuat mak nyun.

Tema dalam tulisan ini adalah garam. Khususnya kisah garam yang menjadi salah satu komoditas perdagangan antar pulau di Nusantara serta berbagai aspek menarik yang melingkupinya.

Butiran Sejarah Garam di Nusantara
Butiran sejarah garam di Nusantara ini yang juga pernah disebutkan Denys Lombard sepertinya masih harus dituliskan karena dalam Encylopaedie Nederlandsch Indië dibawah entri zout (garam) tidak memberikan keterangan apa pun mengenai sejarah garam sebelum abad ke-19 (ENI 2 1921:865-867).

Padahal, jauh sebelumnya menurut beberapa catatan disamping gula kelapa, asam, terasi, ikan asin, bawang merah dan bermacam-macam bumbu, garam (wuyah) merupakan salah satu komoditas makanan dan bumbu-bumbuan yang dibawa para pedagang yang lebih profesional serta memiliki jangkauan yang lebih luas di Jawa (Rahardjo 2002:331; Nastiti 1995:88-89). Hal ini dapat ditemukan dalam prasasti abad IX-X Masehi. Dalam hal ini garam yang diperoleh dengan cara kuno erat kaitannya dengan proses pengawetan ikan (ikan asin) pada masa itu.

Sebagai masyarakat yang tinggal di negara kepulauan dan dikelilingi laut tentu masyarakat Nusantara yang tinggal di pantai tahu cara-cara membuat garam. Apalagi garam, khususnya di pulau Jawa tidak berada di dalam tanah, melainkan di atas permukaan tanah yaitu di pantai. Sementara itu orang Maluku membuat garam dengan menuangkan air laut ke unggunan api di pantai kemudian merebus lagi abunya dengan air laut.

Di beberapa daerah pantai yang musim kemaraunya panjang, mereka mengusahakan garam dengan membiarkan matahari mengeringkan air laut yang sudah dipetak-petakkan di tepi pantai, seperti di pantai utara Jawa Timur. Dan garam ini merupakan salah satu komoditi ekspor utama dari pelabuhan-pelabuhan antara Juwana dan Surabaya. Para pedagang lalu membawa garam Jawa Timur ini ke Sulawesi dan Maluku serta memperdagangkannya secara langsung maupun melalui Banten ke Sumatera. (Reid 1992:33)

“Dari Jaratan, Gresik, Pati, Juwana dan tempat-tempat di sekitarnya, para pedagang itu membawa garam yang mutunya baik. Orang biasanya membeli 800 gantang (1 gantang -> 3,1 kg) seharga 150.000 perak dan menjualnya ke Banten seharga 1.000 periak setiap 3 gantang. Mereka juga membawanya ke Sumatera ke pelabuhan-pelabuhan seperti Baros, Pariaman, Tulang Bawang, Indragiri dan Jambi,” tulis Pieter Willemsz dalam Atchins Dachregister 1642 (Reid 1992:33).

Gerrit Knaap dan Heather Sutherland menyebutkan bahwa pada 1720 komoditas perdagangan utama yang dikirim Semarang ke Makassar adalah tembakau, beras dan garam. Masing-masing seberat 2300, 1800 dan 800 pikul (Knaap & Sutherland 2004: 140). Garam itu memang didatangkan dari Jawa karena Makassar ketika itu sedang berada dalam peperangan. Awalnya Makassar juga mengirimkan garam, hasil produk lokal mereka namun akhirnya lenyap pada paruh kedua abad ke-18 karena kualitasnya kalah bersaing dengan garam dari Jawa (Knaap & Sutherland 2004:96)

J.Crawfurd dalam A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries (1856) menyebutkan bahwa prinsip tambak garam hanya dikenal di pantai utara Jawa dan di daerah Pengasinan di Pulau Luzon. Ia juga menyebutkan adanya proses kuno pembuatan garam di tempat lain seperti pembakaran tanaman air di Kalimantan dan pengumpulan air laut yang kemudian dipercepat penguapannya di pantai selatan Jawa (Lombard II 2000:98). Tetapi hal itu dibantah Denys Lombard, menurutnya cara itu tidak ditemukan di pantai selatan Jawa tetapi di Bali timur (daerah Karang Asem) dan di dekat Bandar Aceh, Sumatera Utara. Ada kemungkinan proses pembuatan garam dengan membuat tambak-tambak itu mendapat pengaruh dari metode pembuatan garam di Hokian, China. Tetapi tampaknya kita perlu membandingkannya dengan perbagai cara yang diuraikan dalam teks-teks China untuk dapat mengenali teknik kuno di Jawa tersebut.

Dilihat dari sejarah, produksi garam di Indonesia sebelum dikembangkannya pembuatan garam secara modern oleh Pemerintah Kolonial pada abad ke-19, hampir seluruhnya dikuasai orang Tionghoa. Pemerintah Kolonial lalu mengambil alih tambak-tambak garam besar yang terdapat di sekitar Gresik dan Sumenep (Madura) di Jawa Timur.

Penggarapan tambak garam inilah merupakan salah satu hal yang menyebabkan pulau Madura memiliki nilai ekonomi yang lebih besar sebagai pemasok utama garam ke wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda di Nusantara (Ricklefs 2005:286). Namun menurut Daghregister dari Batavia pada 1648, 1661, 1663 tidak disebutkan garam dalam daftar hasil yang diekspor. Yang disebutkan justru hanya beras, sayur-sayuran dan bumbu serta barang anyaman, minyak dan cita Jawa (batik). Sehingga dapat disimpulkan garam belumlah dapat dikatakan sebagai sumber penghasilan yang tertua bagi Madura (Lombard II 2000: 411).

Dalam perdagangan bahan makanan di perairan Asia Tenggara, Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan daerah pengekspor terbesar. Selama dua bulan di tahun 1642, dua belas perahu orang Jawa sampai ke Aceh. Muatan utama perahu-perahu itu terutama adalah bahan makanan “garam, gula, buncis, kacang-kacangan dan bahan-bahan makanan lainnya”, demikian tulis Pieter Willemsz dalam Atchins Daghregister 1642 (Reid 1992:37).

Di Aceh, dimana emas dipakai sebagai alat tukar orang Aceh menukarnya kepada orang-orang yang mereka kenal baik, di daerah Minangkabau dengan beras, senjata dan kain katun. Seperti juga kepada orang Priaman dengan lada, garam, baja dari Masulipatam dan kain dari Surat (Lombard 2006:100)

Karena dianggap menguntungkan maka aturan terhadap garam dianggap perlu juga diterapkan. Peraturan pertama mengenai garam ditemukan dalam Plakaatboek yang berangka tahun 1648. Isinya mengenai orang Cina Conjock yang telah memasang kuali-kuali garamnya (zoutpannen) di sebelah barat Batavia dan memperoleh izin untuk mengekspor hasilnya secara bebas bea. Tetapi dengan syarat mereka dapat memenuhi keperluan Kompeni dan kaum burgher (penduduk kota) dengan harga yang ditetapkan sebesar 8 rial sekali muat. Monopoli itu dikonfirmasikan pada tahun berikutnya dan diterbitkan dalam bahasa Belanda, Portugis, Melayu dan Cina. Namun peraturan itu kemudian dibatalkan tahun 1654 karena kualitas garam yang dipasok pada masa itu menurun sekali. (Lombard II 2000:273)

Dengan kata lain sebelum pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19 mengembangkan pembuatan garam secara modern dengan mengambil alih tambak-tambak garam besar di sekitar Gresik dan Sumenep (Madura), produksi garam dikuasai oleh orang Tionghoa.

Di abad 18, Plakaatboek yang sama juga beberapa kali menyebutkan pengusaha garam yaitu orang Tionghoa, dan ketika telah dibangun zoutnegoryen (negeri garam) justru para penduduk sebenarnya dikuasai oleh pemilik tambak garam. Semacam monopoli pembuatan dan perdagangan garam oleh orang Tionghoa. Sistem ini ditegaskan kembali pada masa pemerintahan Daendels (1807-1810) dalam Nederlandsch Indië Plakaatboek XV yang dapat dilihat dalam “Reglement voor de huurders van negorijen en desa’s, aan suikermolens, zoutpannen en de zoogenaamde volgelnest klippen verbonden”.

Sistem tersebut adalah sistem monopoli dimana orang Tionghoa mendapat hak privilege atas garam ini kelak dianggap memalukan bagi Raffles yang memerintah di Hindia Belanda 1811-1816 sehingga ia menghapuskan untuk selamanya sistem itu. Hal itu kemungkinan besar merupakan pukulan keras bagi struktur perekonomian orang Tionghoa. (Lombard II 2000:273)

Tahun 1813, Raffles menyelenggarakan monopoli garam di seluruh daerah kekuasaannya, baik produksi maupun distribusi. Namun, karena kaum buruh garam, terutama di pantai utara Jawa seperti di Banten, Karawang, Cirebon dan Semarang berhasil mensiasati peraturan monopoli itu, maka pada tahun 1870 akhirnya pengusahaan garam dibatasi dengan sewenang-wenang pada Pulau Madura saja. Dengan alasan lebih mudah diawasi.

Pada awalnya pemerintah kolonial hanya membeli garam dari pembuat-pembuatnya dengan harga tetap, lalu mereka membuka perusahaan pada tahun 1918 dan pada akhirnya pada tahun 1936 mengambil alih seluruh produksinya. Sistem yang dipakai masih berlangsung hingga sekarang. Para buruh membawa garam ke gudang. Lalu garam itu dibersihkan dan dibentuk briket sebelum didistribusikan. Garam itu berasal dari tambak garam yang luasnya kini kira-kira 6000 ha, terletak di berbagai tempat di pantai selatan, terutama di sebelah timur daerah Sumenep, 600 ha terletak di pantai Jawa, di sekitar Gresik. Sementara itu produksi tahunan dari waktu ke waktu berubah banyak, rata-rata ditaksir sebesar 50 ton per ha, kira-kira secara keseluruhan sebanyak 300.000 ton. Perusahaan itu mempekerjakan 5000 buruh tetap dan 15.000 buruh musiman (Lombard II 2000:98).

Monopoli pemerintah kolonial tidak hanya di Jawa dan Madura, monopoli meluas ke beberapa distrik di Sumatra dan hampir seluruh Borneo (Kalimantan). Sementara itu di barat daya Sulawesi pembuatan garam masih berada di tangan pihak swasta (Handbook of the Netherlands Indies 1930:121)

Pada jaman Jepang ketika produksi garam di Pulau Jawa berhenti, penduduk Sumatra ramai-ramai merebus air laut untuk mendapatkan garam. Pada 1957 monopoli garam dihapus. Garam negara pun berubah menjadi perusahaan negara pada 1960 (Cribb 2004: 382).

Garam dalam peri(bahasa)
Kisah butiran garam tak berhenti di situ saja. Garam pun masuk dalam peribahasa kita. Sewaktu duduk di sekolah dasar dalam pelajaran bahasa Indonesia, saya mendapat tugas mencari peribahasa, ungkapan yang berhubungan dengan garam. Ternyata banyak sekali ungkapan, peribahasa dalam bahasa Indonesia yang berhubungan dengan garam, yang dalam istilah kimianya dikenal dengan nama Natrium Chlorida (NaCl).

Peribahasa-peribahasa itu antara lain; ‘Banyak makan asam garam’ yang artinya banyak pengalaman hidup, ‘Hidup sebagai asam dengan garam’ yang berarti sudah sesuai benar (lelaki dan perempuan) dan pasti menjadi jodoh, ‘Membuang garam ke laut’ yang artinya melakukan pekerjaan yang tidak ada gunanya, ‘Bagai garam jatuh ke air’ yang berarti nasihat atau saran yang mudah diterima, ‘Sudah seasam segaramnya’ yang artinya sudah baik benar (tidak ada celanya), ‘Garam di laut, asam di gunung bertemu di belanga’ yang berarti lelaki dan perempuan kalau jodoh biarpun terpisah oleh samudera bertemu juga akhirnya, ‘Kelihatan garam kelatnya’ yang berarti kelihatan sifat-sifatnya yang kurang baik. Masih banyak lagi peribahasa dalam bahasa Indonesia yang berhubungan dengan garam (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1993:255).

Hal yang menarik dalam bahasa Indonesia atau Melayu, kata ‘garam’ terpisahkan dengan rasa ‘asin. Berbeda dengan bahasa-bahasa lain misalnya Inggris ‘salt’ dengan ‘salty’, Perancis ‘sel’, Spanyol ‘sal’ dengan ‘salado’, Italia ‘sale’, Jerman ‘zalt’, Belanda ‘zout’ selain berarti garam juga mengacu pada rasa ‘asin’.

Pada masa Romawi Kuno, harga garam sangat mahal. Oleh karena mahalnya garam pada masa itu lalu dipakai untuk membayar gaji para pekerja dan prajurit dengan salarium (garam). Istilah salarium (Latin) yang maksudnya ‘garam’ itu dipakai untuk gaji yang kemudian diambil dalam bahasa Inggris salary. Lucunya garam dalam bahasa Inggris kuno adalah ‘sealt’. Bila kita hilangkan dua huruf terakhir –lt, kita akan dapatkan kata ‘sea’ yang artinya laut. Mungkin juga maksudnya begitu karena air laut rasanya asin dan garam berasal dari laut.

Garam pengusir roh jahat

Seperti yang tadi disebutkan sebelumnya ada berbagai garam yang kita kenal. Garam dapur yang butirannya lebih halus, garam bata yaitu garam yang berbentuk bata serta garam kasar. Biasanya garam dapur ditambahi unsur iodium yang diperlukan tubuh kita. Karena bila kekurangan zat tersebut dapat mengakibatkan penyakit gondok. Tak heran jika pemerintah mencanangkan suatu program “Garam beryodium” yang dipromosikan dengan gencar. Tapi bagi mereka yang mengidap penyakit darah tinggi, mereka justru diminta mengurangi konsumsi garam. Kalau tidak tekanan darah bisa melonjak.

Garam juga turut berperan dalam industri. Penangkapan ikan misalnya menggunakan garam yang dibubuhi pada es batu supaya es tersebut lebih tahan lama. Begitupula pembuatan ikan asin (ikan kering) yang memanfaatkan garam.

Dalam sebuah buku catatan perjalanan seorang turis Belanda, Augusta de Wit disebutkan manfaat garam yang mampu mengusir rasa pedas sambal yang menyengat. Ia menceritakan pengalamannya ketika pertama kali mencicipi sambal:

“Saya tak mampu melukiskan apa yang terjadi. Saya hanya dapat mengatakan bahwa saya sangat menderita sekali. Bibirku gemetar karena pedasnya sambal, leher terasa terbakar dan semakin parah ketika harus meneguk segelas air” (Wit 1905: 20). Untunglah ada seorang pengunjung yang kasihan dan menyarankan agar ia menaruh sedikit garam di lidah. Ia pun menuruti nasihat itu dan tak lama kemudian siksaan itu berakhir. Sambil terengah-engah, ia bersyukur ia masih hidup. Ia pun bersumpah tidak mau mencoba rijsttafel lagi. Namun, ternyata ia melanggar sumpahnya tersebut (Wit 1905: 20).

Tidak hanya itu, menurut kepercayaan, garam dianggap dapat mengusir roh jahat, tamu yang tidak dikehendaki hingga ular. Caranya dengan menaburkan garam (garam krosok, garam butirannya lebih kasar dibanding garam meja) di sudut-sudut dalam rumah dan di halaman rumah. Ternyata itu tidak hanya berlaku di Nusantara. Di Amerika yang konon masyarakatnya lebih rasional juga percaya hal seperti ini. Contoh menarik untuk hal ini, bisa kita saksikan serial televisi Supernatural, kisah petualangan dua bersaudara Dean dan Sam Winchester yang memburu roh jahat yang membunuh ibu mereka. Selain bersenjata api (yang telah disucikan), mereka juga melengkapi dirinya dengan garam. Percaya atau tidak, saya sendiri pun pernah mencobanya dan dengan izin Allah terbukti berhasil. Wallahu alam

Di luar Jawa, seperti Sulawesi Selatan, tambak-tambak garam dapat kita temui di sepanjang pantai di jalan menuju Tanjung Bira. Tepatnya di daerah Jeneponto yang memang kadar curah hujannya sangat kurang. Garam menjadi komoditas utama daerah tersebut. Tetapi tetap saja daerah itu dikategorikan daerah minus karena harga garam yang begitu rendah. Seperti cerita seorang dokter di Makassar yang suatu ketika bertugas di daerah itu. Usai bertugas, ia mendapatkan oleh-oleh kurang lebih lima karung plastik berukuran berat 60 kg. Awalnya, ia mengira karung-karung itu berisi, beras atau jagung. Dengan senang hati diterimanya oleh-oleh itu dan dimasukkan ke dalam mobilnya. Sesampainya di Makassar, ia berniat ingin membagi oleh-oleh itu pada para tetangganya. Dibukanya karung-karung itu, ternyata karung-karung itu berisi garam yang masih kasar. Pengalaman dirinya mengingatkan pada masa Romawi ketika para pekerja dan prajurit diberi upah dengan garam (salarum).

Garam pun dianggap membawa keberuntungan. Meski tidak secara langsung karena yang diambil adalah ‘gudangnya’ yang kemudian diabadikan menjadi sebuah merek. Di Indonesia, para pecandu rokok (khususnya kretek) tentu akan ingat merek ini: Gudang Garam. Gudang garam merupakan salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia. Didirikan oleh Tjoa Ing Hwie (Surya Wonowidjojo) yang sebelumnya bekerja untuk pamannya di pabrik rokok Cap 93, salah satu pabrik rokok terkenal di Jawa Timur. Pada tahun 1956, ia meninggalkan Cap 93 dan memproduksi sendiri kretek dari klobot di bawah nama merek Inghwie. Dua tahun kemudian ia mengganti perusahaannya menjadi Pabrik Rokok Tjap Gudang Garam. Terbukti merek ini menjadikan perusahaan ini salah satu perusahaan rokok terbesar (www.gudanggaramtbk.com)

Anda ingat Roger Moore, pemeran James Bond, agen 007? Pada 2001 ia pernah datang ke Indonesia khusus sebagai duta khusus PBB untuk Unicef. Di Indonesia “Mr. Bond” ini mempromosikan garam beriodium.

Garam dan politik
Garam juga tak seremeh yang kita bayangkan. Peranannya merambah ke dunia politik yang bisa membuat sejarah. Di India, pada 12 Maret 1930, Mahatma Gandhi memimpin sebuah gerakan perlawanan rakyat sipil. Tujuannya adalah memprotes monopoli garam yang diberlakukan pemerintah Inggris di India. Aturan monopoli garam yang ditetapkan Inggris berisi larangan bagi rakyat India untuk mengumpulkan atau menjual garam. Inggris bahkan memaksa rakyat India membeli garam dari Inggris yang telah dikenai bea pajak yang tinggi. Mahatma Gandhi melihat garam sebagai kebutuhan penting bagi bangsa India maka ia memimpin gerakan satyagraha atau perlawanan rakyat sipil tersebut.

Gandhi dan 78 pengikutnya melakukan pawai ke kota Dandi yang terletak di pantai Laut Arab, berjarak 241 mil. Di sepanjang jalan, puluhan ribu rakyat India bergabung dalam pawai itu. Ketika rombongan itu tiba di kota Dandi, mereka memulai gerakan penyulingan garam dari laut. Gerakan ini segera meluas ke seluruh India, termasuk Bombay dan Karachi. Tentara Inggris pun tak tinggal diam, mereka turun tangan menghadapi perlawanan rakyat sipil India dan menahan 60.000 orang, termasuk Gandhi. Namun, gerakan satyagraha itu terus berlangsung hingga kelak Gandhi dibebaskan dan bersedia menghentikan gerakan itu dengan kompensasi akan diselenggarakan konferensi untuk menentukan masa depan India (www.irib.com/world service).

Di Indonesia dikenal istilah ‘politik garam’. Politik garam ini merupakan ajaran Muhammad Hatta (mantan Wakil Presiden RI pertama), Muhammad Natsir dan para tokoh pendiri Indonesia lainnya. Ajaran itu antara lain bahwa politik garam itu lebih sejuk. Dirasakan gurihnya, dirasakan asinnya, tapi tidak menimbulkan gejolak. Menurut Amien Rais itu semacam high politics (politik tingkat tinggi) dan bukan ‘politik gincu’ yang hanya mampu dilakukan oleh mereka yang ahli dan berpengalaman di bidang ini (Koran Tempo, 27 Juni 2004)

Pada masa pemerintah Hindia Belanda terdapat de Opium en Zout regi(ment) (Jawatan Candu dan Garam Negara) yang mengatur produksi dan penjualan garam di Hindia Belanda. Seperti yang dituturkan Soebadio Sastrosatomo, tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang pada usia sepuluh tahun pada 1929 ditinggal ayahnya seorang pegawai Jawatan Garam dan Candu Negara di Sumatra Timur.

Lain halnya dengan Mr. Tan Po Goan yang ketika Aksi Militer I (1947) dirawat di CBZ (RS Cipto Mangunkusumo) setelah kendaraannya menabrak truk militer Belanda. Sekeluarnya dari rumah sakit ia segera mencari pekerjaan. Tetapi ia tak mau menjadi advokat karena harus mengucapkan sumpah setia kepada Ratu Belanda. Ia lebih memilih menjadi wiraswastawan dengan memiliki dua truk angkutan. Truknya menyusuri Tegal –Purwokerto untuk mengangkut garam dan kemenyan, lalu sekembalinya membawa gula Jawa (Intisari, Agustus 2001)

Tetapi dari semua itu yang paling mengenaskan adalah nasib para petani garam. Nasib petani garam kita juga semakin ‘asin’ dan memprihatinkan karena terus merosotnya harga garam. Ditambah lagi dengan dibukanya kebijakan impor garam oleh pemerintah. Dapat kita bayangkan, hingga November 2006 impor garam yang tercatat mencapai 1,16 juta ton. Ketika itu garam petani di Cirebon dihargai Rp. 50 per kg sedangkan harga garam impor asal Australia mencapai 40 dolar AS per ton (Pikiran Rakyat 8 Desember 2006).

Di lain sisi impor garam memang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan garam karena produksi garam nasional hanya 1,3 juta ton- 1,4 juta ton, sedangkan tingkat kebutuhan baik untuk konsumsi maupun industri mencapai 2,3 juta ton per tahun. Namun, masalahnya jumlah garam impor di lapangan melebihi catatan yang resmi. Belum lagi permainan harga yang ditengarai hanya “komoditas politik” pihak tertentu.

Penutup
Garam memang tidak seremeh yang kita bayangkan. Jika kekurangan, apalagi yang mengandung yodium, kita bisa menderita penyakit gondok. Jika terlalu berlebihan, maka cukup berbahaya karena dapat memicu tekanan darah menjadi tinggi. Tanpa garam para penikmat ikan asin tak bisa menikmati ikan asin (ikan kering). Di samping itu harga garam yang tak seberapa, membuat para petani garam kebingungan. Bahkan dipolitisasi oleh para penguasa di masa lalu. Bagaimanapun juga, kita membutuhkan garam karena makan sayur pun jika kurang garam, terasa hambar dan tidak enak.

Disajikan dalam Seminar Kuliner Bangsa-Bangsa dengan tema Makanan dan Identitas Budaya, Departemen Kewilayahan FIB UI Depok 6 Desember 2007