Ketidaktahuan, Kemiskinan dan Penyakit: Mengenang Pak Fuad Hassan

Jumat sore 7 Desember lalu saya mendapat kabar dari salah seorang rekan senior di kantor bahwa Prof. Fuad Hassan meninggal dunia. Saya terdiam lalu berdoa semoga beliau mendapatkan tempat di sisi Allah SWT. Saya teringat ketika “menyusup” ke dalam kuliah umum beliau di Fakultas Psikologi dua tahun lalu. Ketika itu istri saya yang sedang mengandung meminta saya mengantarkannya. Saya pun langsung mengiakan. Memang perkuliahan dan ceramah beliau sangat menarik. Tidak mengherankan beliau adalah salah satu dosen favorit di Fakultas Psikologi UI. Tidak banyak hal-hal njelimet yang dibebani pada pendengarnya.

Seperti halnya pada suatu Minggu siang di sebuah hotel berbintang di kawasan jalan Sudirman akhir tahun 2006. Sambil duduk terkantuk-kantuk lantaran usai makan siang dan ruangan ber-AC, saya mendengarkan uraian para pembicara mengenai globalisasi pendidikan. Sesekali saya terjaga karena suara tepuk tangan peserta lainnya. Hingga saya akhirnya benar-benar terjaga ketika giliran Prof. Fuad Hassan, guru besar Fakultas Psikologi urun bicara.

Ada hal menarik yang beliau ungkapkan pada siang itu sehubungan dengan tema yang diangkat dalam acara seminar itu. Menariknya adalah karena beberapa hal yang beliau bicarakan menurut hemat saya relevan dengan situasi sekarang, khususnya dunia pendidikan.

Menurut beliau ada tiga hal penting yang seharusnya menjadi perhatian kita semua. Pertama adalah upaya untuk menghapuskan ignorance (ketidaktahuan). Kedua yaitu penghapusan poverty (kemiskinan) dan terakhir disease (penyakit).

Bukankah kita semua akhir-akhir ini memang berkutat dengan ketiga hal tersebut. Upaya kita dalam menghadapi berbagai bencana alam di tanah air yang di luar kehendak sepertinya kurang memadai dan banyak keluhan di sana-sini sehingga kesannya kurang tanggap. Demikian pula kasus LuSi (lumpur Sidoarjo) yang sampai kini sulit ditemukan pemecahannya hingga dianggap “game over”. Bahkan masyarakat Sidoarjo sampai perlu mengadakan sayembara untuk menghentikan LuSi itu. Lalu “ekspor” asap akibat pembakaran hutan yang membuat gerah negeri tetangga. Terakhir, longsornya ribuan ton sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang , 8 September lalu yang mengakibatkan korban jiwa. Semua ini disebabkan karena ketidaktahuan kita dan bukan kebodohan kita dalam ‘menggauli’ teknologi yang berkembang dengan pesat serta tidak diimbangi pemahaman terhadap kearifan alam

Pun masalah kemiskinan sempat menjadi perhatian. Misalnya BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang menghebohkan karena dianggap proyek populis pemerintah ala sinterklas yang hanya membagi-bagikan uang. Akibatnya banyak orang yang tak malu mengaku-aku diri mereka miskin. Ironisnya, dalam pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16 Agustus 2006 beliau menyampaikan turunnya angka kemiskinan. Namun, angka-angka yang menjadi data tersebut diragukan karena dianggap tidak menggambarkan kondisi riil saat ini.

 Masalah penyakit juga perlu menjadi titik perhatian kita. Ancaman virus flu unggas (baca: flu burung) yang sudah menewaskan 44 orang dan menginfeksi 56 orang di Indonesia seharusnya ditangani secara serius. Terus bermunculannya kasus baru membuat negara-negara di dunia menuding pemerintah Indonesia dianggap tidak responsif, lamban, dan lalai dalam menanggulangi wabah flu burung ini. Kekhawatiran pun berlanjut karena bisa saja Indonesia dianggap menjadi sumbu pemicu pandemi global. Ini baru kasus flu burung, belum lagi virus H.I.V. serta penyakit lainnya seperti penyakit demam berdarah atau malaria.

Pemecahan yang ditawarkan oleh Prof. Fuad Hassan cukup sederhana yaitu pendidikan. Saya pun sependapat dengan beliau karena bila kita melihat negara-negara lain yang puluhan tahun lalu berada di bawah kita dan bahkan “berguru” pada kita, sekarang sudah melesat jauh.

Lagi-lagi, ironisnya pemerintah serta para elite kita tampaknya belum memedulikan bidang pendidikan dan sekedar mengangkatnya sebagai isu-isu populis pada waktu kampanye. Setelah para elite itu berhasil menjadi “pemimpin”, masalah politik dan ekonomi dirasa lebih penting hingga harus didahulukan dibanding pendidikan. Lihat saja berapa banyak sekolah-sekolah yang nyaris ambruk dan anak-anak yang putus sekolah. Coba bandingkan dengan pembangunan mal atau pusat perbelanjaan yang berdiri megah. Padahal dengan mengembangkan pendidikan, kita berharap dapat menghapuskan ketidaktahuan (dan bukan kebodohan) itu. Pendidikan di sini bisa berwujud pendidikan formal maupun non formal. Idealnya, bila pendidikan ini benar-benar menjadi prioritas pemerintah, upaya menghapuskan ketidaktahuan akan terwujud. 


Bila ketidaktahuan itu telah dihapus, tentu akan memudahkan untuk menemukan cara menghapuskan kemiskinan. Karena hanya orang yang memiliki pengetahuan memadai yang bisa terlepas dari jeratan kemiskinan.Orang yang berpengetahuan pun sejatinya mempunyai kemampuan untuk bisa mengupayakan penghapusan penyakit. Mereka mempunyai cara bijak untuk mencegah penyakit menular. Hal itu dimungkinkan karena pengetahuan memadai mereka yang tentunya diperoleh baik di bangku pendidikan formal maupun non formal dengan sistem yang baik.  Namun, patut diingat pula, pendidikan yang dijalankan bukan sekedar “industri” pendidikan yang hanya mengajari anak untuk menghapal, tidak mampu mandiri/berinisiatif atau berfikir kritis. Tentu kita tidak mengharapkan akan menghasilkan “robot-robot” yang tidak kreatif dari “pabrik” pendidikan kita itu. Tapi justru manusia kreatif sebagai penerus generasi sekarang untuk menghadapi masa depan dan globalisasi. Oleh karena itu diperlukan sistem pendidikan yang memadai dan sesuai. Tidak sekedar ganti menteri, ganti kebijakan (baca: kurikulum).

Selain pendidikan, mungkin bisa saya tambahkan dengan kemampuan berbahasa yang baik, baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing. Hal ini disebabkan bahasa merupakan salah satu media berkomunikasi yang cukup penting. Tidak jarang kita melihat atau mendengar karena “kegagapan” dan ketidakmampuan dalam berbahasa, meskipun itu bahasa sendiri, dapat  menimbulkan kesalahpahaman serius. Yang seringkali juga dapat menimbulkan konflik di antara kita.

Demikian pula dengan penguasaan bahasa asing karena globalisasi tidak bisa dielakkan lagi. Globalisasi sudah merebak ke mana-mana bagai tamu tak diundang. Sebenarnya, bangsa Indonesia tidak perlu khawatir dengan penguasan bahasa asing ini. Alasannya, kita sudah terbiasa dan terlatih berbicara lebih dari satu bahasa (bukan dialek pen.). Coba tengok berapa banyak orang di Indonesia yang mampu menguasai bahasa selain bahasa ibunya. Misalnya bahasa Jawa, Sunda, Batak atau Makassar. Di sini yang diperlukan hanya kerja keras, keuletan dan ketekunan untuk mau belajar. Pertanyaannya: masih punyakah kita keinginan bekerja keras, keuletan, ketekunan itu? Terutama untuk mengejar ketertinggalan kita dari bangsa lain.

Selamat jalan Pak Fuad!

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *