Dunia semakin berubah. Segala sesuatu harus mengikuti perubahan tersebut. Perubahan terjadi tidak hanya para penghuninya yang mengalami evolusi, tetapi juga cara berfikir dan strategi dalam menghadapi permasalahan. Salah satunya adalah upaya dalam menghadapi AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan.
Istilah AI atau kecerdasan buatan ini muncul pertama kali pada 1956 dalam konferensi Dartmouth, New Hampshire, Amerika Serikat. Konferensi tersebut mempertemukan para ilmuwan Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Sebenarnya pada periode sebelumnya gagasan kecerdasan ini sudah ditanamkan oleh para pemikir. Hal itu sesuai dengan keinginan manusia yaitu mencari upaya yang memudahkan pekerjaan mereka. Mulai dari pekerjaan fisik hingga pekerjaan berfikir.
Berbagai penemuan dan aplikasi yang berkaitan dengan kecerdasan buatan telah kita nikmati. Semuanya memudahkan kita dan terselip rasa khawatir, terutama dalam bidang pendidikan. Jika semuanya telah dimudahkan, apa gunanya peran para pengajar? Apakah kita hanya akan sebagai ‘pengguna’, tanpa ikut memikirkan untuk juga berperan sebagai salah satu penemu. Lalu bagaimana peran AI dalam penelitian sejarah?
Saya mencoba menelusuri beberapa situs (ini juga bagian dari penemuan kecerdasan buatan) untuk mencari peran AI dalam penelitian sejarah. Salah satu situs adalah dari World Economic Forum. https://www.weforum.org/agenda/2022/07/ai-technology-research-history-science/
Dalam situs ini ditemukan beberapa artikel menarik, seperti ‘AI from British firm DeepMind is helping to restore ancient Greek texts’, ‘Facial recognition technology is being used to identify Jewish people in photographs from WWII’, ‘With AI, researchers from the Netherlands have discovered that the Dead Sea Scrolls were written by two people, not one person, as previously thought’. Salah satu artikel yang menarik perhatian saya berjudul ‘6 ways AI is helping us learn more about our past – and future’. (Enam cara AI yang membantu kita dalam mempelajari lebih lanjut masa lalu dan masa depan kita).
Artikel itu dibuka dengan kalimat: ‘Artificial intelligence (AI) is usually associated with getting us to the future faster, but it can also be a powerful tool in uncovering the past.’ Lalu dilanjutkan dengan kalimat ada enam teknologi AI yang digunakan seluruh dunia untuk ‘help us to understand the past’ (membantu kita memahami masa lalu) dan ‘prepare for the future’ (mempersiapkan masa depan). Dua pernyataan ‘membantu memahami masa lalu’ dan membantu mempersiapkan masa depan’ merupakan pernyataan menarik. Fungsi mempelajari sejarah sejatinya memang untuk mempersiapkan masa depan. Jika tidak, maka sejarah hanya menjadi nostalgia dan kita dapat terjebak di dalamnya (terjebak nostalgia).
Dari enam cara AI tersebut, ada beberapa cara yang membantu dalam penelitian sejarah. Cara pertama adalah mengembalikan teks kuno dengan kecerdasan buatan. Teks kuno yang dimaksud adalah teks dalam bahasa Yunani. Sistem ini dibuat oleh DeepMind. Lalu cara kedua, mengidentifikasi wajah yang telah lama hilang. Proyek ini diberinama From Numbers to Names (N2N) yang berupaya mengidentifikasi wajah korban holocaust. Cara ketiga adalah algoritma yang mampu menguraikan bahasa yang hilang. Sistem ini dikembangkan di M.I.T. Amerika Serikat. Algoritma ini dilatih berdasarkan wawasan dari sejarah linguistik dan perubahan tipikal dalam bunyi bahasa seiring perkembangannya. Cara berikut adalah penemuan baru tentang artefak kuno. Di Belanda, para peneliti di University of Groningen menggunakan AI untuk membuat penemuan baru tentang naskah Laut Mati. Mereka berasal dari abad ke-4 SM dan dianggap manuskrip tertua dari Alkitab Ibrani. Dengan menggunakan teknik komputer dan AI, para peneliti dapat menyimpulkan bahwa gulungan naskah itu ditulis oleh dua orang, dan bukan satu orang seperti yang diperkirakan sebelumnya. Cara terakhir adalah Bertemu orang-orang dari masa lalu dalam 3D. AI itu digunakan untuk menghidupkan kembali tokoh-tokoh dari masa lalu. Sebuah museum di India telah menciptakan ‘kembaran digital’ dari seorang seniman yang meninggal pada tahun 2011, menurut sebuah artikel oleh firma hukum AS Lutzker & Lutzker. Hologram 3D pelukis M.F. Husain memiliki kemampuan untuk menjawab pertanyaan tentang kehidupan dan pekerjaannya. Pengenalan wajah dan teknologi pembelajaran mendalam lainnya digunakan untuk membuat avatar di Museum Seni dan Fotografi di Bengaluru (Bangalore), India.
Sebenarnya masih ada sistem-sistem lain yang masih dalam proses pengembangan atau sistem yang sudah dapat kita gunakan. Sistem AI yang pernah saya gunakan adalah Transkribus, sebuah model AI publik gratis untuk pengenalan teks tulisan tangan. Sistem itu membantu kita membaca tulisan tangan. Hasilnya tidak mengecewakan, jika kualitas tulisan tangan tersebut baik dan masih dapat dibaca. Tantangannya adalah kemampuan kita dalam memahami hasil pembacaan mesin tersebut karena mesin tetaplah mesin, berbeda dengan manusia. Dalam hal ini, kemampuan manusia yang memiliki nurani dan perasaan dalam menghadapi mesin yang harus diasah. Jangan sampai kita dikuasai mesin.
Untuk penelitian sejarah, sistem AI cukup membantu dan tetap unsur manusia harus tetap dikedepankan. Tampaknya perlu ada pembahasan ulang terkait metode dalam penelitian sejarah dengan menggunakan kecerdasan buatan tersebut.
Sumber gambar:
https://www.kdnuggets.com/2017/04/brief-history-artificial-intelligence.html