Siapa yang tidak suka susu? Maaf, ini bukan porno. Susu yang dimaksud adalah susu sapi. Memang tidak semua orang, terutama anak-anak menyukai minuman sehat ini. Di Indonesia, masyarakat yang mengkonsumsi susu sapi segar pun masih sangat rendah. Kalah jauh dengan India. Apalagi sekarang susu menjadi barang mewah dan impor serta harganya yang kian melonjak. Khususnya susu bubuk dan susu yang diformulasikan.
Ada pendapat yang mengkaitkan melonjaknya harga susu dengan pemanasan global. Pemanasan global tersebut menyebabkan kekeringan di sebagian wilayah Australia dan Selandia Baru sehingga sapi perah kekurangan pakan. Kita tahu selama ini masih ada bahan baku susu, khususnya susu formula yang harus diimpor dari negara-negara tersebut. Dampaknya, harga susu formula di dalam negeri ikut naik sampai 15 persen.
Sejarah susu di Indonesia ini pun menarik untuk diketahui mengingat tidak semua orang mengetahuinya. Tahun 1906 atas anjuran Pemerintah Hindia Belanda, maka diimporlah beberapa jenis sapi pedaging ke Sumba, Nusa Tenggara Timur. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menetapkan Sumba sebagai pusat pengembangbiakan ternak sapi daging dari jenis O ngole (India). Sekitar tahun ini pula, sapi perah mulai masuk ke Hindia Belanda. Namun, tahun masuknya sapi perah ini perlu dipertanyakan lagi. Alasannya, sejak akhir abad ke-19, wilayah Bandung terkenal sebagai penghasil susu sapi berkualitas tinggi di Nusantara.
Restorasi kereta pos pada awal abad ke-20 yang melewati jalur Cirebon-Bandung- Bogor – Batavia konon menghidangkan susu sapi segar kepada para penumpangnya. Lumayan sebagai pelepas dahaga dan obat lapar di perjalanan. Bahkan jauh sebelumnya , berdasarkan catatan Heer Medici pada 1786 yang melancong ke ‘Negorij Bandoeng’ dengan rombongan berkuda dari Batavia, sudah mencicipi segarnya susu Bandung tatkala rombongan sampai di Cianjur.
Menurut catatan sejarah, pada tahun 1938 di wilayah Bandung terdapat 22 usaha pemerahan susu dengan produksi 13.000 liter susu per hari. Hasil produksi susu ini semua ditampung oleh “Bandoengsche Melk Centrale” untuk diolah (pasturisasi) sebelum disalurkan kepada para langganan di dalam maupun luar kota Bandung.
Direktur B.M.C dengan nada sedikit sombong menulis: ‘Vergeet U niet, dat er in geheel Nederlandsch Oost-Indië slechts een Melk centrale is, en dat is de Bandoengsche Melkcentrale’ (Anda jangan lupa, bahwa di seantero Nusantara ini cuma ada satu Pusat Pengolahan Susu dan itu adalah Bandoengsche Melk Centrale)
Dari sejarah persusuan di Indonesia, di wilayah Bandung ada 3 perusahaan pemerahan susu (Boerderij) yang terkemuka. Mereka inilah yang merupakan cikal bakal usaha peternakan sapi perah dari jenis unggul yang didatangkan dari Friesland, salah satu propinsi di Belanda.
Model peternakan sapi perah yang terkenal adalah perusahaan ‘Generaal de Wet Hoeve’ milik Tuan Hirschland dan Van Zijll di Cisarua, kabupaten Bandung. Mereka inilah yang pertama kali mendatangkan sapi perah Friesland ke Nusantara pada awal abad ke-20.
Kemudian tercatat pula Lembangsche Melkerij ‘Ursone’, sebuah perusahaan pemerahan susu di Lembang yang didirikan oleh tiga diantara empat bersaudara Ursone pada tahun 1895. Keluarga Ursone yang berkebangsaan Italia ini terkenal sebagai pemain musik gesek ulung di kota Bandung. Usaha keluarga Ursone diawali dengan 30 ekor sapi dengan hasil hanya 100 botol per hari. Kemudian pada tahun 1940 telah berkembang menjadi 250 ekor sapi dengan produksi ribuan liter susu perhari.
Selain kedua perusahaan ini, di Pangalengan, sekitar danau Cileunca, ratusan ekor sapi perah diternakkan orang Eropa di sana. Begitu banyaknya sapi perah bibit luar negeri di lembah danau Cileunca, hingga majalah Mooi Bandoeng sering menyebut wilayah di Pangalengan sebagai ‘Friesland in Indië (Friesland di Hindia)’.
Selain minuman dengan bahan baku susu seperti es krim, susu coklat (chocomelk), B.M.C mengolah susu menjadi mentega, keju dan cream untuk kosmetika. Hampir seluruh produksi susu di Jawa Barat tertampung oleh B.M.C pada jaman sebelum perang.
Jika demikian hebatnya sejarah susu di Indonesia lalu mengapa di Indonesia yang lebih populer adalah susu bubuk dibandingkan susu segar? Hal ini pun ada alasannya.
Sekitar tahun 1920, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan aturan mengenai produksi susu yang disebut Melk-Codex. Salah satu aturan persusuan ini adalah mengenai kondisi mikroba atau bakteri psychotropic pada susu segar di bawah satu juta mikroba untuk setiap satu sentimeter kubik susu segar. Standar ini dibuat untuk memenuhi kualitas susu segar yang siap minum tanpa melalu proses pengolahan lebih lanjut.
Dapatlah dibayangkan betapa Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu telah menyosialisasikan kualitas susu segar untuk siap minum tanpa proses lebih lanjut. Namun, kebanyakan kualitas susu segar kita di atas satu juta mikroba sehingga kita terpaksa harus melupakan kebiasaan minum susu segar dan susu tersebut harus diolah dalam bentuk bubuk dan diminum dalam keadaan hangat.
Menariknya lagi tradisi minum susu segar pada masa Hindia Belanda ternyata
juga tak tersosialisasi dengan baik meski sudah ada Melk-Codex. Masyarakat kita pada masa itu masih menganggap susu adalah minuman yang hanya dikonsumsi oleh orang kulit putih (baca: Belanda) serta golongan tertentu yang berkuasa. Sehingga muncul anekdot jika mau berkuasa, maka minumlah susu.
Lucunya lagi ada yang berpendapat sinis, tak perlulah bangsa kita punya tradisi minum susu (segar) nanti kelewat pintar. Alasannya, dahulu kala nenek moyang kita sangat getol puasa mutih atau hanya minum air segar (putih), nasi serta umbi-umbian saja mampu menjadi orang “pintar” dan ditakuti. Apalagi jika minum susu (putih), bisa-bisa kita menjadi “super pintar”.
Ketika Pemerintah Hindia Belanda sedang gencar-gencarnya mempromosikan pariwisata di Hindia, peternakan sapi menjadi salah satu daya tarik fasilitas yang ditawarkan. Promosi tersebut dimuat Gids voor Indie: Handleiding en Hotel Pension-, Toko en Dienstengids voor New Comers en Touristen in Ned-Indie. Misalnya iklan peternakan sapi di beberapa kota besar seperti Batavia, Bandung dan Semarang. Salah satunya iklan Melkerij “Petamboeran” yang merupakan peternakan tertua dan terbesar di Petamboeran, Paalmerah (Jakarta). Iklan tersebut memperlihatkan bahwa para turis (kulit putih) tak perlu khawatir jika di Hindia juga tersedia minuman susu.
Kita tentu ingat slogan pemerintah “Empat Sehat Lima Sempurna” yang ternyata disosialisasikan pada awal 1950-an. Menurut Prof. Dr. Ali Khomsan, ahli gizi IPB, pencetus “Empat Sehat Lima Sempurna” adalah Prof. Poorwo Sudarmo yang menempatkan susu pada urutan terakhir dari empat hidangan lainnya. Akibatnya masyarakat biasa akhirnya beranggapan bahwa susunan hidangan kita menjadi tak sempurna tanpa susu. Meskipun komposisi kandungan susunya itu sendiri perlu dipertanyakan karena lebih banyak airnya dibandingkan susunya.
Mungkin masyarakat melihat yang terpenting adalah warna putihnya. Perkara komposisi kandungan susunya urusan belakangan. Maka tak heran ketika harga susu (formula) melambung, sebagian ibu-ibu menggantikan susu dengan air tajin (susu beras). Padahal sangat jelas dari segi kualitas air tajin tak dapat menggantikan susu formula apalagi ASI meski dilihat dari warnanya nyaris serupa.
Memang kandungan protein air tajin mungkin setara atau bahkan lebih rendah dari pada beras. Apalagi kandungan vitamin dan mineralnya. Sehingga bisa diduga jika air tajin tak akan menandingi susu terutama dari segi kandungan kalsium dan fosfor.
Bicara melambungnya harga susu (formula) tentu mengingatkan kita pada ASI yang memang sangat dianjurkan. Namun, jangan lupa para ibu itu pun harus mendapatkan asupan gizi yang memadai, misalnya dengan minum susu. Bagaimana bisa memberikan ASI yang baik jika gizi para ibu itu tak berkualitas. Hal inilah yang sering dilupakan dan terabaikan. Jadi, siapa suka susu?