Naik Haji

Pergi menunaikan ibadah haji merupakan perjalanan spiritual dambaan setiap muslim untuk menyempurnakan rukun Islam. Tak setiap muslim memiliki kesempatan tersebut. Meskipun mereka sudah “mampu” secara materi, tidak lantas orang tersebut dapat menunaikan ibadah haji hingga memperoleh haji yang mabrur. Di samping itu pergi haji juga merupakan upaya peningkatan kadar keimanan seorang sebab mereka yang pergi haji diharapkan kualitas keimanannya meningkat atau naik. Oleh karena itu pergi haji kerap dikatakan naik haji.

Namun, pada prakteknya naik haji rupanya tidak selalu menaikkan kualitas seseorang. Ada saja orang yang sudah ‘berpangkat’ haji tetapi kelakuannya tak ubahnya seperti orang awam. Bahkan, semakin tak karuan alias hancur. Di sini tampak bahwa haji bukanlah sekedar ‘pangkat’ atau titel seperti layaknya gelar kehormatan atau titel sarjana yang bisa diperjualbelikan. Orang bisa saja membeli gelar sarjana hingga bertumpuk-tumpuk lalu diletakkan di depan atau di belakang nama mereka. Namun, belum pernah kita dengar orang membeli gelar haji, kecuali pada awal abad ke-20 (dikenal dengan “haji Singapura”). Mungkin saja kelak ada yang melakukannya. Hanya waktu yang mampu menjawab.

Pada prakteknya kuota yang disediakan oleh pemerintah Arab Saudi sebanyak 210.000 jemaah ternyata tidak mencukupi. Masih banyak calon jemaah haji yang masuk daftar tunggu hingga 2009 (DKI), 2010 (Riau dan Kalimantan Selatan). Tidak hanya itu jalur ilegal pun terpaksa ditempuh hingga mengakibatkan 600 jemaah RI ditangkap (Sindo 10/12/07). Mereka ditangkap karena kehabisan izin tinggal (visanya habis).

Aturan pemerintah untuk membatasi jumlah jemaah haji, sekali seumur hidup perlu dimaknai secara bijak. Di satu sisi, ibadah haji merupakan “hak” setiap umat yang mampu. Di sisi lain, perlu dipikirkan supaya para calon jemaah haji yang bertahun-tahun telah berusaha (menabung) supaya dapat naik haji dapat juga berangkat. Jadi tidak hanya kalangan yang “mampu” saja yang menunaikan ibadah haji.

Menurut catatan sejarah, pada abad ke-17 dan 18 sudah ada jemaah haji dari Nusantara. Tentunya ketika itu perjalanan menuju Mekkah tidak sekedar ritual belaka melainkan perjalanan menantang maut karena sarana transportasi yang digunakan yaitu masih kapal layar. Perjalanan pun dilakukan jauh-jauh sebelumnya, bahkan jika perlu para calon haji bermukim setahun sebelum musim haji tiba. Di Mekkah mereka berguru pada ‘guru-guru’ terkenal dari tanah kelahiran nabi.

Pada masa pemerintahan Raffles (1811-1814), mereka menganggap agama Islam unsur yang sangat berbahaya. Dalam History of Java (1817) disebutkan dua aspek negatif mengenai para haji. Pertama, mereka dianggap sebagai orang istimewa dan suci sehingga rakyat sederhana menganggap mereka memiliki kekuatan gaib. Selanjutnya, para haji dianggap mempunyai pengaruh politik dan sering berperan sebagai pemimpin pemberontakan terhadap orang Eropa.

Di sini jelas bahwa haji kerapkali dikaitkan dengan kegiatan politis. H.J. de Graaf dalam Geschiedenis van Indonesië menuliskan, Pangeran Diponegoro yang dikhianati oleh Jenderal De Kock pada 1830 ditolak keinginannya untuk menjalankan ibadah haji ke Mekkah. Alasannya, pemerintah kolonial tak ingin mengambil resiko jika Pangeran Diponegoro diberikan izin menunaikan ibadah haji, maka kesempatan ‘berguru’ di tanah nabi akan terbuka lebar. Mereka khawatir Pangeran Diponegoro akan melakukan ‘pemberontakan’ yang lebih hebat lagi. Apalagi pada masa itu gerakan Pan-Islamisme mulai muncul di mana-mana.

Menariknya, seabad kemudian yaitu pada 26 Desember 1960, Jenderal Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat RI ketika itu justru menawarkan kepada Kartosuwiryo, pimpinan Darul Islam untuk menjalankan ibadah haji ke Mekkah atas biaya pemerintah. Tetapi dengan syarat ia berjanji memperbaiki dirinya dan berhenti bergerilya.

Ada pula kebijakan pemerintah kolonial terhadap para haji di Hindia Belanda pada masa kolonial. Ordonansi itu tercantum dalam Staatsblad voor Nederlandsch-Indië tahun 1859 No 42. Salah satu isi peraturan itu adalah sekembali dari ibadah haji, seseorang harus mengikuti ujian haji dan harus membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Ujian itu dilakukan oleh bupati dan kyai yang ditunjuk. Bila seseorang lulus, maka ia berhak menyandang gelar haji dan mengenakan busana haji khusus. Sebaliknya, bila gagal tapi ia nekad mengaku-aku dirinya haji dan mengenakan pakaian haji, maka ia didenda 25 hingga 100 gulden. Kebijakan tersebut dikecam oleh Snouck Hurgronje, seorang orientalis dan ahli Islam. Baru pada awal abad ke-20 kebijakan ini dihapus.

Perihal pakaian haji yang lengkap dengan sorbannya ini pun memiliki kisah menarik. Konon ketika orang Muslim pertama dari Demak yaitu Raden Patah sesaat sebelum akan menaiki tahtanya dengan berbusana haji, ia berkali-kali jatuh sakit hingga kehilangan kesadaran alias pingsan. Penderitaan itu baru berakhir setelah ia mengenakan hiasan kepala kerajaan Jawa, demikian tulis H.J. de Graaf dalam Geschiedenis van Indonesië.

Aturan berbusana haji itu rupanya pada masa kolonial diwajibkan untuk memudahkan mengindentifikasi seseorang, khususnya bila ia bepergian. Seorang haji yang hendak bepergian dengan kereta api, ia harus naik gerbong kelas dua dan tidak diperbolehkan menumpang gerbong kelas tiga. Jika ketahuan, ia harus membayar denda.

Dalam literatur kolonial pun sosok haji yang digambarkan dengan seorang pria berpakaian Arab terkadang muncul sebagai sosok yang menakutkan dan memiliki kekuatan gaib. Simak saja Stille Kracht, karya Louis Couperus yang terbit pada 1900. Bahkan dalam beberapa karya Pramoedya Ananta Toer, haji digambarkan sebagai sosok antagonis, bukan hero.

Pada awal abad ke-20 pun ternyata sudah ada praktek percaloan jemaah haji. Maksudnya adalah para agen perantara. Mereka tentu lebih senang disebut agen karena istilah “calo” ketika belum dikenal. Para “calo” itu berupaya menghubungkan para calon haji itu dengan perusahaan pelayaran, misalnya perusahaan KPM. Berbagai cara ditempuh untuk mendapatkan calon haji sebanyak mungkin. Maklum saja, ketika itu belum ada kuota haji. Namun, tetap saja para haji itu kelak harus didata dan dikarantina, sebelum dan setelah mereka berhaji.

Akibat ulah para agen tersebut ada istilah “Haji Singapura”. Mereka adalah yang ketika itu berniat pergi haji ke Mekkah hanya sampai di Singapura. Para calon jemaah haji itu rupanya dibohongi oleh agen “nakal” yang menjanjikan akan mengurus kelanjutan perjalanan. Namun, mereka malah diperas sehingga tak bisa melanjutkan perjalanan. Para agen itu memang tak peduli apakah seseorang mampu atau tidak, semua orang dibujuk untuk pergi haji. Di Singapura malah ada yang mengeluarkan surat keterangan yang menyatakan bahwa seseorang telah melaksanakan ibadah haji di Mekkah. Oleh karena biaya yang mereka miliki hanya cukup untuk pergi ke Singapura, maka “berhajilah” mereka di Singapura.

Hingga awal tahun 70-an, perjalanan menunaikan ibadah haji masih dilakukan dengan menggunakan kapal laut. Sejak 1978 perjalanan dilakukan dengan pesawat terbang. Memang pada 1966 di antara 15.983 jemaah calon haji sudah ada yang menggunakan pesawat tetapi jumlahnya hanya 373 orang.

Penggunaan pesawat terbang ini pun pada awalnya menimbulkan persoalan baru, terutama bagi para jemaah calon haji yang sama sekali belum pernah naik pesawat dan tidak dibekali “bekal” pengetahuan yang cukup. Misalnya saja mereka mengambil wudhu dan shalat sebagaimana mereka di darat.  Bisa dibayangkan suasana pesawat terbang pada masa itu.

Prof. Martin Bruinessen dari Universiteit Utrecht dalam artikelnya “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci, Orang Nusantara Naik Haji” justru mengkritik hilangnya fungsi sosial dengan adanya kemajuan teknologi modern (baca: pesawat terbang) dalam ibadah haji. Jemaah haji Indonesia hanya berada beberapa minggu saja di tanah suci. Mereka tinggal bersama-sama dengan orang Indonesia lainnya sehingga kontak dengan umat Islam lainnya minim sekali. Tapi bukankah kita semua dewasa ini cenderung ingin yang praktis hingga untuk beribadah pun jika memungkinkan dilakukan dengan praktis.

Terlepas dari itu semua, menunaikan ibadah haji, pergi ke tanah suci menjadi tamu Allah, hanya diri kita dan Allah yang mengetahuinya. Di sana lah kadar keimanan dan kesabaran seseorang diuji. Apakah kita kelak mau menjadi haji yang mabrur atau haji yang mabur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *