Menulis atau Membuat Sejarah?

Menarik sekali menyimak tulisan Pak Taufik Effendi “Kita Menulis Sejarah” di Sindo (29/1/2007). Ditambah lagi dengan ajakan untuk berpikir ke depan, berpikir maju yang beliau ibaratkan seperti mengendarai mobil. Sesekali bolehlah “melirik” kaca spion, siapa tahu ada mobil atau motor di kanan-kiri kita. Namun, bagi yang pertama kali belajar mengemudi mobil, rasanya hampir selalu ingin melihat ke arah kaca spion. Khawatir kalau-kalau, mobil kita diserempet atau menyenggol kendaraan lain. Apalagi jika kreditannya belum lunas dan tanpa asuransi, urusan bisa tambah runyam.

Lain ceritanya kalau kita memang mau berjalan mundur. Kita harus melihat spion atau menengokkan kepala ke arah belakang. Namun, kalau kita sedang belajar mobil tentunya kita berjalan sangat perlahan. Bahkan mungkin lebih lambat dibanding laju sepeda. Itu karena rasa takut menabrak tadi. Bukan lantaran ada papan peringatan seperti di daerah pemukiman yang kerapkali bertuliskan: “Ngebut Benjut!” plus gambar tengkoraknya.

Tentunya tulisan Pak Taufik Effendi itu bukan mengenai cara mengemudi mobil yang baik atau kecenderungan calon pengemudi yang selalu melihat ke arah spion. Yang ironisnya angka kecelakaan kendaraan bermotor terus meningkat. Saya terus berupaya mencari hubungan judul dengan isi tulisannya. Karena pada awalnya, saya mengira isi tulisannya merupakan ajakan beliau untuk menulis sejarah.

Secara garis besar, tulisan beliau mengajak kita untuk keluar dari “carut-marut”nya kehidupan di negeri ini. Intinya jelas, beliau “keberatan” dengan kritik-kritik tajam yang akhir-akhir ini ditimpakan pada pemerintah, tanpa membantu mencarikan solusi. Ditambah lagi bencana beruntun yang semakin memojokkan posisi pemerintah dalam posisi sulit. Cocok seperti yang diibaratkannya yaitu posisi serba salah. Maju kena, mundur kena.

Namun, itu semua salah siapa? Salah pemerintah atau salah para pengkritik (orang-orang bijak nan cerdas)? Yang jelas, kita jangan sampai mata gelap lalu menyalahkan keadaan apalagi Tuhan. Karena mungkin saja, apa yang kita alami ini merupakan buah perbuatan kita di masa lalu yang tidak kita sadari. Betapapun kecilnya perbuatan kita di masa lalu, kita semua akan menuainya (mendapat balasannya). Apakah itu perbuatan baik atau buruk. Bisa saja, tak ada yang salah karena kita hanya manusia “bodoh”. Yang membiarkan semua ini serta mau dipermainkan oleh nafsu. Terus-menerus, berulang kali.

Memang akan sangat melelahkan dan membuat kepala pegal jika kita terus-menerus menengok ke belakang. Kepala bisa kram dan kaku, akibatnya kita sulit untuk melihat ke arah depan. Apalagi kalau kita mengendarai sepeda motor, tentu sulit sekali. Ditambah lagi akan adanya aturan pelarangan sepeda motor di jalan protokol. Kepala tidak hanya pegal tapi pusing lantaran ongkos transportasi menjadi bertambah.

Sehubungan dengan judul tulisan Pak Taufik itu, sebenarnya menurut hemat saya generasi kini inilah (termasuk saya atau Anda semua) yang diharapkan untuk dapat “membuat “ sejarah dan tidak sekedar  “menulis” sejarah. Karena, apa yang terjadi dan generasi kini lakukan, juga akan dituliskan oleh generasi yang akan datang. Itu pun kalau generasi kini rela “dituliskan” sejarahnya. Karena ada juga yang hanya ingin “menulis” sejarahnya sendiri. Tentunya bisa saja semua berisi yang baik-baik saja. Sedangkan hal-hal dan perilaku negatif atau aib dihilangkan. Maka muncullah istilah “penggelapan” sejarah. Yang jelas bukan dibuat pada saat listrik padam dan hanya menggunakan lilin atau pelita.

Sejarah yang kita “buat” pada masa kini dapat saja menjadi sejarah “hitam” atau  sejarah “putih” di masa nanti tergantung bagaimana kita menyikapinya. Meminjam ungkapan Pak Taufik, ada berbagai cara dalam mencapai tujuan (yang sama). Namun, mohon maaf jika menurut saya, tidak semua punya tujuan yang sama dalam berbangsa dan bernegara ini. Apa yang tertulis tebal dengan tinta emas dalam pembukaan UUD 45, mungkin bagi segelintir orang hanyalah sekedar tulisan tanpa makna. Hasil rembukan orang-orang di masa lalu yang menurut segelintir orang itu tak lagi sesuai konteks jaman. Karena dalam prakteknya pun jauh panggang dari api. Akibatnya, ya seperti sekarang. Tak ada komitmen bersama. Yang ada upaya selamatkan diri masing-masing. Siapa cepat, dia dapat. Bagimu, golonganmu, bagiku golonganku.

“Membuat” sejarah memang lebih mudah dibandingkan “menulis” sejarah karena setiap orang mampu melakukannya. Walaupun itu belum tentu penting atau menarik untuk dituliskan. Ambillah contoh kasus lumpur Lapindo. Anggap saja, ada sekelompok ilmuwan yang mampu menghentikan luapan lumpur itu dan menjadikannya sumber energi alternatif murah. Nah, para ilmuwan itu telah “membuat” sejarah. Kelak, bila ada orang yang hendak menuliskan sejarah kota Sidoarjo, para ilmuwan itu bisa dimasukkan sebagai bagian dari sejarah Sidoarjo.

Sebaliknya, “menulis” sejarah juga tak segampang seperti yang orang pikirkan. “Menulis” sejarah bukan sekedar menulis sesuai ide yang ada di kepala karena itu bukan fiksi dan rekaan. Ada metode-metode yang harus dipatuhi serta diarahkan dengan teori-teori yang telah ada. Belum lagi penelusuran terhadap sumber-sumber sejarah itu sendiri. Lalu menelitinya apakah sumber-sumber itu valid dan bisa dipercaya. Karena sumber-sumber itu sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menjadi sumber sejarah. Misalnya kas bon seorang pegawai tahun 50-an atau daftar belanja ibu rumah tangga tahun 60-an. Kas bon dan daftar belanja itu bisa membantu kita menggambarkan kondisi keuangan pada masa itu. Yang terpenting adalah upaya rekonstruksi sejarah ini harus dilakukan dengan penuh ketelitian. Sehingga kita bisa menggambarkan situasi masa lalu sedekat mungkin.

Lain halnya jika kita sekarang berhati-hati dalam melangkah dan berbuat. Segala sesuatu dilakukan dengan cermat dan teliti kalau perlu dicatat. Dengan niat, kelak sengaja akan dijadikan sumber sejarah. Kalau begini, kita perlu tempat penyimpanan segala macam sumber sejarah (arsip, barang cetakan, rekaman, gambar, film, dsb) yang baik. Itu pun kalau generasi kini sadar sejarah dan tak abai dengan semua hal yang kita anggap penting dalam kehidupan kita.

Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah tak ada sejarah yang tunggal karena itu bisa berbahaya dan dapat membodohkan. Biarlah, orang-orang “menuliskan” sejarahnya (menurut versi) masing-masing, asalkan sesuai dengan metode yang berlaku. Tidak ditambah-tambahi maupun dikurangi. Dengan kata lain, upaya penulisan dengan berbagai versi justru memperkaya kita dalam memahami masa lalu. Jadi daripada ditutup untuk sementara, lebih baik biarlah “garis batas” itu dibuka sehingga masa lalu tak sekedar lewat begitu saja. Seperti diktum seorang sejarawan terkenal bahwa setiap generasi menuliskan sejarahnya.

Rakyat kita sudah bosan dan jenuh dengan sikap-tingkah polah para “elit” yang terkadang membuat bingung. Belum lagi aneka tingkah yang membuat geli. Rakyat sudah kehabisan suara dan kata-kata, tak mampu lagi berteriak apalagi menangis karena air mata pun telah mengering. Mereka pun sulit “menagih” janji para “elit” yang dihamburkan pada saat Pesta Pemilu karena telanjur terlena. Lupa dengan janji mereka. Di sinilah para “elit” telah “membuat” sejarah yang akan dikenang oleh rakyat sepanjang hayat yaitu sejarah membodohi dan menipu rakyat.

Marilah kita “membuat” sejarah baik “hitam” (kalau mau) maupun “putih” walaupun tentunya “putih’ dianggap lebih baik. Kalau kita ingin “ngebut”, mengendarai mobil “Negara” ini, siapkanlah skill mengemudi, periksa kelengkapan mobil, pasang sabuk pengaman, dan siap dengan segala resikonya. Jangan seperti supir tembak yang mengejar setoran. Kita salip negeri-negeri jiran itu dan segera menjadi negeri yang besar. Ayo Bung!

Cahaya yang menari : Sejarah Seni Kaca Patri Masa Kolonial di Indonesia

Tidak banyak orang yang memperhatikan salah satu ornamen penting ini dalam suatu bangunan. Padahal ornamen itu sangat cocok dengan iklim tropis Indonesia yang kaya akan matahari. Ornamen hiasan tersebut akan semakin indah bila cahaya sinar matahari menembusnya. Seolah cahaya itu menari. Ornamen indah itu adalah kaca patri yang dalam bahasa Belanda disebut glass-in-lood.  Sementara itu dalam bahasa Inggris disebut leaded glass  atau stained glass art.

Ditinjau dari sejarahnya, seni kaca patri merupakan ornamen arsitektur yang berasal dari Eropa. Penggunaan kaca warna pada jendela terutama untuk rumah ibadah (gereja) dimulai pada pertengahan abad ke-12. Pada zaman Gotik inilah, seni ini berada pada puncak kejayaannya. Jauh sebelumnya, teknik pewarnaan pada kaca sudah dikenal di Mesir dan Mesopotamia pada milenium ketiga sebelum masehi. Yang kemudian berkembang pada masa Romawi.

Di Indonesia sebenarnya kita mengenal pula ornamen kaca patri ini. Namun, tidak jelas siapa yang membawa seni kaca patri ini ke Indonesia. Menariknya, sampai paruh pertama abad ke-19 kaca termasuk jenis barang mewah dan sangat mahal. Baik di Indonesia maupun di Asia, termasuk China dan Jepang. Dari arsip laporan tahunan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Batavia untuk kantor pusat di Amsterdam, terdapat beberapa catatan tentang impor barang-barang kaca dari Belanda atau Eropa. Barang-barang kaca itu untuk dijual atau diberikan sebagai hadiah kepada raja-raja atau sultan-sultan di Indonesia. Namun, VOC lebih banyak menjual atau memasok kaca ke India, China dan Jepang. Pada 1675 VOC sempat memikirkan untuk mendirikan pabrik kaca di Batavia tetapi rencana itu tidak terwujud. Di Indonesia pun, bahan kaca tetap langka sampai awal abad ke-20, kecuali untuk kalangan terbatas. Baru sesudah 1910-an kaca semakin terjangkau dengan impor kaca dari Jepang.

Dapat dikatakan pada 1900-an merupakan awal penggunaan kaca patri selain di tempat-tempat ibadah. Pada masa ini kaca patri mulai digunakan untuk bangunan kantor, hotel dan rumah tinggal, terutama bangunan yang bergaya arsitektur art deco. Berbeda dengan kaca patri di rumah-rumah ibadah, penggunaan kaca patri untuk rumah tinggal pada umumnya hanya menempati bidang kecil pada bagian bangunan yang disebut bovenlicht, yaitu jendela kecil yang bisa dibuka tutup. Panel kaca patrinya kecil-kecil dan terpasang pada kusen. Supaya kaca patri tampak alami maka kusennya juga dipelitur.
Di Indonesia kita bisa menemukan jejak seni kaca patri ini, terutama di Jawa. Misalnya di gereja Katedral Jakarta yang diresmikan pada 1901. Menurut Han Awal, arsitek senior Indonesia, gereja ini dirancang pada 1891 oleh A. Dijkmans seorang pastor yang juga arsitek. Lantaran sakit dan harus kembali ke Belanda, maka pembangunannya dilanjutkan oleh M..J. Hulswit dari biro arsitek terkenal di Belanda, Fermon & Cuypers. Oleh karena itu di prasasasti depan gereja yang disebut hanya Cuypers-Hulswit sebagai arsiteknya. Gaya arsitektur gereja ini adalah neo gotik karena merupakan “tiruan gaya Gotik”. Pada bagian Barat gereja ini kita akan menjumpai jendela rosetta besar yang dihiasi kaca patri indah.

Ornamen kaca patri juga dapat ditemui di gedung Museum Bank Indonesia yang dulu merupakan kantor Javasche Bank, cikal bakal Bank Indonesia. Gedung yang bergaya neo klasik ini sebelumnya adalah bekas rumah sakit Binnen yang dibangun pada 1828. Lagi-lagi perancang bangunan ini adalah oleh biro arsitek Fermont & Cuypers. Khusus di ruangan direktur yang dikenal dengan nama Ruang Hijau, di sana terpasang panel-panel jendela kaca patri berwarna-warni indah dengan gambar aneka produk alam. Produk alam itu merupakan komoditi yang diperdagangkan Belanda pada masa itu, seperti kopi, lada, timah, emas, kapas, karet, tebu. Beberapa panel jendela hilang sehingga perlu waktu untuk mengetahui komoditi yang terdapat dalam panel tersebut.

Seluruh jendela kaca patri di museum Bank Indonesia itu dibuat oleh  seniman Belanda bernama Ian Sihouten Frinsenhouf dari Delft. Saat ini panel-panel kaca patri di gedung museum Bank Indonesia sedang direstorasi  oleh Eztu Glass Art, pimpinan Brian Yaputra & Freddy Sudjadi, dua maestro kaca patri Indonesia yang membawa seni kaca patri sejak 1981 kembali Indonesia.

Di Yogyakarta kita akan menjumpai hiasan kaca patri ini di Kraton Yogya. Terletak di bangsal Trajumas, bangsal ini memiliki fungsi penting untuk upacara dan sebagai ruang pengadilan. Hiasan kaca patri yang ada di sana bergaya Victorian dipadu dengan gambar alat musik seperti terompet, biola dan sejenis harpa.

Hiasan kaca patri juga dapat ditemui di Hotel Oranje di Surabaya, kelak berganti nama menjadi hotel MADJAPAHIT dan sekarang bernama Mandarin Oriental   . Hotel ini diresmikan pada 1900 dan kaca patrinya juga direstorasi pada 1993.  Begitupula dengan Hotel Sentral di Wonosobo. Kedua hotel tersebut pun  telah direstorasi oleh EZTU GLASS ART. Pada sebuah rumah peninggalan masa kolonial di Malang, kita juga dapat menjumpai kaca patri dengan desain yang terinspirasi dari Frank Lloyd Wright. Demikian pula dengan bangunan-bangunan rumah di Surabaya yang menggunakan ornamen kaca patri bergaya Mondriaan. Dengan ciri khas garis segi empat tetapi warnanya berbeda.

Bangunan mesjid pun tak luput dari sentuhan ornamen kaca patri. Misalnya Masjid Menara Kudus yang sebenarnya bernama Masjid Al-Aqsha. Berdasarkan inskripsi dalam bahasa Arab, masjid ini didirikan pada 1549 oleh Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus. Pada 1925 bagian depan masjid ditambah bangunan baru berupa serambi. Pada 1933, bagian serambi itu disambung lagi dengan bangunan baru yang juga berupa serambi. Serambi ini memiliki mimbar kubah bercorak arsitektur bangunan India. Disekelilingnya dihiasi kaca patri yang indah dan unik. Panel-panel kaca patri yang menghiasinya merupakan kombinasi motif gaya art deco dengan kaligrafi  huruf-huruf Arab. Di sana tertulis nama-nama sahabat Nabi Muhammad SAW, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, serta empat orang imam mazhab (Hanafi, Hambali, Syafi’i dan Maliki), dll.

Gereja St Paulus di Bandung yang dibangun tahun 1919 hasil rancangan arsitek Belanda C.P. Schoemaker juga memanfaatkan keindahan kaca patri. Lukisan Yesus dan Bunda Maria dalam paduan warna-warna indah memberi kesan lebih religius yang khusyuk dalam gereja. Selain itu penggunaan kaca patri secara besar-besaran digunakan di aula barat dan timur Technische Hoogeschool Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung). Itu merupakan hasil rancangan Ir Mclaine Pont. Ia sengaja menggunakan warna kaca yang putih bersih. Dengan alasan supaya sinar matahari dari luar bisa masuk. Sehingga ruangan menjadi lebih terang tanpa terasa panas dan silau. Demikian pula dengan bangunan hotel Savoy Homann yang pada waktu renovasi 1939 dirancang oleh A.F. Aalbers juga menggunakan ornamen kaca patri.

Bila kita cermati gaya kaca patri (khususnya rumah) yang dominan adalah gaya modernisme dari Piet Mondriaan , salah satu pelopor De Stijl, majalah seni di Belanda yang terbit 1917. Tokoh De Stijl lainnya adalah Theo van Doesburg (1883-1931) yang sempat mengunjungi arsitek Amerika Frank Lloyd Wright. Frank Lloyd Wright (1867-1959)  adalah salah satu pelopor aliran modernisme dalam arsitektur di Amerika. Aliran ini mengembangkan gagasan fungsional, bentuk mengikuti fungsi (form follow function). Bagian bangunan tanpa fungsi serta unsur dekorasi tanpa fungis tabu dibuat. Sehingga keindahan timbul karena pancaran komposisi elemen-elemen berfungsi.
Kemungkinan besar aliran ini sangat berpengaruh pada arsitek-arsitek di Belanda. Yang kemudian membawanya masuk ke Indonesia. Mereka menyesuaikan dengan budaya dan iklim setempat. Seperti pada karya-karya Cuypers, Karsten, Henri Maclaine Pont (1884-1971), C.P. Wolff Schoemaker (dosen dan pembimbing Soekarno waktu mahasiswa). Para arsitek inilah yang “membangun” kota , merancang dan merenovasi berbagai bangunan di kota-kota besar Jawa seperti Bandung, Batavia, Surabaya, Semarang. Bisa jadi pula seni kaca patri digunakan mereka sebagai bagian ornamen rancangan arsitektur yang disesuaikan dengan fungsi. Memanfaatkan sinar matahari tropis sehingga cahayanya yang masuk menembus panel-panel kaca patri seolah menari dengan indah.

Memang kaca patri sejak diciptakan telah mempesona dan terbukti memberi keindahan. Demikian pula kaca patri di setiap rumah ibadah menimbulkan perasaan yang khusyuk, damai  kepada umatnya. Kedamaian dan keindahan ini juga diterapkan oleh para desainer di setiap lokasi yang mereka perlukan. Maka seni kaca patri hingga saat ini tidak pernah.pudar, malahan selalu dapat  disesuaikan dengan gaya desain arsitektur yang sedang trendy.

Dimuat dalam INA Magazine  Vol.XVII. no.1

Balada Nyamuk

Sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang. Dari jaman kuda gigit besi hingga jaman 3G nyamuk tetap menjadi masalah di DKI Jakarta. Tidak main-main, pemerintah provinsi DKI masih belum mencabut status KLB (Kejadian Luar Biasa) untuk urusan nyamuk ini. Selama April 2007 saja jumlah penderita demam berdarah di Jakarta sebanyak 3.693 orang. Lima diantaranya meninggal dunia. Jumlah terbanyak terdapat di Jakarta Timur dengan 1.173 pasien. Total penderita sejak awal tahun ini sebanyak 14.109 orang dengan 46 meninggal.

Bila pada masa lalu, masyarakat Batavia diresahkan karena si belang kecil nyamuk Anopeles sundaicus, penyebab malaria. Sekarang masyarakat Jakarta dan sekitarnya dihantui nyamuk Aedes aegypti si penyebar teror demam berdarah. Ironisnya nyamuk ini tak pandang bulu. Kaya-miskin, tua-muda, besar-kecil semua sama rata sama menderita.
Batavia yang dibangun pada 1619 sebagai sebuah benteng dan pos dagang di sebuah kota pelabuhan Kalapa. Pelabuhan ini jatuh ke tangan orang Banten yang kemudian bernama Jayakarta. Lalu orang Belanda menghancurkan pemukiman kaum pribumi dan di atas reruntuhan puing-puing tersebut dibuatlah tiruan kota seperti kampung halaman mereka di Eropa sana. Lengkap dengan kanal, jembatan angkat, jalan dilapisi batu bulat plus rumah-rumahnya.

Adalah Jan Pieterszoon Coen yang mendirikan Batavia yang mungkin memerintahkan kota itu ditata menurut peta buatan Simon Stevin, perancang di kota Belanda. Hal ini disimpulkan berdasarkan surat dari Heeren XVII, dewan direksi VOC yang meminta Stevin merancang sebuah benteng dan kota bagi mereka.
Batavia pun memiliki sebuah sistem kanal segi empat dan sangat mirip dengan tata kota Amsterdam pada masa itu. Sekarang, sistem ini menyisakan serta mewariskan masalah serius bagi Jakarta. Karena pekerjaan kanal banjir yang tak kunjung selesai, maka banjirlah yang dituai.

Kanal-kanal atau grachten itu yang sempat mendapat pujian dari Valentijn karena keindahannya hingga mendapat julukan Koningin van het oosten (Ratu dari Timur) ternyata menyimpan sesuatu yang mengerikan. Kanal-kanal yang dipagari pepohonan rindang menjadi sarang ideal bagi berkembang biaknya nyamuk Anopeles sundaicus. Ditambah lagi aliran air kanal hampir tak mengalir. Lumpur dari sungai-sungai mengendap di dasar kanal. Sekaligus menjadi sarang penyakit.

Leonard Blussé berpendapat berkembangnya nyamuk itu bukan karena tata letak kota yang meniru kota di Belanda atau bencana alam. Dalam hal ini, para pejabat VOC mengkambinghitamkan tata arsitektur kota dan Gunung Salak yang meletus pada 1699 hingga membuat kanal-kanal penuh lumpur. Blussé justru melihat polusi sistem drainase yang dicemari limbah gula dalam kota sebagai biang keroknya. Jika dirunut lagi, keserakahan para pejabat VOC dalam bisnis ‘manis’ gulalah sebagai sumber masalahnya.

Ironisnya, rumah sakit kompeni yang seharusnya membuat pasien menjadi sehat justru semakin membuat pasien sakit bahkan meninggal. Sehingga para pegawai senior VOC , seperti yang diungkapkan Peter H. Van den Burg, kalau masih menyayangi nyawa disarankan untuk dirawat di rumah saja daripada dirawat di rumah sakit yang jorok, kotor, penuh sesak. Rumah sakit buruk atau yang lebih tepat disebut rumah mati itu, terletak di dalam kota dan yang satunya lagi berada di luar kota, kira-kira sekitar Glodok.
Setelah tahun 1730 satu dari empat pegawai VOC yang bertugas di Hindia meninggal di rumah sakit. Jika sebelumnya Batavia mendapat julukan ‘Ratu dari Timur’ maka gelar ‘Kuburan dari Timur’ lah yang disandang.

Begitu berbahayanya nyamuk si belang itu pada masa VOC membuat orang mengenakan “pakaian anti nyamuk” khusus dan menurut De Haan dalam berbagai pesta makan malam adalah hal biasa setiap tamu mempunyai seorang pelayan pribadi yang bertugas mengusir nyamuk dengan kipas besar.

Menjelang akhir abad ke-18 ketidaksehatan Batavia ini sangat terkenal hingga seluruh Eropa. Ketika Raffles yang menjabat letnan gubernur Jawa kembali ke Inggris pada 1816, ia ditugaskan ke St. Helena menemui Napoleon. Pertanyaan pertama Napoleon adalah apakah Batavia masih tidak sehat. Ketika itu memang Raffles sedang menderita malaria-cachexie. Setibanya di Falmouth dia dan pengiringnya terlihat begitu kurus. Mereka pun diinterogasi cukup lama dan baru diperbolehkan melanjutkan perjalanan setelah bersumpah bahwa mereka sehat.

Pada masa kolonial pun persoalan nyamuk belum selesai. Meskipun kantor-kantor penting telah dipindahkan ke daerah yang dianggap lebih sehat di Weltevreden (sekitar Monas, Gambir) pada masa Gubernur Jenderal Overstraten (1797) seiring bubarnya VOC serta penghancuran benteng di sekeliling kota dan penimbunan mookervaart pada masa Daendels, nyamuk tetap menyerang.

Pada masa Mohammad Husni Thamrin sebagai anggota Gemeenteraad (dewan kotapraja) Batavia pada bulan Februari 1922, kita pun dapat mengetahui: “Batavia masih tetap seperti lukisan dengan figura indah, dihiasi dengan vila luas serta jalan yang lebar. Sementara kampung-kampung terwakili pada kanvas tak berharga. Ratusan ribu penduduk sehari-harinya hidup dalam bahaya di kampung-kampung yang penuh lubang jamban berbau busuk, tempat berbiaknya nyamuk malaria.”

Mohammad Husni Thamrin akhirnya berhasil mendesak Dewan dan Pemerintah kotapraja Batavia untuk memerhatikan kampongvraagstuk (masalah kampung). Berbagai program perbaikan kampung dijalankan supaya tak menjadi sarang penyakit, apalagi nyamuk. Ironisnya, Thamrin tak kuasa menahan teror si belang Anopeles sundaicus. Pada awal 1941 demam tinggi menyerangnya. Ia pun meninggal pada hari Jumat 10 Januari 1941 karena malaria.

Hal yang menarik adalah apakah memang kita telah serius menghadapi masalah yang telah merenggut banyak nyawa ini. Pemerintah DKI memang telah mengupayakan dan mensosialisasikan kepada masyarakat untuk memusnahkan nyamuk beserta sarangnya.
Namun, upaya pengasapan atau fogging ke rumah-rumah warga harus diperhatikan betul. Jangan sampai justru warga yang ‘teler’ menghisap ramuan anti nyamuk demam berdarah atau nyamuknya justru bertambah ganas. Nyamuk Aedes aegypti ini memang termasuk nyamuk elit yang tidak mau hidup di got atau air yang kotor. Bahkan beberapa rumah di daerah elit di Jakarta ternyata menjadi sarang nyamuk demam berdarah dan lucunya rumah itu kebanyakan kosong.

Masalah nyamuk di Jakarta memang gampang-gampang susah karena tak sekedar diasapi atau disemprot tapi justru perubahan perilaku hidup sehatlah yang dibutuhkan. Baik perilaku sehat pemerintah maupun warganya. Yang jelas ini merupakan salah satu pekerjaan rumah siapa pun gubernur DKI yang akan datang. Jangan sampai, seperti meminjam satu iklan obat anti nyamuk: “Nyamuk sini tidak takut siapa-siapa!”

Dimuat di harian Seputar Indonesia edisi sore, 9 Mei 200