Judul : Kaas – Keju
Penulis : Willem Elsschot
Penerjemah : Jugiarie Soegiarto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2010
Tebal : 173 hlm
“Coba kamuorang kasih tunjuk di mana itu ekstrimis. Nanti kitaorang kasih keju en susu!”. Inilah dialog dari serdadu Belanda yang kerap kita dengar dalam film-film berlatarbelakang perang kemerdekaan Indonesia. Coba perhatikan imbalan yang diimingkan. Keju dan susu. Keju, jelas bukan produk Indonesia. Oleh karena itu iming-iming serdadu Belanda kepada penduduk pribumi dapat meruntuhkan ‘iman’: “Kamuorang kasih tunjuk kitaorang di mana itu ekstrimis sembunyi? Nanti kitaorang kasih kamuorang keju”
Keju. Itulah tema yang diangkat buku yang berjudul Kaas (keju). Jangan terkecoh. Buku ini bukan buku kuliner yang membahas seluk-beluk pembuatan keju. Namun, buku ini tentang keju.
Kisah Kaas menceritakan tokoh Frans Laarsman yang bekerja sebagai kerani di perusahaan General Marine and Shipbuilding Comnpany di Antwerpen, Belgia. Tiga puluh tahun sudah Frans Laarsman menjalani rutinitas yang monoton sebagai kerani hingga ia mendapatkan tawaran dari perusahaan Honstra asal Amsterdam yang menawarkannya menjadi penjual keju. Seketika itu Frans berubah menjadi dinamis.
Tawaran tersebut tidak datang dengan sendirinya. Dalam pekerjaannya sehari-hari, Frans hanya sibuk di belakang meja. Ia tak punya banyak relasi kecuali teman-teman sekerjanya. Kontras dengan sang kakak, Karel Laarmans yang seorang dokter. Profesi sang kakak sebagai dokter membuatnya cukup dekat dengan orang-orang penting. Salah satunya adalah Van Schoonbeke, yang memiliki teman di kantor Honstra.
Atas rekomendasi Schoonbeke, Frans Laarsman ditawari untuk menjadi agen penjual keju dari Belanda oleh kantor Honstra. Laarsman membayangkan keuntungan besar jika dia berhasil menjadi satu-satunya agen penjual keju di Belgia. Namun, Frank masih bimbang untuk berhenti kerja dari General Marine. Khawatir ia gagal menjual keju tersebut.
Frank pun berunding dengan sang istri. Diputuskan ia tidak keluar dari kantor melainkan minta cuti dengan alasan sakit. Ia minta surat cuti sakit dari dokter. Tidak tanggung-tanggung ia mengajukan cuti karena sakit saraf dan harus beristirahat selama tiga bulan. Atas bantuan surat cuti penyakit syaraf selama tiga bulan dari Karel, Frans memulai pekerjaan sebagai penjual keju. Bagaimana upaya Frans menjual keju-kejunya tersebut dan apakah ia berhasil menjadi ‘pengusaha’ sekaligus pegawai, silakan Anda simak halaman-halaman buku ini.
Penulis buku ini adalah Willem Elschot yang merupakan nama samaran dari Alphonsus Josephus de Ridder. Ia lahir di Antwerpen 7 Mei 1882 dan wafat 31 Mei 1960 juga di Antwerpen. Elschot terkenal sebagai penulis roman dan puisi Flandria.
Buku ini sebelumnya pernah diterjemahkan oleh Idrus, salah seorang tokoh Angkatan 45 pada 1948 dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Pada masa itu merupakan suatu hal yang mengherankan menerbitkan novel dengan tema sangat berbeda dan jauh dari tema-tema keseharian di Republik Indonesia yang masih bayi, demikian tulis Keith Foulcher dalam artikelnya ‘Menjadi Penulis Modern: Penerjemahan dan Angkatan 45 di Jakarta Masa Revolusi” (2009).
Pada masa kini, pegawai tetap yang bekerja rangkap untuk mendapatkan tambahan penghasilan bukanlah hal aneh. Pendapatan ganda yang bisa diperoleh untuk mensiasati pengeluaran dan harga-harga membumbung tinggii membutuhkan ketrampilan khusus bagi para pegawai dalam menghadapi kehidupan.
Masalah yang dihadapi oleh Frans tidak mustahil dihadapi oleh para pegawai yang merasa tidak maju-maju dalam karirnya namun tidak punya cukup keberanian untuk memulai suatu usaha alias keluar dari zona nyaman mereka.
cover buku: http://www.gramedia.com/