Judul: Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia II
Penulis: Rosihan Anwar
Penerbit: Penerbit Kompas, Juli 2009
Halaman: viii + 348 halaman
Judulnya boleh disebut Sejarah Kecil, Petite Historie Indonesia 2. Namun, penulisnya bukanlah orang kecil. Setelah sukses dengan jilid pertama, jilid kedua buku tersebut kembali hadir. Pada jilid kedua ini fokus utamanya pada bidang pers, film, kebudayaan yang juga mengenai para wartawan, sineas dan seniman.
Rosihan Anwar, penulis buku Sejarah Kecil ini bukanlah orang sembarangan. Beliau tidak hanya penulis sejarah tapi dapat dikatakan sebagai pelaku alias aktor sejarah. Sehingga apa yang dituturkan seperti laporan pandangan mata dari pelakunya sendiri.
Rosihan Anwar menulis dari sudut pandang lain, berbeda dengan arus utama penulisan sejarah yang sudah ada. Justru hal itu lah yang menarik. Kita mendapat banyak informasi penting yang tidak akan kita dapatkan dalam buku sejarah resmi.
Buku ini terdiri 12 bab yang berasal dari dua bagian utama. Bagian pertama tentang sejarah pers, film, budaya beserta pelakunya terdiri dari enam bab. Bagian kedua tentang reportase, resensi dan promosi juga terdiri dari enam bab.
Kedua bagian tersebut menarik namun menurut saya bagian kedua lebih menarik karena di situ lah letak ‘sejarah kecil’ nya. Simak saja, pengalaman penulis di balik peliputan Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung (hal.119) atau hiruk-pikuk cerita-cerita ringan seputar pengalaman mengikuti perjalanan Perdana Menteri Uni Sovyet Nikita Krushchev di Indonesia pada awal 1960 (hal.163). Misalnya soal terjemahan-menerjemahkan pidato yang kurang akurat (hal.174) atau cara kerja salah seorang fotografer Associated Press, Fred Waters yang simultan dan didukung oleh para tenaga lokal (hal.176). Kisah lain tentang reporter radio Darmosugondo yang mulutnya tak berhenti bergerak melaporkan apa yang dilihatnya ketika Kruschev singgah di sebuah rapat raksasa di Surabaya. Rosihan yang terkagum, terpana dan memandanginya. Tiba-tiba Darmosugondo yang berkacamata hitam mengalihkan pembicaraannya dan mengumumkan kepada pendengar bahwa salah seorang wartawan terkenal juga hadir dalam acara tersebut. Rosihan pun bertanya mengapa namanya disebut. Darmosugondo menuturkan biasanya bila seorang pembesar lewat di dekatnya sambil mencolek, itu merupakan tanda isyarat agar nama pembesar itu disebutkan di corong radio. Rupanya Darmosugondo mengira tatapan Rosihan sebagai tanda untuk disebut namanya (hal.183).
Serial kisah Safari Nikita, menurut Rosihan sebenarnya dipersembahkan bagi para wartawan Indonesia khususnya generasi muda. Maksudnya adalah ketika membuat suatu liputan tidak hanya sekedar jual tampang bagaikan pemuda di Rancak Dilabuh (hal.242). Dengan sedikit teknik jurnalistik dan dengan mata terbuka, tutur Rosihan, berbagai bahan bisa digali sehingga menghasilkan pelaporan secara mendalam.
Kisah lain yang tak kalah menariknya dan menggelitik adalah kisah tentang Clifford Geertz di Manila. Rosihan mengutip Geertz yang menuturkan pengalamannya ketika melakukan penelitiannya di Pare, Jawa Timur pada awal tahun 50-an. Ia mewawancarai para petani dan merekamnya. Mikrofon dipasang dan para petani sederhana menjawab pertanyaan yang diajukan Geertz. Setelah wawancara cukup lama, Geertz pergi ke tempat lain, meninggalkan mikrofon dan alat perekam. Rupanya si petani terus berbicara, mengikuti alur pikirannya. Awalnya Geertz terkejut. Namun, ia justru mendapatkan inspirasi dari kejadian tadi yang dituangkan dalam buku berjudul cultural involution, mengenai kemunduran dalam perkembangan budaya (hal.274).
Kekayaan pengalaman asam garam kehidupan wartawan ‘lima jaman’ (Kolonial, Jepang, Revolusi, Pembangunan, Reformasi) ini patut dijadikan pedoman. Terus menulis di usia senja (Rosihan Anwar lahir 10 Mei 1922 di Kubang Nan Dua, Sumatra Barat) bukanlah hambatan bagi pria yang kerap dipanggil Cian ini. Alasannya menulis, mengutip wawancara di The Jakarta Post , selain menghindari kepikunan adalah karena ia tidak menerima uang pensiun. Tetap menulis dan sehat selalu, Pak!