Agustus Serius

Bulan Juli hingga pertengahan bulan Agustus lalu merupakan bulan penuh kesibukan. Tidak hanya berkaitan dengan perayaan Hari Raya Idul Adha dan Proklamasi 17 Agustus tetapi juga berbagai kesibukan lain. Kesibukan akademik dan non akademik.

Dimulai dengan studi lapangan di Bandung pada pertengahan bulan Juli selama tiga hari untuk Riset Klaster, bimbingan dan mendampingi mahasiswa dalam konferensi Inusharts 4.0 hingga mengikuti konferensi APRISH 2019. Ada ilmu ‘baru’ usai mengikuti konferensi Inusharts 4.0. Ilmu tersebut adalah memory studies yang sebenarnya pernah sempat saya lihat, dengar, dan baca. Namun, karena fokus saya lebih pada sejarah, maka saya tidak begitu memperhatikannya. Ilmu ini lebih dekat atau bahkan merupakan bagian dari Cultural Studies. Ilmu tersebut merupakan gabungan dari berbagai disiplin ilmu sehigga dibutuhkan literatur yang kuat. Kita akan bahas ilmu ini di lain kesempatan.

Sementara itu perjalanan ke Bandung sepertinya akan menyenangkan jika saja saya dalam kondisi fit. Sisa-sisa batuk yang belum pulih membuat saya tidak merasa nyaman. Beruntung, suasana yang nyaman dan pertemuan dengan teman-teman baru mengalihkan ketidaknyamanan karena batuk. Kenangan tentang Bandung setidaknya muncul ketika mengunjungi beberapa tempat. Sejenak melepaskan penat dan rutinitas pekerjaan.

Kembali ke kampus, kembali menyiapkan para mahasiswa yang tergabung dalam tim penelitian. Target utama adalah menghasilkan artikel yang terindeks Scopus. Setelah beberapa kali diskusi, akhirnya kami menghasilkan empat artikel (Hibah PITMA B) dan 1 artikel (Non Hibah). Empat artikel diikutkan konferensi Inusharts dan satu artikel diikutkan konferensi APRISH. Empat artikel dalam konferensi Inusharts direkomendasikan akan diterbitkan dalam edited volume terindeks Scopus.

Kesibukan lain adalah menyunting naskah buku yang mudah-mudahan akhir tahun 2019 ini akan terbit. Atas jasa baik Ibu Ade dan Pak Henri dari EFEO Jakarta, saya merasa beruntung Prof. Adrian Vickers bersedia menuliskan kata pengantar untuk buku tersebut. Proses penelusuran ilustrasi untuk buku menjadi keasyikan tersendiri.

Beberapa artikel juga sedang dipersiapkan, baik yang akan dibawakan dalam simposium, seminar, dan untuk jurnal. Terutama artikel-artikel yang merupakan janji hasil luaran dari Hibah Klaster FIB. Satu draf artikel telah selesai dan sedang dalam proses revisi. Menyusul artikel-artikel lain yang menunggu diedit.

Sebagai penutup dan untuk melepaskan kepenatan, pada akhir pecan tanggal 24 Agustus lalu, saya bersama Bu Istri berkesempatan menyaksikan film Bumi Manusia yang diangkat dari novel Bung Pramoedya Ananta Toer. Sejak awal masuk ke bioskop saya tidak berharap muluk-muluk. “Ini hanya hiburan…ini hanya hiburan,” gumam saya.

Sebelum film dimulai, kami para penonton menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama. Sejenak tergugah juga semangat nasionalisme. Lalu selama tiga jam saya duduk menatap layar lebar. Bu Istri sudah dua kali bolak-balik. Pertama, beliau keluar membeli dua pak besar popcorn, kopi, dan minuman. Kedua, urusan toilet. Beberapa kali, saya sempat merasa gemas ketika mendengar dan melihat sepertinya ada yang tidak sreg dalam film tersebut. Namun, kembali saya mengingatkan diri saya,”Sabar…sabar…ini hanya hiburan…ini hanya hiburan.” Akhirnya, tiga jam berlalu. Sebagai penutup diperdengarkan lagu ‘What a friend we have in Jesus’…eh…maksud saya ‘Ibu Pertiwi’ yang dinyanyikan Iwan Fals, Once, dan Fiersa Besari.

Ketika dalam perjalanan pulang, Bu Istri berkomentar: “Pemeran Minke-nya, gak pas. Kemudaan!” Saya hanya mesem, sambil berkata,” Yah, namanya usaha menggaet generasi milenial,” Kami pun bersepakat pemeran Nyai Ontosoroh dan Darsam sangat pas sekali.

Foto: Cimenyan (Ghilman)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *