Catatan Seorang Turis Siluman

Judul: Perjalanan Turis Siluman 51 Cerita dari 61 Tempat di 41 Negara
Penulis: Agus Dermawan T
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan: I, 2017
Tebal: xiv + 390 halaman
ISBN: 978-602-424-320-3
Harga: Rp. 95.000

Apa yang muncul di benak Anda jika mendengar kata turis? Kesan yang muncul dapat negatif atau positif. Baik disadari maupun tidak, kita tentu pernah menjadi seorang turis. Satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kata turis adalah kegiatan perjalanan dengan tujuan untuk berekreasi. Meskipun, tujuan awal dan utamanya seseorang bepergian bukan untuk berekreasi, misalnya untuk perjalanan dinas, tetapi pasti tetap ada unsur rekreasi dan pengalaman turistik. Demikian pula dengan pengalaman perjalanan Agus Dermawan T di berbagai benua dalam buku Perjalanan Turis Siluman ini.

Memang tak banyak turis yang mau mencatat pengalaman perjalanannya. Pada zaman ‘penuh berbagi’ seperti sekarang dan pesatnya kemajuan teknologi telah mengubah kebiasaan. Teknologi seperti telepon pintar berkamera memudahkan orang merekam kegiatan perjalanan mereka. Lalu mengunggahnya dan mendapatkan tanggapan dengan sangat cepat. Sehingga untuk apa menulis atau mencatatnya. Kecuali para penulis blog atau penulis konservatif yang tentunya ‘gatal’ jika tidak menuliskan pengalaman mereka.

Apabila ditelusuri jauh ke belakang, kata ‘turis’ ternyata telah memiliki makna peyoratif. Pada 1770-an, Adam Smith ekonom Inggris penulis The Wealth of Nations (1776) memperkenalkan kata tourist. Ia menambahkan akhiran ‘ist’ pada kata ‘tour’ (perjalanan) yang membentuk istilah ‘tourist’. Makna yang dihasilkan bersifat peyoratif dan merendahkan karena Smith menganggap tourist adalah orang yang mengerjakan hal tidak penting sehingga kurang dihargai.

Alasan Adam Smith tersebut karena persepsinya mengenai banyak orang yang mengikuti ritual Grand Tour di kawasan Prancis dan Italia pada abad ke-18 mulai kehilangan karakter dan jiwa. Ritual itu hanya dilakukan dengan mengikuti rute perjalanan yang sudah ada untuk mendapat pengalaman pribadi melihat kota, situs, dan objek terkenal, terutama peninggalan-peninggalan bangsa Romawi dengan waktu singkat.

Pada abad ke-20 makna peyoratif kian dikukuhkan. Dean MacCannel, peletak dasar sosiologi turisme dalam karya klasiknya The Tourist (1999) menuturkan pengalamannya bersama kekasihnya pada akhir tahun 1950-an. Ketika kapal feri mendekati dermaga, MacCannel meraih kunci kontak hendak menyalakan mesin mobil. Kekasihnya meraih tangan MacCannel dan berkata dengan keras. “Jangan lakukan itu! Hanya turis yang menyalakan mobil mereka sebelum mendarat di dermaga!.” Larangan kekasih MacCannel untuk tidak melakukan sesuatu yang hanya dilakukan oleh para turis memperlihatkan makna yang sama dengan yang diberikan oleh Adam Smith pada abad ke-18. Turis adalah orang yang melakukan kegiatan berbeda dengan orang yang bukan turis. Namun, istilah ‘turis’ ini tampaknya perlu didekonstruksi.

Dalam buku ini Agus Dermawan T memperlihatkan bahwa ia bukan sekedar turis biasa. Pengalamannya melakukan perjalanan sebagai ‘turis siluman’ ia lakukan jauh sebelum ada teknologi yang memungkinkan orang membagi dengan cepat pengalamannya. Dalam konteks ini, Agus Dermawan lebih tepat disebut sebagai turis yang berjiwa pejalan atau traveler.

Semua benua telah dikunjungi Agus Dermawan sejak tahun 1991 sampai 2016. Mulai dari Asia, Amerika, Eropa, Australia hingga Afrika, dengan jumlah keseluruhan 41 negara telah disambanginya. Dalam waktu yang singkat – seperti layaknya seorang turis – berbagai hal di negara tujuan ingin dilihat dan dirasakan. Justru waktu yang singkat tersebut, menurut Agus dimanfaatkannya untuk dapat menyelami dengan dalam berbagai aspek sebuah tempat. Hari ini di sini, esok di sana. Oleh karena itulah istilah ‘siluman’ memang sangat cocok menempel di belakang kata ‘turis’ yang disandangnya.

Catatan Agus ‘si Turis Siluman’ Dermawan T terbagi atas lima bagian yang kaya akan informasi. Sebagai seorang pengamat seni dan budaya, informasi yang berhubungan dengan seni, budaya dan sejarah dalam catatannya sangat melimpah. Misalnya informasi mengenai museum-museum di St.Petersburg Rusia (hal. 6), bangunan gereja Temppeliaukio di Helsinki Finlandia (hal.14), Museum Nusantara di Delft, Belanda (hal.368), kisah piramida di Museum Louvre Paris, Prancis (hal. 193), Monumen Voortrekker di Pretoria, Afrika Selatan (hal. 259), serta lukisan mirip tuyul ‘The Scream’ karya Edward Munch yang menjadi maskot National Gallery Oslo, Norwegia (hal. 355-360).

Ada catatan yang menggelitik dan menggelikan yaitu komentarnya mengenai bis wisata di Phnom Penh, Kamboja yang menurutnya mirip bis Kopaja atau sepeda motor di Kamboja yang dinaiki oleh tiga sampai empat orang. Sebagai alat keselamatan, mereka saling mengikat tubuh dengan sarung (hal.251-253). Agus pun mengamati sesama turis. Ketika mengunjungi Henan, Tiongkok pada 1 Oktober, hari Kemerdekaan Tiongkok yang merupakan hari libur, para turis lokal datang bersama keluarga membawa rantang dan termos. Jika udara panas, maka para lelaki akan membuka baju dan berkipas-kipas di tengah keramaian. Jika mereka lelah, mereka tak akan ragu tiduran di mana saja (hal. 151).

Turis berjiwa pejalan dibuktikan Agus. Ia tidak hanya mengunjungi negara ‘bling-bling’, negara-negara yang umum dikunjungi oleh para turis. Ia beserta rombongan bersusah-payah mengunjungi Machu Picchu di Peru. Ia mengutip salah satu rekan seperjalanannya yang mengatakan hanya orang bodoh yang tidak mau menginjakkan kaki di Machu Picchu, tapi hanya orang gila yang mau kembali ke sana (hal.218). Ia juga mengunjungi Iguazu, air terjun yang terletak di perbatasan Brasil, Argentina, dan Paraguay (hal.153-158). Kunjungan ke Victoria Falls, air terjun setinggi 1737 meter di Zimbabwe, Afrika juga dilakoninya (hal. 175-180).

‘Jiwa’ Indonesia Agus pun masih cukup tinggi. Selera makannya terhambat ketika melihat harga menu edisi Spring Summer di restoran tertua di dunia (didirikan tahun 1725) yaitu Restaurante Botin Madrid, Spanyol sebesar 43,10 euro (sekitar 550.000 ribu rupiah) untuk sajian gazpacho (sup dingin ala Andalusia), roasted suckling pig, es krim, roti, setengah gelas wine serta sebotol bir atau air putih (hal. 172-173). Perutnya pun langsung kenyang ketika mengetahui sepiring nasi rames di Pasar Malam Tong Tong Den Haag seharga 12 euro atau sekitar 170.000 rupiah (hal.239).

Sayangnya, tidak semua catatan Agus dilengkapi dengan ‘catatan siluman’. Catatan yang berfungsi sebagai tips, saran, informasi tambahan dan justru membuktikan ‘kesilumanan’ Agus. Dalam catatannya juga tidak dijumpai negara di kawasan Asia Selatan dan Asia Tengah. Demikian pula ketidakhadiran peta dalam buku ini karena tidak semua orang mengetahui dengan persis di mana letak Norwegia, Finlandia, Zimbabwe, Peru, bahkan Kamboja.

Terlepas dari kekurangan tersebut, buku ini cukup informatif dan memberikan wawasan. Sebagai ‘turis siluman’ cum pejalan, Agus Dermawan T telah berhasil mengajak kita berwisata lewat kata-kata, serta menggugah kita untuk berwisata secara cerdas dan menjadi turis yang cerdas.

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *