Jakarta Tempo Doeloe dalam Kenangan Seorang Pria Tionghoa Passer Baroe

Batavia (Jakarta) merupakan sumber yang tak ada habis-habisnya untuk ditulis dan dikaji. Banyak kisah tercecer di Batavia yang belum diungkapkan. Terutama dalam kurun waktu tertentu. Kisah atau pengalaman yang menarik dan dapat dinikmati oleh khalayak
Banyak sudah orang yang menulis tentang Batavia (Jakarta).  Bisa jadi telah banyak ahli yang mengambil tema kota ‘buatan’ Belanda ini. Sayangnya, kebanyakan penulisnya adalah orang luar negeri. Sehingga memunculkan pertanyaan: mana penulis Indonesianya?
Batavia (Jakarta) memang menarik untuk diteliti. Kota di muara sungai Ciliwung yang awalnya adalah benteng VOC ini  memiliki sejarah panjang dan berbagai permasalahan pelik yang masih dirasakan hingga kini.
Kalau saja pada masa VOC, mereka tidak memerlukan tempat yang strategis untuk dijadikan benteng alternatif di Jawa selain di Ambon tentu lain ceritanya. Bahkan kalau saja de Heeren XVII di Belanda sana mengizinkan Jan Pieterszoon Coen menggunakan nama Nieuw Hoorn, kampung kelahirannya dan bukan Batavia lain juga ceritanya. Tapi dalam sejarah tidak mengenal ‘if history’ , ‘sejarah kalau’, jadi yang terjadi terjadilah.
Batavia (Jakarta) pun juga menjadi obyek catatan atau sumber kenangan bagi mereka yang telah merasakan ‘kehangatan’ de Koningin van den Oost (Ratu dari Timur) ini. Berbagai catatan para pengunjung dan penduduk ‘asli’nya sudah terdokumentasikan. Meskipun demikian masih perlu penelusuran dan penelitian lebih lanjut jika ingin mengetahui kesan-kesan mereka.
Contoh catatan pengunjung asing, seperti pedagang-petualang kelahiran Paris, Jean Baptiste Tavernier (1648), pendeta F. Valentijn (1726), nakhoda kapal Bounty Kapten William Blight (1800-an), Eliza R. Scidmore (1897), Justus van Maurik (1897), H.C.C Brousson (1900-an), Augusta de Wit (1905).  Tentu cara pandang mereka berbeda dengan penduduk ‘asli’nya yang memiliki sudut pandang lain dalam ‘melihat’ negeri mereka sendiri. Seperti misalnya kisah perjalanan priyayi Surakarta R. Aryo Sastrodarmo (1865) tertuang dalam Kawontenan Ing Nagari Betawi yang melukiskan suasana lebaran di Batavia.
Begitupula buku yang didiskusikan ini, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959 karya Tio Tek Hong.. Sebenarnya buku tersebutkan pernah diterbitkan pada 1959 dengan judul Kenang-kenangan: Riwajat-hidup saja dan keadaan di Djakarta dari tahun 1882 sampai sekarang. Selain itu cuplikan buku ini pernah juga dimuat dalam Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (1988) terbitan Intisari. Mengacu judul di atas …sampai sekarang (tahun buku itu dicetak) maksudnya tahun 50-an ketika si penulis menjelang 83 tahun. Dalam kurun waktu hampir setengah abad buku ini dicetak kembali dan menghadirkan suasana Jakarta Tempo Doeloe.
Tio Tek Hong adalah seorang pria Tionghoa kelahiran Passer Baroe (Pasar Baru), Batavia pada 7 Januari 1877, daerah yang hingga kini dikenal sebagai daerah pertokoan. Ia juga pendiri sebuah toko pada 1902 yaitu N.V (Naamloze Vennotschap = sejenis Perseroan Terbatas) Tio Tek Hong yang didirikan bersama saudaranya. Toko mereka itu menjual berbagai macam barang dan yang pertama kali menjual barang dengan harga pas yang dicantumkan. Mereka pula yang merintis kebiasaan menutup toko setiap hari Minggu dan hari raya.
Toko Tio Tek Hong juga menjual gramofon impor serta piringan hitam. Menurutnya toko ini terkenal dari Sabang sampai Merauke karena mengedarkan piringan hitam lagu-lagu Melayu, keroncong dan Stambul.
Buku ini diawali dengan pengalaman penulisnya ketika anak-anak yang berlatar belakang meletusnya gunung Krakatau pada 1883 hingga masa uzur pada tahun 50-an. Serpihan pengalaman dan kenangan bergulir diceritakan Tio Tek Hong, meminjam istilah Iskandar P. Nugraha penulis kata pengantar buku ini, buku ini tak sekedar menyajikan gambar indah secara cepat dengan cara ‘methode sliding’ seperti presentasi powerpoints, namun tergesa-gesa tanpa menyisakan terbentuknya isi emosional pemilik pengalaman tersebut.
Secara spasial pengalaman penulis memang tidak hanya di Jakarta saja. Lihat misalnya pengalamannya ketika melihat Komet Halley di Bogor pada 1911 atau ketika melakukan perjalanan keliling Jawa pada 1905. Seperti yang diceritakan oleh Eliza R. Scidmore dalam Java the Garden of the East (1897) ketika hendak mengunjungi Yogyakarta, Tio Tek Hong yang dianggap Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) pun memerlukan surat jalan untuk ke Yogya dan Solo. Tio Tek Hong terpaksa membayar denda 5 gulden karena surat jalan yang diberikan cuma surat jalan ke Surabaya.
Dari sudut pandang kajian turisme, pengalaman Tio Tek Hong ini saya masukkan dalam bagian turisme modern. Turisme pra-modern adalah istilah yang digunakan untuk membedakan dengan turisme modern. Turisme pra modern merupakan turisme sebelum abad ke-20 di Jawa. Pada masa itu yang biasa melakukan perjalanan adalah para pegawai, pendeta atau pedagang yang sebenarnya tidak bertujuan untuk wisata, seperti Rijklof van Goens utusan VOC yang mengunjungi Mataram pada 1648-1654, Tavernier pada 1648, Valentijn pada abad ke-18, Junghuhn ahli botani yang ditugaskan pada abad ke-19. Sedangkan istilah turisme modern dikaitkan dengan penggunaan buku panduan turisme, adanya kelompok-kelompok turis yang diatur untuk mengunjungi suatu tempat. Selain obyek/atraksi dalam turisme modern juga disediakan sarana akomodasi, transportasi dan jaminan keamanan.
Dalam buku ini, pengalaman Tio Tek Hong ketika melakukan perjalanan keliling Jawa dapat dijadikan contoh menarik untuk turisme modern tersebut. Kewajiban memiliki surat jalan, memanfaatkan trem Nederlandsch Indie Tramway Maatschappij, pengalaman terhadap hotel (Hotel Andreas di Cilacap hanya untuk orang Belanda dan Hotel Slamat untuk orang Indonesia atau lainnya). Atau penginapan-penginapan yang hanya untuk orang kulit putih. Demikian halnya kunjungan ke Candi Borobudur dan Gunung Merapi. Semua ini mengingatkan kita pada itenerario buatan pemerintah Hindia Belanda yang diperuntukkan bagi para turis.
Demikian pula dengan kenangan sajian tempat-tempat di Jakarta. Misalnya tempat ‘plesir’ di Pejongkoran (Petit Trouville) Tanjung Priok; Gereja Portugis tempat berdirinya dinding peringatan dengan hiasan tengkorak Pieter Erbervelt, seorang Indo yang dihukum lantaran dianggap memberontak pada kompeni; jembatan gantung tua di dekat Stadhuis (balaikota, sekarang Museum Jakarta); museum Oud Batavia (sekarang Museum Wayang); meriam keramat si Jagur; Pasar Gambir.
Buku ini mungkin dapat pula dijadikan ‘sumber’ sejarah, khususnya dalam upaya mendapatkan cara pandang ‘baru’ melihat Jakarta. Namun, yang harus diingat adalah sumber tersebut perlu dikritisi. Di sini suatu karya, misalnya kenang-kenangan ini sangat besar dipengaruhi oleh latar belakang seperti siapa penulisnya (umur, jabatan, gender, etnik, dan lain-lain).  Selanjutnya apa motivasi mereka menuliskan itu. Serta kedekatan mereka dengan obyek yang ditulis (di sini:Jakarta/Batavia). Dengan demikian sejarawan diharapkan melatih dirinya untuk dapat membaca apa yang dipikirkan oleh penulisnya. Tidak sekedar membaca produk yang dihasilkan (baca:kisah kenang-kenangan) melalui rangkaian naratifnya. Untuk itu diperlukan metode bantu untuk memahami karya –karya tersebut sebagai bentuk representasi.
Membaca buku ini seperti mendengar cerita kakek kita yang penuh kenangan dan nostalgia. Pengalaman yang mungkin tak pernah sempat dirasakan oleh generasi sekarang, seperti mandi di kali, bermain gundu, berburu di hutan (ada hutan di Jakarta sekarang?), menikmati transportasi tramway (sekarang busway?), bola lampu pertama, pabrik es pertama merupakan pengalaman yang hanya bisa diceritakan. Kecuali misalnya pengalaman penulis mengisap candu dan menyesap arak yang oleh anak-anak sekarang ini mungkin lebih canggih lagi (baca: narkoba). Hal yang menarik adalah nasehat rahasia umur panjang dari Tio Tek Hong yang dalam usia lanjut masih tegak, rambut tebal dan berpikiran jernih. Rahasianya mudah yaitu bangun pagi, minum air putih, tidak merokok, berolahraga rutin serta banyak makan sayur dan buah-buahan. Nasehat emas yang berharga bagi kita sambil menikmati buku ini.
 

9 thoughts on “Jakarta Tempo Doeloe dalam Kenangan Seorang Pria Tionghoa Passer Baroe”

  1. saya sudah membaca buku ini, terima kasih untuk penulisnya. sehingga orang muda seperti saya yang sering kesulitan mencari sumber sejarah tentang jakarta dapat memperoleh informasi seutuhnya. melalui buku itu pun membuat saya mengelana membayangkan masa-masa batavia tempo doloe, yang tidak pernah saya bayangkan saat ini.

  2. buat manajemen museum wayang kaga ramah pada saat saya ungin meminta data tentang museum wayang itu terjadi pada senin 11 juni 2007 pada jam 11 siang pada saya menelepon tetapi langsung ditutup pada saat saya meminta informasi lewat telepon saya mahasiswa maminta data untuk ujian saya bukan meminta sumbangan

  3. teruskan menggali dan mempublish hasil rekaman sejarah masa lalu Indonesia yang sangat banyak dan beragam agar kita bisa banyak tahu dan cerdas dalam memandang sebuah suatu peristiwa yang telah terjadi dimasa lalu.

  4. Mas Achmad, dengan rasa apresiasi yang tinggi kami sangat terkesan dengan tulisan2 yang dimuat didalam Blog ini. Terus terang dalam beberapa tahun terakhir ini kami mencoba riset kecil2an terutama tentang keberadaan keluarga kami yang diyakini telah berada selama 150 tahun di Jakarta/Djakarta/Batavia serta hal2 yang terkait. Apakah Mas Achmad dapat memberikan rekomendasi literatur yang mengupas tentang para Wedana pribumi sebagai Binnenlandse bestuur ambtenaar di Era Batavia dulu (1875-1915) .

    Teriring salam hangat

    Bambang Pangayoman

Leave a Reply to YULI Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *